Senin, 09 November 2015

aspek sosio-politik dalam membentuk teori "sunnah"



ASPEK SOSIO-POLITIK DALAM MEMBENTUK TEORI “SUNNAH” SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM KONSTRUKSI HUKUM
IMAM MALIK BIN ANAS
Oleh: Juandi*
Abstrak
Teori hukum yang menjadi ciri khas dalam mazhab Maliki adalah penerimaan ijma’ ahli Madinah sebagai sumber hukum. Penerimaan ini membuktikan bahwa “sunnah” yang berkembang dimasyarakat Madinah tidak bisa diabaikan sama sekali dalam praktek hukum. Selain alasan normative, alasan sosio-politik juga mempengaruhi keputusan Imam Malik dalam mengukuhkan otoritas ijma’ ahli Madinah. Tulisan ini memaparkan pentingnya ijma’ ahli Madinah sebagai sumber hukum di kalangan mazhab Maliki.
Kata kunci: Sunnah, Ijma’ Ahli Madinah, Sumber Hukum Islam

Legal theory that characterizes the Maliki school is the acceptance of ijma’ Ahli Medina as a source of legal. This admission proves that the "sunnah" Medina evolving society can not be ignored at all in the practice of law. In addition to normative reasons, socio-political reasons also affect the decision of Imam Malik in establishing the authority of ijma Ahli Medina. This paper describes the importance of ijma 'Ahli Medina as a source of law in the Maliki school.
Key word: Sunnah, Ijma Ahli Medina, Islamic Legal Sources
A. Latar Belakang
Setiap produk pemikiran apapun diyakini dipengaruh oleh lingkungan yang mengitarinya. Tidak jarang lingkup yang mengitari suatu pemikiran berupa imbas dari harmonisasi, ketegangan, ataupun hegemoni sistem sosial yang sudah berlaku, tidak terkecuali produk hukum. Produk-produk ini senantiasa mengalami perubahan  beriringan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Karena, bagaimanapun, kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dalam setiap masa mengalami pergeseran seiring dengan meningkatnya kebutuhannya dan kemajuan-kemajuan teknologi. Dalam konteks hukum Islam, tidak bisa dinafikan bahwa ia juga mengalami perubahan sebagaimana adigium dalam hukum Islam “berubahnya hukum karena berubah masa dan tempat” bahkan sekarang ditambah dengan adanya perubahan metodologi sebagai perangkat pengetahuan. Wajar bila Abid al-Jabiri menyatakan bahwa terdapat relasi yang signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruk pemikiran dengan realitas sosial, sebagai respon dan dialektika pemikiran terhdap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang dimasyarakat.[1]
Dialektika pemikiran dengan fenomena sosial dalam kadar tertentu tidak dinampakkan secara jelas, namun dalam batasan-batasan tertentu sangat nampak. Bagi ulama-ulama klasik, mislanya, persoalan politik jarang dinampakkan sebagai latar belakang menentukan suatu hukum, walaupun kepentingan politik sangat nampak mengitarinya. Begitu juga dengan peristiwa-peeristiwa sosial yang terkadang menjadi landasan perubahan suatu hukum, namun tidak dinyatakan secara langsung. Karena keunikan hukum Islam adalah selalau melandasi aturannya pada teks suci. Bahkan beberapa pengkaji hukum Islam menyatakan bahwa “hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran hukum Islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim, dan merupakan sari pati Islam itu sendiri.”[2] Dari sini, kita dapat melihat begitu sulit menentukan bagian-bagian hukum yang benar-benar berdiri sendiri sebagai konstruk sosial yang terjadi pada masanya. Namun, setidak-tidaknya, munculnya wacana hukum Islam antara yang berubah dan yang tetap adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Benarlah apa yang dikemukakan Coulsen bahwa adanya perubahan dalam substansi hukum keluaraga, pada beberapa dekade terakhir ini, mempunyai arti sosial yang sangat dalam.[3]
Sebagaimana produk hukum, sumber-sumber hukum dalam teori hukum Islam juga tidak jarang mengalami perkembangan. Misalnya, sumber hukum primer al-Qur’an dan hadis pada masa sahabat diterima apa adanya, sesuai dengan makna literel,[4] namun pada masa berikutnya kedua sumber hukum tersebut masih harus dikembangkan dengan sumeber hukum semisal ijma, qiyas, istihsan, dan sebagainya.[5] Setidaknya hal ini menujukan bahwa legitimasi sumber hukum pun tidak diterima jadi (taken for granted) , melainkan mengalami proses penerimaan.
Kecenderungan penerimaan ahli hukum Islam (fuqaha) terhadap sumber hukum tertentu tidaklah hanya kebetulan belaka. Ada sejumlah landasan berfikir untuk menerima atau mengolah suatu sumber hukum. Begitu pula ketika Imam Malik bin Anas menerima pendapat ahli Madinah sebagai sumber hukum Islam yang sangat diperhitungkan, tentunya ia memiliki landasan yang medasar. Bukan hanya sekedar landasan normatif, sebagaimana keterpengaruan seseorang terhadap lingkungannya, alasan penerimaan ini dimungkinkan juga karena faktor sosial dan politik yang berkembang. Dengan demikian, tulisan ini melihat alasan sosial dan politik apa yang mendorong imam Malik menjadikan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum yang urgen.
B. Lingkup Sosial dan Politik pada Masa Imam Anas bin Malik: Relasi Ketetapan Sumber Hukum versus Realitas Sosial–Politik
Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Asbahi kemungkinan besar lahir tahun 93 H di Madinah.[6] Kakeknya adalah seorang tabi’in dan eyangnya adalah sahabat Nabi. Keluarganya berasal dari Yaman, dan pada masa hidup Nabi, mereka menetap di Madinah.[7] Malik dalam mempelajari hadis tidak melakukan pengembaraan ke pelosok negara Islam. Hanya saja keuntungannya adalah banyak belajar hadis dari para ulama dari penjuru wilayah Islam yang berkunjung ke Madinah. Ia dikenal sangat ahli dalam bidang hadis dan fikih. Tentang penguasaannya dalam hadis ia sendiri pernah mengatakan: “aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadis”. Menurut banyak kesaksian para ulama semasanya maupun setelahnya kepribadian dan keahliannnya dalam bidang hadis sudah tidak dapat diragukan lagi.[8]
Menurut Azami, hubungan imam Malik secara politik dengan penguasa sangat baik, sekalipun ia tidak menyokong mereka. Bagi imam Malik para penguasa hanya membutuhkan nasihat.[9] Dalam beberapa riwayat tentang kehidupannya, ia pernah menolak permintaan Abu Ja’far untuk mengajar “putra Mahkota” dan ia meminta agar putra mahkota yang mendatangkan ilmu. Dalam relasi dengan penguasa, pengalaman tragis yang dialaminya adalah mengalami penyiksaan fisik atas permintaan gubernur Madinah, Ja’far bin Sulayman, karena salah satu fatwa beliau menentang pemerintah.[10] Dalam riwayat lain dikatakan bahwa selama masa tiga kahlifah, Ja’far al-Mansur (131-163 H), al-Mahdi (163-173), dan Harun ar-Rasyid (173-197 H), karya al-Muwatta’-nya diminta untuk dijadikan kitab resmi negara, namun beliau tolak. Melihat beberapa tragedi yang menimpa imam Malik dalam hubungannya dengan penguasa, kita dapat menolak pernyataan Azami. Hubungan imam Malik dengan penguasa dalam tragedi politik yang mengakibatkan dirinya mengalami penyiksaan fisik adalah permasalahan politik. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa ketika ditanya mengenai sumpah orang yang dipaksa, ia mengatakan: “sumpah itu tidak berarti”. Lalu hal ini dilaporkan kepada Ja’far bin Sulaiman, penguasa Madinah, paman Khalifah al-Mansur (136-148 H). Implikasi dari pendapat hukum imam Malik ini adalah bahwa pembai’atan kepada Ja’far tidak sah.[11]
Dari data di atas kita dapat melacak bahwa imam Malik hidup pada masa transisi dari kekhalifaan Umayyah ke kekhalifaan Abbasiyyah. Pada periode Umayyah dan awal periode Abbasiyyah ini terdapat dua bentuk keagamaan Islam dan perkembangan kultural: bentuk pertama adalah kalangan istana, dan bentuk kedua adalah komunitas perkotaan yang heterogen. Yang disebutkan pertama, Islam mengekspresikan identitas politik khalifah dan elit politik. Pada sisi lain, Islam  berkembang sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai sosial masyarakat Muslim perkotaan.[12] Melihat dua arus bentuk keagamaan ini, dapat dimaklumi mengapa imam Malik harus bersikap “kaku” terhadap sumber hukum yang menjadi rujukannya.
Di sisi lain, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa sekalipun wilayah Madinah merupakan wilayah terpenting dalam sejarah Islam, kekuasaan Islam tidak lagi di Madinah. Artinya secara perpolitikan Madinah sudah tidak diperhitungkan lagi. Otoritas politik bergeser dari Madinah ke Kuffah kemudian ke Damaskus dan kemudian belakangan berkembang ke Bagdad. Peran Madinah dalam hal ini hanya berada pada bidang pengetahuan keislaman. Dengan adanya pergeseran kekuasaan atau pusat pemerintahan ini, banyak atau sedikit, tentunya, berpengaruh juga pada perubahan struktur dan perubahan masyarakat. Dan perubahan stuktur dan perubahan masyarakat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum yang dibuat. Hal ini dapat dilihat, misalnya bagaimana tingkat urbanisasi Kuffah dan Baqdad telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat hukum Islam Hanafi yang rasionalis. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa Bagdad jauh dari pusat Hadis.[13] Contoh lain adalah bagaimana perbedaan lingkungan geografis Basrah dan Mesir telah mendorong qaul qadim dan qaul jadid bagi imam asy-Syafi’i. Dalam kontek Indonesia dapat dicontohkan bagaimana fatwa-fatwa keagamaan Majelis Ulama Indonesia tahun 1975-1988, yang merupakan lembaga bentukan pemerintah, telah melahirkan fatwa-fatwa yang beragam. Dari 22 fatwa yang keluar dari tahun tersebut sebanyak 8 fatwa yang menunjukan adanya pengaruh kuat dari pemerintah, 11 yang bersifat netral, dan hanya 3 fatwa yang menentang kebijakan pemerintah.[14] Walaupun disebutkan bahwa MUI berusaha untuk netral dalam membuat keputusan hukum, secara grafik menunjukan bahwa fatwa yang mendukung kebijakan pemerintah lebih banyak dibandingkan dengan fatwa yang melawan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, adanya kedekatan dengan kekuasaan atau pemerintahan dan adanya perubahan struktur sosial sangat berpengaruh pada keputusan hukum.
Dengan mempertimbangkan kenyataan di atas dan melihat kondisi perpolitikan Madinah pada saat itu, wajar bila imam Malik tetap mempertahankan eksistensi ulama Madinah bahkan masyarakat Madinah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Pendapat imam Malik ini adalah menjadikan konsensus ahli Madinah sebagai bagian dari teori penemuan hukum dan menjadikan wilayah geografis tertentu memiliki kapasitas yang bersifat melekat untuk memberikan validitas suatu hukum dan otoritas pada produk-produk ijtihad. Tentu saja prinsip penemuan hukum seperti ini tidak dapat disetujui oleh ulama lainnya.[15] Namun, bagaimanapun, kenyataan ini menunjukan bahwa imam Malik ingin mempertahankan eksistensi wilayah Islam yang terpenting dalam sejarah peradaban Islam di satu sisi dan sekaligus mempertahankan eksistensi ulama Madinah yang cenderung “terpinggirkan” setelah beralihnya kekuasaan Islam ke wilayah Kufah dan Bagdad di sisi lain. Hanya dengan cara inilah nampaknya, secara politik hukum, eksistensi itu dapat dipertahankan dengan baik. Dalam satu kutipan dikatakan bahwa Syu’aib bin Harb pernah bertanya kepada imam Malik mengapa ia tidak meriwayatkan apapun dari orang-orang Iraq? Ia menjawab bahwa para orang tuanya (ashlaf) tidak pernah meriwayatkan sesuatu apapun dari ulama Irak, sehingga para pemuda Madinah juga tidak menerima apapun dari orang tua mereka.[16] Walaupun imam Malik tidak mempunyai persoalan dengan ulama Basrah, Bagdad dan Kuffah, tetapi tetap saja rasa ashabiyyah terhadap ulama Madinah sangat menonjol dan diutamakan.
Beralih pada karya besar imam Malik dapat dilacak juga sejauh mana pengaruh sosio-politik dalam penyusunannya. Latar belakang penyusunan al-Muwatta’, menurut beberapa versi, sebagaimana yang diungkapkan N.J.Coulsen adalah karena faktor politik dan sosial keagamaan. Kondisi yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-Abbasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (khawarij, Syi’ah, keluarga Istana) yang mengancam integrasi kaum muslim. Terjadinya perbedaan pemikiran yang berkembang pesat yang kemudian melahirkan peluralitas yang penuh konflik.[17] Versi lain mengatakan bahwa penyusunan kitab ini didasari atas permintaan khalifah Ja’far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang prihatin dengan perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang pada saat itu. Namun, bentuk final kitab al-Muwatta’ merupakan hasil dari pergumulan dan penyebaran imam Malik terhadap pengetahuan tradisi Madinah selama masa hidupnya, dan kitab ini merupakan hasil dari penyaringannya. Dalam kitab ini, imam Malik memenuhi paragrapf-paragraf dengan ijtihadnya sendiri walaupun ia tidak henti-hentinya menyeruhkan “praktek yang dilakukan kaum muslim di Madinah.”[18] Karya imam Malik ini tentunya berorientasi pada pengukuhan tradisi, yaitu kumpulan dari prinsip-prinsip, arahan-arahan dan preseden yang telah disepakati yang mapan sebagai tradisi Madinah.[19]
Pengukuhan tradisi dalam ajaran usul fikih bukanlah hal yang baru karena ditemukan prinsip al-‘adah muhakkamah sebagai legitimasi kebolehan menerima tradisi setempat sepanjang tidak bertentangan dengan sumber hukum al-Qur’an dan sunnah Nabi yang terpercaya. Berutungnya, tradisi Madinah sebagaian besar, untuk tidak mengatakan keseluruhan, merupakan kepanjangan dari tradisi yang hidup pada masa Nabi. Dengan kata lain, tradisi masyarakat Madinah yang dipegang sebagai sumber hukum sangat berdekatan dengan sunnah yang hidup pada masa Nabi. Penjelasan ini akan diuraikan pada bagain selanjutnya.
Imam Malik dalam Muwatta’-nya sering mengutip Hadis dan pendapat-pendapat hukum dari sumber-sumber, menunjukan penghargaannya yang tinggi terhadap mereka sebagai representasi dan rujukan bagi tradisi pengetahuan Madinah serta kepercayaannya yang tuinggi terhadap tradisi tersebut. Beberapa informasi menujukan bahwa imam Malik bergantung pada konsesnsus ahli Madinah  yang terefleksikan dalam isnad yang terdapat dalam kitab Muwatta’.[20] Alasan yang logis mengapa imam Malik bersikukuh bersandar pada tradisi Madinah adalah peran penting Madinah dalam sejarah pedaban Islam. Diantara peran penting Madinah dapat dicatat: pertama, karena ia memiliki ulama, dan kedua, karena ia memiliki keterkaitan-keterkaitan historis dengan Nabi dan para sahabat, khususnya khalifah ar-rasyidun.[21] Namun, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, pengaruh sosial dan politik tetap dipertimbangkan sebagai pengaruh yang potensial membentuk keyakinan dalam penetapan sumber hukum Islam berupa ‘Amal ahl al-Madīnah.
Menurut Ahmad Amin[22] keyakinan imam Malik untuk memegang hadis dan berdalil dengan tindakan-tindakan ahl al-Madīnah merupak keistimewaan bila dibandingkan dengan tradisi Abu Hanifah. Untuk melihat keistimewaan ini harus ada perbandingan dalam bidang hukum tentang keputusan imam Malik dan imam Abu Hanifah. Contohnya imam Abu Hanifah memperbolehkan memulai shalat dengan bahasa Persi sebagai ganti Allahu Akbar dengan bahasa Arab walaupun orang yang melakukan tersebut fasih dalam berbahasa Arab, dan hal ini tidak disetujui imam Malik dan imam asy-Syafi’i.[23] Dalam kasus lain tentang puasa enam hari di bulan syawal, imam Malik keberatan untuk menetapkan hukum sunnah pada pelaksanaanya. Beliau cenderung memakruhkan melaksanakan puasa ini. Az-Zarqāni menjelaskan bahwa salah satu keberatan Imam Malik adalah karena Imam Malik tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu dan fiqh di Madinah pada masanya yang melakukan puasa ini.[24] Dari sini, kita sudah mendapat gambaran bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi keputusan hukum Islam, bahkan dalam persoalan ibadah yang cenderung sensitif. Pengaruh lingkungan dalam menetapkan suatu hukum akan terjadi jika suatu nash masih diperselisihkan, sedangkan bila suatu nash tidak diperselisihkan maka keadaan sekelilingnya tidak boleh mempengaruhi pembentukan hukum. Dalam hal ini Amin menunjukan contoh pendapat imam Abu Hanifah bahwa nasab (famili) dalam perkawinan dianggap sekufu’, dan oleh karena itu menurut Abu Hanifah semua suku Quraisy sekufu’ dan tidak semua bangsa Arab sekufu’ dengan suku Quraisy. Seorang Mawali (bukan Arab asli) tidak sekufu’ dengan orang Arab, dan imam Malik mengatakan bahwa sekufu’ itu tidak ada kecuali dalam keyakinan. Ia mengutip hadis Rasulullah bahwa manusia itu seperti gigi sisir; tidak ada kelebihan seorang Arab atas orang asing, keutamaan itu hanya pada ketakwaan.
C. Sunnah dan Praktek  Ahl al-Madīnah sebagai Sumber Hukum
Walaupun al-Qur’an merupakan sumber hukum yang utama di kalangan umat Islam, namun dalam berbagai hal, tidak jarang justru sunnahlah yang megang peran yang tak kalah pentingnya. Sebagaian peneliti-peneliti terdahulu, terutama dari kalangan orientalis, berkesimpulan bahwa hukum Islam dibentuk melalaui sunnah atau hadis yang baru muncul pada abad ke dua Hijriah. Sedangkan al-Qur’an hanya diambil dalam kesimpulan yang sekilas saja. Dengan kata lain mereka mengatakan bahwa pada abad pertama Hijrah hukum Islam tersebut belum ada.[25] Namun, sekalipun pendapat ini janggal dan tidak didasari pada kenyataan bahwa al-Qur’an dipegang oleh umat Muslim awal sebagai sumber ketetapan hukum,[26] kenyataan yang ada menunjukan adanya peran penting, bahkan terpenting, sunnah atau hadis sebagai sumber hukum dalam membentuk formulasi hukum Islam. Kenyataan ini ditunjukan oleh peran-peran ulama abad ke dua Hijriah yang mencoba merumuskan aturan-aturan hukum yang didasari pada ketetapan sunnah, sekalipun dengan tidak mengabaikan al-Qur’an.
Dalam berbagai karya tulis, dapat diketahui bahwa ada dua aliran yang berkembang pada masa awal pembentukan hukum Islam, dalam arti tersistematis, pada abad ke dua. Kedua aliran tersebut adalah aliran rasionalis dan tradisionalis. Aliran pertama dikatakan berkembang di wilayah Irak dan sekitarnya yang salah satu tokoh utamanya adalah Abu Hanifah, sedangkan aliran kedua berkembang di wilayah Madinah, Mekkah dan sekitarnya yang salah satu tokoh pentingnya adalah Malik bin Anas. Kedua aliran ini sama-sama menjadikan sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dengan porsi yang berbeda. Kalangan rasionalis seakan-akan lebih selektif dalam menggunakan sunnah sehingga ditemukan dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan kalangan tradisonalis lebih banyak mengumpul sunnah sebagai penetapan hukum, bahkan sekalipun dikatakan bahwa sunnah tersbut bersetatus lemah.
Sebelum perumusan konsep sunnah dilakukan oleh imam asy-syafi’i,[27] sunnah dipahami sebagai sebuah konsep prilaku –baik yang diterapkan kepada aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Atau juga sebuah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang-ulang kali.[28] Sunnah di sini dibedakan dengan hadis. Karena hadis (secara harfiah berarti ceritera, penuturan, dan laporan) dipahami sebagai sebuah narasi yang berisi dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui, dan juga informasi tentang shahabat terutama shahabat senior.[29] Berdasarkan bukti-bukti sejarah, kata sunnah yang artinya “tradisi atau kebiasaan yang berlangsung secara lisan dan turun temurun”, telah ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Sunnah tersebut mengandung banyak hal antara lain berupa kebiasaan praktis sehari-hari, prosedur atau transaksi tertentu, perbuatan dan aturan-aturan tertentu yang mengikat seluruh anggota masyarakat.[30] Hanya saja ketika telah terjadi sistemisasi sumber hukum Islam, sunnah dipahami sebagai segala sesuatu dari Rasulullah dalam kapasitas sebagai pembentuk syari’at selain al-Qur’an berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau apapun yang layak menjadi dalil bagi hukum syar’i.[31] Dengan demikian, sunnah dalam pengertian yang paling dasar berarti sesutu yang telah diterima dan metradisi di kalangan masyarakat atau juga merupakan pandangan hidup dan sesuatu yang telah dan sedang diikuti oleh masyarakat tertentu.[32]
Pemahaman terhadap sunnah di atas, dalam pengertian dasar, akan menunjukan bahwa begitu besarnya pengaruh sosial dalam membentuk suatu tradisi yang dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sumber hukum. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan teori sosiologi hukum bahwa perubahan sosial dapat mempengaruhi hukum, maka ada kemungkinan besar untuk memahami bahwa ada pergeseran dalam batas-batas tertentu antara ketentuan hukum Islam yang ada, bahkan sumber hukum Islam. Pergeseran yang dimaksud bukan dalam pengertian peralihan tetapi dimkanai perluasan. Sehingga dalam banyak hal kita dapat melihat, dalam pembahasan ini, bagaimana imam Malik bin Anas mencoba untuk mempertahankan tradisi ahli Madinah (‘Amal ahl al-Madīnah) sebagai sumber hukum, sekalipun mendapat kritik yang tajam dari ulama-ulama lain semisal imam al-Lais bin Sa’ad al-Misri.[33]
Fazlur Rahman mulai melihat pengertian sunnah dalam kitab Muwatta’ imam Malik dengan menganalisa hadis yang dikutip imam Malik. Dalam penjelasannya ia mengatakan:
 Malik mengutip sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menjamin hak syuf’ah (hak seseorang untuk membeli harta kekayaan bagian partnernya dari harta yang mereka miliki bersama) kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya. Kemudian Malik menyatakan: “Dan hal ini merupakan sunnah bagi kita”. Setelah itu ia mengatakan bahwa mengenai syuf’ah kepada seorang ahli hukum yang terkenal di Madinah, Sa’id bin al-Musayab pernah ditanyakan: “Adakah sunnah mengenai syuf’ah?” dan ia menjawab: “Ya! Tetapi syuf’ah hanya berlaku untuk rumah dan tanah.....”
Di sini kita harus memperhatikan perbedaan yang jelas di antara kedua penggunaan istilah “sunnah” di dalam pernyataan-pernyataan “Dan hal ini merupakan sunnah bagi kita” dan “Adakah sunnah mengenai syuf’ah?” Di dalam pertanyaan yang pertama sunnah berarti “praktek” atau “peraktek yang dilakukan kaum Muslimin di Madinah pada masa itu”. Tetapi pernyataan ini tidak cocok dalam pernyataan yang kedua karena mengenai sesuatu praktek yang telah kita sepakati secara bersama kita tidak akan bertanya: “Adakah sunnah mengenai hal ini?” Jadi dalam pernyataan yang kedua di atas sunnah harus berarti preseden yang “otoritatif” atau “normatif”. Tetapi preseden normatif dari siapakah sunnah tersebut? Jelas sekali dalam hal ini yang disebut dengan sunnah adalah sunnah nabi atau sunnah dari setiap otoritas berikutnya yang bersunber dari sunnah Nabi, karena kami telah membuktikan bahwa praktek orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam tidak dapat dipandang sebagai normatif. Apabila sunnah tersebut bersumber dari Nabi maka jelaslah mengapa Ibn al-Musayyab di dalam jawabannya tersebut. Jadi jelaslah bahwa sunnah tersebut dapat bersumber dari salah satu di antara para sahabat atau otoritas dari generasi sesudah mereka walaupun sunnah tersebut tidak terpisah dari konsep sunnah nabi secara garis besarnya. Selanjutnya, sehubungan dengan syuf’ah perkataan sunnah di dalam kedua pernyataan di atas secara bersama-sama berarti (1) suatu preseden yang patut dijadikan teladan dan yang pada masa Malik berubah menjadi (2) suatu praktek yang telah disepakati bersama.[34]

Penjelasan Rahman di atas menunjukan bahwa sejak awal imam Malik sudah membedakan antara sunnah dalam pengertian literal dan sunnah dalam pengertian teladan dari Nabi. Sekalipun tidak ada penjelasan yang pasti apakah benar imam Malik membedakan dua pengertian seperti yang digambarkan Rahman, namun dari penjelasan tersebut tergambar bahwa memang ada pembedaan secara substansi antara dua term sunnah. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sunnah yang hidup dan terbentuk oleh tradisi kaum muslim setelah Nabi juga menjadi sunnah, namun secara konsepsional dan secara garis besar berhubungan erat dengan sunnah Nabi. Bagi Rahman kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslimin di masa lampau sebagian besar merupakan produk kaum muslim sendiri dan unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah nabi.[35] Dengan demikian sunnah, ijtijhad dan ijma’ memiliki kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kalau teori di atas dapat diterima, akan kita tinjau untuk meihat posisi ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum dalam teoresasi hukum Islam imam Malik. Seperti sudah dijelaskan pada bagain sebelumnya bahwa imam Malik menjadikan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum, maka ‘Amal ahl al-Madīnah lebih dekat dengan ijma’ ulama Madinah. Namun, imam Malik menolaknya, sebab dalil ijma’ tidak mengkhususkan ‘Amal ahl al-Madīnah, akan tetapi mencakup ummah (muslim seluruhnya), demikian Ibn Khaldun. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan bahwa ijma’ tidak lain adalah konsensus atas persoalan keagamaan melalui ijtihad. Dan imam Malik tidak menganggap praktek ahl al-Madīnah termasuk ke dalam pengertian ini. Dia hanya menganggap sebagai panutan suatu generasi terhadap generasi sebelumnya melalui observasi langsung, sehingga sampai pada pembawa syari’at, Nabi Muhammad saw. [36]
Apa yang didifinisikan Ibn Khaldun sebagai ijma’ merupakan suatu teori hukum yang mustahil terlaksanakan. Untuk itu, mengutip dari Hallaq, Shahsi Hanafiyyah (w.334/955) menetapkan empat model konsensus yang secara epistemologi dan kronologi menunjukan tingkatan yang bertingkat-tingkat. Setidaknya ada empat model: pertama adalah konsensus Sahabat, yang dalam perjalanannya terdiri dari dua dua jenis sub: (1) konsesnsus keseluruhan mereka dalam aturan yang ditetapkan secara jelas dalam sumber yang ada; dan (2) konsensus sebagian mereka, diam sebagain mereka, dan absen dari keberatan sisanya. (dua sub-tipe tersebut, harus dikatakan, nampak untuk membenarkan dan merasionalisasikan bagian yang baik dari hukum Hanafiyyah yang secara original didasarkan pada dasar praktek masyarakat Iraq dan sunnah yang diinspirasi Sahabat.) Kedua adalah konsensus generasi berikutnya baik pada opini yang disampaikan oleh Sahabat maupun pada seseorang yang disampaikan oleh generasi itu sendiri. Tipe yang ketiga adalah konsensus generasi ulama ketiga, yang menghasilkan pengetahuan equivalent yang menghasilakan persambungan transmisi hadis yang disebut juga hadis terkenal (masyhur), jelasnya katagori transmisi Hanafiyyah itu berdiri antara model hadis ahad dan hadis mutawatir. Terakhir, tipe keempat konsensus tersebut adalah konsensus generasi berikutnya tentang satu opini yang dihubungkan dengan ulama generasi yang lebih awal (tetapi tetap bersubjek pada perselisihannya). Tipe ini mencakup tingkatan kemungkinan pengetahuan, sama seperti yang dihasilkan oleh laporan hadis ahad.[37] Jika mengikuti model pembagain Shahsi ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan praktek ahli Madinah dikatagorikan bagian dari ijma’ atau konsensus.
Bagi imam Malik, keterkaitan dengan praktek ahli Madinah dan sunnah Nabi, penduduk Madinah ditempatkan sebagai golongan yang paling tahu tentang sunnah Rasul, nasakh dan mansukhnya. Apabila masyarakat Madinah sepakat dengan suatu prilaku, maka kesepakatan itu lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan qiyas dan khabar ahad (walaupun shahih). Kalaupun bukan kesepakatan, prilaku mayoritas dapat diperhitungkan karena kesepakatan orang banyak dalam bentuk prilaku nilainya sama dengan priwayatan mereka.[38] Dari sini, sumber hukum berupa praktek yang disepakati oleh ahl al-Madīnah yang sebelumnya diyakini memiliki hubungan secara garis besar ke sunnah Nabi telah berevolusi menjadi sunnah yang hidup dalam masyarakat Madinah. Dengan demikian, kemungkinan jika terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat yang kemudian merubah kebiasaan hukum dalam ruang lingkup qur’an dan sunnah Nabi, akan mempengaruhi sunnah yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tentunya menjadi alasan pembenar bahwa imam Malik ketika memutuskan untuk menjadikan praktek ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum secara tidak langsung menggunakan sunnah dalam pengertian sunnah yang hidup dalam masyarakat (living tradition).
Dalam penjelasan lain Rahman sekali lagi menunjukan beberapa kasus yang menunjukan latar belakang situasional yang menggambarkan perkembangan “sunnah yang hidup”.
Pada masa Umar muncul problem sosiologis dan politis yang besar di Madinah dan wilayah taklukan, disebabkan oleh penaklukan yang besar dan tiba-tiba. Secara sosiologis, problem terbesar adalah semangkin meningkatnya jumlah budak dan budak perempuan, atau tawanan laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, seorang budak yang di bawah kontrak diperbolehkan oleh tuannya untuk membeli kebebasannya dengan cara mengangsur yang disebut mukatāb (budak yang melakukan kontrak demi kebebasannya). Orang ini diperkirakan tidak dibawa tekanan hukum apapun untuk memperbolehkan budaknya membeli kebebasannya. Namun, hal ini tidak diragukan didorong oleh kebijakan negara. Bagaimanapun, persoalannya adalah sekali seorang budak melakukan kontrak demi kebebasannya, apakah ia bisa membayar sekaligus semua angsurannya dan membebaskan dirinya tanpa melakukan angusran,
Malik mengatakan: “farafisah ibn Umair al-Hanafi memiliki seorang mukatāb, farafidah menolak tawaran tersebut. Si mukatāb datang kepada Marwan yang saat itu adalah gubernur Madinah, dan mengajukan permohonan kepadanya. Marwan memanggil farafisah dan memerintahnya untuk menerima tawaran tersebut namun ia kembali menolak. Marwan menegaskan bahwa uang kontrak harus diambil dari budak tersebut dan diberikan untuk keuangan publik, sementara kepada si budak ia mengatakan: “pergilah! Engkau bebas.” Mengetahui hal itu farafisah mengambil uang tersebut.
Mengomentari hal tersebut Malik mengatakan: oleh karenanya, praktek kita yang telah mapan (al-‘amr: Malik menggunakan istilah al-‘amr, “as-sunnah” dan “al-‘amr al-mujtama’ ‘alaih” sebagai istilah yang equivalen dengan praktek atau sunnah Madinah) adalah apa yang ketika keadaan tertentu memungkinkan mukatāb membayar semua hutangnya, bahkan sebelum dia berhutang, diperbolehkan untuk melakukannya dan tuannya tidak boleh menolak...
Ada dua hal yang ditegaskan dalam kasus ini: pertama, menerangkan langkah yang diambil oleh otoritas negara untuk memberikan hak kepada budak. Kedua, ilustrasi nyata yang akan memperkuat kenyataan bahwa Sunnah, yaki praktek komunitas yang hidup bukanlah karya Nabi sebagaimana klaim doktrin fikih pasca asy-Syafi’i, namun merupakan hasil hasil dari pemikiran yang progresif –dan aktifitas orang-orang Islam yang mengambil keputusan. Dalam hal ini, keputusan Marwan ibn Hakam merupakan praktek atau sunnah.[39]

Contoh yang digunakan Rahman menunjukan bahwa sunnah dalam pengertian yang sudah dikemukakan sebelumnya, secara tidak langusng, telah memberikan penalaran hukum yang lebih kontekstual pada masanya dan cenderung mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat. Imam Malik pun dapat dikatakan menggunakan kearifan lokal Madinah, karena terkait langsung dengan kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat yang dibangun Nabi, sebagai teori penemuan hukum dalam kajian ushul fikih. Namun, sekalipun demikian, ijtihad-ijtihad yang dikatakan Rahman sebagai hasil pemikiran yang progresif dan aktifitas orang-orang Islam harus disepakati untuk diterima oleh masyarakat muslim Madinah. Penerimaan ini adalah ijma’.
Ijma’ memainkan peran penting dalam proses integrasi masyarakat muslim. Setidaknya sifat inheren dalam ijma’ telah membantu memantapkan dogma dan doktrin, dan mengamankan struktur Islam.[40] Ijma’ pada mulanya diperkenalkan sebagai sebuah doktrin untuk mendukung struktur politik abad kedua Islam. Kemudian munculnya golongan ulama yang merupakan perkembaangan yang alamiyyah dan selanjutnya, karena memberikan bimbingan pada masyarakat, mendapatkan prestis tinggi. Para ulama diakui sebagai wakil masyarakat dalam agama dan hukum, terutama dalam menghadapi otoritas negara. Ijma’, pada abad ke dua dianggap sebagai kekuatan yang mengikat.[41] Jika beranjak dari keyakinan awal bahwa, walaupun masih diperdebatkan, praktek ahl al-Madīnah sebagai suatu konsensus ulama Madinah atau masyarakat Madinah, maka dapat dianalisa lebih jauh mengapa imam Malik menjadikan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum.
Beranjak dari perpindahan pusat pemerintah yang kemudian melemahkan peran politik Madinah, praktek ahl al-Madīnah merupakan usaha imam Malik tidak hanya untuk pelegitimasian hukum dengan alasan ketersambungannya dengan sunnah Nabi tetapi juga cenderung merupakan reaksi politis yang berperan penting agar ulama Madinah tetap memiliki eksistensi yang patut diperhitungkan secara politik. Lebih dari itu, usaha untuk meligitimasi tradisi ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum merupakan upaya nyata seorang ulama besar untuk mengintegrasikan masyarakat Muslim di satu sisi dan menjawab persoalan hukum yang ada yang bersifat kontekstual pada masanya. Sehingga, analisa Coulsen tentang penyusunan kitab al-Muwatta’ lebih disebabkan karena persoalan sosial dapat diterima mengingat konsep ‘Amal ahl al-Madīnah yang kita anggap konsensus berfungsi juga sebagai alat untuk meminimalisir terjadinya disintegrasi umat Islam pada periode transisi dari daulah Umayyah ke daulah Abbasiyyah.
Praktek  ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum dapat dilukiskan sebagai berikut:

Oval: Praktek Ahl MadinahOval: Ijma’

Dari gambar di atas menunjukan bahwa praktek ahl al-Madīnah merupakan bagian salah satu dari empat model ijma’ yang memiliki hubungan kuat dengan sunnah Nabi, sunnah otoritas setelah Nabi dari kalangan Shahabat dan juga memiliki hubungan dengan al-Qur’an secara garis besar. Selain itu praktek ahl al-Madīnah juga sangat erat kaitannya dengan ijtihad. Dalam pandangan mazhab Maliki sendiri ‘Amal ahl al-Madīnah ini ada 2 macam, yaitu ‘Amal ahl al-Madīnah yang asalnya dari an-Naql, yang merupakan contohan dari Nabi SAW dan ‘Amal Ahl al-Madīnah yang diijtihadkan oleh penduduk Madīnah.[42] Dalam wilayah ijtihad inilah aspek sosial dan politik sangat mempengaruhi keputusan hukum tertentu walaupun secara garis besar ijtihad harus memiliki keterkaitan dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Proses penerimaan ijtihad inilah kemudian membentuk ijma’ dan dalam konteks Madinah membentuk tradisi ahl al-Madīnah. Aspek sosial dan politik sangat menentukan peroduk ijtihad dengan proses berkesinambungan membangun tradisi hukum yang kontekstual pada masanya. Dengan demikian, ada kemungkinan perubahan sosial dalam masyarakat mempengaruhi perubahan hukum.
D. Kesimpulan
Teori hukum Imam Malik tentang penggunaan ‘Amal ahl Madinah, sejauh ini, merupakan contoh yang memadai dimana terjadinya kesinambungan hukum Islam dengan realitas sosial. Tidak adanya peraktek ahl al-Madīnah menunjukan bahwa ada keraguan terhadap suatu produk hukum, dan adanya praktek ahl al-Madīnah menujukan bahwa tidak ada keraguan terhadap produk hukum. Praktek ahl al-Madīnah sendiri dibangun atas dasar ijma’ lokal yang kemungkinan mengandung tradisi Nabi yang diwariskan di satu sisi dan mengandung kearifan lokal di sisi lain, dan juga dibangun atas dasar ijtihad penduduk Madinah. Pada wilayah ijtihad inilah pengaruh sosial dan politik masuk.
Salah satu alasan mengapa imam Malik bersih teguh memegang sunnah Nabi dan Sunnah penduduk Madinah adalah karena alasan politis, disamping alasan normatif, yaitu perpindahan kekuasaan Islam ke luar Madinah yang cenderung melemahkan posisi penting Madinah secara politis dan memberi perubahan secara sosial. Sebagai upayah mengukuhkan peran Madinah, imam Malik menjadikan sunnah Nabi dan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai landasan hukum yang otoritatif, walaupun bukan satu-satunya. Dengan demikian, aspek sosio-politis menyatu dalam sumber hukum yang dibingkai dalam kerangka normatif.   



















BIBLIOGRAFI
‘Ajamī, Abū Yazīd Abū Zaid al-, Al-Fuqahā' Buhūś al-'Aqīdah al-Islāmiyah: al-Mauqif wa al-Manhaj, Mesir: Dār al-Hidāyah, t.t.
Amin, Ahmad, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran di Kalangan Umat Islam Sejak Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
Anwar, Samsul, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal Profetika, Vol. 4, No.1, Januari 2002
Azami, Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadis, alih bahasa: A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992
Bik, Hudari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum Islam), alih Bahasa: Mohammad Zuhri,Indonesia: Daarul Ihya, tt.
Coulsen, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa: Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987
Coulson, Noel J, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein, Yogyakarta: Navila, 2001
Do’I, Abdur Rahman I., Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rike Cipta, 1993
Dutton, Yasin,  Asal Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M. Mansur, Yogyakarta: Islamika, 2003
Goiten, S.D., “The Bird-Hour of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1 (1960)
Hallaq, Wael B., The Origines and Evolution of Islamic Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2005
Hasan, Ahmad, Ijma’, alih bahasa: Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1985
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Sa’id dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Jabiri, Muhammad Abed al-, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu’air, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1989
Judith Romney Wegner, “Islamic and Talmudic jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal History, vol. XXVI (1982)
Khatibi, Muhammad 'Ajaj al-, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa: Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Maraghi, Abdullah Mustofa al-, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001
Minhaji, Akh., “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minorotas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000, hlm. 337
Mudzhar, Muhammad Atho’, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach, Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003
____________, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
____________, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Setudi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi bahasa, Jakarta: INIS, 1993
___________, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Power, David S., Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of inhetitance, Barkeley: University of California Press, 1986
Rahman, Fazlur, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad Baidowi, dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Hadis Kontemporer, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002
____________, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka, 1994
____________, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin, bandung: Pustaka, 1995
Şan‘ānī, Muhammad bin Ismā‘īl al-Kahlānī aş-, Subul as-Salām , Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.
Schachat, Joshep, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon Press,1950
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo, Yogyakarta: Islamika, 2003
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash-, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Sirāj, Muhammad Ahmad, Al-Fiqh Al-Islamī bain An-Nazar wa At-Taţbīq,(Iskandarīyah: Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah, 1997
Suwaid, Al-Qādi Muhammad, Al-Mażāhib Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa Al-Mażhab Al-Muwahhad, Beirut: Dār at-Taqrīb Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995
Syurbasi, Ahmad, Biografi Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet. 2, Solo: Media Insani Press, 2006
Zahrah, Muhammad Abu, Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah, Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.
________, Mālik Hayātuhu wa ‘Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh, Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.
Zarqāni, Muhammad az-, Syarh az-Zarqāni ‘Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik, Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1411 H/1990 M
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintas Sejara,h(Jakarta: Raja Grafindo, 1997


* Penulis adalah Dosen STIH Pertiba Pangkalpinang, alamat: Jl.Kampung Melayu Rt.05/Rw.02 Tuatunu Indah Kota Pangkalpinang, e-mail: juan_diey100384@yahoo.com
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu’aṣir (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1989), hlm. 13
[2] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 1; Samsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal Profetika, Vol. 4, No.1, Januari 2002, hlm. 123.
[3] Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm.. 120
[4] Pengecualian mislanya apa yang telah dilakukan Umar bin Khatab dalam menyelesaikan beberapa kasus yang cenderung keluar dari mainstrim wahyu.
[5] Analogy perjelasan munculnya sumber-sumber hokum setelah al-Qur’an dikemukakan Fazlur Rahman dengan menggunakan logika Aristoteles. Lihat: Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2 (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 90
[6] Dikatakan mungkin karena terdapat perbedaan riwayat tahun kelahiran Imam Mālik ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa Imam Mālik lahir pada tahun 90 H, dan ada yang mengatakan tahun 93 H, 94 H, 95 H, 96 H atau 97 H. tetapi menurut Abu Zahrah pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 93 H merupakan riwayat yang paling kuat (arjah). Muhammad Abu Zahrah, Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah (Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.), II: 176; idem, Mālik Hayātuhu wa ‘Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh (Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.), hlm. 22. Bandingkan dengan Ahmad Syurbasi, Biografi Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet. II (Solo: Media Insani Press, 2006), hlm. 125-126; dan Abū Yazīd Abū Zaid al-‘Ajamī, Al-Fuqahā' Buhūś al-'Aqīdah al-Islāmiyah: al-Mauqif wa al-Manhaj (Mesir: Dār al-Hidāyah, t.t.), hlm. 128-129
[7] Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum Islam), alih Bahasa: Mohammad Zuhri (Indonesia: Daarul Ihya, tt.), hlm. 419
[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa Husein Muhammad (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm 79-80
[9] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, alih bahasa: A.Yamin (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 132
[10] Ibid., hlm. 133
[11] al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh..., hlm. 81; Syurbasi, Biografi Empat Imam.., hlm. 156
[12] Ira. M.  Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa: Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 124
[13] Muhammad Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach (Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003), hlm. 95; idem, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 107
[14] Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Setudi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 142-143; idem, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 253
[15] Wael B. Hallaq, The Origines and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 140
[16] Abdur Rahman I.Do’I, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam (Jakarta: Rike Cipta, 1993), hlm. 154
[17] Noel J.Coulsen, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa: Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 59
[18] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (bandung: Pustaka, 1995), 21-2
[19] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M. Mansur, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 45.
[20] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam…, hlm. 21
[21] Ibid., hlm. 22-23
[22] Ahmad Amin, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran di Kalangan Umat Islam Sejak Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 321-322
[23] Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa imam Abu Hanifah berpendapat bahwa melafalkan takbir boleh dilakukan dengan lafaz yang semakna dengan Allahu Akbar.  Penjelasan lebih rinci dapat dilihat dalam: Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, alih bahasa: Imam Ghazali Sa’id dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), I: 270
[24] Muhammad az-Zarqāni, Syarh az-Zarqāni Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1411 H/1990 M), II: 270-271; Muhammad bin Ismā‘īl al-Kahlānī aş-Şan‘ānī, Subul as-Salām (Beirūt: Dār al-Fikr, t.t.), II:167
[25] Pendapat ini disimpulkan dari Joshep schachat dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950); idem, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), bagian pertama terutama hlm. 11-27. Lihat juga kesimpulan David S.Power dan kritiknya terhadap pendapat ini dalam Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of inhetitance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 1-8 dalam primary research-nya, power mencatat beberapa kaangan yang mendukung pendapat ini antara lain: S. Vesey-Fitzgerald, N.J.Coulsen, G.H.A.Juynboll, dan lain-lain.
[26] Kritik seperti ini dilontarkan oleh: Power, Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 6-7; S.D.Goiten, “The Bird-Hour of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1 (1960), hlm. 23-29
[27] Perumusan konsep sunnah oleh imam asy-Syafi’I merupakan salah bentuk sintesa antara dua aliran besar yang berkembang pada masanya. “The great synthesis” ini telah melahirkan dua persoalan penting dalam perkembangan teori hukum Islam, yaitu munculnya teori-teori hukum dan artikulasi  teori hukum yang fundamental, dan  munculnya formasi doktrin Mazhab. Hallaq, The Origines and Evolution..., hlm. 122
[28] Rahman, Membuka Pintu Ijtihad..., hlm. 1
[29]Rahman, Islam..., , hlm. 68
[30] Akh. Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minorotas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000, hlm. 337; Judith Romney Wegner, “Islamic and Talmudic jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal History, vol. XXVI (1982), hlm. 34
[31] Muhammad 'Ajaj al-Khatibi, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 19
[32] Minhaji, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam:..., hlm. 338
[33] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh...,hlm. 82
[34] Rahman, Membuka Pintu Ijtihad..., hlm. 18-20
[35] Ibid., hlm. 26
[36] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 568-569
[37] Hallaq, The Origines and Evolution.., hlm. 139
[38] Muh.Zuhri, Hukum Islam dalam Lintas Sejarah (Jakarta: Raja Grafindo, 1997), hlm. 106
[39] Fazlur Rahman, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad Baidowi, dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002), hlm. 131-132
[40] Ahmad Hasan, Ijma’, alih bahasa: Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 258
[41] Ibid., hlm. 293
[42] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 212-214; Muhammad Ahmad Sirāj, Al-Fiqh Al-Islamī bain An-Nazar wa At-Taţbīq (Iskandarīyah: Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah, 1997), hlm. 137. Menurut riwayat kebanyakan ulama, Imam Mālik selama hidupnya tidak pernah keluar bepergian dari kota Madinah kecuali hanya untuk berhaji ke Mekkah, sehingga dimungkinkan, hal inilah yang membuat Imam Mālik sangat bergantung sekali kepada ‘amal ahl al-Madīnah ini, sebab beliau sangat kenal dan akrab sekali dengan situasi dan mobilitas sosial penduduk Madīnah. Al-Qādi Muhammad Suwaid, Al-Mażāhib Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa Al-Mażhab Al-Muwahhad (Beirut: Dār at-Taqrīb Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995), hlm. 24; Muhammad Khudari Bek, Tārikh at-Tasyrī…, hlm. 422-423

1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site Review
    We've got our top 6 online casinos where you can gamble with cash. Lucky luckyclub Club offers one of the most fun and secure online casino Live Casino: 300+ Games Rating: 3.8 · ‎Review by LuckyClub.live

    BalasHapus