RESPON MASYARAKAT TERHADAP FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA PERNIKAHAN USIA DINI
(STUDI KASUS PERNIKAHAN USIA DINI DI DESA NIBUNG
1.1
Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka beberapa hal
yang dapat diidentifikasi sebagai masalah dalam penelitian ini:
1.
Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya
pernikahan dini di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah?
2. Sejauh mana pemahaman masyarat terkait pernikahan dini jika ditinjau dari sisi Hukum? Dan bagaimana respon masyarakat?
1.3. Tujuan dan Kegunaan
Sebagaimana latar belakang masalah dan pokok masalah yang telah dirumuskan di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini pada sebagaian masyarakat Nibung kecamatan Koba Kabupaten Bangka Tengah. Kemudian penelitian ini juga bertujuan memberikan alternative kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan perkawinan dini yang dimulai dari mendeskripsikan sejauhmana pemahaman masyarakat terkait persoalan ini bila ditinjau dari sisi hukum.
Kegunaan penelitian ini secara teoretis adalah menempatkan usia perkawinan yang ideal bagi masyarakat yang tentunya tidak mengabaikan faktor sosologis dan psikologis masyaakat dalam berumah tangga. Secara praktis penelitian ini berguna memberikan solusi alternatif terhadap kebijakan pemerintah dalam upaya mengatasi kerancuan pemahaman dalam menikah.
1.4. Kerangka Teori
Tujuan perkawinan dalam Islam yang tersari dari al-Qur’an
dan Hadis ada lima, yaitu menciptkan keluarga sakinah mawadah wa rahmah,
memenuhi kebutuhan biologis, melahirkan keturunan (regenerasi), menjaga
kehormatan dan bertujuan untuk ibadah.[1]
Untuk merealisasi tujuan perkawianan tersebut, pemerintah berusaha membuat
aturan yang bertujuan mengarahkan masyarakat agar mencapai tujuan yang
dimaksud. Beberapa aturan yang secara jelas bertujuan agar perkawinan itu
langgeng, walaupun tidak menjamin, diantaranya adalah keharusan menikah dengan
satu keyakinan; perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calom
mempelai; perkawinan bagi mereka yang belum berusia 21 tahun hanya bisa
dilangsungkan bila ada izin orang tua dan izin itu diberikan hanya kepada anak
yang berusia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.[2]
Bagi umat Islam, aturan ini dipertegas kembali dalam Kompilasi Hukum Islam yang
menjelaskan bahwa perkawinan Islam hanya sah jika dilakukan menurut hukum
Islam, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umura sekurang-kurangnya 19 tahun
bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri, perkawinan didasari atas
persetujuan calon mempelai.[3]
\orang yang matang secara fisik, psikis dan emosional.
Karena tantangan berkeluarga kedepannya semangkin hebat, maka kematangan
emosional, intelektual, psikis menjadi sarana yang memadai dalam menciptakan
keluarga sakinah ma mawadah wa rahmah. Oleh karena itu, sangat wajar bila
Kompilasi Hukum Islam memberikan pernyataan penting tentang usia perkawinan,
yaitu “untuk kemaslahan berkeluarga dan rumah tangga”.
Dalam hukum Islam pembicaraan kemaslahatan berada pada
teori maslahah mursalah. Maslahah dibagai menjadi tiga, yaitu maslahah
dhoririyah, maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah.[4]
Maslahah dhoruriyah adalah bagain terpenting dalam kajian maslahat dimana agama
memberikan jaminan kepada lima hal yang menjadi tujaun disyari’atkannya Islam,
yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, menjaga akal dan menjaga
harta. Poin menjaga keturunan merupakan bagian yang memiliki hubungan langsung
untuk menjelaskan bahwa perkawinan yang meruapakan satu-satunya cara menjaga
keturunan, harus dilakukan dengan memperhatikan kualitas. Menjamin agar
keturunan berkualitas setidaknya diawali dari persiapan calon orang tua yang
berkualitas. Berkualitas secara emosional, intelektual dan psikis. Agama
menganjurkan agar umat islam tidak meninggalkan keturnan di belakangnya dalam
kondisi lemah dan papa. Lemah secara fisik, mental, intelektual dan emosional
serta miskin dalam harta. Oleh karena itu, salah satu usahanya adalah dengan
mengatur usia perkawinan. Maksudnya masa remaja yang tergambar dalam
terminologi anak-anak harus dihabiskan dengan belajar dan mempersiapkan bekal
untuk kehidupa dewasanya.
Perkawinan yang dilakukan pada usia muda umumnya minim
kesiapan secara fisik, materi maupun mental sehingga menimbulkan dampak yang
kurang menjanjikan bagi keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Perkawinan dini
memiliki dua dampak yang cukup berat. Dari segi fisik, wanita dibawah umur
rawan untuk melahirkan karena tulanggu panggulnya belum cukup kuat sehingga
berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu dan anak. Dasi sisi mental, anak
dibawah umur memiliki emosional yang labil dan tingkat pendidikan yang rendah,
sehingga perkawinan yang dilakukan pada usia ini menyebabkan tingginya
perceraian.[5]
Sisi lain dari persoalan pernikahan dini adalah kondisi
sosial yang mana banyak terjadinya kenakalan remaja yang cenderung pada
pelangaran aturan hukum dan agama. Aturan agama yang dilanggar adalah seks
bebas yang dilakukan anak-anak remaja yang merupakan damapak negatif dari
kebebasan informasi termasuk persoalan seksualitas. Memang dalam kaidah agama
apabila ada dua mudhorat maka kita diperbolehkan mengambil resiko yang paling
kecil.[6]
Secara sosiologis, hukum dan penegakannya tidak lepas
dari masyarakat yang selalu memiliki korelasi. Ketentuan usia perkawinan pada
dasarnya cukup mengakomodir kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, namun
bagaimana menjalankannya sehingga hukum tersebut berlaku efektiif. Efektifikast
sebuah hukum ditentukan oleh tiga hal, yaitu aturan yang sesuai dengan kondisi
masyarakat, aparat penegakan hukum yang profsional dan kesadaran masyarakat
terhadap hukum.[7]
1.5. Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian lapangan karena data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini serta yang menjadi objek kajian ini berupa kasus tertentu yang melibatkan
wilayah tertentu.[8]
Tepatnya di Desa Nibung kecamatan Koba kabupaten Bangka Tengah. Sedangkan sifat
penelitian ini adalah deskriptif analitik, yaitu penelitian yang menjelaskan
realitas yang ada dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
pernikahan dini.
Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penyebaran angket kepada
perangkat desa dan masyarakat. Kemudian dilakukan wawancara (interview) dengan
beberapa tokoh agama dan pemuka masyarakat serta beberapa pelaku pernikahan
dini. Kemudian data yang sudah terkumpul dianalisi dengan metode kualititaf,
maksudnya analisis terhadap data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
pernikahan usia dini.
Data
yang diperoleh akan didiskripsikan menurut sistematika pembahasan dan
selanjutnya akan dianalisa secara kualitatif dengan penalaran
deduktif-induktif. Penalan pertama berangkat dari pernyataan-pernyataan umum
untuk kemudian dibuat kesimpulan yang lebih khusus yang biasanya banyak
digunakan dalam menafsirkan atau mencari makna dalam naṣṣ. Sedangkan
penalaran kedua berangkat dari pernyataan yang bersifat khusus untuk kemudian
dibuat suatu kesimpulan yang umum. Penalaran kedua ini berlaku secara umum
dalam penelitian empirik.
1.6.
Sistematika Pembahasan
Penelitian
ini berisikan empat bab yang terdiri dari beberapa sub-bab sebagai penjabaran
dari bab-bab yang lebih umum. Pertama, bagian pertama mengemukakan
beberapa hal terkait dengan latar belakang masalah yang menjadi kegelisahan
akademik dan untuk selanjutnya dirumuskan dalam beberapa pertanyaan. Pembahasan
ini dilanjutkan pada tujuan dan kegunaan penelitian, serta kerangka teoritik.
Selanjutnya dikemukakan juga metode penelitian dan sistematika pembahasan dalam
penelitian ini.
Bab kedua,
membahas tentang kondisi objektif persoalan perkawinan usia dini yang terjadi
di desa Nibung Kecamatan Koba. Dalam pembahsan ini dikemukakan kondisi
geografis desa Nibung dan analisis SWOT (strength, weakness, Opportunity, dan
threat) untuk menunjukan kondisi geogarfais. Kemudian akan dibahas persoalan
pernikahan dini yang terjadi di desa Nibung kec. Koba.
Pada
bab ketiga, berisikan analisis permasalahan yang terjadi terkait dengan
pernikahan usia dini. Analisi faktor ini dibagi menjadi beberapa permasalahan,
yaitu faktor adat istiadat, faktor intelektual, faktor paradigma dan pemahaman.
Bab keepat
adalah penutup. Bagian ini terdiri dari dua, yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan diambil dari pembahasan keseluruan tema-tema yang telah dikupas
sebelumnya dengan mengacu pada dua pertanyaan dasar yang akan dijawab dalam
penelitian ini. Sedangkan saran di sini adalah anjuran bagai pemegang kebijakan
untuk menyelesaikan persoalan pernikahan ini.
BAB II
PERNIKAHAN USIA DINI PADA MASYARAKAT NIBUNG
KECAMATAN KOBA
2.1. Desekripsi Desa Nibung
a.
Topografi Desa
Letak
geografis desa Nibung berada pada garis bujur 106,324700 dan garis lintang
pada -2,5255,13, jumlah curah hujan di
desa nibung 6 bulan/tahun, dan berada pada ketinggian 13,3 mdl diatas permukaan
laut.
Desa Nibung adalah salah satu desa yang ada di kecamatan Koba Kabupaten
Bangka tengah Provinsi Bangka Belitung
yang mempunyai luas area desa 6.341,67 Ha, terdiri dari:
a.
Luas pemukiman : 454,94 Ha
b.
Luas perkebunan: 855 Ha
c.
Luas kuburan : 4 Ha
d.
Luas pekarangan : 60Ha
e.
Perkantoran : 3 Ha
f.
Lain lain : 4964,73 Ha
Dengan
batas batas wilayah :
a.
Sebelah Utara : Desa Arung Dalam
b.
Sebelah Selatan : Desa Ranggas
c.
Sebelah Timur: Koba
d.
Sebelah Barat: Desa Air Bara
Orbitasi atau jarak dari pusat
pemerintahan Kota ke Desa Nibung sebagai berikut :
·
Jarak desa nibung ke ibu kota kecamatan 6 Km
·
Dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor 15 menit,
·
Jarak ke ibukota provinsi 60 Km
·
Dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor selama 1 jam
b.
Keadaan Demografi
Desa Nibung
Kecamatan Koba Kabupaten Bangka tengah Provinsi Bangka Belitung. Dimana jumlah
penduduknya terdiri dari 3.739 jiwa atau 979 KK dengan jumlah laki laki 1.919
jiwa dan perempuan 1.820 jiwa dengan jumlah penduduk yang berjumlah 3.739 jiwa
berdasarkan pemetaan social dari analitis penyebab kemiskinan yang telah
dilakukan didapat:
a.
Jumlah penduduk pra sejahtera: 50 keluarga
b.
Jumlah penduduk sejahtera 1 : 85 keluarga
c.
Jumlah penduduk sejahtera 2 :300 keluarga
d.
Jumlah penduduk sejahtera 3: 489 keluarga
e.
Jumlah penduduk sejahtera 3 plus: 55 keluarga
c.
Potensi Sumber Daya Alam
Desa Nibung mempunyai
luas wilayah berdasarkan peruntukannya yang dibagi menjadi pemukiman,
perkebunan, kuburan, pekarangan, perkantoran, dan prasarana lainnya. Luas
wilayah desa nibung berdasrkan peruntukannya dapat dilihat pada tabel berikut
ini
c.1. Luas Wilayah Menurut Peruntukannya
1.
luas
pemukiman |
454, 94 Ha |
2.
luas
perkebunan |
855 Ha |
3.
luas kuburan |
4 Ha |
4.
luas
pekarangan |
60 Ha |
5.
perkantoran |
3 Ha |
6.
luas
prasarana umum lainnya |
4964,73 Ha |
7.
total luas |
6341,67 Ha |
c.2.Perkebunan
Penduduk
Desa Nibung juga merangkap bekerja di perkebunan, perkebunan memiliki arti
strategis untuk menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat komoditas
unggulan perkebunan rakyat yang telah ditekuni berabad abad secara turun
temurun adalah lada dan karet sedangkan kelapa sawit adalah komoditas yng baru
dikembangkan. Luas dan hasil perkebunan menurut jenis komoditas nya dapat
dilihat pada tabel berikut.
c.3. Luas Dan Hasil Perkebunan
Menurut Jenis Komoditas
JENIS |
LUAS (Ha) |
hasil ( kw/ Ha) |
1.
kelapa sawit |
100 |
240.000 kg |
2.
lada |
50 |
50.000 kg |
3.
karet |
200 |
180.000 kg |
c.4.Peternakan
Hasil
ternak yang terdapat pada desa nibung adalah sapi, ayam kampung, bebek, angsa,
burung puyuh, kelinci. Jenis populasi ternak yang terdapat pada desa nibung
dapat dilihat pada tabel berikut.
Jenis Populasi
Ternak
JENIS TERNAK |
JUMLAH PEMILIK |
PERKIRAAN JUMLAH POPULASI |
1.
sapi |
1 orang |
5 ekor |
2.
ayam kampung |
10 orang |
200 ekor |
3.
bebek |
3 orang |
60 ekor |
4.
angsa |
2 orang |
10 ekor |
5.
burung puyuh |
1 orang |
5 ekor |
6.
kelinci |
1 orang |
15 ekor |
c.5. Pertambangan
Dari semuanya,
biji timah adalah sumber daya alam yang paling bernilai di Desa Nibung,
mengingat Provinsi Bangka Belitung adalah penghasil biji timah yang paling
berkualitas. Bahkan sebagian besar masyarakat Nibung bermata pencaharian
sebagai buruh penambang biji timah, atau yang lebih dikenal masyarakat dengan
tambang inkonvensional. Hasil sumber daya alam ini memberikan kontribusi yang
cukup besar pembangunan nilai ekonomi masyarakat.
d. Potensi Sumber Daya Manusia
d.1.Agama
Sebagaimana
halnya di beberapa desa, penduduk Desa Nibung memiliki agama yang berbeda-beda,
mayoritas masyarakat Desa Nibung memeluk agama Islam dengan jumlah laki laki
1.843 orang dan perempuan 1.745 orang dan yang memeluk agama khatolik 14 orang
dengan rincian 9 orang laki laki dan 5 orang perempuan.
d.2.Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, karena melalui
pendidikan terjadi proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai
budaya sambil meningkatkan kualitas hidup manusia. Berikut tabel tingkat
pendidikan yang ada pada desa Nibung
TINGKAT
PENDIDIKAN |
LAKI LAKI |
PEREMPUAN |
1.
usia 3-6
tahun belum masuk TK |
120 orang |
147 orang |
2.
usia 3-6
tahun sedang TK/play group |
88 orang |
76 orang |
3.
usia 7-18
tahun tidak pernah sekolah |
45 orang |
33 orang |
4.
usia 7-18
tahun sedang sekolah |
210 orang |
220 orang |
5.
usia 18-56
tahun tidak pernah sekolah |
30 orang |
151 orang |
6.
usia 18-56
tahun pernah SD tetapi tidak tamat |
40 orang |
37 orang |
7.
tamat SD
sederajat |
430 orang |
440 orang |
8.
jumlahusia
12-56 tahun tidak tamat SLTP |
160 orang |
121 orang |
9.
jumlahusia
12-56 tahun tidak tamat SLTA |
41 orang |
80 orang |
10.
tamat SMP
sederajat |
300 orang |
325 orang |
11.
tamat SMA
sederajat |
234 orang |
235 orang |
12.
tamat D3
sederajat |
13 orang |
10 orang |
13.
tamat S1
sederajat |
12 orang |
36 orang |
TOTAL |
3.591
orang |
d.3.Mata Pencaharian
Pada tingkat pendidikan yang demikian disebutkan diatas maka
mempengaruhi mata pencaharian penduduk desa Nibung dimana sebagian besar mata
pencaharian penduduknya adalah sebagai buruh penambang timah dan buruh tani dan
sisanya adalah sebagai berikut dengan rincian :
1.
Petani : 200 jiwa
2.
PNS : 25 jiwa
3.
Nelayan : 1 jiwa
4.
Montir : 6 jiwa
5.
Bidan swasta : 3 jiwa
6.
Perawat swasta : 2 jiwa
7.
Pembantu rumah tangga : 4 jiwa
8.
TNI : 1 jiwa
9.
POLRI : 3 jiwa
10.
Dukun kampong terlatih : 1 jiwa
11.
Jasa pengobatan alternatif : 10 jiwa
12.
Karyawan perusahaan swasta : 25 orang
13.
Honorer : 15 jiwa
d.4. Tenaga kerja
TENAGA KERJA |
LAKI LAKI |
PEREMPUAN |
1.
Penduduk usia
18-56 tahun |
1.116 orang |
1.065 orang |
2.
Penduduk usia
18-56 tahun yang bekerja |
805 orang |
578 orang |
3.
Penduduk usia
18-56 tahun yang belum atau tidak bekerja |
311 orang |
478 orang |
4.
Penduduk usia
0-6 tahun |
288 orang |
305 orang |
5.
Penduduk
masih sekolah 7-8 tahun |
309 orang |
206 orang |
6.
Penduduk usia
56 tahun keatas |
439 orang |
378 orang |
Tabel
tenaga kerja yang ada pada Desa Nibung dari usia18-56 tahun
d.5.Kualitas Angkatan Kerja
Kualitas
angkatan kerja pada desa Nibung dari usia 18-56 tahun
ANGKATAN KERJA |
LAKI LAKI |
PEREMPUAN |
1.
Penduduk usia
18-56 tahun yang buta huruf |
15 orang |
19 orang |
2.
Penduduk usia
18-56 tahun yang tidak tamat SD |
340 orang' |
437 orang |
3.
Penduduk usia
18-56 tahun yang tamat SD |
415 orang |
421 orang |
4.
Penduduk usia
18-56 tahun yang tamat SLTP |
110 orang |
120 orang |
5.
Penduduk usia
18-56 tahun yang tamat SLTA |
41 orang |
80 orang |
6.
Penduduk usia
18-56 tahun yang tamat S1 |
39 orang |
46 orang |
d.6.Pengangguran
Jumlah
pengganguran yang ada pada Desa Nibung
Jumlah angkatan kerja penduduk
usia 18-56 tahun |
1.336 orang |
1.
Jumlah
penduduk usia 18-58 tahun yang masih sekolah dan tidak bekerja |
798 orang |
2.
Jumlah
penduduk usia 18-56 tahun yang menjadi ibu rumah tangga |
423 orang |
3.
Jumlah
penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja penuh |
10 orang |
4.
Jumlah
pendudukusia 18-56 tahun yang bekerja tidak menentu |
88 orang |
5.
Jumlah
penduduk usia 18-56 tahun yang cacat dan tidak bekerja |
5 orang |
6.
Jumlah
penduduk usia 18-56 tahun yang cacat dan bekerja |
3 orang |
2.2. Analisis SWOT Desa Nibung
2.2.1. S (Strong) : Kekuatan
Letak
geografis desa Nibung yang terletak 6 KM dari ibu kota kecamatan sekaligus ibu
kota kabupaten Bangka Tengah dan menjadi jalur penghubung utama antara Koba dan
Bangka Selatan menjadikan wilayah ini cukup strategis dalam pengembangan
ekonomi, social dan budaya. Jumlah penduduk desa yang relative cukup besar merupakan potensi yang
bisa dikembangkan dalam pembangunan masyarakat. Kemudian dengan angka tingkat
pengangguran usia 18-56 tahun yang relative kecil, tentunya menjadikan kekuatan
ekonomi bagi desa Nibung. Penyebaran jenis pekerjaan sebagai penopang ekonomi
masyarakat cenderung beragam, tetunya memiliki dampak positif bagi desa
tersebut. Sebut saja jenis pertanian, peternakan,
perkebunan, PNS, karyawan swasta, dan
lain sebagainya.
Kekuatan sosial masyarakat desa Nibung dapat dilihat
dari data keluarga sejahtera mencapai 95 % yang
terbagi menjadi Sakinah I, II dan III. Data yang cukup menggembirakan adalah
adanya keluarga sakinah 3 plus dengan jumlah lebih besar dari keluarga pra
sakinah. Kondisi keluarga ini merupakan kekuatan desa dalam membangun
masyarakat yang bermutu. Selain itu, masyarakat yang homogen juga menjadi kekuatan tersendiri,
setidaknya tercatat 99,7% beragama Islam.
Kaitan dengan persoalan hukum, letak geografis desa Nibung
yang strategis merupakan kekuatan dalam mengakses informasi-informasi yang
berkaitan dengan hukum. Termasuk
juga aturan-aturan perkawinan dan perlindungan anak. Sedangkan hubungan kekuatan angaka
pengangguran yang kecil dengan persoalan hukum adalah berkurangnya angka
kejahatan. Karena factor pendukung tingginya kriminalitas salah satunya adalah
tingginya tingkat pengangguran di suatu tempat. Adapun kaitan keluarga yang
sejahtera dan homogenitas masyarakat suatu tempat dengan aspek hukum adalah
mempermuda dalam membangun kesadaran hukum di tengah-tengah masyarakat. Dalam persoalan perkawinan beberapa kesadaran hukum yang diperlukan
dalam amsyarakat adalah kesadaran membangaun rumah tangga dengan ketentuan UU
no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU perlindungan anak dan UU anti kekerasan
dalam rumah tangga.
2.2.2. W (Weakness) : Kelemahan
Tingkat pendidikan masyarakat desa Nibung yang
relative tergolong rendah merupakan salah satu kelemahan dalam pembangunan
Sumber Daya Masyarakat. Dari data yang diperoleh walaupun 48 orang yang mengenyam pendidikan di bangku kuliah dan 23 orang
diploma, namun angka
orang yang tidak berpendidikan dan hanya tamat SD cukup besar terutama di
kalangan perempuan. Artinya SDM yang sudah tersedia masih belum memadai tingkat
pendidikannya. Persoalan-persolan hukum yang tidak mampu dipahami masyarakat
menjadi hal yang wajar mengingat kondisi tingkat pendidikan ini.
Pada aspek yang lain, jumlah penduduk yang bekerja cukup besar, namun jumlah penduduk produktif yang tidak
bekerja juga relatif besar, sebanyak 789 orang. Artinya masih cukup besar
jumlah pengangguran yang ini tentunya akan berdampak pada kondisi sosial
masyarakat. Sedangkan jumlah kualitas angkatan kerja masyarakat produktif
berusia 18-56 tahun didominasi oleh masyarakat yang tidak tamat SD dan hanya
tamat SD.
Beberapa
wilayah yang terkesan terisolir masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah baik
dalam persoalan infrastruktur maupun sosial budaya.
Hubungan
tingkat pendidikan dengan hukum adalah bahwa dengan pendidikan yang rendah
masyarakat sulit mengakses informasi tentang hukum serta memahaminya. Artinya
kesadaran hukum yang merupakan salah satu syarat berlakukanya hukum secara
efektif masih terkendalam untuk direalisasikan. Sedangkan angka usia produktif
yang tidak bekerja jika dihubungkan dengan hukum adalah terbukanya kemungkinan
terjadi banyak pelanggaran, dan kejahatan. Walaupun tidak selalu demikian.
.
2.2.3. O (Opportunity): Peluang
Beberapa
peluang yang bisa dikembangan oleh pemerintahan desa Nibung dalam membangun
masyarakat baik dalam bidang ekonomi, social, budaya bahkan hukum diantaranya
adalah sikap keterbukaan informasi masyarakat, letak geografis desa Nibung yang
strategis, jumlah penduduk yang besar dan penyebaran jenis pekerjaan yang
mencakup berbagai sector dan sejumlah sumber daya manusia yang memiliki tingkat
pendidikan S1, D3 dan SMA yang bisa digerakan.
Keterbukaan informasi masyarakat menjadi peluang dalam
menggali persolan-persoalan yang ada baik yang berkaitan dengan hukum maupun di luar itu.
Atas keterbukaan informasi itu, aparat desa dapat menemukan akar persoalan dan
menyelesaikannya dengan baik. Dalam masalah hukum, keterbukaan informasi ini
penting terutama yang berkaitan dengan wilayah domestic, seperti usia perkawinan yang terlalu muda, kekerasan dalam rumah tangga, masalah perselingkuhan
dan penggunaan narkoba oleh anak-anak dan remaja.
Letak geografis desa Nibung yang strtegis merupakan
peluang dalam pengembangan ekonomi dan budaya. Masyarakat akan dengan mudah
mengakses informasi serta mengakses peluang usaha baik yang ada diperkotaan
maupun di desa itu sendiri. Dengan peluang usaha yang terbuka, tindak kejahatan
semangkin berkurang.
Jumlah penduduk yang besar menjadi peluang dalam
pengembangan sumber daya masyarakat yang bermutu. Separuh dari masyarakat Nibung
yang masih mengenyam pendidikan sekolah perlu mendapat dukungan moril dan
materil agar generasi muda tetap semangat dalam menimba ilmu dan, tentunya,
mengaplikasikan keilmuan untuk pembangunan desanya. Dengan meningkatnya
kualitas SDM masyarat, kesadaran hukum semangkin baik.
2.2.4. T (treatmen): Ancaman
Ancman serius dalam pembangunan desa Nibung sepanjang
analisa dari data yang diperoleh dilapangan belum nampak. Hanya saja tingkat
pendidikan yang belum merata dan
jumlah penduduk produktif yang tidak bekerja jika tidak segera ditangani menjadi ancaman dalam
pembangunan masyarakat selanjutnya. Kesadaran hukum yang kurang juga menjadi
ancaman terhadap ketertiban masyarakat.
2.3. Pernikahan
Usia Dini pada masyarakat Nibung Kecamatan Koba
Pernikahan
usia dini pada masyarakat desa pada umumnya sering bahkan banyak terjadi.
Banyak data yang menunjukan bahwa pernikahan usia dini terjadi hampir di
suluruh wilayah Indonesia, tidak terkecuali kepulauan Bangka Belitung. Analisis
survei penduduk antar sensus (SUPAS) tahun 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menunjukan bahwa angka pernikahan untuk kelompok
umur 15-19 tahun di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, perbedaannya
cukup tinggi yakni 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Fenomena ini
memberikan banyak dampak negatif khususnya bagi gadis remaja. Pernikahan yang
dilakukan gadis pada usia dini berpotensi pada kerusakan alat reproduksi yang
disebabkan oleh hubungan seks yang terlalu dini. Penting untuk diketahui bahwa
kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan resiko komplikasi
medis. Data United Nations
Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa 15-30%
persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric
fistula[9].
Kemudian kehamilan di usia yang sangat muda juga ternyata berhubungan dengan
angka kematian ibu, fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang
singkat. Beberapa faktor yang memicu tingginya angka perkawinan usia dini antara
lain faktor agama, ekonomi, budaya, moral, intelektual dan sebagainya.
Faktor
agama yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini adalah agama tidak menentukan
batasa usia perkawinan secara tegas dengan menggunakan angka tetapi agama
menentukan kedewasaan berdasarkan tanda-tanda fisik alamiah. Dengan demikian,
agama secara normatif tidak melarang terjadinya perkawinan diusia dini.
Kemudian secara ekonomi untuk mengatasi persoalan kesulitan ekonomi, perkawinan
dijadikan salah satu alternatif, yaitu menikahkan anak agar orang tua sedikit
terkurangi beban ekonomi dalam menghidupi anak, atau orang tua menikahkan
anaknya kepada orang yang dianggap mampu secara ekonomi agar si anak hidup
berkecukupan dan membatu perekonomian orang tua.
Faktor
budaya terkdang menjadi penyebab perkawinan usia dini karena kebiasaan
masayarakat yang menerima pernikahn dini dan menjadikan alasan pembenar bahwa
praktek perkawinan seperti itu bukanlah hal yang aneh dan bertentangan dengan
budaya masyarakat. Menikahkan anak juga berhubungan dengan antisipasi keluarga
terhadap bahaya moral remaja. Banyaknya kasus kehamilan di luar perkawinan yang
sah menimbulkan kekhawatiran mendalam. Dilema bagi pemerintah adalah di satu
sisi mengatur batasan usia perkawinan yang cukup tinggi, namun di sisi lain tingkat
kenakalan remaja termasuk seks bebas semangkin meningkat. Artinya, aturan itu
harus sejalan dengan kondisi sosial masyarakat agar tidak mengatasi satu
persoalan justru menimbulkan persoalan baru.
Selain
kekhawatiran akan kejahatan moral, pernikahn dini juga disebabkan karena kurang
pengetahuan bagi remaja tentang kematangan biologis. Menikah di usia mudah
memiliki resiko tinggi jika terjadi kehamilan dan melahirkan. Kesehatan wanita
juga perlu diperhatikan karena menikah muda artinya memiliki masa produktif
untuk menghasilkan keturan yang cukup panjang.
Pada
masayarakat desa Nibung, perkawinan dini hanya terjadi di wilayah tertentu
(beberapa RT) dimana mayoritas adalah pendatang dari pulau jawa dan madura.
Kepala dusun yang membawahi RT tersebut mengkonfirmasi bahwa jumlah penduduknya
yang melakukan perkawinan dini cukup banyak yang salah satu penyebabnya adalah
faktor budayaa dari masyarakat tertentu yang terbiasa menikahkan anaknya di
usia yang cukup muda. Namun, ketika dikonfirmasi berapa jumlah penduduknya
melakukan pernikahan dini, kepala dusun tidak mengetahui berapa jumlah yang
pasti mengingat perkawinan usia dini hanya sebagain yang tercatat sedang yang
lain hanya menikah secara agama.[10]
Salah
satu tokoh agama bernama SF justru mempertanyakan urgensi aturan usia
perkawinan. Menurutnya, Islam tidak melarang orang tua menikahkan anaknya
sepanjangan sudah dewasa secara fisik. Pembatasan usia perkawinan justru
menyebabkan bahaya moral yang lebih besar lagi. Perkawinan sebaiknya
disegerakan agar anak-anak remaja yang telah mengenal lawan jenis tidak
terjerumus pada pergaulan bebas. Beberapa kasus dimana terjadi kehamilan di
luar perkawinan yang sah justru mendapatkan kesulitan ketika berkeinginan untuk
melakukan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama karena selalu ditolak
dan diminta untuk mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama. Satu-satu solusi
untuk menghindari keburukan yang lebih, dilakukan akad nikah secara agama,
tanpa ada pencatatan perkawinan.[11]
Sejalan
dengan bapak SF, saudari DW (pelaku nikah dini) meganggap bahwa menikah dini
merupakan solusi untuk menghindari perbuatan zina. Dengan kata lain lebih baik
menikah daripada berbuat zina. Walaupun tetap ada kekhawatiran bahwa menikah
usia dini memiliki dampak psikologis bagi perempuan dimana pada usia yang
seharusnya masa bermain dan belajar justru harus mengenal kehidupan berkeluarga
dan seksualitas.[12]
Dalam
pengamatan (observasi) ke masyarakat, kondisi kehidupan amsyarakat yang
sederhana, terutama di salah satu dusun bagian dari Desa Nibung, disinyalir
merupakan salah satu penyebab pernikahan dini dengan alasan ekonomi. Namun,
saat dikonfirmasi tentang kebenarannya, ketua RT tidak membuka informasi
tersebut.[13]
Dari
kondisi pengamatan dan wawancara tersebut, beberapa hal yang dapat disimpulkan
bahwa terjadi pernikahan dini pada masayakar desa Nibung disebabkan faktor
budaya, pemahaman agama dan intelektualitas masyarakat.
BAB III
RESPON MASYARAKAT TERHADAP FAKTOR
MENIKAH USIA DINI DAN ANALISIS PERMASALAHAN
Beberapa faktor yang mendorong terjadinya
pernikahan dini yang lumrah diketahui dalam kajian-kajian tentang perkawinan
usia dini kemudian dikonfirmasikan tentang pemahamannya kepada masyarakat
terutama aparat desa untuk selanjutnya dianalisi pemahaman tersebut dari sisi
hukum. Analis ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran objektif dari
pemahaman masyarakat, dan tentunya tindakan apa yang perlu dilakukan baik oleh
aparat penegak hukum maupun lembaga-lembaga pemerintah.
3.1. Faktor Budaya dan Keyakinan
Pernikahan usia dini
dalam budaya tertentu tidak menjadi persoalan. Mereka menganggap bahwa
menikahkan anak, terutama anak perempuan, lebih cepat merupakan hal yang biasa
dilakukan oleh orang tua. Terkadang, ada anggapan bahwa wanita menikah di atas
usia 20 tahun adalah perawan tua. Di sisi lain, menikahkah anak lebih cepat
meruapakan salah satu cara orang tua mencegah terjadinya pergaulan bebas bagi
anak-anak remaja. Menurut adat istiadat, menikahkan anak setelah tamat sekolah
merupakan hal yang wajar dan anak perempuan tidak boleh menruskan pendidikan
yang lebih tinggi karena bisa mengakibatkan perawan tua.
Pemahaman budaya
pada masyarakat Nibung yang meyakini bahwa menikahkan anak lebih cepat
merupakan hal yang biasa dilakukan oleh orang tua hanya 37% sedangkan yang
tidak menyetujui 63 %. Tingkat pemahaman ini menunjukan bahwa di kalangan
aparat desa, sudah sebagian besar menyadari bahwa pernikahan usia dini bukan
menjadi suatu hal yang mentradisi walaupun masih cukup banyak yang meyakini
bahwa tindakan ini masih dilakukan. Ketika ditanyakan apakah menikahkan anak di
atas umur 20 dianggap perawan tua, hanya 19% yang menjawab iya, sedangkan 81 %
menjawab tidak. Artinya pemahaman masyarakat sudah mulai terbuka dalam masalah
usia perkawinan. Begitu pula pemahaman bahwa menikahkan anak setelah tamat
sekolah sudah tidak membudaya. Setidaknya hanya 19% yang menjawab iya sedangkan
selebihnya menjawab tidak. Masyarakat Nibung, terutama dikalangan aparat
pemerintah, sudah menyadari bahwa budaya menghentikan pendidikan anak perempuan
agar tidak menjadi perawan tua sudah ditinggalkan. Setidaknya hanya 1 orang
yang menjawab iya, selebihnya menjawab tidak. Artinya sudah tidak ada keykinan
di masyarakat tentang budaya semacam itu.
Sekalipun pemahaman
tentang usia perkawinan sudah cukup baik, namun masyarakat masih meyakini bahwa
menikahkan anak lebih cepat merupakan salah satu cara orang tua mencegah anak
dari pergaulan bebas. 50% menjawab iya dan 50% menjawab tidak. Setengah
masyarakat yang masih meyakini pernikahan usia dini merupakan solusi untuk
pergaulan bebas remaja merupakan bentuk kekahwatiran orang tua terhadap prilaku
generasi muda dalam melakukan pergaulan. Sementara yang tidak meyakini bahwa
pernikahan dini merupakan solusi atas pergaulan bebas remaja menunjukan bahwa
mungkin saja ada alternatif lain dalam mengatasi kebebasan remaja dalam
pergaluan.
Melihat pemahaman
masyarakat terhadap pertanyaan yang diajukan menunjukan bahwa kesadaran
masyarakat dalam budaya menikahkan anak sudah cukup baik walaupun masih ada
kekhawatiran terhadap pergaulan remaja yang cenderung menjadikan orang tua
menikahkan anak pada usia dini. Nampaknya, kekhawatiran ini sejalan dengan apa
yang disampaikan pemuka agama di salah satu RT yang mempertanyakan urgensi
pembatasan usia perkawinan, jika justru yang terjadi di masyarakat sebaliknya,
anak-anak yang belum berusia menikah sudah melakukan pergaulan bebas. Jika
merujuk pada ketentuan perundang-undangan tentang usia perkawinan (pasal 6 UU
perkawinan), masyarakat desa Nibung secara umum sudah memahami batasan usia
perkawinan, walaupun dibeberapa tempat masih ada yang mempertanyakan tujuan
dari pembatasan itu. Kesadaran hukum masyarakat dalam hal ini cukup baik. Nampaknya,
solusi yang harus dilakukan aparat pemerintah di Kabupaten adalah harus lebih
banyak melakukan penyadaran kepada masyarakat tujuan pemerintah membatasi usia
perkawinan sedemikian rupa. Kerjasama kepada instansi lain yang terkait dengan
perkawinan dan juga lembaga-lembaga agama dapat dilakukan sebagai upaya ini.
3.2. Faktor pengetahuan dan intelektualitas
Masyarakat Nibung
menyadari bahwa menikah adalah suatu hubungan yang suci antara laki-laki dan perempuan yang
sah menurut agama dan memiliki umur yang cukup dewasa. Ketika ditanyakan
tentang pemahaman ini, responden seluruhnya setuju dan tidak seorang pun yang
menyangkalnya. Ketika ditanyakan apakah rendahnya pengetahuan dan pemahaman
tentang arti sebuah perkawinan merupakan faktor penyebab terjadinya pernikahan
di usia muda, 75% responden menjawab iya selebihnya menjawab tidak dan hanya
satu orang yang menjawab tidak tahu. Jawaban ini tentunya mempertegas pemahaman
awal bahwa tingkat pendidikan merupakan kelemahan masyarakat dalam membangun
sumber daya manusia. Angka ini mengkonfirmasikan bahwa walaupun kesadaran usia
perkawinan sudah baik, namun tingkat pemahaman arti penting perkawinan masih
rendah. Sehingga pernikahan usia dini masih besar kemungkinan terjadi di
msyarakat.
Pernikahan usia dini juga menjadi salah satu
faktor terjadinya kenakalan remaja. Korelasinya pernikahan dini dengan
kenakalan remaja adalah bahwa dengan terjadinya pernikahan dini dimana remaja
yang belum siap secara mental, fisik dan pengetahuan berumah tangga diharuskan
untuk menjalani kehidupan berkeluarga, kemudian ia harus melahirkan dan mengurus
anak-anak dan keluarga. Semetara tingkat kesiapannya rendah mengakibatkan si
remaja tidak mampu mengurus anak dengan baik dan anak-anak tumbuh dalam kondisi
orang tua seperti ini, tentunya berdampak pada perkembangan emosional dan
mental sang anak. Ketika ditanyakan kepada responden apakah ada hubungan
kenakalan remaja dengan ketidaksiapan orang tua mendidik anak karena menikah di
usia dini 88% menjawab iya. Artinya mayarakat sangat menyadari dampak
pernikahan dini bagi perkembangan anak kedepan. Begitu pula ketika ditanyakan
apakah pernikahan dini dapat mengurangi keharmonisan keluarga, ini disebabkan
oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara fikir yang belum
matang, 88% responden menjawab iya. Intelektualitas responden dalam masaah ini
cukup baik.
Tentang batasan usia perkawinan yang sudah
ditetapkan undang-undang, pemahaman responden bervariasi. 81% responden
berkeyakinan bahwa usia ideal menikah adalah 21-25 tahun. Namun ketika
ditanyakan apakah masyarakat menyadari bahwa undang-undang mentapkan usia
minimal menikah bagi laki-laki 19 tahun dan bagi perempuan 16 tahun, responden
yang menjawab iya hanya 50%. Berarti hanya setengah dari responden yang
mengetahui selebihnya tidak. Berbeda halnya ketika ditanyakan apakah responden
mengetahui Undang-undang perlindungan anak
menetapkan batas usia anak yang belum dewasa adalah 18 tahun, 69% responden menjawab iya. Responden juga
yakin bahwa penentuan batasan usia perkawinan dikarenakan kesiapan fisik dan
mental kedua pasangan. Setidaknya 75% meyakini
itu. Namun, apakah perkawinann sangat bergantung pada situasi kondisi kehidupan
seseorang, 56% responden menjawab iya selebihnya tidak dan tidak tahu.
Melihat tingkat pemahaman responden dalam usia
perkawinan di atas menunjukan bahwa pengetahuan responden dalam masalah usia
perkawinan dan batasan umur anak, masih cenderung kurang. Artinya harus ada
pembinaan dan sosialisasi lebih lanjut tentang batasan usia perkawinan dan
katogori anak menurut undang-undang. Karena, secara mendasar, responden sudah
menyadari usia ideal untuk menikah.
UU menyebutkan bahwa
perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan
ini hanya berlaku jika kedua calon mempelai sudah berusia 21 tahun. Usia ini
dalam pandangan hukum merupakan usia dewasa dan disebut cakap hukum. Namun,
anak yang berusia dibawa 21 tahun bisa melangsukan perkawinan sepanjang
mendapatkan izin dari orang tua atau wali. Izin ini hanya dibrikan bila anak
tersebut berusia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.
Apakah usia 16 dn 19 tahun merupakan batas kedewasaan anak? Tidak menunjukan
penjelasan yang pasti, karena mereka yang berusia tersebut tetap harus minta
izin orang tua atau wali jika inngin menikah. Orang tua atau wali harus
memberikan izin kepada anak untuk menikah setidaknya melihat dua faktor,
pertama usia sesuai dengan batasan minimal dari undnag-undang dan kedua,
kesiapan fisik dan mental serta kondisi kehidupan seorang anak. Demi
kemasalahan, kedua hal tersebut selayaknya harus menjadi perhatian serius.
Melihat respon
masyarakat di atas, nampaknya kesadaran masyarakat akan kemaslahatan batasan
usia perkawinan belum secara keseluruhan terserap dengan baik. Sekalipun
responden menjawab diatas 50% ke arah trend positif dalam pengetahuan tentang seputar
usia perkawinan dan anak, namun secara signifikan belum menunjukan tingkat
pemahaman yang baik.
3.3.Persepsi Orang tua terhadap anak
Persepsi meruapakan
pandangan seseorang terhadap sesuatu. Persepsi orang tua terhadap anak dalam
masalah perkawinan menggambarkan seperti apa pandangan orang tua terhadap
anak-anaknya. Hampir dari seluruh pertanyaan yang diajukan kepada responden
bernilai positif. Ketika ditanyakan apakah Mengikuti
kata orang tua merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang anak, 75% responden menjawab iya. Apakah orang tua
mempunyai harapan apabila menikah pada usia muda 94% responden menjawan tidak. Begitu pula
ketika ditanyakan apakah orang tua
menganggap bahwa perempuan tidak boleh berpendidikan tinggi lebih baik menikah 88% responden menjawab tidak. Dari
hasil-hasil di atas dapat disimpulkan bahwa tidak banyak orang tua yang
mengharapkan anak-anaknya menikah di usia dini. Mereka berharap anak-anak dapat
menempuh pendidikan dan menikah pada waktu yang tepat.
Orang tua juga tidak menganggap bahwa dengan
menikahkan anak di usia dini akan meringankan beban ekonomi orang tua. 88%
responden menyatakan tidak. Kemudian ditanyakan apakah orang tua yang penuh
konflik akan berpengaruh negatif terhadap anak sehingga anak kurang kasih
sayang yang menyebabkan anak menikah usia dini. 63% responden menjawab iya
selebihnya menjawab tidak dan tidak tahu. Kemudian ditanyakan apakah Orang tua
menganggap bahwa pernikahan dalam usia muda menjadikan kematangan anak. 94%
responden menjawab tidak. Orang tua juga berkeyakinan bahwa tidak ada kewajiban
untuk mencari jodoh untuk anaknya. 94% responden meyakini itu. Kemudian, ketika
ditanyakan apakab bila anak perempuan sudah mendapatkan tanda kedewasaan, orang
tua akan segera menikahkan anaknya, 56% responden menjawab tidak. Namun
selebihnya menjawab iya dan tidak tahu.
Menilai persepsi orang tua terhadap anak di
atas menujukan bahwa banyak orang tua tidak menginginkan pernikah dini. Namun,
kondisi masing-masing anak dalam keluarga berbeda sehingga keinginan orang tua
terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Faktanya masih ada orang tua yang
menikahkan anaknya sekalipun usia belum cukup ideal untuk menikah. Beberapa
kasus terjadi kehamilan di luar nikah di kalangan remaja yang terkadang memaksa
orang tua harus menikahkan mereka salah satunya. Dari aturan undang-undang,
jika terjadi kasus anak harus menikah di bawah usia yang ditetapkan
undang-undang, yaitu 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untruk pria, maka orang
tua/wali atau bahkan anak yang bersangkutan diperbolehkan mengajukan dispensasi
nikah ke Pengadilan atau pejabat lain.
Batasan usia perkawinan dan kebolehan
dispensasi ini menjadikan persepsi masyarakat bahwa undang-undnag perkawinan
memberikan kelonggaran dalam masalah usia perkawinan. Namun, sebenarnya
pengecualian yang dimaksud adalah dalam rangka mengakomodir bila terjadi kasusu
terrtentu yang mana orang tua tidak bisa mengharapkan usia ideal menikah bagi
sang anak. Pasal 6 ayat 6 undang-undang perkawinan juga memberikan ketentuan
bahwa izin orang tua terhadap anak yang berusia di bawah 21 tahun dan segala
ketentuan berlaku sepanjang ketentuan agama tidak menentukan lain.
3.4. Pemahaman nilai virginitas
Nilai virginitas masyarakat modern tidak sama
dengan masyarakat tradisional, baik di kota maupun di desa. Ketika ditanyakan
kepada responsen apakah hamil diluar nikah merupakan hal biasa saat ini. 69%
responden menjawab tidak. Tetapi ketika ditanyakan apakah remaja cenderung
melakukan hubungan seks pranikah, 38% responden menjawab iya, 19% menjawab
tidak. Selebihnya 43% tidak menjawab. Ketika ditanyakan apakah Saat ini berpacaran pada usia belasan tahun sudah hal yang biasa,
bahkan anak SD sudah ada yang pacaran. 50% responden menjawab iya, 25 % menjawab tidak dan 25%
tidak memberikan jawaban. Ketika ditanyakan apakah Pernikahan akan menghindarkan dari pergaulan bebas dan dapat
menyalurkan kebutuhan biologis secara sehat. 63% responden menjawab iya.
Melihat respon dari responden di atas dapat
dijelaskan bahwa respnden tidak setuju bila disebutkan bahwa hamil di luar
nikah merupakan hal yang biasa, walaupun faktanya banyak terjadi di masyarakat.
Ketidak setujuan ini bukan berarti mengabaikan fakta yang terjadi di
masyarakat. Buktinya ketika dikonfirmasi apakah sudah terjadi hubungan seks di
kalangan remaja sebagian besar responden meyakini sudah, bahkan banyak yang
tidak menjawab. Boleh jadi mereka menyetujui tetapi tidak mau mengungkapkan
atau memang betul mereka tidak mengetahui. Pernikahan usia dini dimulai dari
pergaluan dengan lawan jenis yang terlalu dini sehingga anak-anak bahkan masih
duduk dibangku SD sudah mengenal lawan jenis selayaknya orang dewasa. Oleh
karena itu, setengah responden mengkonfirmasikan
bahwa hal itu memang terjadi di masyarakat. Solusinya adalah orang tua harus
lebih memperhatikan pergaluan anak-anaknya sedini mungkin.
Pemahaman nilai virginitas di masyarakat
menilai responden cenderung menurun. Maksudnya banyak orang yang sudah tidak
memperdulikan keperawanan dan keperjakaan anak sebelum menikah. Hal ini
disebabkan kejadian yang berulang-ulang yang akhirnya dianggap biasa. Ini
merupakan tantangan besar bagi tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah
untuk mengembalikan nilai-nilai moral di masyarakat. Aspek ini tentu menjadi
kendala terpenting untuk meningkatkan batas minimal usia perkawinan jika
pergaulan anak-anak remaja tidak dibatasi juga. Kaitan dengan perkawinanan,
masyarakat sejatinya sedini mungkin memahami bahwa perkawinan merupakan ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU perkawinan). Tujuan kebahagian rumah tangga
bagi anak-anak harus diawali dengan prilaku baik dalam dirinya, termasuk
menjaga moralitas dalam pergaulan. Orang tua tidak mungkin bisa menasehatan dan
memberi pencerahan kepada anak-anaknya jika orang tua pernah melakukan kesalahan
fatal dalam hidupnya, termasuk msalah pergaulan.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya beberapa hal yang
menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di desa Nibung
adalah intelektualitas atau pengetahuan masyarakat tentang dampak negatif dari
pernikahan usia dini yang belum merata, termasuk juga pengatahuan agama yang
cenderung satu arah. Kemudian faktor budaya bagi wilayah tertentu.
2.
Jika ditinjau dari sisi hukum, pemahaman masyarakat tentang usia
perkawinan masih cenderung kurang. Namun, pengetahuan umum dalam masalah nilai
budaya, persepsi orang tua terhadap anak dan nilai virginitas dalam perkawinan
sudah baik. Respon masyarakat terhadap faktor pernikahan dini dpat
diklasifikasikan:
Faktor budaya dan keyakinan mengarah pada trand positif. Artinya
responden menyatakan bahwa budaya menikahkan anak diusia muda sudah mulai
ditinggalkan, walaupun ditempat tertentu masih ada yang melakukan. Solusinya
adalah menguatkan potensi masyarakat yang sudah ada untuk terus menanamkan
pemahaman tentang pentingnya budaya menikahkan anak di usia dewasa. Kemudian
perlu penyuluhan hukum baik hukum positif maupun hukum Islam dengan pendekatan
humanisme dalam masalah usia perkawinan.
Faktor intelektualitas mengarah pada trand negatif dimana masih
banyak responden tidak memahami batasan usia dewasa, sehingga menimbulkan
kemungkinan terjadinya perkawinan di usia dini. Solusninya harus digiatkan sosialisasi
undang-undang perkawinan, perlindungan anak dan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga serta penjelasan tentang pentingnya kematangan usia dalam menikah
dari sisi budaya, agama dan hukum.
Faktor persepsi orang tua terhadap anak mengarah pada trand positif
dimana mayoritas responden berharap bahwa anak-anak menikah pada usia yang
matang, walaupun pada kondisi tertentu terdapat dilema apakah harus membiarkan
terjadinya pergaulan bebes di kalangan remaja atau menikahkan anak di usia
dini. Solusinya pemerintah, masyarakat, tokoh agama dan orang tua harus
memperkuat nilai-nilai hukum, agama dan moral agar supaya anak tidak
terpengaruh pada pergaulan bebas tanpa harus menikah di usia dini.
Faktor nilai virginitas mengarah pada trand negatif dimana responden
menolak bahwa kehamilan di luar nikah meruapakan hal yang biasa, namun mereka
berkeyakinan bahwa banyak terjadinya hubungan seks sebelum nikah di kalangan
remaja. Artinya nilai virginitas mengalami penurunan dalam segi makna.
Solusinya adalah memperkuat nilai agama dan moral dalam menanamkan pentingnya
nilai virginitas.
4.2. Saran
Penelitian ini hanyalah sebagain kecil dari penelitian tentang
hukum perkawinan yang terjadi di masyarakat. Problematika nikah dini merupkan
problem masal yang terjadi di seluruh wilayah Indoneisa. Pemahaman masyarakat
desa Nibung secara mendasar sudah bisa mendorong untuk terjadinya perkawinan
yang sesuai dengan ketentuan undnag-undnag, namun perlu banyak dilakukan
penyuluhan hukum dan sosialisasi tentang Undnag-undnag perkawinan, anti
kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan anak, terutama kepada tokoh agama
dan tokoh masyarakat. Penyuluhan dan sosialisasi itu dapat dilakukan dengan
pendekatan normatif deskriptif maupun pendekatan sosial. Pendekatan normatif
agama juga dapat dijadikan solusi dalam menjelaskan problem pernikahan dini. Oleh karena itu pemerintah, baik instansi
vertikal maupun pemerintah daerah, terutama dalam kasus ini, Pemerintah
Kabupaten Bangka Tengah, disarankan untuk mengambil langka-langka strategis
dalam upaya penyuluhan secara masif.
DAFATAR PUSTAKA
Data Demografi
Desa Nibung
Jazuli, Ahmad, Kaidah-Kaidah
Fikih, Jakarta: Kencana, 2010
Kompiasi Hukum
Islam
Mutaqin, Dadan,
Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. Ke-1, Yogyakarta:
Insania Cita press, 2006
Nasution,
Khoiruddin, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan),
Yogyakarta: Tazafa, 2004
Soekanto,
Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.8, Jakarta: Rajawali Grafindo
Press, 1997
Soemitro, Ronny
Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
UU no.1 tahun
1974 tentang Perkawinan
Zahroh,
Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
[1] Khoiruddin
Nasution, Islam Tentang Relasi Suami Istri (Hukum Perkawinan),
(Yogyakarta: Tazafa, 2004), hlm. 35
[2] UU no.1 tahun
1974 tentang perkawinan pasal 2, 6 dan 7
[3] Kompiasi Hukum
Islam, pasal 4, 15 dan 16
[4] Muhammad Abu
Zahroh, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hlm.
[5] Dadan Mutaqin,
Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, cet. Ke-1 (Yogyakarta:
Insania Cita press, 2006), hlm. 80
[6] Ahmad Jazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 11
[7] Soerjono
Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, cet.8 (Jakarta: Rajawali Grafindo
Press, 1997), hlm. 36
[8] Ronny Hanitijo
Soemitro, Metodologi Penelitian hukum (jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.
49
[9]Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan
kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.
[10] Wawancara
dengan bapak M tanggal 26 September 2014
[11] Wawancara
dengan bapak SF, Tokoh Agama RT.10 tanggal 26 September 2014
[12] Wawancara
dengan Dwi, warga tanggal 26 September 2014
[13] Pengamatan
tanggal 10 Oktober 2014 di Dusun Air Nona Desa Nibung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar