Senin, 09 November 2015

hukum waris di Irak



Model Integrasi Sunni-Syi’ah dalam Hukum Keluarga
(Kasus Irak)
Oleh: Juandi, M.S.I
A. Pendahuluan
Fenomena pembaharuan dalam hukum keluarga secara umum terjadi hampir di semua negara muslim atau mayoritas berpenduduk muslim. J N D Anderson mencatat tentang kecenderungan hukum Islam di dunia moderen dalam tiga katagori yaitu: 1. system-sistem yang masih mengaku syari’ah sebadai dasar fundamental dan menerapkan secara utuh, 2. system yang telah meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum skuler, 3. system yang melakukan kompromi kedua pandangan tersebut.[1]. Kecenderungan negara-negara yang menggunakan sistem ketiga, setelah dilacak ternyata adalah pembaharuan dalam hukum keluarga saja baik yang terkait dengan perkawinan, perceraian, kewarisan dan sebagainya. Isu-isu yang diangkat pun lebih cenderung untuk mengangkat hak-hak wanita dan persamaan.[2] Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tahir Mahmud bahwa Negara-negara yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga mula-mula diperkenalkan  oleh Turki dengan produknya The Ottoman Law of Family Rights tahun 1917 yang kemudian  diikuti Lebanon. Antara tahun 1920-1946 negara Mesir mulai melakukan reformasi terhadap hukum keluarga mazhab Hanafi yang diikuti dengan metode yang sama. Kemudian barulah negara-negara muslim lainnya memperkenalkan reformasi hukum yang sama seprti yang terjadi di Sudan, Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Algeria, Irak, Iran dan Pakistan.[3]
Bila kita melihat lebih mengkerucut lagi, negara-negara Islam yang memberlakukan hukum keluarganya dapat dibedakan menjadi tiga pula: pertama negara yang memberlakukan hukum keluarga Islam secara tradisional. Masih memberlakukan fiqih mazhab dan tidak dikodifikasi dalam bentuk perundang-undangan. Tergolong kelompok pertama ini adalah Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrein, Kuwait dan sebaginya. Kedua adalah negara-negara sekuler dimana hukum keluarga telah digantikan dengan undang-undang atau hukum moderen yang berlaku untuk seluruh penduduk. Turki dan Albania adalah contoh terbaik untuk kelompok Negara ini. Ketiga, kelompok negara yang telah melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga. Termasuk dalam kelompok ini adalah Mesir, Sudan, Jordan, Syiria, Tunisia, Maraco, Algeria, Irak, Iran dan Pakistan.[4]
Melihat pengelompokan tersebut, negara Irak masuk pada kelompok ketiga yaitu telah melakukan pembaharuan-pembaharuan dalam hukum keluarga dengan bentuk undang-undang (hukum tertulis). Peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini adalah The Code of Personal Status and Supplementary Laws 1959-1984 (kitab undang-undang hak pribadi dan hukum-hukum tambahan 1959-1984). Sebagai catatan, perubahan struktur pemerintahan Irak pasca invansi Amerika, sejauh ini, belum berimbas pada perubahan struktur perundangan-undangan dalam hukum keluarga, sejauh informasi yang didapatkan.
Tulisan ini berusaha melihat sejauhmana perkembangan dan pembaharuan yang dilakukan Irak dalam persoalan hukum keluarga terutama hukum kewarisan. Pada dasarnya pengembangan dan pembaharuan hukum di negara-negara Islam moderen ditemukan dua sifat reformasi hukum yang dikembangkan yaitu: intra-doctrinal reform, sifat ini nampak dengan adanya reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan menggabungkan pendapat beberapa imam mazhab atau mengambil pendapat imam mazhab di luar mazhab yang dianut. Inilah yang disebut dengan metode talfiq dan taghayur. Kemudian yang bersifat ekstra-doktrinal reform yang melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga dengan cara memberikan penafsiran yang baru sama sekali terhadap nash yang ada. Inilah yang kemudian disebut metode ijtihad.[5] Sedangkan Anderson mengemukakan metode-metode reformasi hukum yang dilakukan di Negara-negara muslim ada lima, yaitu the procedural expedient (takhsis al-qadha’/kebijakan prosedural), the eclectic expedient (taghayur/kebijakan memilih ketentuan dari mazhab yang berbeda), the expedient of re-interpretation (kebijakan re-interpretasi atau ijtihad), the expedient of administrative orders (kebijakan tata tertib administrasi), dan the expedient of reform by judical decisions (kebijakan reformasi melalui keputusan hakim).[6] Berdasarkan teori inilah akan dikupas lebih mendalam tentang perkembangan hukum kewarisan di Irak.
B. Perkembangan Hukum Keluarga di Irak
Irak adalah sebuah negara Republik yang terletak di sebelah Barat Daya Asia di Selatan berbtasan dengan Kuwait dan Arab Saudi, di Barat berbatasan dengan Yordania dan Suriah, di utara berbatasan dengan Turki dan di timur berbatasan dengan Iran.[7]
Penduduk Irak yang berjumlah kurang lebih 23 juta jiwa memang secara mayoritas adalah muslim (97%) sedangkan sisanya Kristen, Yahudi dan lain-lain (3%).[8] Namun, penduduk muslim Irak ini dikelompokan dalam tiga bagian yaitu: kelompok Arab Syi’ah, Arab Sunni dan Kurdi Sunni. Kelompok pertama adalah mayoritas dengan jumlah 3/5 dari penduduk Irak, mereka tinggal di bagain selatan dan tenggara Irak. Kelompok kedua berjumlah sekitar 1/3 dari penduduk Irak yang menempati daerah sentral Irak sekitar kota Bagdad. Sedangkan kelompok Kurdi Sunni berjumlah 1/5, mereka tersebar di daerah utara dan timur laut Irak dan berbahasa Farsi atau Persian. Walaupun kelompok Syi’i adalah mayoritas, namun secara politik, kelompok Sunni mendominasi. Hal ini dapat dilihat diparlemen-parlemen[9] Irak sebelum adanya invansi Amerika.
Berbeda dengan negara semisal Mesir atau Tunisa, yang sebelum diadakan kodifikasi perundang-undangan dalam permasalahan perkawinan, menganut mazhab Maliki dan Hanafi atau Syafi’I yang masih dalam satu paham Sunni, justru Irak adalah negara yang begitu rumit dengan paham Sunni dan Syi’i. Mungkin akan lebih mudah bagi negara-negara semisal Mesir atau Tunisia untuk membuat aturan perundangan, dengan model talfiq atau mencampurkan aturan-aturan hukum dari mazhab-mazhab yang ada, menjadi undang-undang yang dapat diterima masyarakat, karena diantara mazhab fikih yang ada, tidak banyak perbedaan yang sangat signifikan. Sebaliknya, setengah dari penduduk Irak muslim adalah penganut mazhab Ja’fari dan sebagaian lagi menganut mazhab Hanafi. Namun, bagaimanapun, pemerintah memandang perlu untuk melakukan kodifikasi secara komprehensif terutama dalam persoalan hukum keluarga ini.
Tanah Irak telah menjadi bagian dari Ottoman Empire (kerajaan Turki Usmani) pada abad 16. Selama dua ratus tahun Irak diperintah oleh rezim Turki Usmai. Dari tahun  1850 semua aturan civil, aturan-aturan hukum dan hukum ekonomi yang resmi di kerajaan (termasuk di dalamnya aturan sipil tahun 1876 diterapkan juga di Irak.[10] Hingga akhir periode Turki Usmani, semua daerah hukum Irak diatur berdasarkan hukum Syari’ah tanpa membedakan antara hukum sipil dan hukum status personal. Pada tahun 1917, dengan dibentuknya pengadilan-pengadilan, pengadilan syari’ah hanya bertanggungjawab dalam persolan status personal penganut mazhab Sunni. Pada tahun 1918 peraturan pengadilan syari’ah dibentuk, dimana “Majelis Tamyiz Syar’i” dibentuk untuk meninjau ulang aturan-aturan yang dibuat oleh pengadilan syari’ah Sunni. Persoalan-persoalan yang terkait dengan status privat untuk mazhab Ja’fari diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil.[11]
Pada tahun 1922 pemerintah memutuskan bahwa hukum sementara prosedur syari’ah yang dibentuk kerajaan Turki Usmani harus diterapkan. Undang-undang peradilan syari’ah kemudian dibentuk pada tahun 1923, yang di dalamnya pengadilan syari’ah yang bermazhab Ja’fari dibentuk dan dibentuk juga dewan pengurus peninjauan hukum Islam mazhab Ja’fari. Lembaga ini membantu pembentukan The Basic Law yang dibentuk tahun 1925.[12]
Pada tahun 1947 dibentuklah Comitte for Judicial Affairs yang kemudian menyetujui satu draf code of personal status. Draf tersebut berisikan 3 aturan yaitu perkawinan, warisan dan wasiat. Mengenai dua subjek yang pertama, hanya mengatur poin-poin yang berbeda antara mazhab Hanafi dan Ja’fari, namun untuk peraturan waris secara umum aturan tersebut menjalakan system mazhab hanafi untuk kalangan muslim sunni dan system mazhab Ja’fari untuk kalangan Syi’i. Namun draf aturan ini tidak dapat diundangkan.[13] Karena terjadi perlawanan keras terutama dari kalangan muslim syi’i.
Pembentukan undang-undang dalam hukum keluarga di Irak baru terlaksana pada tahun 1959 dimana peraturan yang dibuat merujuk pada prinsip-prinsip syari’ah yang secara umum dapat diterima dan yang diberlakkan di negara-negara Muslim kemudian disepakati bersama yang kemudian dimantapkan dalam perundangan Irak. Draf ini dipersiapkan oleh sebuah komite yang secara kuantitas draf lebih sedikit jumlahnya dibandungkan dengan draf sebelumnya pada tahun 1947. Qanun al-Ahwal as-Syakhsiyah (law of personal status) ini tentunya mengambil prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan untuk semua masyarakat tanpa melihat mazhab-mazhab fiqih yang diikuti. Bagi pemerintah yang terpenting keputusan-keputusan komite diambil dari civil code dan dari perundangan Negara-negara muslim yang memiliki sumber pendukung dan tidak kontradiksi. Sehingga banyak aturan hukum Irak memiliki kesamaan dengan perundangan hukum keluarga yang diterapkan di Mesir, Yordania, Lebanon, dan Syiria.[14]
Perundang-undangan yang diberlakukan di Negara Irak sekarang adalah: undang-undang tahun 1959 {(The Irak Law of Personal Status) (law no. 188/1959) kemudian diadakan perubahan-perubahan yang sangat signifikan tahun 1963 (law no. 11/1963) tambahan bab IX tentang waris dan kemudian pada tahun 1978 (law no.21.1978) yang berhubungan dengan hak-hak wanita dalam perkawinan dan perceraian}, Civil Code 1951 (Kitab Undang-Undang Civil tahun 1951 (drafted by ‘Abd al-Razzaq al-Sanhuri)[15]), Law No. 35/1977 outlining Arab Ba’ath Socialist Party’s guidelines and goals for law reform (garis besar petunjuk-petunjuk partai sosialis Arab Ba’ath dan tujuan untuk perubahan hukum), Law No. 78/1980 on Minors’ Welfare (tentang kesejahteraan minoritas), Law No. 125/1981 on Husband’s Sodomy as Ground for Divorce (liwat sebagai alasan perceraian), Law No. 77/1983 on Divorced Wife’s Right to Residence (hak tempat tinggal istri yang dicerai), Law No. 5/1986 on Drinking Alcohol as Ground for Divorce (tentang alasana perceraian karena mabuk-mabukan), Law No. 106/1987 on Mothers’ Custody Rights (tentang hak-hak pengasuhan.).[16]
Dalam aturan tentang kewarisan, perundangan Irak menggunakan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang no. 188/1959 yang kemudian diamandemen dengan undang-undang law no. 11/1963. Dari peraturan yang ditetapkan dalam persoalan waris didapatkan ada beberapa perbedaan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan fikih mazhab. Pertama, hak cucu untuk dapat mewarisi harta kakek sebagai harta yang seharusnya didapatkan oleh orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu. Kedua, ketentuan jumlah yang sama bagi ahli waris laki-laki dan perempuan yang kemudian ketentuan ini banyak ditentang oleh ulama.[17]
C. Hukum Kewarisan Irak
Ketentuan hukum waris dalam perundangan Irak terdapat dalam Bab IX undang-undang no. 188 tahun 1959[18] yang telah diamandemen. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 86 sampai pasal 93. Pasal 86 terdiri dari tiga ayat. Ayat pertama membicarakan tiga elemen dalam kewarisan yang harus dipenuhi. Pasal 86 ayat 2 menjelaskan tentang sebab orang saling mewarisi. Ayat 3 mengatur tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan terjadinya pewarisan antara elemen-elemen yang terdapat dalam pasal 86 pada ayat satu.
 Tiga elemen dalam hukum waris meliputi murist atau orang yang mewarisi (almarhum), warist atau orang yang masih hidup dan berhak untuk mewarisi, dan mirast atau harta yang ditinggalkan oleh almarhun untuk ahli warisnya. Ketiga elemen ini adalah hal yang wajar dan selalu sama dalam setiap peraturan waris dimanapun karena jika salah satunya tidak ada maka ketentuan waris ini belum atau tidak dapat dijalankan. Adapun sebab yang menjadikan seseorang untuk saling mewarisi ada dua, yaitu hubungan kekerabatan dan perkwainan yang sah. Ketentuan ini juga berlaku sama di dalam peraturan perundungan manapun. Pada pasal tiga ayat 86 yang menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan terjadinya pewarisan memberlakukan tiga ketentuan, yaitu dalam hal meninggal dunia, baik hakiki maupun majazi (diangap meninggal dunia oleh hukum).  Kondisi kedua bukti tentang hidupnya ahli waris setelah meninggal dunia sesorang, dan ketiga pengetahuan ahli waris tentang dasar perpindahan harta.
Pasal berikutnya, 87, memuat ketentuan empat hak-hak yang berhubungan dengan harta yang ditinggalkan oleh almarhum yang harus dilakukan oleh ahli waris, yaitu terkait dengan biaya pemakaman almarhum dengan cara-cara berdasarkan ketentuan syari’ah, menyelesaikan pembayaran hutang yang dibuat almarhum sekalipun menghabiskan harta peninggalan, pelaksanaan harta pusakanya yang dibuat dari sepertiga hartanya (mungkin maksudnya penyelesaian wasiat), dan mendistribusikan sisa harta tersebut diantaraa orang-orang yang berhak mewarisi.
Orang-orang yang diberi hak mewarisi dalam ketentuan undang-undang ini dikelompokkan menjadi empat katagori, yaitu ahli waris yang memiliki hubungan dekat (kerabat) dan melalui perkawinan yang sah, “pengakuan sanak saudara” almarhum, “legeslasi universal”(wasiat umum) yang dibuat almarhum, dan bayt al-mal. Ketentuan ini nampaknya unik karena menetapkan pihak-pihak tertentu yang berada di luar ketentuan hukum waris secara umum. Ketentuan pihak yang berhak mendapatkan harta warisan ini terdapat dalam pasal 88.
Ketentuan selanjutnya yang ditetapkan dalam pasal 89 menjelaskan tentang ahli waris-ahli waris yang karena hubungan dan posisinya berhak untuk mewarisi, yaitu 1). Orang tua (ayah ibu), anak, cucu, berdasarkan aturan laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan. 2) kakek, saudara laki-laki dan perempuan, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan (keponakan), dan 3) paman dan bibi dari pihak ayah dan pihak ibu; dan ahli waris sekandung.
Pasal 90 menjelaskan bahwa aturan-aturan pembagian harta warisan yang telah disebutkan sebelumnya, pendistribusian harta diantara ahli waris karena hubungan kekerabatan dibuat berdasarkan ketentuan dengan aturan-aturan syari’ah yang diikuti sebelum undang-undang yang terdapat dalam Law of Personal Status no. 188 tahun 1959, sebagaimana akan menjadi kasus dalam hal untuk meletakan ketentuan yang berhubungan dengan waris. Kemudian pasal 91 menetapkan bahwa suami mendapat hak seperempat harta jika ada anak dari istrinya yang meninggal, dan jika tidak ada anak suami mendapat setengah. Jika istri yang mewariskan suami maka ia diberi hak untuk mendapatkan seperdelapan harta jika ada anak dan ia mendapat seperempat jika tidak ada anak.
Pasal 92 menetapkan aturan jika terjadinya pertentangan dengan undang-undang yang sudah ada. Pasal tersebut menetapkan bahwa Semua ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut yang dibuat dalam  perundangan ini dicabut. Kemudian pada pasal 93 menetapkan pemberlakuan perundangan ini. Atuaran ini akan diberlakukan dari tanggal ditetapkan dalam lembaran Negara. Dua pasal terakhir ini tidak hanya berlaku pada pasal-pasal yang berhubungan dengan kewarisan tetapi mencakup keseluruhan materi perundangan tersebut.
D. Ketentuan Hukum Waris Mazhab Sunni dan Syi’ah
Bagian ini menguraikan tentang ketentuan waris dari mazhab Sunni dan Syi’ah. Ketentuan ini perlu diuraikan untuk melihat sejauhmana perkembangan dan pembaharuan hukum waris di Irak. Ketentuan waris mazhab Sunni didasarkan pada empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sedangkan mazhab Syi’ah menganut fikih mazhab Ja’fari.
Terdapat beberapa ketentuan yang berbeda antara mazhab Sunni dan Syi’Iah dalam hukum waris. Pertama, pada persoalan bagian tetap penerimanya. Baik mazhab Sunni maupun mazhab Si’ah membaginya menjadi enam ketentuan yang didasarkan pada ayat al-Qur’an, yaitu seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Seperdua hak harta adalah bagian yang diberikan kepada anak perempuan yang dalam penjelasannya disyaratkan bersetatus tunggal, saudara perempuan yang sekandung atau seayah sepanjang tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah, dan diberikan kepada suami apabila tidak ada anak. Seperempat diberikan kepada suami manakalah istri meninggal mempunyai anak, dan istri yang apabila suami meninggal mempunyai anak. Seperdelapan diberikan kepada istri yang apabila suami meninggal mempunyai anak. Dua pertiga diberikan kepada anak perempuan yang berjumlah dua orang atau lebih dengan ketentuan tidak ada anak laki-laki, dan kepada saudara perempuan yang berjumlah dua atau lebih yang sekandung atau seayah dengan ketentuan tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau seayah. Sepertiga siberikan kepada ibu sepanjang tidak ada anak almarhum dan juga tidak ada saudara-saudarai almarhum yang menghalanginya untuk mendapatkan sepertiga bagian. Seperenam diberikan kepada ayah apabila almarhum tidak mempunyai anak dan juga kepada ibu dengan adanya anak laki-laki atau saudara-saudaranya, dan diberikan juga kepada saudara laki-laki atau perempuan seibu.[19]
Ketentuan selanjutnya tentang mereka yang medapatkan harta warisan dengan katagori penerima ‘ashabah. Ketentuan ‘ashabah ini dalam hukum waris islam dibagi menjadi tiga, yaitu ashabah bi an-nafsih, ashabah bi al-ghairih, dan ashabah ma’a al-ghairih. Pada pembahasan ‘ashabah ini mazhab Sunni mengembangkan semacam tradisi patriachalnya, yaitu dengan memasukan mereka yang tidak disebutkan dalam teks al-Qur’an. Dapat ditemukan katagori ashabah bi an-nafsih adalah anak laki-laki, cucu laki-laki garis anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah, kakek dari pihak ayak ke atas, saudara sekandung, saudara seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman sekandung dari garis ayah, paman seayah dari garis ayah, anak paman sekandung, dan anak paman seayah. Penerima ashabah bi al-ghairih adalah seorang anak perempuan atau lebih, cucu perempuan dari garis anak laki-laki, saudara perempuan sekandung berapapun jumlahnya, dan sauara perempuan seayah berapa pun jumlahnya. Sedangkan ashabah ma’a al-ghairih diterimah oleh seoarang saudara perempuan atau lebih yang sekandung atau seayah yang bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.[20] Bertolak belakang dengan ketentuan mazhab Sunni, mazhab Syi’an (Imamiyah) menolak adanya ahli waris secara ‘ashabah dan membatasi pembagian harta bagi mereka yang mendapat fard dan kerabat tanpa membedakan kerabat wanita dan laki-laki.[21] Pembagian ahli waris laki-laki dan perempuan dalam procedural bertingkat ini dalam istilah David S Poewer disebut ahli waris primer dan ahli waris sekunder,[22] walaupn dalam pengertian dan procedural yang jauh berbeda. Tingkatan ahli waris dalam mazhab Syi’ah adalah: 1) orang tua dan anak-anak seterusnya ke bawah; 2) saudara laki-laki dan saudara perempuan , kakek dan nenek terus ke atas dengan semua jalur; 3) para paman dan bibi serta anak-anak mereka di semua jalur.[23]
Secara umum, pengelompokan ahli waris yang memiliki hubungan darah bagi mazhab Syi’ah dikelompokan berdasarkan bagian perolehan dan berdasarkan bentuk hubungan darah. Pembagian yang pertama dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu zawi as-siham, orang yang mendapat bagian pasti dan zawi al-qarabah, orang yang mendapatkan sisa setelah harta tersebut dikeluarkan untuk bagaian golongan pertama. Orang-orang yang menempatkan golongan pertama dan besar sahamnya hampir sama dengan ketentuan mazhab Sunni, hanya saja mereka berbeda dalam persoalan siapa menghijab siapa. Sedangkan golongan kedua, zawi al-qarabah terdiri dari anak laki-laki dan perempuan atau laki-laki saja, ayah sekiranya tidak ada anak, serta saudara kandung laki-laki atau perempuan sekandung atau seayah saja atau laki-laki saja. Ketentuan zawi al-qarabah ini hampir memiliki kesamaan dengan konsep ‘ashabah dalam mazhab Sunni. Perbedaannya mazhab Syi’ah mengharuskan golongan ini dari jenis hubungan dan jarak derajat yang sama dengan zawi as-siham.[24] Sementara mazhab Sunni tidak membedakan jenis hubungan dan tingkat derajat. Adapun berdasrkan bentuk hubungan darah, ahli waris dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berikut secara singkat akan diperlihatkan contoh perbandingan pendapat Sunni (kalangan Jumhur) dan Syi’ah (mazhab Ja’fari) dalam berbagai kemungkinan tentang pembagian harta:[25]
No
Ahli waris
Pembagian Mazhab Sunni (Jumhur)
Pembagian Mazhab Syi’ah (Ja’fari)
1
Satu cuc pr (drj.I), satu cucu lki-lki garis pr. (drj. II)
½ + sisa, zawi al-arham
½ + sisa, terhijab
2
Satu anak pr (drj. I), satu cucu pr. Garis lki-lki. (drj II), satu cucu lki-lki.Gris lk-lk. (drj.III)
½, 1/6, ‘ashabah
½ + sisa, terhijab, terhijab
3
Satu cucu pr. Grs.lk (drj.II), satu cucu lk gris pr (drj.II), satu cucu lk. Gris. Lk (drj III)
1/3, zawi al-arham, ‘ashabah
2/3, 1/3. terhijab
4
Ayah, ibu, cucu lk.grs.pr
2/3, 1/3, zawi al-arham
1/5, 1/5, 3/5
5
Istri, satu anak pr., ayah dari ayah
1/8, ½, ‘ashabah
1/8, ½ + sisa, terhijab
6
Istri, satu anak pr., satu cucu pr.grs. lk., satu saudara lk. Kandung
1/8, ½, 1/6, ‘ashabah
1/8, ½ + sisa, terhijab, terhijab
7
Suami, ibu, saudara lk. Sekandung
½, 1/6, ‘ashabah
½, 1/3 + sisa, terhijab
8
Satu cucu pr.grs.lk, satu cucu lk.grs.pr., satu saudara lk.seayah
½, zawi al-arham, ‘ashabah
2/3, 1/3, terhijab
9
Satu saudara pr.sekandung, satu saudara lk.sekandung
½, ‘ashabah
½ + sisa, terhijab
10
Nenek grs.ayah, kakek grs.ibu, satu anak lk. dari saudara lk.sekandung, satu anak pr.dari saudara lk.sekandung
1/6, zawi al-arham, ‘ashabah, zawi al-arham
6/27, 1/3, 8/27, 4/27

Coulson membagi untuk kasus nomor 10 bagi mazhab Ja’fari adalah ayah dari ibu mendapat 1/6, dan karenanya saham yang lain berubah menjadi ibu dari ayah mendapat 5/18, anak laki-laki saudara mendapat 20/54 dan anak perempuan saudara mendapat 10/54. Sedangkan saudara laki-laki kandung mendapat dua kali bagian ibu dari Ayah (12/27).
Secara umum, perbedaan penting antara konsep waris Sunni dan Syi’ah adalah dalam dataran pendekatan yang digunakan. Sunni menggunakan ketentuan khusus dalam al-Qur’an yang dapat diaplikasikan dan mempengaruhi individu-individu yang disebutkan di dalamnya tanpa merubah hukum adat pra-Islam dan penggunaan-penggunaanya. Sedangkan Syi’ah menggunakan aturan khusu al-Qur’an hanya sebagai ilustrasi prinsip umum yang pokok di dalamnya.[26]
E. Pembaharuan dalam Hukum Kewarisan di Irak
Ada beberapa poin-poin pembaharuan hukum di Irak yang dapat ditemukan diantaranya: hukum yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian dan aturan tambahan. Bagaian pertama terdiri dari poligami, syarat-syarat dalam perjanjian perkawinan, kecakapan untuk menikah, nafkah istri, talaq, pembubaran perkawinan melalui pengadilan. Sedangkan bagian tambahan terdiri dari waris, aturan jika tidak ada waris.[27]
Adapun persoalan waris diatur pada bab IX mulai dari pasal 86 hingga 93 UU no.188/1959. Yang mungkin perlu dikemukakan dalam permasalahan hukum waris di Irak adalah apa yang dikemukakan N J Coulsen. Menurutnya ada kecenderungan untuk menarik peraturan kewarisan di Irak kearah mazhab Syi’ah. Di sini terlihat begitu menonjol proses seleksi doktrin-doktrin yang berbeda antara Sunni dan Syi’ah. Hukum kewarisan Sunni menekankan pada hak-hak keturunan laki-laki, mengkonsumsi system masyarakat suku. Tetapi melihat kebutuhan system social Irak kontemporer yang mengalami disintegrasi dan unit masyarakat bertumpu pada lingkungan keluarga kecil atau keluarga inti, yakni orang tua dan anak-anak, dimana wanita memiliki peran dan tanggung jawab yang semangkin tinggi. Sedangkan di sisi lain pewarisan Syi’ah menekankan secara konsisten tuntutan-tuntutan lingkungan keluarga kecil dan memberikan kepada wanita posisi yang penting di dalamnya. Dengan pergesaran sistem keluarga, maka tidak sulit bagi masyarakat Sunni menerima proses transisi ke Syi’i. Hal ini dilakukan karena bagi masyarakat Sunni yang tidak mempunyai keturunan laki-laki akan lebih baik untuk menerapkan system pewarisan Syi’ah dari pada harta yang ada jatuh ke pihak keluarga garis laki-laki yang jauh. Setidak-tidaknya system Syi’ah ini mampu menjaga harta warisan agar anak wanita tetap mendapatkan harta. Menurut Coulsen, pewarisan Irak ini adalah contoh pertama di mana prinsip seleksi (talfiq) yang menorobos batas perbedaan tradisional antara ortodoxsi dan Islam sekretarian dengan menerapkan fikih Syi’ah kepada masyarakat Sunni.[28]
Dalam analisa yang berbeda Anderson menegaskan;
In a number of countries the reformers have, therefore, found different ways and means of furthering the interest of the nucleur family. The most radical reforms of all was introduced, naturally enough, in Iraq, where rather more than half the population are shi’is, and where a number of sunnis are alleged to have espoused shi’is allegiance precisely because the shi’i system of inherientance  was better suited than the sunni to their family circumstance. In its original form the Iraqi Law of 1959 even went so far as completely to abandon the islaamic law of inheritance, ang to adopt in its place the law (hukum local) (itself largely of german origin) whice was previously in force in the Ottoman Empire to regulate rights of sucession to the use of government land. Two reason were given for this astonishingly bold innovation: first, that the different between the Sunni and Shi’I system of inheritance were so radical that thay could not be reconciled; and, secondly, that neither the one nor the other ---unlike the relevant statute--- accorded women equal shares with men. But as soon as the ‘tyrant’ Abd al-karim Qasim was overthrown in 1963, this section of the law of 1959 was repealed and replaced by an amandement which made the general structure of the Shi’I system of inheritance applicable to all Iraqis (although within this basic framework of three mutually exlusive classe of heirs the Sunni still apply their own principles to the detailed division of an estate between individual claimants)[29]

Yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: di sejumlah Negara para reformis telah menemukan cara-cara yang berbeda dan langkah-langkah maju yang mengarah pada bentuk necleur family. Reformasi yang paling radikal dari semua reformasi yang dikenal, cukup natural, terjadi di Iraq, dimana lebih dari setengah populasinya adalah Syi’ah dan dimana sejumlah golongan Sunni diduga telah mendukung pengikut Syi’ah justru karena system kewarisan Syi’ah lebih cocok dari hukum Sunni bila melihat keadaan keluarga mereka. Dalam bentuk aslinya undang-undang Iraq tahun 1959 bergerak sejauh ini secara keseluruhan meningggalkan hukum kewarisan Islam, dan mengadopsi hukum local (yaitu sebagain besar hukum Jerman) yang sebelumnya dalam kekuasaan Ottoman Empire meregulasi hak-hak perpindahan harta untuk penggunaan tanah Negara. Dua alasan yang dikemukakan untuk menunjukan inovasi ini: pertama, adanya perbedaan antara sistem kewarisan Sunni dan Syi’ah yang secara radikal keduanya tidak dapat direkonsiliasikan; dan kedua, baik hukum yang satunya maupun yang lain ---tidak seperti undang-undang yang relevan--- menyesuaikan persamaan bagian wanita dengan laki-laki. Tetapi selama “kekuasaan tirani” Abd al-Karim Qasim yang digulingkan tahun 1963 (1962?), aturan undang-undang tahun 1959 ini dicabut dan digantikan melalui amandemen yang membuat stuktur umum system kewarisan Syi’ah dapat diaplikasikan pada semua masyarakat Iraq (sekalipun dalam ketentuan ini kerangka dasar tiga golongan ahli waris yang saling tertutup, Mazhab Sunni masih menggunakan prinsip-prinsup kewarisannya untuk perincian bagian harta antara tuntutan-tuntutan individu).
Apa yang dikemukakan Coulsen maupun Anderson sejauh ini telah memberikan gambaran bagaimana kebijakan Negara mencoba membuat aturan lintas mazhab yang tentunya sangat sulit untuk disatukan. Walaupun apa yang dikemukakan Anderson tentang kecenderungan Undang-undnag no. 188/1959 lebih dekat dengan kebijakan hukum lokal, namun ia lupa bahwa interaksi agama dengan budaya lokal telah memberikan begitu banyak inspirasi hukum secara kreatif. Namun bagaimanapun, apa yang dilakukan pemerintah Qasim terhadap ketetapan hukum waris cenderung memiliki visi penyamaan kedudukan perempuan dengan memberikan perbandingan saham yang sama dengan laki-laki. Hanya saja ketika rezim Qasim berganti maka ketentuan hukum kewarisan dikembalikan kepada perbandingan 2:1 seperti biasanya.[30] Kebijakan ini tentu dapat dimaklumi karena melahirkan ketegangan yang luar biasa dalam masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh Munawir Sjadzali di Indonesia.[31] Jadi, polemik mengarahkan peraturan kewarisan Islam yang tidak mengikat 2:1 sudah terjadi di Negara-negara Islam sekalipun hal tersebut menimbulkan reaksi keras. Sekalipun demikian, ketentuan kewarisan Irak sekarang setidak-tidaknya telah membuka peluang bagi Negara untuk secara perlahan mengikis ketegangan Sunni dan Syi’ah sekalipun upaya ini masih jauh dari kata cukup. Dari analisa keduanya yang menarik adalah adanya dukungan masyarakat Sunni terhadap system kewarisan Syi’ah untuk diterapkan dalam perundangan mereka karena lebih menunjukan keadilan berimbang antara hak mewarisi laki-laki dan perempuan. Di sini, masyarakat tidak mempermasalahkan talfiq, yaitu mencampuradukan ketentuan hukum dari beberapa mazhab hukum. Bahkan ini dijadikan metode pengembangan hukum yang lebih kontekstual bagi masyarakat setempat. Jadi, system kewarisan Irak adalah contoh talfiq terbaik yang mengadopsi bukan hanya berbeda mazhab tetapi juga dianggap berbeda secara teologi (Sunni-Syi’ah).
Terlepas dari itu semua, perkembangan hukum waris di Irak perlu ditelusuri per pasal sehingga mendapat gambaran yang lebih jelas sejauh mana keberanjakan aturan kewarisannya dari ketentuan fikih mazhab. Dari sini kemudian dapat dilihat metode apa saja yang dapat digolongkan dalam peraturan perundangan-undangannya selain talfiq.
Pada pasal 86 ayat 1 mencakup tiga elemen  dalam hukum waris yang menjadi rukun waris, yaitu meliputi murist atau orang yang mewarisi (almarhum), warist atau orang yang masih hidup dan berhak untuk mewarisi, dan mirast atau harta yang ditinggalkan oleh almarhun untuk ahli warisnya. Ketentuan ini sama seperti yang ada dalam mazhab fikih sehingga tidak ada proses pembaruan dalam aturan tersebut. Ketentuan ayat 2 yang mengatur sebab mewarisi, yaitu hubungan kekerabatan dan perkawinan yang sah juga tidak berbeda dengan ketentuan fikih manapun. Sedangkan ayat 3 tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan terjadinya pewarisan juga tidak mengalami perubahan sebagaimana yang sudah ada dalam ketentuan fikih. Secara kesuluran pasal 86 ini jika mengacu pada sifat reformasi hukum keluarga di Negara muslim maka dapat digolongkan ke dalam katagori intra doctrin reform.
Aturan pada pasal 87 yang memuat empat ketentuan yang berhubungan dengan harta yang ditinggalkan oleh almarhum juga tidak banyak berbeda dari ketentaun mazhab baik Jumhur maupun Ja’fari. Hanya saja mungkin berbeda dalam urutan-urutan mana yang didahulukan dan mana yang diakhirkan. Yang menarik justru ketentuan yang terdapat dalam pasal selanjutnya (88) dimana undang-undang membuat ketetapan empat golongan yang berhak atas harta peninggalan, yaitu ahli waris yang memiliki hubungan dekat (kerabat) dan melalui perkawinan yang sah, “pengakuan sanak saudara” almarhum, “universal legeslasi”(wasiat umum) yang dibuat almarhum, dan bayt al-mal. Dalam tradisi Sunni tiga golongan terakhir masuk dalam katagori yang berhak mendapatkan harta peninggalan tetapi bukan dengan jalan mempusakai, yaitu orang yang diakukan (mengakui) nasabnya oleh si mati kepada orang lain, orang yang diberi wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan, dan bayt al-mal.[32] Nampakanya dalam perundangan Irak tersebut mencakup secara umum katagori orang atau lembaga yang berhak atas harta seseorang sehingga maksud dari penempatan ahli waris di tempat pertama sebagai gambaran bahwa yang paling berhak atas harta seseorang adalah ahli warisnya baru kemudian katagori selanjutnya. Aturan ini, tentunya, tidak diperbarui karena baik Sunni maupun Syi’ah mengakui penerimaan ini. Jadi, sifat aturan ini adalah penyesuaian ke dalam mazhab yang berkembang.
Ketentuan selanjutnya yang ditetapkan dalam pasal 89 menjelaskan tentang ahli waris-ahli waris yang karena hubungan dan posisinya berhak untuk mewarisi, yaitu 1). Orang tua (ayah ibu), anak, cucu, berdasarkan aturan laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian perempuan. 2) kakek, saudara laki-laki dan perempuan, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan (keponakan), dan 3) paman dan bibi dari pihak ayah dan pihak ibu; dan ahli waris sekandung. Aturan ini sangat jelas menunjukan pengaruh mazhab Syi’ah karena hanya mazhab Syi’ahlah yang membuat ketentuan ahli waris dengan membaginya berdasarkan derajat (golongan). Derajat 1 menghalangi penerimaan derajat 2, dan derajat 2 menghalangi penerimaan derajat 3. Pasal ini jika kita tarik dalam katagori the eclectic expedient justru akan lebih tepat tidak mengkatagorikannya sebagai talfiq atau mencampurkan ketentuan mazhab yang sudah ada karena ketentuan ini memang tidak mencampuradukan ketentuan mazhab, tetapi justru memegang satu mashab, yaitu Syi’ah (Ja’fari)
Kemudian pasal 91 menetapkan bahwa suami mendapat hak seperempat harta jika ada anak dari istrinya yang meninggal, dan jika tidak ada anak suami mendapat setengah. Jika istri yang mewariskan suami maka ia diberi hak untuk mendapatkan seperdelapan harta jika ada anak dan ia mendapat seperempat jika tidak ada anak. Ketentuan ini dibuat diluar ketentuan penggolongan ahli waris yang sudah disebutkan. Ada kemungkinan tidak memasukan pasangan ke dalam golongan manapun untuk memastikan bahwa yang menjadi ketentuan penggolongan ahli waris adalah yang berdasarkan nasab (pertalian darah) sedangkan berdasarkan sebab (perkawinan) tidak termasuk karena dalam kondisi apapun pasangan tetap mewariskan. Aturan tentang besarnya jumlah bagaian ini tidak berbeda dengan ketentuan Sunni dan Syi’ah, namun karena aturan Sunni biasanya langsung memasukan katagori pasangan dalam satu paket ahli waris maka dapat dipastikan bahwa aturan ini ditetapkan berdasarkan pemikiran mazhab Syi’ah.
Pasal 92 menetapkan bahwa semua ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut yang dibuat dalam  perundangan ini dicabut. Ketentuan ini sebagai antisipasi karena adanya berbagai aturan yang benar-benar baru dan bertentangan dengan aturan sebelumnya. Hal ini merupakan politik pemerintah untuk menerapkan kebijakannya. Sebagaimana yang dikemukakan Anderson dan Coulsen di atas bahwa UU no 188/1959 telah diamandemen padahal undang-undang ini sejauh pengamatan keduanya lebih mengarah pada aturan local setempat.
Perbedaan secara menyeluruh dari system kewarisan Irak adalah sejak tahun 1963 mereka menganut sistem qarabah mazhab Ja’fari. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 89 tentang ahli waris maka ketentuan system kekerabatan secara teoritis adalah keturunan menghijab garis sisi. Akan tetapi dalam dataran prakteknya, mereka harus mnafsirkan ketentuan tersebut dengan dua penafsiran. Pertama, bagi mereka yang bermazhab Ja’fariah menggunakan penafsiran sesuai dengan mazhab Ja’fariah. Kedua, bagi mereka yang bermazhab Sunni menggunakan penafsiran yang disesuaikan dengan ketentuan mazhan Hanafi.[33] Misalnya jika ahli waris itu adalah satu anak perempuan, satu cucu laki-laki garis perempuan dan saudara laki-laki, maka hukum waris Irak membagikan semua harta warisan tersebut kepada anak perempuan sedangkan cucu laki-laki dan saudara laki-laki sekandung tidak mendapatkan apa-apa karena terhijab.
Secara umum, kita dapat memetakan sifat reformasi hukum di Negara Irak. Pertama, pengembangan dalam hukum waris dalam peraturan perundangan Irak cenderung mengambil bentuk intra doctrinal reform yang dalam bentuk praktisnya lebih banyak mengambil ketentuan satu mazhab yang dianggap mewakili keinginan dari bentuk keluarga di sana, yaitu mazhab Ja’fari (Syi’ah). Kedua, metode-metode reformasi hukum yang dikemukakan oleh Andeson jika dikroscekkan pada peratura perudangan Irak dalam bidang kewarisan mengambil bentuk the procedural expedient (takhsis al-qadha’/kebijakan prosedural) karena menyangkut aturan-aturan yang dilaksanakan secara procedural yang jelas, the eclectic expedient (taghayur/kebijakan memilih ketentuan dari mazhab yang berbeda) yang jelasnya sudah dipaparkan dan khusus untuk ketentuan waris dipilih mazhab Syi’ah, the expedient of administrative orders (kebijakan tata tertib administrasi) yang ditunjukan secara umum dalam pasal 92, dan the expedient of reform by judical decisions (kebijakan reformasi melalui keputusan hakim) yang sangat dimungkinkan mengingat ketentuan ini menjadi sumber hukum material bagi pengadilan untuk memutuskan perkara waris di Irak.
Beralih pada persoalan politik, walau secara tidak langsung, interaksi Negara dan institusi waris dapat dilihat dalam kebijakan Negara yang cenderung populis. Irak, walaupun terjadi ketegangan awal dalam penetapan undang-undang hukum keluarga, termasuk waris di dalamnya, tetap berani mengambil langkah-langakah maju dalam mengatasi persoalan waris. Dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa ada kebutuhan masyarakat terhadap aturan waris yang dapat memberikan hak harta kepada anak-anaknya secara keseluruhan. Sehingga masyarakat Sunni pun tidak mengingingkan aturan waris mazhab Sunni, kecuali dalam hal-hal tertentu, tetapi lebih cenderung pada aturan Syi’ah. Posisi pemerintah lebih kompromistik dalam menghadapi maslah waris. Penguasa politik yang bermazhab Sunni, pada waktu itu, nampaknya tidak menjadikan persoalan ini sebagaai isu yang krusial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara politik penguasa Irak mengatur institusi waris dengan tidak banyak melakukan intervensi di dalamnya. Mungkin inilah salah satu jalan bagi pemerintah untuk mendapatkan respon positif terhadap kekuasaannya, tertutama dari masyarakat Syi’ah. Walaupun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Terakhir, dapat dicatat bahwa ada tiga model yang dapat ditemukan dalam persoalan perjumpaan institusi Negara dengan institusi agama, yaitu:
  1. Negara tidak mengintervensi (zero intervention)
  2. Negara mengintervensi institusi keagamaan tertentu secara penuh, baik substansi maupun managementnya (full intervention)
  3. Negara menyerahkan institusi keagamaan pada masyarakat tetapi mencampuri pengaturannya (quasi intervention)[34]
Dalam persoalan waris, karena memang lebih bersifat personal dan ketegangan yang ditimbulkan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat cenderung kecil, negara, secara politik, lebih memilih model quasi intervention.
F. Kesimpulan
Sejauh ini, bentuk hukum keluarga di Irak adalah paling unik karena bukan hanya melakukan percampuran antara mazhab-mazhab dalam kesatuan mazhab Sunni tetapi juga mengambil dari mazhab Syi’ah. Contoh terbaik sepanjang ketentuan perundangan ini adalah hukum waris yang lebih murnih ke-syi’ah-annya bila dibandingkan dengan hukum paerkawinan dan perceraian. Alasan yang logis dari ketetapan ini bahwa ketentuan mazhab Syi’ah (Ja’fari) lebih sesuai diterapkan pada masyarakat Irak sekalipun mereka yang berkuasa secara politik adalah pengikut Sunni (pada waktu itu di bawah kekuasaan partai Ba’ats). Dari sini terlihat bahwa kepentingan pemerintah cenderung tidak terlalu kuat, sehingga model perjumpaan antara institusi Negara dan Agama dalam hal ini adalah quasi intervention.









Daftar Pustaka
Abubakar, Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: INIS, 1998
Anderson, J N D, Islamic Law in the Moderen World,  New York: New York University Press, 1959
________, Law Reform In The Muslim Warld, London: The Anholone Press, 1976
Azra, Azyumardi (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Pt.Ikhtiar BAru Van Hoeve, 2005
Coulson, Noel J, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein, Yogyakarta: Navila, 2001
El Alami, Dawoud, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World, London: Cimel and Kluwer law international, 1996
http://www.law.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm#text,  akses tanggal 12 November 2006
Khan, Mohammad Mustafa Ali, Islamic Law of Inheritance: a New Approch, New Delhi: Kitab Bhavan, 1989
Kuran, Timur, “The Provision of Public Goods under Islamic Law: Origins, Impact, and Limitations of the Waqf System” dalam Journal of Law and Society Review, 2001
Mahmood, Tahir, Famili Law Reform in the Muslim World, Bombay: Tripathi, 1972
_____________ , Personal Law in Islamic Counties (History, Text and Comparative Analysis, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978
Mallat, Chinly, “Shi’ism and Sunnism in Irak”, dalam Chinly Mallat dan Jane Connors, Islamic Family Law, t.tp: school of oriental and African studies, 1990
Mugniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, alih bahasa: Masykur, dkk, cet ke-4, Jakarta: Lentera, 1999
Na’im, Abdullah Ahmad An-, Islamic Family Law in a Changing World: a Global Resource Book, (London: Zed Books Ltd, 2002
Power, David S., Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of inhetitance, Barkeley: University of California Press, 1986
Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung: PT al-Ma’arif, tt.
Summa, Muhammas Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, Jakarta: PT.Raja Grafindo Utama, 2005
Sjazhali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997


[1] J N D Anderson, Islamic Law in the Moderen World (New York: New York University Press, 1959), hlm. 83 Bandingkan dengan Tahir Mahmood, Famili Law Reform in the Muslim World (Bombay: Tripathi, 1972), hlm. 2-3
[2] Lebih lanjut baca: Ibid, terutama bagian ketiga (the Islamic law of marriage dan divorce) dan bagian keempat ( the Islamic law of inheritance).
[3] Tahir Mahmood, Famili Law Reform…, hlm. 7
[4] Muhammas Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim (Jakarta: PT.Raja Grafindo Utama, 2005), hlm. 162-1165.
[5] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 177. Tahir Mahmud mengelompokkan metode pembaharuan hukum islam kedalam empat katagori, yaitu takhayur, talfiq, siyasa shar’iyah dan ijtihad. Lihat: Tahir Mahmood, Famili Law Reform…, hlm. 12
[6] Norman Anderson, Law Reform In The Muslim Warld, (London: The Anholone Press, 1976), hlm. 43-82
[7] Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Pt.Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 209.
[8] https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/iz.html. akses tanggal 12 November 2006. jumlah penduduk tersebut sebelum terjadinya perang Irak.
[9] Abdullah Ahmad An-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: a Global Resource Book (London: Zed Books Ltd, 2002), hlm. 93
[10] Tahir mahmood, Personal Law in Islamic Counties (History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978), hlm. 49.
[11] Dawoud El Alami, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World (London: Cimel and Kluwer law international, 1996), hlm. 63. Namun sejak berakhirnya kekuasaan Turki Usmani di Irak, setelah Inggris datang membebaskannya pasca perang dunia I, aturan-aturan hukum peninggalan Turki Usmani dalam perkembangan tidak diterapkan oleh pemegang kebijakan Inggris untuk Irak disebabkan karena kenyataannya penduduk Irak terdiri dari golongan Sunni dan Syi’I yang secara kuantitas hampir sama. Ini berlangsung hingga terbentuknya kerajaan Irak dengan raja Faisal I (1921). Lihat:  http://www.law.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm#text akses tanggal 12 November 2006
[12] Dawoud El Alami, Islamic Marriage…, hlm. 63.
[13] Tahir Mahmood, Famili Law…, hlm. 137
[14] ibid
[15] Abd ar-Razzaq as-Sanuri adalah ketua komite pembentukan undag-undag tahun 1951 di Irak pada saat itu. Ia berasal dari Mesir. Sehingga dapat dipastikan bagaimana bentuk perundang-undangan Irak yang mengambil corak perundangan yang telah diberlakukan di Mesir. Namun hukum ini ternyata lebih islami dibandingkan hukum Mesir, walaupun  Sanuri tetap menghormati hukum Mesir. Namun sesungguhnya hukum yang diberlakukan di Irak sendiri masih mengadopsi dari hukum Majjallah (kodifikasi hukum keluarga pertama kali yang dilakukan oleh pemerintahan Turki Usmani) dan memadukan dengan hukum Mesir yang selama 70 tahun didominasi oleh hukum Perancis. Namun setidak-tidaknya, seperti yang ditulis dalam memorandum undag-undaang tersebut, aturan ini adalah usaha penyusunan hukum perdata di Arab yang bertujuan untuk menyatykan Arab dan juga sebagai jembatan menghubungi antara westernisasi yang terjadi di eberapa Negara Muslim dan Negara konservati. N D Anderson, Islamic Law…, hlm. 36-37.
[16] http://www.law.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm#text akses tanggal 12 November 2006.
[17] Chinly Mallat, “Shi’ism and Sunnism in Irak”, dalam Chinly Mallat dan Jane Connors, Islamic Family Law (t.tp: school of oriental and African studies, 1990), hlm. 78-90
[18] Seluruh isi perundangan ini diambil dari apa yang tercatat dalam Tahir Mahmood, Famili Law…, hlm. 151-2
[19] Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, alih bahasa: Masykur, dkk, cet ke-4 (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 550 Penejelasan tentang bagian ini ditemukan hamper di semua tulian tentang waris.
[20] Ibid., hlm. 52-3
[21] Ibid., hlm. 554
[22] David S. Power, Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of inhetitance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 96-7. Pembedaan ini penting untuk menjembtani pemahaman yang kontradiksi dalam al-Qur’an, yaitu prinsip dua banding satu yang hanya terjadi dalam kasus ahli waris tersebut dalam satu tingkatan (sebagai ahli waris primer) sedangkan dalam kasus beda tingkatan (ahli waris skunder) prinsip ini diabaikan. Sekalipun model primer skunder terdapat dalam kewarisan Syi’ah, mereka tidak menetapkan sebagaimana yang digambarkan Power karena dalam tingkatan ahli waris utama (derajat I) ada dua golongan yang dimasukan, yaitu orang tua dan anak. Sedangkan dalam katagorisasi yang dilakukan Power sebagai ahli waris primer adalah Anak maka ahli waris sekunder adalah orang tua. Jika anak tidak ada, yang menjadi ahli waris primer orang tua, maka ahli waris sekunder adalah saudara. Walaupun demikian, baik ahli waris primer maupun sekunder tetap mendpatkan bagian. Hanya saja bagian bagi ahli waris sekunder tidak mengikat pada prinsip li zakari mistlu hazi al-unstayain.
[23] Mugniyah, Fikih Lima Mazhab…, hlm. 555-6
[24] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 181-2
[25] Contoh secara keseluruhan diambil dari al Yasa Abubakar, Ibid., hlm203-4
[26] Mohammad Mustafa Ali Khan, Islamic Law of Inheritance: a New Approch (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 173-174
[27] Tahir Mahmood, Famili Law Reform…, hlm. 138-142.
[28] Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 46-47. secara jelasnya aturan kewarisan yang terdapatdalam mazhan Syi’I antara lain menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak atas warisan, tertib urutan ahli waris sangat alami yaitu mendudukan orang tua dan anak-anak dalam peringkat pertama dan paling berhak atas semua harta Mugniyah, Fikih…, hlm. 503. lebih lanjut mereka menolak adanya ahli waris asobah dan membatasi penerimaan warisan pada penerima fard dan kerabat tanpa memedakan antara laki-laki dan perempuan. Ibid, hlm.555.
[29] Anderson, Law Reform…, hlm. 150-1
[30] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah…, hlm. 198
[31] Saham yang tidak seimbang dalam ketentuan waris, menurut al-Maula, diyakini terkait dengan adanya beban mahar kepada anak laki-laki dan memberi papan, pangan dan sandang. Menurul Munawir alasan tersebut mungkin saja bias diterima, namun bagaimana kalau budaya kita tidak lagi demikian. Mislanya dalam masyarakat Indonesia sekarang menganggap mahar hanya formalitas saja kerena tidak jarang mahar hanya berupa seperangkat alat shalat yang harganya tidak mahal. Selain itu suami istri sama-sama mencari nafkah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sehingga hubungan suami-istri tidak bisa dianggap sebagai hubungan memberi dan menerima tetapi hubungan dua orang yang sepakat hidup bersama dan bergotong royong. Dalam bentuk keluarga seperti ini menurut Munawir alasan pemberian saham tidak seimbang sudah tidak relevan. Kemudian berangkat dari kenyataan banyaknya ulama Indonesia enggan melaksanakan hukum waris, namun juga tidak ingin melanggar fara’id sehingga membagi-bagikan kekayaan semasa hidup kepada anak-anaknya sama besar dengan jalan hibbah. Kenyataan inilah yang menimbulkan gagasan untuk memberikan saham kepada anak laki-laki dan perempuan sama besarnya. Lihat: Munawir Sjazhali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 62
[32] Fathur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT al-Ma’arif, tt.) , hlm. 71
[33] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah…, hlm. 197
[34] Tiga model perjumpaan institusi Negara dan Institusi agama ini sangat kuat terlihat dalam persoalan wakaf. Dan model yang paling sring muncul ada yang kedua dan ketiga. Bahkan yang kedua cenderung menjadi keniscayaan di negara-negara moderen. Untuk contoh-contoh intervensi ini dapat dilihat dalam tulisan Timur Kuran, “The Provision of Public Goods under Islamic Law: Origins, Impact, and Limitations of the Waqf System” dalam Journal of Law and Society Review, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar