Rabu, 16 September 2020

 

RESPON MASYARAKAT TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERNIKAHAN USIA DINI

(STUDI KASUS PERNIKAHAN USIA DINI DI DESA NIBUNG

KEC. KOBA KAB. BANGKA TENGAH)


 

1.1          Latar Belakang

Usia perkawinan di beberapa wilayah bahkan beberapa negara terus menjadi perdebatan menarik. Keinginan pemerintah agar rakyarnya menikah pada usia yang matang demi menjadikan kehiudpan keluarga berkualitas, dalam kenyataannya, tidak semudah yang dirumuskan. Peroalan mendasar bagai masyarakat adalah agama menetapkan usia akil baligh pada anak relatif bukan dengan usia tetapi  tanda-tanda alam dimana perempuan baligh ditandai dengan menstruasi dan laki-laki ditanadai dengan “mimpi basah”. Disamping aturan agama, bebebrapa budaya syarakat yang lebih suka menikahkan anaknya pada usia mudah menjadi alasan tersendiri sehingga banyak terjadi pernikahan dini di masyarakat tertentu. Bagi orang tua menikahkan anak pada usia mudah setidaknya mengurangi beban moral dimana anak-anak terkadang melakukan tindakan yang berlebihan dalam pergaulan dengan lawan jenis.
Di Indonesia,  dalam ketentuan Undang-undang menyebutkan usia dewasa adalah 21 tahun. Namun, dalam hal batasan usia anak tercantum dalam undang-undang perlindungan anak, yaitu 18 tahun. Berbeda dengan UUPA nomor 23 tahun 2004, Undang-Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 memberikan batas usia minimal seseorang diperbolehkan melakukan perkawinan adalah  apabila laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Pada usia demikian pernikahan boleh terjadi dengan catatan harus mendapatkan izin orang tua atau wali. Sementara perkawinan anak di bawah umur sesuai ketentuan di atas, juga masih diperbolehkan sepanjang ada izin dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama yang akan memberikan keputusan terhadap kematangan biologis, psikologis dan psikis sehingga seorang anak dibawa umur sudah diperbolehkan menikah atau belum. Ketentuan ini menjadi sebuah celah bagi masyarakat untuk menikahkan anaknya yang masih dibawah umur.
Di sebagaian masyarakat Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, terjadi pernikahan dini disebabkan budaya bawaan dari suku tertentu yang memandang bahwa pernikahan dini adalah hal yang wajar. Di sisi lain, ajaran agama yang berkaitan dengan pemahaman fikih yang begitu kuat tidak mudah untuk mengubah paradigma masyarakat dalam hal perkawinan. Selain dua faktor tersebut, tentu masih banyak faktor lain yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Suatu persoalan yang muncul di masyarakat bukan karena satu atau dua faktor tetapi mungkin meruapakan akumulasi dari beberapa hal baik itu keyakinan, budaya, kondisi sosial dan psikologis. Hal-hal tersebut tetunya menjadi menarik bila kita menelisik lebih jauh bagaimana masyarakat, termasuk aparat pemerintah di RT, RW dan desa merespon faktor-faktor tersebut. Terutama terkait dengan UU perkawinan dan UU perlindungan anak. Untuk itulah penelitian ini perlu dilakukan.

 

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai masalah dalam penelitian ini:

1.      Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah?

2.      Sejauh mana pemahaman masyarat terkait pernikahan dini jika ditinjau dari sisi Hukum? Dan bagaimana respon masyarakat?

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Sebagaimana latar belakang masalah dan pokok masalah yang telah dirumuskan di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini pada sebagaian masyarakat Nibung kecamatan Koba Kabupaten Bangka Tengah. Kemudian  penelitian ini juga bertujuan memberikan alternative kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan perkawinan dini yang dimulai dari mendeskripsikan sejauhmana pemahaman masyarakat terkait persoalan ini bila ditinjau dari sisi hukum.

Kegunaan penelitian ini secara teoretis adalah menempatkan usia perkawinan yang ideal bagi masyarakat yang tentunya tidak mengabaikan faktor sosologis dan psikologis masyaakat dalam berumah tangga. Secara praktis penelitian ini berguna memberikan solusi alternatif terhadap kebijakan pemerintah dalam upaya mengatasi kerancuan pemahaman dalam menikah. 

1.4. Kerangka Teori

Tujuan perkawinan dalam Islam yang tersari dari al-Qur’an dan Hadis ada lima, yaitu menciptkan keluarga sakinah mawadah wa rahmah, memenuhi kebutuhan biologis, melahirkan keturunan (regenerasi), menjaga kehormatan dan bertujuan untuk ibadah.[1] Untuk merealisasi tujuan perkawianan tersebut, pemerintah berusaha membuat aturan yang bertujuan mengarahkan masyarakat agar mencapai tujuan yang dimaksud. Beberapa aturan yang secara jelas bertujuan agar perkawinan itu langgeng, walaupun tidak menjamin, diantaranya adalah keharusan menikah dengan satu keyakinan; perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calom mempelai; perkawinan bagi mereka yang belum berusia 21 tahun hanya bisa dilangsungkan bila ada izin orang tua dan izin itu diberikan hanya kepada anak yang berusia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.[2] Bagi umat Islam, aturan ini dipertegas kembali dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa perkawinan Islam hanya sah jika dilakukan menurut hukum Islam, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umura sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri, perkawinan didasari atas persetujuan calon mempelai.[3]

 Persetujuan kedua mempelai menjadikan indikasi kuat bahwa perkawinan itu bukan sebuah paksaan atau perkawinan tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran dan kehendak sendiri. Artinya ketika seseorang sudah siap menikah ia akan sadar bahwa ia sudah siap membina rumah tangga, mengasuh anak-anak, melakukan hubungan suami istri dan menjaga kehormatannya dan kehormatan pasangannya. Perkawinan dalam satu kayakinan bertujuan agar keluarga sakinah dapat direalisasikan, yaitu dengan menyamakan konsep perkawinan yang didasari pad pandnagan agama yang sama. Walaupun ketentuan ini bukn jaminan tercapainya keluarga sakinah, tetpi paling tidak sebagai pintu pembuka untuk merealisasikan keluarga sakinah. Batas usia perkawinan sebagai indikasi bahwa perkawinan harus dilakukan oleh orang

\orang yang matang secara fisik, psikis dan emosional. Karena tantangan berkeluarga kedepannya semangkin hebat, maka kematangan emosional, intelektual, psikis menjadi sarana yang memadai dalam menciptakan keluarga sakinah ma mawadah wa rahmah. Oleh karena itu, sangat wajar bila Kompilasi Hukum Islam memberikan pernyataan penting tentang usia perkawinan, yaitu “untuk kemaslahan berkeluarga dan rumah tangga”.

Dalam hukum Islam pembicaraan kemaslahatan berada pada teori maslahah mursalah. Maslahah dibagai menjadi tiga, yaitu maslahah dhoririyah, maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah.[4] Maslahah dhoruriyah adalah bagain terpenting dalam kajian maslahat dimana agama memberikan jaminan kepada lima hal yang menjadi tujaun disyari’atkannya Islam, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga harta. Poin menjaga keturunan merupakan bagian yang memiliki hubungan langsung untuk menjelaskan bahwa perkawinan yang meruapakan satu-satunya cara menjaga keturunan, harus dilakukan dengan memperhatikan kualitas. Menjamin agar keturunan berkualitas setidaknya diawali dari persiapan calon orang tua yang berkualitas. Berkualitas secara emosional, intelektual dan psikis. Agama menganjurkan agar umat islam tidak meninggalkan keturnan di belakangnya dalam kondisi lemah dan papa. Lemah secara fisik, mental, intelektual dan emosional serta miskin dalam harta. Oleh karena itu, salah satu usahanya adalah dengan mengatur usia perkawinan. Maksudnya masa remaja yang tergambar dalam terminologi anak-anak harus dihabiskan dengan belajar dan mempersiapkan bekal untuk kehidupa dewasanya.

Perkawinan yang dilakukan pada usia muda umumnya minim kesiapan secara fisik, materi maupun mental sehingga menimbulkan dampak yang kurang menjanjikan bagi keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Perkawinan dini memiliki dua dampak yang cukup berat. Dari segi fisik, wanita dibawah umur rawan untuk melahirkan karena tulanggu panggulnya belum cukup kuat sehingga berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu dan anak. Dasi sisi mental, anak dibawah umur memiliki emosional yang labil dan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga perkawinan yang dilakukan pada usia ini menyebabkan tingginya perceraian.[5]

Sisi lain dari persoalan pernikahan dini adalah kondisi sosial yang mana banyak terjadinya kenakalan remaja yang cenderung pada pelangaran aturan hukum dan agama. Aturan agama yang dilanggar adalah seks bebas yang dilakukan anak-anak remaja yang merupakan damapak negatif dari kebebasan informasi termasuk persoalan seksualitas. Memang dalam kaidah agama apabila ada dua mudhorat maka kita diperbolehkan mengambil resiko yang paling kecil.[6]

Secara sosiologis, hukum dan penegakannya tidak lepas dari masyarakat yang selalu memiliki korelasi. Ketentuan usia perkawinan pada dasarnya cukup mengakomodir kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, namun bagaimana menjalankannya sehingga hukum tersebut berlaku efektiif. Efektifikast sebuah hukum ditentukan oleh tiga hal, yaitu aturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, aparat penegakan hukum yang profsional dan kesadaran masyarakat terhadap hukum.[7]

 

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan karena data yang dibutuhkan dalam penelitian ini serta yang menjadi objek kajian ini berupa kasus tertentu yang melibatkan wilayah tertentu.[8] Tepatnya di Desa Nibung kecamatan Koba kabupaten Bangka Tengah. Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitik, yaitu penelitian yang menjelaskan realitas yang ada dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penyebaran angket kepada perangkat desa dan masyarakat. Kemudian dilakukan wawancara (interview) dengan beberapa tokoh agama dan pemuka masyarakat serta beberapa pelaku pernikahan dini. Kemudian data yang sudah terkumpul dianalisi dengan metode kualititaf, maksudnya analisis terhadap data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia dini.

Data yang diperoleh akan didiskripsikan menurut sistematika pembahasan dan selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif dengan penalaran deduktif-induktif. Penalan pertama berangkat dari pernyataan-pernyataan umum untuk kemudian dibuat kesimpulan yang lebih khusus yang biasanya banyak digunakan dalam menafsirkan atau mencari makna dalam naṣṣ. Sedangkan penalaran kedua berangkat dari pernyataan yang bersifat khusus untuk kemudian dibuat suatu kesimpulan yang umum. Penalaran kedua ini berlaku secara umum dalam penelitian empirik.

 

1.6. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini berisikan empat bab yang terdiri dari beberapa sub-bab sebagai penjabaran dari bab-bab yang lebih umum. Pertama, bagian pertama mengemukakan beberapa hal terkait dengan latar belakang masalah yang menjadi kegelisahan akademik dan untuk selanjutnya dirumuskan dalam beberapa pertanyaan. Pembahasan ini dilanjutkan pada tujuan dan kegunaan penelitian, serta kerangka teoritik. Selanjutnya dikemukakan juga metode penelitian dan sistematika pembahasan dalam penelitian ini.

Bab kedua, membahas tentang kondisi objektif persoalan perkawinan usia dini yang terjadi di desa Nibung Kecamatan Koba. Dalam pembahsan ini dikemukakan kondisi geografis desa Nibung dan analisis SWOT (strength, weakness, Opportunity, dan threat) untuk menunjukan kondisi geogarfais. Kemudian akan dibahas persoalan pernikahan dini yang terjadi di desa Nibung kec. Koba.

Pada bab ketiga, berisikan analisis permasalahan yang terjadi terkait dengan pernikahan usia dini. Analisi faktor ini dibagi menjadi beberapa permasalahan, yaitu faktor adat istiadat, faktor intelektual, faktor paradigma dan pemahaman.

Bab keepat adalah penutup. Bagian ini terdiri dari dua, yaitu kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil dari pembahasan keseluruan tema-tema yang telah dikupas sebelumnya dengan mengacu pada dua pertanyaan dasar yang akan dijawab dalam penelitian ini. Sedangkan saran di sini adalah anjuran bagai pemegang kebijakan untuk menyelesaikan persoalan pernikahan ini.

 

BAB II

PERNIKAHAN USIA DINI PADA MASYARAKAT NIBUNG KECAMATAN KOBA

 

2.1.   Desekripsi Desa Nibung

a.      Topografi Desa

Letak geografis desa Nibung berada pada garis bujur 106,324700 dan garis lintang pada  -2,5255,13, jumlah curah hujan di desa nibung 6 bulan/tahun, dan berada pada ketinggian 13,3 mdl diatas permukaan laut.

Desa Nibung adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Koba Kabupaten Bangka tengah Provinsi Bangka Belitung  yang mempunyai luas area desa 6.341,67 Ha, terdiri dari:

a.       Luas pemukiman : 454,94 Ha

b.      Luas perkebunan: 855 Ha

c.       Luas kuburan      : 4 Ha

d.      Luas pekarangan : 60Ha

e.       Perkantoran : 3 Ha

f.       Lain lain : 4964,73 Ha

Dengan batas batas wilayah :

a.       Sebelah Utara : Desa Arung Dalam

b.      Sebelah Selatan : Desa Ranggas

c.       Sebelah Timur:  Koba

d.      Sebelah Barat: Desa Air Bara

Orbitasi atau jarak dari pusat pemerintahan Kota ke Desa Nibung sebagai berikut :

·         Jarak desa nibung ke ibu kota kecamatan 6 Km

·         Dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor 15 menit,

·         Jarak ke ibukota provinsi 60 Km

·         Dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 1 jam              

 

           

b.      Keadaan Demografi

Desa Nibung Kecamatan Koba Kabupaten Bangka tengah Provinsi Bangka Belitung. Dimana jumlah penduduknya terdiri dari 3.739 jiwa atau 979 KK dengan jumlah laki laki 1.919 jiwa dan perempuan 1.820 jiwa dengan jumlah penduduk yang berjumlah 3.739 jiwa berdasarkan pemetaan social dari analitis penyebab kemiskinan yang telah dilakukan didapat:

a.       Jumlah penduduk pra sejahtera: 50 keluarga

b.      Jumlah penduduk sejahtera 1 : 85 keluarga

c.       Jumlah penduduk sejahtera 2 :300 keluarga

d.      Jumlah penduduk sejahtera 3: 489 keluarga

e.       Jumlah penduduk sejahtera 3 plus: 55 keluarga

c.       Potensi Sumber Daya Alam

Desa Nibung mempunyai luas wilayah berdasarkan peruntukannya yang dibagi menjadi pemukiman, perkebunan, kuburan, pekarangan, perkantoran, dan prasarana lainnya. Luas wilayah desa nibung berdasrkan peruntukannya dapat dilihat pada tabel berikut ini

c.1. Luas Wilayah Menurut Peruntukannya

1.      luas pemukiman

454, 94 Ha

2.      luas perkebunan

855 Ha

3.      luas kuburan

4 Ha

4.      luas pekarangan

60 Ha

5.      perkantoran

3 Ha

6.      luas prasarana umum lainnya

4964,73 Ha

7.      total luas

6341,67 Ha

 

c.2.Perkebunan

Penduduk Desa Nibung juga merangkap bekerja di perkebunan, perkebunan memiliki arti strategis untuk menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat komoditas unggulan perkebunan rakyat yang telah ditekuni berabad abad secara turun temurun adalah lada dan karet sedangkan kelapa sawit adalah komoditas yng baru dikembangkan. Luas dan hasil perkebunan menurut jenis komoditas nya dapat dilihat pada tabel berikut.

c.3. Luas Dan Hasil Perkebunan Menurut Jenis Komoditas

JENIS

LUAS (Ha)

hasil ( kw/ Ha)

1.      kelapa sawit

100

240.000 kg

2.      lada

50

50.000 kg

3.      karet

200

180.000 kg

 

c.4.Peternakan

Hasil ternak yang terdapat pada desa nibung adalah sapi, ayam kampung, bebek, angsa, burung puyuh, kelinci. Jenis populasi ternak yang terdapat pada desa nibung dapat dilihat pada tabel berikut.

Jenis Populasi Ternak

JENIS TERNAK

JUMLAH PEMILIK

PERKIRAAN JUMLAH POPULASI

1.      sapi

1 orang

5 ekor

2.      ayam kampung

10 orang

200 ekor

3.      bebek

3 orang

60 ekor

4.      angsa

2 orang

10 ekor

5.      burung puyuh

1 orang

5 ekor

6.      kelinci

1 orang

15 ekor

 

c.5. Pertambangan

Dari semuanya, biji timah adalah sumber daya alam yang paling bernilai di Desa Nibung, mengingat Provinsi Bangka Belitung adalah penghasil biji timah yang paling berkualitas. Bahkan sebagian besar masyarakat Nibung bermata pencaharian sebagai buruh penambang biji timah, atau yang lebih dikenal masyarakat dengan tambang inkonvensional. Hasil sumber daya alam ini memberikan kontribusi yang cukup besar pembangunan nilai ekonomi masyarakat.

 

d. Potensi Sumber Daya Manusia

d.1.Agama

Sebagaimana halnya di beberapa desa, penduduk Desa Nibung memiliki agama yang berbeda-beda, mayoritas masyarakat Desa Nibung memeluk agama Islam dengan jumlah laki laki 1.843 orang dan perempuan 1.745 orang dan yang memeluk agama khatolik 14 orang dengan rincian 9 orang laki laki dan 5 orang perempuan.

d.2.Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena melalui pendidikan terjadi proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai budaya sambil meningkatkan kualitas hidup manusia. Berikut tabel tingkat pendidikan yang ada pada desa Nibung

 

TINGKAT PENDIDIKAN

LAKI LAKI

PEREMPUAN

1.      usia 3-6 tahun belum masuk TK

120 orang

147 orang

2.      usia 3-6 tahun sedang TK/play group

88 orang

76 orang

3.      usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah

45 orang

33 orang

4.      usia 7-18 tahun sedang sekolah

210 orang

220 orang

5.      usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah

30 orang

151 orang

6.      usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak tamat

40 orang

37 orang

7.      tamat SD sederajat

430 orang

440 orang

8.      jumlahusia 12-56 tahun tidak tamat SLTP

160 orang

121 orang

9.      jumlahusia 12-56 tahun tidak tamat SLTA

41 orang

80 orang

10.  tamat SMP sederajat

300 orang

325 orang

11.  tamat SMA sederajat

234 orang

235 orang

12.  tamat D3 sederajat

13 orang

10 orang

13.  tamat S1 sederajat

12 orang

36 orang

TOTAL

3.591 orang

 

d.3.Mata Pencaharian

Pada tingkat pendidikan yang demikian disebutkan diatas maka mempengaruhi mata pencaharian penduduk desa Nibung dimana sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah sebagai buruh penambang timah dan buruh tani dan sisanya adalah sebagai berikut dengan rincian :

1.      Petani : 200 jiwa

2.      PNS : 25 jiwa

3.      Nelayan : 1 jiwa

4.      Montir : 6 jiwa

5.      Bidan swasta : 3 jiwa

6.      Perawat swasta : 2 jiwa

7.      Pembantu rumah tangga : 4 jiwa

8.      TNI : 1 jiwa

9.      POLRI : 3 jiwa

10.  Dukun kampong terlatih : 1 jiwa

11.  Jasa pengobatan alternatif : 10 jiwa

12.  Karyawan perusahaan swasta : 25 orang

13.  Honorer : 15 jiwa

d.4. Tenaga kerja

TENAGA KERJA

LAKI LAKI

PEREMPUAN

1.      Penduduk usia 18-56 tahun

1.116 orang

1.065 orang

2.      Penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja

805 orang

578 orang

3.      Penduduk usia 18-56 tahun yang belum atau tidak bekerja

311 orang

478 orang

4.      Penduduk usia 0-6 tahun

288 orang

305 orang

5.      Penduduk masih sekolah 7-8 tahun

309 orang

206 orang

6.      Penduduk usia 56 tahun keatas

439 orang

378 orang

Tabel tenaga kerja yang ada pada Desa Nibung dari usia18-56 tahun

 

 

d.5.Kualitas Angkatan Kerja

Kualitas angkatan kerja pada desa Nibung dari usia 18-56 tahun

ANGKATAN KERJA

LAKI LAKI

PEREMPUAN

1.      Penduduk usia 18-56 tahun yang buta huruf

15 orang

19 orang

2.      Penduduk usia 18-56 tahun yang tidak tamat SD

340 orang'

437 orang

3.      Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SD

415 orang

421 orang

4.      Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SLTP

110 orang

120 orang

5.      Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat SLTA

41 orang

80 orang

6.      Penduduk usia 18-56 tahun yang tamat S1

39 orang

46 orang

d.6.Pengangguran

Jumlah pengganguran yang ada pada Desa Nibung

Jumlah angkatan kerja penduduk usia 18-56 tahun

1.336 orang

1.      Jumlah penduduk usia 18-58 tahun yang masih sekolah dan tidak bekerja

798 orang

2.      Jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang menjadi ibu rumah tangga

423 orang

3.      Jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja penuh

10 orang

4.      Jumlah pendudukusia 18-56 tahun yang bekerja tidak menentu

88 orang

5.      Jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang cacat dan tidak bekerja

5 orang

6.      Jumlah penduduk usia 18-56 tahun yang cacat dan bekerja

3 orang

 

2.2. Analisis SWOT Desa Nibung

2.2.1. S (Strong) : Kekuatan

Letak geografis desa Nibung yang terletak 6 KM dari ibu kota kecamatan sekaligus ibu kota kabupaten Bangka Tengah dan menjadi jalur penghubung utama antara Koba dan Bangka Selatan menjadikan wilayah ini cukup strategis dalam pengembangan ekonomi, social dan budaya. Jumlah penduduk desa yang relative cukup besar merupakan potensi yang bisa dikembangkan dalam pembangunan masyarakat. Kemudian dengan angka tingkat pengangguran usia 18-56 tahun yang relative kecil, tentunya menjadikan kekuatan ekonomi bagi desa Nibung. Penyebaran jenis pekerjaan sebagai penopang ekonomi masyarakat cenderung beragam, tetunya memiliki dampak positif bagi desa tersebut. Sebut saja jenis pertanian, peternakan, perkebunan, PNS, karyawan swasta, dan lain sebagainya.

Kekuatan sosial masyarakat desa Nibung dapat dilihat dari data keluarga sejahtera mencapai 95 % yang terbagi menjadi Sakinah I, II dan III. Data yang cukup menggembirakan adalah adanya keluarga sakinah 3 plus dengan jumlah lebih besar dari keluarga pra sakinah. Kondisi keluarga ini merupakan kekuatan desa dalam membangun masyarakat yang bermutu. Selain itu, masyarakat yang homogen juga menjadi kekuatan tersendiri, setidaknya tercatat 99,7% beragama Islam.

Kaitan dengan persoalan hukum, letak geografis desa Nibung yang strategis merupakan kekuatan dalam mengakses informasi-informasi yang berkaitan dengan hukum. Termasuk juga aturan-aturan perkawinan dan perlindungan anak. Sedangkan hubungan kekuatan angaka pengangguran yang kecil dengan persoalan hukum adalah berkurangnya angka kejahatan. Karena factor pendukung tingginya kriminalitas salah satunya adalah tingginya tingkat pengangguran di suatu tempat. Adapun kaitan keluarga yang sejahtera dan homogenitas masyarakat suatu tempat dengan aspek hukum adalah mempermuda dalam membangun kesadaran hukum di tengah-tengah masyarakat. Dalam persoalan perkawinan beberapa kesadaran hukum yang diperlukan dalam amsyarakat adalah kesadaran membangaun rumah tangga dengan ketentuan UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU perlindungan anak dan UU anti kekerasan dalam rumah tangga.

 

2.2.2. W (Weakness) : Kelemahan

Tingkat pendidikan masyarakat desa Nibung yang relative tergolong rendah merupakan salah satu kelemahan dalam pembangunan Sumber Daya Masyarakat. Dari data yang diperoleh walaupun 48 orang yang mengenyam pendidikan di bangku kuliah dan 23 orang diploma, namun angka orang yang tidak berpendidikan dan hanya tamat SD cukup besar terutama di kalangan perempuan. Artinya SDM yang sudah tersedia masih belum memadai tingkat pendidikannya. Persoalan-persolan hukum yang tidak mampu dipahami masyarakat menjadi hal yang wajar mengingat kondisi tingkat pendidikan ini.

Pada aspek yang lain, jumlah penduduk yang bekerja cukup besar, namun jumlah penduduk produktif yang tidak bekerja juga relatif besar, sebanyak 789 orang. Artinya masih cukup besar jumlah pengangguran yang ini tentunya akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat. Sedangkan jumlah kualitas angkatan kerja masyarakat produktif berusia 18-56 tahun didominasi oleh masyarakat yang tidak tamat SD dan hanya tamat SD.

Beberapa wilayah yang terkesan terisolir masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah baik dalam persoalan infrastruktur maupun sosial budaya.

Hubungan tingkat pendidikan dengan hukum adalah bahwa dengan pendidikan yang rendah masyarakat sulit mengakses informasi tentang hukum serta memahaminya. Artinya kesadaran hukum yang merupakan salah satu syarat berlakukanya hukum secara efektif masih terkendalam untuk direalisasikan. Sedangkan angka usia produktif yang tidak bekerja jika dihubungkan dengan hukum adalah terbukanya kemungkinan terjadi banyak pelanggaran, dan kejahatan. Walaupun tidak selalu demikian.

.

2.2.3. O (Opportunity): Peluang

Beberapa peluang yang bisa dikembangan oleh pemerintahan desa Nibung dalam membangun masyarakat baik dalam bidang ekonomi, social, budaya bahkan hukum diantaranya adalah sikap keterbukaan informasi masyarakat, letak geografis desa Nibung yang strategis, jumlah penduduk yang besar dan penyebaran jenis pekerjaan yang mencakup berbagai sector dan sejumlah sumber daya manusia yang memiliki tingkat pendidikan S1, D3 dan SMA yang bisa digerakan.

Keterbukaan informasi masyarakat menjadi peluang dalam menggali persolan-persoalan yang ada baik yang berkaitan dengan hukum maupun di luar itu. Atas keterbukaan informasi itu, aparat desa dapat menemukan akar persoalan dan menyelesaikannya dengan baik. Dalam masalah hukum, keterbukaan informasi ini penting terutama yang berkaitan dengan wilayah domestic, seperti usia perkawinan yang terlalu muda, kekerasan dalam rumah tangga, masalah perselingkuhan dan penggunaan narkoba oleh anak-anak dan remaja.

Letak geografis desa Nibung yang strtegis merupakan peluang dalam pengembangan ekonomi dan budaya. Masyarakat akan dengan mudah mengakses informasi serta mengakses peluang usaha baik yang ada diperkotaan maupun di desa itu sendiri. Dengan peluang usaha yang terbuka, tindak kejahatan semangkin berkurang.

Jumlah penduduk yang besar menjadi peluang dalam pengembangan sumber daya masyarakat yang bermutu. Separuh dari masyarakat Nibung yang masih mengenyam pendidikan sekolah perlu mendapat dukungan moril dan materil agar generasi muda tetap semangat dalam menimba ilmu dan, tentunya, mengaplikasikan keilmuan untuk pembangunan desanya. Dengan meningkatnya kualitas SDM masyarat, kesadaran hukum semangkin baik.

 

2.2.4. T (treatmen): Ancaman

Ancman serius dalam pembangunan desa Nibung sepanjang analisa dari data yang diperoleh dilapangan belum nampak. Hanya saja tingkat pendidikan yang belum merata dan jumlah penduduk produktif yang tidak bekerja jika tidak segera ditangani menjadi ancaman dalam pembangunan masyarakat selanjutnya. Kesadaran hukum yang kurang juga menjadi ancaman terhadap ketertiban masyarakat.

 

2.3. Pernikahan Usia Dini pada masyarakat Nibung Kecamatan Koba

Pernikahan usia dini pada masyarakat desa pada umumnya sering bahkan banyak terjadi. Banyak data yang menunjukan bahwa pernikahan usia dini terjadi hampir di suluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali kepulauan Bangka Belitung. Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukan bahwa angka pernikahan untuk kelompok umur 15-19 tahun di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, perbedaannya cukup tinggi yakni 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Fenomena ini memberikan banyak dampak negatif khususnya bagi gadis remaja. Pernikahan yang dilakukan gadis pada usia dini berpotensi pada kerusakan alat reproduksi yang disebabkan oleh hubungan seks yang terlalu dini. Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan resiko komplikasi medis. Data United Nations Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa 15-30% persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula[9]. Kemudian kehamilan di usia yang sangat muda juga ternyata berhubungan dengan angka kematian ibu, fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat. Beberapa faktor yang memicu tingginya angka perkawinan usia dini antara lain faktor agama, ekonomi, budaya, moral, intelektual dan sebagainya.

Faktor agama yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini adalah agama tidak menentukan batasa usia perkawinan secara tegas dengan menggunakan angka tetapi agama menentukan kedewasaan berdasarkan tanda-tanda fisik alamiah. Dengan demikian, agama secara normatif tidak melarang terjadinya perkawinan diusia dini. Kemudian secara ekonomi untuk mengatasi persoalan kesulitan ekonomi, perkawinan dijadikan salah satu alternatif, yaitu menikahkan anak agar orang tua sedikit terkurangi beban ekonomi dalam menghidupi anak, atau orang tua menikahkan anaknya kepada orang yang dianggap mampu secara ekonomi agar si anak hidup berkecukupan dan membatu perekonomian orang tua.

Faktor budaya terkdang menjadi penyebab perkawinan usia dini karena kebiasaan masayarakat yang menerima pernikahn dini dan menjadikan alasan pembenar bahwa praktek perkawinan seperti itu bukanlah hal yang aneh dan bertentangan dengan budaya masyarakat. Menikahkan anak juga berhubungan dengan antisipasi keluarga terhadap bahaya moral remaja. Banyaknya kasus kehamilan di luar perkawinan yang sah menimbulkan kekhawatiran mendalam. Dilema bagi pemerintah adalah di satu sisi mengatur batasan usia perkawinan yang cukup tinggi, namun di sisi lain tingkat kenakalan remaja termasuk seks bebas semangkin meningkat. Artinya, aturan itu harus sejalan dengan kondisi sosial masyarakat agar tidak mengatasi satu persoalan justru menimbulkan persoalan baru.

Selain kekhawatiran akan kejahatan moral, pernikahn dini juga disebabkan karena kurang pengetahuan bagi remaja tentang kematangan biologis. Menikah di usia mudah memiliki resiko tinggi jika terjadi kehamilan dan melahirkan. Kesehatan wanita juga perlu diperhatikan karena menikah muda artinya memiliki masa produktif untuk menghasilkan keturan yang cukup panjang.

Pada masayarakat desa Nibung, perkawinan dini hanya terjadi di wilayah tertentu (beberapa RT) dimana mayoritas adalah pendatang dari pulau jawa dan madura. Kepala dusun yang membawahi RT tersebut mengkonfirmasi bahwa jumlah penduduknya yang melakukan perkawinan dini cukup banyak yang salah satu penyebabnya adalah faktor budayaa dari masyarakat tertentu yang terbiasa menikahkan anaknya di usia yang cukup muda. Namun, ketika dikonfirmasi berapa jumlah penduduknya melakukan pernikahan dini, kepala dusun tidak mengetahui berapa jumlah yang pasti mengingat perkawinan usia dini hanya sebagain yang tercatat sedang yang lain hanya menikah secara agama.[10]

Salah satu tokoh agama bernama SF justru mempertanyakan urgensi aturan usia perkawinan. Menurutnya, Islam tidak melarang orang tua menikahkan anaknya sepanjangan sudah dewasa secara fisik. Pembatasan usia perkawinan justru menyebabkan bahaya moral yang lebih besar lagi. Perkawinan sebaiknya disegerakan agar anak-anak remaja yang telah mengenal lawan jenis tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Beberapa kasus dimana terjadi kehamilan di luar perkawinan yang sah justru mendapatkan kesulitan ketika berkeinginan untuk melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama karena selalu ditolak dan diminta untuk mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama. Satu-satu solusi untuk menghindari keburukan yang lebih, dilakukan akad nikah secara agama, tanpa ada pencatatan perkawinan.[11]

Sejalan dengan bapak SF, saudari DW (pelaku nikah dini) meganggap bahwa menikah dini merupakan solusi untuk menghindari perbuatan zina. Dengan kata lain lebih baik menikah daripada berbuat zina. Walaupun tetap ada kekhawatiran bahwa menikah usia dini memiliki dampak psikologis bagi perempuan dimana pada usia yang seharusnya masa bermain dan belajar justru harus mengenal kehidupan berkeluarga dan seksualitas.[12]

Dalam pengamatan (observasi) ke masyarakat, kondisi kehidupan amsyarakat yang sederhana, terutama di salah satu dusun bagian dari Desa Nibung, disinyalir merupakan salah satu penyebab pernikahan dini dengan alasan ekonomi. Namun, saat dikonfirmasi tentang kebenarannya, ketua RT tidak membuka informasi tersebut.[13]

Dari kondisi pengamatan dan wawancara tersebut, beberapa hal yang dapat disimpulkan bahwa terjadi pernikahan dini pada masayakar desa Nibung disebabkan faktor budaya, pemahaman agama dan intelektualitas masyarakat.

 

BAB III

RESPON MASYARAKAT TERHADAP FAKTOR MENIKAH USIA DINI DAN ANALISIS PERMASALAHAN

 

Beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini yang lumrah diketahui dalam kajian-kajian tentang perkawinan usia dini kemudian dikonfirmasikan tentang pemahamannya kepada masyarakat terutama aparat desa untuk selanjutnya dianalisi pemahaman tersebut dari sisi hukum. Analis ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran objektif dari pemahaman masyarakat, dan tentunya tindakan apa yang perlu dilakukan baik oleh aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga pemerintah.

3.1. Faktor Budaya dan Keyakinan

Pernikahan usia dini dalam budaya tertentu tidak menjadi persoalan. Mereka menganggap bahwa menikahkan anak, terutama anak perempuan, lebih cepat merupakan hal yang biasa dilakukan oleh orang tua. Terkadang, ada anggapan bahwa wanita menikah di atas usia 20 tahun adalah perawan tua. Di sisi lain, menikahkah anak lebih cepat meruapakan salah satu cara orang tua mencegah terjadinya pergaulan bebas bagi anak-anak remaja. Menurut adat istiadat, menikahkan anak setelah tamat sekolah merupakan hal yang wajar dan anak perempuan tidak boleh menruskan pendidikan yang lebih tinggi karena bisa mengakibatkan perawan tua.

Pemahaman budaya pada masyarakat Nibung yang meyakini bahwa menikahkan anak lebih cepat merupakan hal yang biasa dilakukan oleh orang tua hanya 37% sedangkan yang tidak menyetujui 63 %. Tingkat pemahaman ini menunjukan bahwa di kalangan aparat desa, sudah sebagian besar menyadari bahwa pernikahan usia dini bukan menjadi suatu hal yang mentradisi walaupun masih cukup banyak yang meyakini bahwa tindakan ini masih dilakukan. Ketika ditanyakan apakah menikahkan anak di atas umur 20 dianggap perawan tua, hanya 19% yang menjawab iya, sedangkan 81 % menjawab tidak. Artinya pemahaman masyarakat sudah mulai terbuka dalam masalah usia perkawinan. Begitu pula pemahaman bahwa menikahkan anak setelah tamat sekolah sudah tidak membudaya. Setidaknya hanya 19% yang menjawab iya sedangkan selebihnya menjawab tidak. Masyarakat Nibung, terutama dikalangan aparat pemerintah, sudah menyadari bahwa budaya menghentikan pendidikan anak perempuan agar tidak menjadi perawan tua sudah ditinggalkan. Setidaknya hanya 1 orang yang menjawab iya, selebihnya menjawab tidak. Artinya sudah tidak ada keykinan di masyarakat tentang budaya semacam itu.

Sekalipun pemahaman tentang usia perkawinan sudah cukup baik, namun masyarakat masih meyakini bahwa menikahkan anak lebih cepat merupakan salah satu cara orang tua mencegah anak dari pergaulan bebas. 50% menjawab iya dan 50% menjawab tidak. Setengah masyarakat yang masih meyakini pernikahan usia dini merupakan solusi untuk pergaulan bebas remaja merupakan bentuk kekahwatiran orang tua terhadap prilaku generasi muda dalam melakukan pergaulan. Sementara yang tidak meyakini bahwa pernikahan dini merupakan solusi atas pergaulan bebas remaja menunjukan bahwa mungkin saja ada alternatif lain dalam mengatasi kebebasan remaja dalam pergaluan.

Melihat pemahaman masyarakat terhadap pertanyaan yang diajukan menunjukan bahwa kesadaran masyarakat dalam budaya menikahkan anak sudah cukup baik walaupun masih ada kekhawatiran terhadap pergaulan remaja yang cenderung menjadikan orang tua menikahkan anak pada usia dini. Nampaknya, kekhawatiran ini sejalan dengan apa yang disampaikan pemuka agama di salah satu RT yang mempertanyakan urgensi pembatasan usia perkawinan, jika justru yang terjadi di masyarakat sebaliknya, anak-anak yang belum berusia menikah sudah melakukan pergaulan bebas. Jika merujuk pada ketentuan perundang-undangan tentang usia perkawinan (pasal 6 UU perkawinan), masyarakat desa Nibung secara umum sudah memahami batasan usia perkawinan, walaupun dibeberapa tempat masih ada yang mempertanyakan tujuan dari pembatasan itu. Kesadaran hukum masyarakat dalam hal ini cukup baik. Nampaknya, solusi yang harus dilakukan aparat pemerintah di Kabupaten adalah harus lebih banyak melakukan penyadaran kepada masyarakat tujuan pemerintah membatasi usia perkawinan sedemikian rupa. Kerjasama kepada instansi lain yang terkait dengan perkawinan dan juga lembaga-lembaga agama dapat dilakukan sebagai upaya ini.

 

 

3.2. Faktor pengetahuan dan intelektualitas

Masyarakat Nibung menyadari bahwa menikah adalah suatu hubungan yang suci antara laki-laki dan perempuan yang sah menurut agama dan memiliki umur yang cukup dewasa. Ketika ditanyakan tentang pemahaman ini, responden seluruhnya setuju dan tidak seorang pun yang menyangkalnya. Ketika ditanyakan apakah rendahnya pengetahuan dan pemahaman tentang arti sebuah perkawinan merupakan faktor penyebab terjadinya pernikahan di usia muda, 75% responden menjawab iya selebihnya menjawab tidak dan hanya satu orang yang menjawab tidak tahu. Jawaban ini tentunya mempertegas pemahaman awal bahwa tingkat pendidikan merupakan kelemahan masyarakat dalam membangun sumber daya manusia. Angka ini mengkonfirmasikan bahwa walaupun kesadaran usia perkawinan sudah baik, namun tingkat pemahaman arti penting perkawinan masih rendah. Sehingga pernikahan usia dini masih besar kemungkinan terjadi di msyarakat.

Pernikahan usia dini juga menjadi salah satu faktor terjadinya kenakalan remaja. Korelasinya pernikahan dini dengan kenakalan remaja adalah bahwa dengan terjadinya pernikahan dini dimana remaja yang belum siap secara mental, fisik dan pengetahuan berumah tangga diharuskan untuk menjalani kehidupan berkeluarga, kemudian ia harus melahirkan dan mengurus anak-anak dan keluarga. Semetara tingkat kesiapannya rendah mengakibatkan si remaja tidak mampu mengurus anak dengan baik dan anak-anak tumbuh dalam kondisi orang tua seperti ini, tentunya berdampak pada perkembangan emosional dan mental sang anak. Ketika ditanyakan kepada responden apakah ada hubungan kenakalan remaja dengan ketidaksiapan orang tua mendidik anak karena menikah di usia dini 88% menjawab iya. Artinya mayarakat sangat menyadari dampak pernikahan dini bagi perkembangan anak kedepan. Begitu pula ketika ditanyakan apakah pernikahan dini dapat mengurangi keharmonisan keluarga, ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara fikir yang belum matang, 88% responden menjawab iya. Intelektualitas responden dalam masaah ini cukup baik.

Tentang batasan usia perkawinan yang sudah ditetapkan undang-undang, pemahaman responden bervariasi. 81% responden berkeyakinan bahwa usia ideal menikah adalah 21-25 tahun. Namun ketika ditanyakan apakah masyarakat menyadari bahwa undang-undang mentapkan usia minimal menikah bagi laki-laki 19 tahun dan bagi perempuan 16 tahun, responden yang menjawab iya hanya 50%. Berarti hanya setengah dari responden yang mengetahui selebihnya tidak. Berbeda halnya ketika ditanyakan apakah responden mengetahui Undang-undang perlindungan anak menetapkan batas usia anak yang belum dewasa adalah 18 tahun, 69% responden menjawab iya. Responden juga yakin bahwa penentuan batasan usia perkawinan dikarenakan kesiapan fisik dan mental kedua pasangan. Setidaknya 75%  meyakini itu. Namun, apakah perkawinann sangat bergantung pada situasi kondisi kehidupan seseorang, 56% responden menjawab iya selebihnya tidak dan tidak tahu.

Melihat tingkat pemahaman responden dalam usia perkawinan di atas menunjukan bahwa pengetahuan responden dalam masalah usia perkawinan dan batasan umur anak, masih cenderung kurang. Artinya harus ada pembinaan dan sosialisasi lebih lanjut tentang batasan usia perkawinan dan katogori anak menurut undang-undang. Karena, secara mendasar, responden sudah menyadari usia ideal untuk menikah.

UU menyebutkan bahwa perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan ini hanya berlaku jika kedua calon mempelai sudah berusia 21 tahun. Usia ini dalam pandangan hukum merupakan usia dewasa dan disebut cakap hukum. Namun, anak yang berusia dibawa 21 tahun bisa melangsukan perkawinan sepanjang mendapatkan izin dari orang tua atau wali. Izin ini hanya dibrikan bila anak tersebut berusia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Apakah usia 16 dn 19 tahun merupakan batas kedewasaan anak? Tidak menunjukan penjelasan yang pasti, karena mereka yang berusia tersebut tetap harus minta izin orang tua atau wali jika inngin menikah. Orang tua atau wali harus memberikan izin kepada anak untuk menikah setidaknya melihat dua faktor, pertama usia sesuai dengan batasan minimal dari undnag-undang dan kedua, kesiapan fisik dan mental serta kondisi kehidupan seorang anak. Demi kemasalahan, kedua hal tersebut selayaknya harus menjadi perhatian serius.

Melihat respon masyarakat di atas, nampaknya kesadaran masyarakat akan kemaslahatan batasan usia perkawinan belum secara keseluruhan terserap dengan baik. Sekalipun responden menjawab diatas 50% ke arah trend positif dalam pengetahuan tentang seputar usia perkawinan dan anak, namun secara signifikan belum menunjukan tingkat pemahaman yang baik.

3.3.Persepsi Orang tua terhadap anak

Persepsi meruapakan pandangan seseorang terhadap sesuatu. Persepsi orang tua terhadap anak dalam masalah perkawinan menggambarkan seperti apa pandangan orang tua terhadap anak-anaknya. Hampir dari seluruh pertanyaan yang diajukan kepada responden bernilai positif. Ketika ditanyakan apakah Mengikuti kata orang tua merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang anak, 75% responden menjawab iya. Apakah orang tua mempunyai harapan apabila menikah pada usia muda 94% responden menjawan tidak. Begitu pula ketika ditanyakan apakah orang tua menganggap bahwa perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi lebih baik menikah 88% responden menjawab tidak. Dari hasil-hasil di atas dapat disimpulkan bahwa tidak banyak orang tua yang mengharapkan anak-anaknya menikah di usia dini. Mereka berharap anak-anak dapat menempuh pendidikan dan menikah pada waktu yang tepat.

Orang tua juga tidak menganggap bahwa dengan menikahkan anak di usia dini akan meringankan beban ekonomi orang tua. 88% responden menyatakan tidak. Kemudian ditanyakan apakah orang tua yang penuh konflik akan berpengaruh negatif terhadap anak sehingga anak kurang kasih sayang yang menyebabkan anak menikah usia dini. 63% responden menjawab iya selebihnya menjawab tidak dan tidak tahu. Kemudian ditanyakan apakah Orang tua menganggap bahwa pernikahan dalam usia muda menjadikan kematangan anak. 94% responden menjawab tidak. Orang tua juga berkeyakinan bahwa tidak ada kewajiban untuk mencari jodoh untuk anaknya. 94% responden meyakini itu. Kemudian, ketika ditanyakan apakab bila anak perempuan sudah mendapatkan tanda kedewasaan, orang tua akan segera menikahkan anaknya, 56% responden menjawab tidak. Namun selebihnya menjawab iya dan tidak tahu.

Menilai persepsi orang tua terhadap anak di atas menujukan bahwa banyak orang tua tidak menginginkan pernikah dini. Namun, kondisi masing-masing anak dalam keluarga berbeda sehingga keinginan orang tua terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Faktanya masih ada orang tua yang menikahkan anaknya sekalipun usia belum cukup ideal untuk menikah. Beberapa kasus terjadi kehamilan di luar nikah di kalangan remaja yang terkadang memaksa orang tua harus menikahkan mereka salah satunya. Dari aturan undang-undang, jika terjadi kasus anak harus menikah di bawah usia yang ditetapkan undang-undang, yaitu 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untruk pria, maka orang tua/wali atau bahkan anak yang bersangkutan diperbolehkan mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan atau pejabat lain.

Batasan usia perkawinan dan kebolehan dispensasi ini menjadikan persepsi masyarakat bahwa undang-undnag perkawinan memberikan kelonggaran dalam masalah usia perkawinan. Namun, sebenarnya pengecualian yang dimaksud adalah dalam rangka mengakomodir bila terjadi kasusu terrtentu yang mana orang tua tidak bisa mengharapkan usia ideal menikah bagi sang anak. Pasal 6 ayat 6 undang-undang perkawinan juga memberikan ketentuan bahwa izin orang tua terhadap anak yang berusia di bawah 21 tahun dan segala ketentuan berlaku sepanjang ketentuan agama tidak menentukan lain.

 

3.4. Pemahaman nilai virginitas

Nilai virginitas masyarakat modern tidak sama dengan masyarakat tradisional, baik di kota maupun di desa. Ketika ditanyakan kepada responsen apakah hamil diluar nikah merupakan hal biasa saat ini. 69% responden menjawab tidak. Tetapi ketika ditanyakan apakah remaja cenderung melakukan hubungan seks pranikah, 38% responden menjawab iya, 19% menjawab tidak. Selebihnya 43% tidak menjawab. Ketika ditanyakan apakah Saat ini berpacaran pada usia belasan tahun sudah hal yang biasa, bahkan anak SD sudah ada yang pacaran. 50% responden menjawab iya, 25 % menjawab tidak dan 25% tidak memberikan jawaban. Ketika ditanyakan apakah Pernikahan akan menghindarkan dari pergaulan bebas dan dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara sehat. 63% responden menjawab iya.

Melihat respon dari responden di atas dapat dijelaskan bahwa respnden tidak setuju bila disebutkan bahwa hamil di luar nikah merupakan hal yang biasa, walaupun faktanya banyak terjadi di masyarakat. Ketidak setujuan ini bukan berarti mengabaikan fakta yang terjadi di masyarakat. Buktinya ketika dikonfirmasi apakah sudah terjadi hubungan seks di kalangan remaja sebagian besar responden meyakini sudah, bahkan banyak yang tidak menjawab. Boleh jadi mereka menyetujui tetapi tidak mau mengungkapkan atau memang betul mereka tidak mengetahui. Pernikahan usia dini dimulai dari pergaluan dengan lawan jenis yang terlalu dini sehingga anak-anak bahkan masih duduk dibangku SD sudah mengenal lawan jenis selayaknya orang dewasa. Oleh karena itu, setengah  responden mengkonfirmasikan bahwa hal itu memang terjadi di masyarakat. Solusinya adalah orang tua harus lebih memperhatikan pergaluan anak-anaknya sedini mungkin.

Pemahaman nilai virginitas di masyarakat menilai responden cenderung menurun. Maksudnya banyak orang yang sudah tidak memperdulikan keperawanan dan keperjakaan anak sebelum menikah. Hal ini disebabkan kejadian yang berulang-ulang yang akhirnya dianggap biasa. Ini merupakan tantangan besar bagi tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah untuk mengembalikan nilai-nilai moral di masyarakat. Aspek ini tentu menjadi kendala terpenting untuk meningkatkan batas minimal usia perkawinan jika pergaulan anak-anak remaja tidak dibatasi juga. Kaitan dengan perkawinanan, masyarakat sejatinya sedini mungkin memahami bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU perkawinan). Tujuan kebahagian rumah tangga bagi anak-anak harus diawali dengan prilaku baik dalam dirinya, termasuk menjaga moralitas dalam pergaulan. Orang tua tidak mungkin bisa menasehatan dan memberi pencerahan kepada anak-anaknya jika orang tua pernah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya, termasuk msalah pergaulan.

 

 

 

 

 

 

 

           

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya beberapa hal yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah:

1.      Faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di desa Nibung adalah intelektualitas atau pengetahuan masyarakat tentang dampak negatif dari pernikahan usia dini yang belum merata, termasuk juga pengatahuan agama yang cenderung satu arah. Kemudian faktor budaya bagi wilayah tertentu.

2.      Jika ditinjau dari sisi hukum, pemahaman masyarakat tentang usia perkawinan masih cenderung kurang. Namun, pengetahuan umum dalam masalah nilai budaya, persepsi orang tua terhadap anak dan nilai virginitas dalam perkawinan sudah baik. Respon masyarakat terhadap faktor pernikahan dini dpat diklasifikasikan:

Faktor budaya dan keyakinan mengarah pada trand positif. Artinya responden menyatakan bahwa budaya menikahkan anak diusia muda sudah mulai ditinggalkan, walaupun ditempat tertentu masih ada yang melakukan. Solusinya adalah menguatkan potensi masyarakat yang sudah ada untuk terus menanamkan pemahaman tentang pentingnya budaya menikahkan anak di usia dewasa. Kemudian perlu penyuluhan hukum baik hukum positif maupun hukum Islam dengan pendekatan humanisme dalam masalah usia perkawinan.

Faktor intelektualitas mengarah pada trand negatif dimana masih banyak responden tidak memahami batasan usia dewasa, sehingga menimbulkan kemungkinan terjadinya perkawinan di usia dini. Solusninya harus digiatkan sosialisasi undang-undang perkawinan, perlindungan anak dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga serta penjelasan tentang pentingnya kematangan usia dalam menikah dari sisi budaya, agama dan hukum.

Faktor persepsi orang tua terhadap anak mengarah pada trand positif dimana mayoritas responden berharap bahwa anak-anak menikah pada usia yang matang, walaupun pada kondisi tertentu terdapat dilema apakah harus membiarkan terjadinya pergaulan bebes di kalangan remaja atau menikahkan anak di usia dini. Solusinya pemerintah, masyarakat, tokoh agama dan orang tua harus memperkuat nilai-nilai hukum, agama dan moral agar supaya anak tidak terpengaruh pada pergaulan bebas tanpa harus menikah di usia dini.

Faktor nilai virginitas mengarah pada trand negatif dimana responden menolak bahwa kehamilan di luar nikah meruapakan hal yang biasa, namun mereka berkeyakinan bahwa banyak terjadinya hubungan seks sebelum nikah di kalangan remaja. Artinya nilai virginitas mengalami penurunan dalam segi makna. Solusinya adalah memperkuat nilai agama dan moral dalam menanamkan pentingnya nilai virginitas.

4.2. Saran

Penelitian ini hanyalah sebagain kecil dari penelitian tentang hukum perkawinan yang terjadi di masyarakat. Problematika nikah dini merupkan problem masal yang terjadi di seluruh wilayah Indoneisa. Pemahaman masyarakat desa Nibung secara mendasar sudah bisa mendorong untuk terjadinya perkawinan yang sesuai dengan ketentuan undnag-undnag, namun perlu banyak dilakukan penyuluhan hukum dan sosialisasi tentang Undnag-undnag perkawinan, anti kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan anak, terutama kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat. Penyuluhan dan sosialisasi itu dapat dilakukan dengan pendekatan normatif deskriptif maupun pendekatan sosial. Pendekatan normatif agama juga dapat dijadikan solusi dalam menjelaskan problem pernikahan dini.  Oleh karena itu pemerintah, baik instansi vertikal maupun pemerintah daerah, terutama dalam kasus ini, Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah, disarankan untuk mengambil langka-langka strategis dalam upaya penyuluhan secara masif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFATAR PUSTAKA

 

Data Demografi Desa Nibung

Jazuli, Ahmad, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2010

Kompiasi Hukum Islam

Mutaqin, Dadan, Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. Ke-1, Yogyakarta: Insania Cita press, 2006

Nasution, Khoiruddin, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan), Yogyakarta: Tazafa, 2004

Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.8, Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 1997

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983

UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Zahroh, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005



[1] Khoiruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan), (Yogyakarta: Tazafa, 2004), hlm. 35

[2] UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2, 6 dan 7

[3] Kompiasi Hukum Islam, pasal 4, 15 dan 16

[4] Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm.

[5] Dadan Mutaqin, Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Insania Cita press, 2006), hlm. 80

[6] Ahmad Jazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 11

[7] Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.8 (Jakarta: Rajawali Grafindo Press, 1997), hlm. 36

[8] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum (jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 49

[9]Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.

[10] Wawancara dengan bapak M tanggal 26 September 2014

[11] Wawancara dengan bapak SF, Tokoh Agama RT.10 tanggal 26 September 2014

[12] Wawancara dengan Dwi, warga tanggal 26 September 2014

[13] Pengamatan tanggal 10 Oktober 2014 di Dusun Air Nona Desa Nibung