Model Integrasi Sunni-Syi’ah dalam Hukum Keluarga
(Kasus Irak)
Oleh: Juandi, M.S.I
A. Pendahuluan
Fenomena pembaharuan dalam hukum
keluarga secara umum terjadi hampir di semua negara muslim atau mayoritas berpenduduk
muslim. J N D Anderson mencatat tentang kecenderungan hukum Islam di dunia
moderen dalam tiga katagori yaitu: 1. system-sistem yang masih mengaku syari’ah
sebadai dasar fundamental dan menerapkan secara utuh, 2. system yang telah
meninggalkan syari’ah dan menggantikannya dengan hukum skuler, 3. system yang
melakukan kompromi kedua pandangan tersebut.[1].
Kecenderungan negara-negara yang menggunakan sistem ketiga, setelah dilacak
ternyata adalah pembaharuan dalam hukum keluarga saja baik yang terkait dengan
perkawinan, perceraian, kewarisan dan sebagainya. Isu-isu yang diangkat pun
lebih cenderung untuk mengangkat hak-hak wanita dan persamaan.[2]
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tahir Mahmud bahwa Negara-negara yang
melakukan reformasi dalam hukum keluarga mula-mula diperkenalkan oleh Turki dengan produknya The Ottoman
Law of Family Rights tahun 1917 yang kemudian diikuti Lebanon. Antara tahun 1920-1946
negara Mesir mulai melakukan reformasi terhadap hukum keluarga mazhab Hanafi
yang diikuti dengan metode yang sama. Kemudian barulah negara-negara muslim lainnya
memperkenalkan reformasi hukum yang sama seprti yang terjadi di Sudan,
Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, Algeria, Irak, Iran dan Pakistan.[3]
Bila kita melihat lebih mengkerucut
lagi, negara-negara Islam yang memberlakukan hukum keluarganya dapat dibedakan
menjadi tiga pula: pertama negara yang memberlakukan hukum keluarga
Islam secara tradisional. Masih memberlakukan fiqih mazhab dan tidak
dikodifikasi dalam bentuk perundang-undangan. Tergolong kelompok pertama ini
adalah Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrein, Kuwait dan sebaginya. Kedua
adalah negara-negara sekuler dimana hukum keluarga telah digantikan dengan
undang-undang atau hukum moderen yang berlaku untuk seluruh penduduk. Turki dan
Albania adalah contoh terbaik untuk kelompok Negara ini. Ketiga,
kelompok negara yang telah melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga. Termasuk
dalam kelompok ini adalah Mesir, Sudan, Jordan, Syiria, Tunisia, Maraco,
Algeria, Irak, Iran dan Pakistan.[4]
Melihat pengelompokan tersebut, negara
Irak masuk pada kelompok ketiga yaitu telah melakukan pembaharuan-pembaharuan
dalam hukum keluarga dengan bentuk undang-undang (hukum tertulis). Peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara ini adalah The Code of Personal
Status and Supplementary Laws 1959-1984 (kitab undang-undang hak pribadi
dan hukum-hukum tambahan 1959-1984). Sebagai catatan, perubahan struktur
pemerintahan Irak pasca invansi Amerika, sejauh ini, belum berimbas pada
perubahan struktur perundangan-undangan dalam hukum keluarga, sejauh informasi
yang didapatkan.
Tulisan ini berusaha melihat
sejauhmana perkembangan dan pembaharuan yang dilakukan Irak dalam persoalan
hukum keluarga terutama hukum kewarisan. Pada dasarnya pengembangan dan
pembaharuan hukum di negara-negara Islam moderen ditemukan dua sifat reformasi
hukum yang dikembangkan yaitu: intra-doctrinal reform, sifat ini nampak
dengan adanya reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan
menggabungkan pendapat beberapa imam mazhab atau mengambil pendapat imam mazhab
di luar mazhab yang dianut. Inilah yang disebut dengan metode talfiq dan
taghayur. Kemudian yang bersifat ekstra-doktrinal reform yang
melakukan pembaharuan dalam hukum keluarga dengan cara memberikan penafsiran
yang baru sama sekali terhadap nash yang ada. Inilah yang kemudian disebut
metode ijtihad.[5]
Sedangkan Anderson mengemukakan metode-metode reformasi hukum yang
dilakukan di Negara-negara muslim ada lima, yaitu the procedural expedient
(takhsis al-qadha’/kebijakan prosedural), the eclectic expedient (taghayur/kebijakan
memilih ketentuan dari mazhab yang berbeda), the expedient of
re-interpretation (kebijakan re-interpretasi atau ijtihad), the
expedient of administrative orders (kebijakan tata tertib administrasi),
dan the expedient of reform by judical decisions (kebijakan reformasi
melalui keputusan hakim).[6] Berdasarkan
teori inilah akan dikupas lebih mendalam tentang perkembangan hukum kewarisan
di Irak.
B. Perkembangan Hukum Keluarga di Irak
Irak adalah sebuah negara Republik
yang terletak di sebelah Barat Daya Asia di Selatan berbtasan dengan Kuwait dan
Arab Saudi, di Barat berbatasan dengan Yordania dan Suriah, di utara berbatasan
dengan Turki dan di timur berbatasan dengan Iran.[7]
Penduduk Irak yang berjumlah kurang
lebih 23 juta jiwa memang secara mayoritas adalah muslim (97%) sedangkan
sisanya Kristen, Yahudi dan lain-lain (3%).[8] Namun,
penduduk muslim Irak ini dikelompokan dalam tiga bagian yaitu: kelompok Arab Syi’ah,
Arab Sunni dan Kurdi Sunni. Kelompok pertama adalah mayoritas dengan jumlah 3/5
dari penduduk Irak, mereka tinggal di bagain selatan dan tenggara Irak.
Kelompok kedua berjumlah sekitar 1/3 dari penduduk Irak yang menempati daerah
sentral Irak sekitar kota Bagdad. Sedangkan kelompok Kurdi Sunni berjumlah 1/5,
mereka tersebar di daerah utara dan timur laut Irak dan berbahasa Farsi atau
Persian. Walaupun kelompok Syi’i adalah mayoritas, namun secara politik,
kelompok Sunni mendominasi. Hal ini dapat dilihat diparlemen-parlemen[9] Irak
sebelum adanya invansi Amerika.
Berbeda dengan negara semisal Mesir
atau Tunisa, yang sebelum diadakan kodifikasi perundang-undangan dalam
permasalahan perkawinan, menganut mazhab Maliki dan Hanafi atau Syafi’I yang
masih dalam satu paham Sunni, justru Irak adalah negara yang begitu rumit
dengan paham Sunni dan Syi’i. Mungkin akan lebih mudah bagi negara-negara
semisal Mesir atau Tunisia untuk membuat aturan perundangan, dengan model talfiq
atau mencampurkan aturan-aturan hukum dari mazhab-mazhab yang ada, menjadi
undang-undang yang dapat diterima masyarakat, karena diantara mazhab fikih yang
ada, tidak banyak perbedaan yang sangat signifikan. Sebaliknya, setengah dari
penduduk Irak muslim adalah penganut mazhab Ja’fari dan sebagaian lagi menganut
mazhab Hanafi. Namun, bagaimanapun, pemerintah memandang perlu untuk melakukan
kodifikasi secara komprehensif terutama dalam persoalan hukum keluarga ini.
Tanah Irak telah menjadi bagian dari
Ottoman Empire (kerajaan Turki Usmani) pada abad 16. Selama dua ratus tahun
Irak diperintah oleh rezim Turki Usmai. Dari tahun 1850 semua aturan civil, aturan-aturan hukum
dan hukum ekonomi yang resmi di kerajaan (termasuk di dalamnya aturan sipil
tahun 1876 diterapkan juga di Irak.[10] Hingga
akhir periode Turki Usmani, semua daerah hukum Irak diatur berdasarkan hukum
Syari’ah tanpa membedakan antara hukum sipil dan hukum status personal.
Pada tahun 1917, dengan dibentuknya pengadilan-pengadilan, pengadilan syari’ah
hanya bertanggungjawab dalam persolan status personal penganut mazhab
Sunni. Pada tahun 1918 peraturan pengadilan syari’ah dibentuk, dimana “Majelis
Tamyiz Syar’i” dibentuk untuk meninjau ulang aturan-aturan yang dibuat oleh
pengadilan syari’ah Sunni. Persoalan-persoalan yang terkait dengan status
privat untuk mazhab Ja’fari diterapkan oleh pengadilan-pengadilan sipil.[11]
Pada tahun 1922 pemerintah memutuskan
bahwa hukum sementara prosedur syari’ah yang dibentuk kerajaan Turki Usmani harus
diterapkan. Undang-undang peradilan syari’ah kemudian dibentuk pada tahun 1923,
yang di dalamnya pengadilan syari’ah yang bermazhab Ja’fari dibentuk dan
dibentuk juga dewan pengurus peninjauan hukum Islam mazhab Ja’fari. Lembaga ini
membantu pembentukan The Basic Law yang dibentuk tahun 1925.[12]
Pada tahun 1947 dibentuklah Comitte
for Judicial Affairs yang kemudian menyetujui satu draf code of personal
status. Draf tersebut berisikan 3 aturan yaitu perkawinan, warisan dan
wasiat. Mengenai dua subjek yang pertama, hanya mengatur poin-poin yang berbeda
antara mazhab Hanafi dan Ja’fari, namun untuk peraturan waris secara umum
aturan tersebut menjalakan system mazhab hanafi untuk kalangan muslim sunni dan
system mazhab Ja’fari untuk kalangan Syi’i. Namun draf aturan ini tidak dapat
diundangkan.[13]
Karena terjadi perlawanan keras terutama dari kalangan muslim syi’i.
Pembentukan undang-undang dalam hukum
keluarga di Irak baru terlaksana pada tahun 1959 dimana peraturan yang dibuat
merujuk pada prinsip-prinsip syari’ah yang secara umum dapat diterima dan yang
diberlakkan di negara-negara Muslim kemudian disepakati bersama yang kemudian
dimantapkan dalam perundangan Irak. Draf ini dipersiapkan oleh sebuah komite
yang secara kuantitas draf lebih sedikit jumlahnya dibandungkan dengan draf
sebelumnya pada tahun 1947. Qanun al-Ahwal as-Syakhsiyah (law of
personal status) ini tentunya mengambil prinsip-prinsip umum yang dapat
diterapkan untuk semua masyarakat tanpa melihat mazhab-mazhab fiqih yang
diikuti. Bagi pemerintah yang terpenting keputusan-keputusan komite diambil
dari civil code dan dari perundangan Negara-negara muslim yang memiliki
sumber pendukung dan tidak kontradiksi. Sehingga banyak aturan hukum Irak
memiliki kesamaan dengan perundangan hukum keluarga yang diterapkan di Mesir,
Yordania, Lebanon, dan Syiria.[14]
Perundang-undangan yang diberlakukan
di Negara Irak sekarang adalah: undang-undang tahun 1959 {(The Irak Law of
Personal Status) (law no. 188/1959) kemudian diadakan perubahan-perubahan
yang sangat signifikan tahun 1963 (law no. 11/1963) tambahan bab IX tentang
waris dan kemudian pada tahun 1978 (law no.21.1978) yang berhubungan dengan
hak-hak wanita dalam perkawinan dan perceraian}, Civil Code 1951 (Kitab
Undang-Undang Civil tahun 1951 (drafted by ‘Abd al-Razzaq al-Sanhuri)[15]), Law
No. 35/1977 outlining Arab Ba’ath Socialist Party’s guidelines and goals for
law reform (garis besar petunjuk-petunjuk partai sosialis Arab Ba’ath dan
tujuan untuk perubahan hukum), Law No. 78/1980 on Minors’ Welfare
(tentang kesejahteraan minoritas), Law No. 125/1981 on Husband’s Sodomy as
Ground for Divorce (liwat sebagai alasan perceraian), Law No.
77/1983 on Divorced Wife’s Right to Residence (hak tempat tinggal istri
yang dicerai), Law No. 5/1986 on Drinking Alcohol as Ground for
Divorce (tentang alasana perceraian karena mabuk-mabukan), Law No. 106/1987
on Mothers’ Custody Rights (tentang hak-hak pengasuhan.).[16]
Dalam aturan tentang kewarisan,
perundangan Irak menggunakan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang no.
188/1959 yang kemudian diamandemen dengan undang-undang law no. 11/1963. Dari
peraturan yang ditetapkan dalam persoalan waris didapatkan ada beberapa
perbedaan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan fikih mazhab. Pertama, hak
cucu untuk dapat mewarisi harta kakek sebagai harta yang seharusnya didapatkan
oleh orang tuanya yang telah meninggal terlebih dahulu. Kedua, ketentuan jumlah
yang sama bagi ahli waris laki-laki dan perempuan yang kemudian ketentuan ini
banyak ditentang oleh ulama.[17]
C. Hukum Kewarisan Irak
Ketentuan hukum waris dalam
perundangan Irak terdapat dalam Bab IX undang-undang no. 188 tahun 1959[18] yang
telah diamandemen. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 86 sampai pasal 93.
Pasal 86 terdiri dari tiga ayat. Ayat pertama membicarakan tiga elemen dalam
kewarisan yang harus dipenuhi. Pasal 86 ayat 2 menjelaskan tentang sebab orang
saling mewarisi. Ayat 3 mengatur tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan
terjadinya pewarisan antara elemen-elemen yang terdapat dalam pasal 86 pada
ayat satu.
Tiga elemen dalam hukum waris meliputi murist
atau orang yang mewarisi (almarhum), warist atau orang yang masih hidup
dan berhak untuk mewarisi, dan mirast atau harta yang ditinggalkan oleh
almarhun untuk ahli warisnya. Ketiga elemen ini adalah hal yang wajar dan
selalu sama dalam setiap peraturan waris dimanapun karena jika salah satunya
tidak ada maka ketentuan waris ini belum atau tidak dapat dijalankan. Adapun
sebab yang menjadikan seseorang untuk saling mewarisi ada dua, yaitu hubungan
kekerabatan dan perkwainan yang sah. Ketentuan ini juga berlaku sama di dalam
peraturan perundungan manapun. Pada pasal tiga ayat 86 yang menjelaskan tentang
kondisi-kondisi yang mengakibatkan terjadinya pewarisan memberlakukan tiga
ketentuan, yaitu dalam hal meninggal dunia, baik hakiki maupun majazi (diangap
meninggal dunia oleh hukum). Kondisi
kedua bukti tentang hidupnya ahli waris setelah meninggal dunia sesorang, dan
ketiga pengetahuan ahli waris tentang dasar perpindahan harta.
Pasal berikutnya, 87, memuat
ketentuan empat hak-hak yang berhubungan dengan harta yang ditinggalkan oleh
almarhum yang harus dilakukan oleh ahli waris, yaitu terkait dengan biaya pemakaman
almarhum dengan cara-cara berdasarkan ketentuan syari’ah, menyelesaikan
pembayaran hutang yang dibuat almarhum sekalipun menghabiskan harta
peninggalan, pelaksanaan harta pusakanya yang dibuat dari sepertiga hartanya
(mungkin maksudnya penyelesaian wasiat), dan mendistribusikan sisa harta
tersebut diantaraa orang-orang yang berhak mewarisi.
Orang-orang yang diberi hak mewarisi
dalam ketentuan undang-undang ini dikelompokkan menjadi empat katagori, yaitu
ahli waris yang memiliki hubungan dekat (kerabat) dan melalui perkawinan yang
sah, “pengakuan sanak saudara” almarhum, “legeslasi universal”(wasiat
umum) yang dibuat almarhum, dan bayt al-mal. Ketentuan ini nampaknya
unik karena menetapkan pihak-pihak tertentu yang berada di luar ketentuan hukum
waris secara umum. Ketentuan pihak yang berhak mendapatkan harta warisan ini terdapat
dalam pasal 88.
Ketentuan selanjutnya yang ditetapkan
dalam pasal 89 menjelaskan tentang ahli waris-ahli waris yang karena hubungan
dan posisinya berhak untuk mewarisi, yaitu 1). Orang tua (ayah ibu), anak,
cucu, berdasarkan aturan laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian
perempuan. 2) kakek, saudara laki-laki dan perempuan, anak saudara laki-laki
dan anak saudara perempuan (keponakan), dan 3) paman dan bibi dari pihak ayah
dan pihak ibu; dan ahli waris sekandung.
Pasal 90 menjelaskan bahwa aturan-aturan
pembagian harta warisan yang telah disebutkan sebelumnya, pendistribusian harta
diantara ahli waris karena hubungan kekerabatan dibuat berdasarkan ketentuan dengan
aturan-aturan syari’ah yang diikuti sebelum undang-undang yang terdapat dalam Law
of Personal Status no. 188 tahun 1959, sebagaimana akan menjadi kasus dalam
hal untuk meletakan ketentuan yang berhubungan dengan waris. Kemudian pasal 91
menetapkan bahwa suami mendapat hak seperempat harta jika ada anak dari
istrinya yang meninggal, dan jika tidak ada anak suami mendapat setengah. Jika
istri yang mewariskan suami maka ia diberi hak untuk mendapatkan seperdelapan
harta jika ada anak dan ia mendapat seperempat jika tidak ada anak.
Pasal 92 menetapkan aturan jika
terjadinya pertentangan dengan undang-undang yang sudah ada. Pasal tersebut
menetapkan bahwa Semua ketentuan perundang-undangan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip tersebut yang dibuat dalam perundangan ini dicabut. Kemudian pada pasal
93 menetapkan pemberlakuan perundangan ini. Atuaran ini akan diberlakukan dari
tanggal ditetapkan dalam lembaran Negara. Dua pasal terakhir ini tidak hanya
berlaku pada pasal-pasal yang berhubungan dengan kewarisan tetapi mencakup
keseluruhan materi perundangan tersebut.
D. Ketentuan Hukum Waris Mazhab Sunni dan
Syi’ah
Bagian ini menguraikan tentang
ketentuan waris dari mazhab Sunni dan Syi’ah. Ketentuan ini perlu diuraikan untuk
melihat sejauhmana perkembangan dan pembaharuan hukum waris di Irak. Ketentuan
waris mazhab Sunni didasarkan pada empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali sedangkan mazhab Syi’ah menganut fikih mazhab Ja’fari.
Terdapat beberapa ketentuan yang
berbeda antara mazhab Sunni dan Syi’Iah dalam hukum waris. Pertama, pada
persoalan bagian tetap penerimanya. Baik mazhab Sunni maupun mazhab Si’ah membaginya
menjadi enam ketentuan yang didasarkan pada ayat al-Qur’an, yaitu seperdua,
seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Seperdua hak
harta adalah bagian yang diberikan kepada anak perempuan yang dalam penjelasannya
disyaratkan bersetatus tunggal, saudara perempuan yang sekandung atau seayah
sepanjang tidak ada saudara laki-laki sekandung atau seayah, dan diberikan
kepada suami apabila tidak ada anak. Seperempat diberikan kepada suami
manakalah istri meninggal mempunyai anak, dan istri yang apabila suami
meninggal mempunyai anak. Seperdelapan diberikan kepada istri yang apabila
suami meninggal mempunyai anak. Dua pertiga diberikan kepada anak perempuan
yang berjumlah dua orang atau lebih dengan ketentuan tidak ada anak laki-laki,
dan kepada saudara perempuan yang berjumlah dua atau lebih yang sekandung atau
seayah dengan ketentuan tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau seayah.
Sepertiga siberikan kepada ibu sepanjang tidak ada anak almarhum dan juga tidak
ada saudara-saudarai almarhum yang menghalanginya untuk mendapatkan sepertiga
bagian. Seperenam diberikan kepada ayah apabila almarhum tidak mempunyai anak
dan juga kepada ibu dengan adanya anak laki-laki atau saudara-saudaranya, dan
diberikan juga kepada saudara laki-laki atau perempuan seibu.[19]
Ketentuan selanjutnya tentang mereka
yang medapatkan harta warisan dengan katagori penerima ‘ashabah. Ketentuan
‘ashabah ini dalam hukum waris islam dibagi menjadi tiga, yaitu ashabah
bi an-nafsih, ashabah bi al-ghairih, dan ashabah ma’a al-ghairih.
Pada pembahasan ‘ashabah ini mazhab Sunni mengembangkan semacam tradisi
patriachalnya, yaitu dengan memasukan mereka yang tidak disebutkan dalam teks
al-Qur’an. Dapat ditemukan katagori ashabah bi an-nafsih adalah anak
laki-laki, cucu laki-laki garis anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, ayah,
kakek dari pihak ayak ke atas, saudara sekandung, saudara seayah, anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara
laki-laki seayah, paman sekandung dari garis ayah, paman seayah dari garis
ayah, anak paman sekandung, dan anak paman seayah. Penerima ashabah bi al-ghairih
adalah seorang anak perempuan atau lebih, cucu perempuan dari garis anak
laki-laki, saudara perempuan sekandung berapapun jumlahnya, dan sauara
perempuan seayah berapa pun jumlahnya. Sedangkan ashabah ma’a al-ghairih
diterimah oleh seoarang saudara perempuan atau lebih yang sekandung atau seayah
yang bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.[20]
Bertolak belakang dengan ketentuan mazhab Sunni, mazhab Syi’an (Imamiyah)
menolak adanya ahli waris secara ‘ashabah dan membatasi pembagian harta
bagi mereka yang mendapat fard dan kerabat tanpa membedakan kerabat
wanita dan laki-laki.[21]
Pembagian ahli waris laki-laki dan perempuan dalam procedural bertingkat ini dalam
istilah David S Poewer disebut ahli waris primer dan ahli waris sekunder,[22] walaupn
dalam pengertian dan procedural yang jauh berbeda. Tingkatan ahli waris dalam
mazhab Syi’ah adalah: 1) orang tua dan anak-anak seterusnya ke bawah; 2)
saudara laki-laki dan saudara perempuan , kakek dan nenek terus ke atas dengan
semua jalur; 3) para paman dan bibi serta anak-anak mereka di semua jalur.[23]
Secara umum, pengelompokan ahli waris
yang memiliki hubungan darah bagi mazhab Syi’ah dikelompokan berdasarkan bagian
perolehan dan berdasarkan bentuk hubungan darah. Pembagian yang pertama dibagi
lagi menjadi dua golongan, yaitu zawi as-siham, orang yang mendapat
bagian pasti dan zawi al-qarabah, orang yang mendapatkan sisa setelah
harta tersebut dikeluarkan untuk bagaian golongan pertama. Orang-orang yang
menempatkan golongan pertama dan besar sahamnya hampir sama dengan ketentuan mazhab
Sunni, hanya saja mereka berbeda dalam persoalan siapa menghijab siapa.
Sedangkan golongan kedua, zawi al-qarabah terdiri dari anak laki-laki
dan perempuan atau laki-laki saja, ayah sekiranya tidak ada anak, serta saudara
kandung laki-laki atau perempuan sekandung atau seayah saja atau laki-laki
saja. Ketentuan zawi al-qarabah ini hampir memiliki kesamaan dengan
konsep ‘ashabah dalam mazhab Sunni. Perbedaannya mazhab Syi’ah mengharuskan
golongan ini dari jenis hubungan dan jarak derajat yang sama dengan zawi
as-siham.[24]
Sementara mazhab Sunni tidak membedakan jenis hubungan dan tingkat derajat.
Adapun berdasrkan bentuk hubungan darah, ahli waris dibedakan menjadi tiga
kelompok, yaitu sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berikut secara singkat akan
diperlihatkan contoh perbandingan pendapat Sunni (kalangan Jumhur) dan Syi’ah
(mazhab Ja’fari) dalam berbagai kemungkinan tentang pembagian harta:[25]
No
|
Ahli waris
|
Pembagian
Mazhab Sunni (Jumhur)
|
Pembagian
Mazhab Syi’ah (Ja’fari)
|
1
|
Satu cuc pr
(drj.I), satu cucu lki-lki garis pr. (drj. II)
|
½ + sisa, zawi
al-arham
|
½ + sisa,
terhijab
|
2
|
Satu anak pr
(drj. I), satu cucu pr. Garis lki-lki. (drj II), satu cucu lki-lki.Gris
lk-lk. (drj.III)
|
½, 1/6,
‘ashabah
|
½ + sisa,
terhijab, terhijab
|
3
|
Satu cucu pr.
Grs.lk (drj.II), satu cucu lk gris pr (drj.II), satu cucu lk. Gris. Lk (drj
III)
|
1/3, zawi
al-arham, ‘ashabah
|
2/3, 1/3.
terhijab
|
4
|
Ayah, ibu,
cucu lk.grs.pr
|
2/3, 1/3, zawi
al-arham
|
1/5, 1/5, 3/5
|
5
|
Istri, satu
anak pr., ayah dari ayah
|
1/8, ½,
‘ashabah
|
1/8, ½ + sisa,
terhijab
|
6
|
Istri, satu
anak pr., satu cucu pr.grs. lk., satu saudara lk. Kandung
|
1/8, ½, 1/6,
‘ashabah
|
1/8, ½ + sisa,
terhijab, terhijab
|
7
|
Suami, ibu,
saudara lk. Sekandung
|
½, 1/6,
‘ashabah
|
½, 1/3 + sisa,
terhijab
|
8
|
Satu cucu
pr.grs.lk, satu cucu lk.grs.pr., satu saudara lk.seayah
|
½, zawi
al-arham, ‘ashabah
|
2/3, 1/3,
terhijab
|
9
|
Satu saudara
pr.sekandung, satu saudara lk.sekandung
|
½, ‘ashabah
|
½ + sisa,
terhijab
|
10
|
Nenek
grs.ayah, kakek grs.ibu, satu anak lk. dari saudara lk.sekandung, satu anak
pr.dari saudara lk.sekandung
|
1/6, zawi
al-arham, ‘ashabah, zawi al-arham
|
6/27, 1/3, 8/27,
4/27
|
Coulson membagi untuk kasus nomor 10 bagi mazhab Ja’fari
adalah ayah dari ibu mendapat 1/6, dan karenanya saham yang lain berubah
menjadi ibu dari ayah mendapat 5/18, anak laki-laki saudara mendapat 20/54 dan
anak perempuan saudara mendapat 10/54. Sedangkan saudara laki-laki kandung
mendapat dua kali bagian ibu dari Ayah (12/27).
Secara umum, perbedaan penting antara
konsep waris Sunni dan Syi’ah adalah dalam dataran pendekatan yang digunakan. Sunni
menggunakan ketentuan khusus dalam al-Qur’an yang dapat diaplikasikan dan
mempengaruhi individu-individu yang disebutkan di dalamnya tanpa merubah hukum
adat pra-Islam dan penggunaan-penggunaanya. Sedangkan Syi’ah menggunakan aturan
khusu al-Qur’an hanya sebagai ilustrasi prinsip umum yang pokok di dalamnya.[26]
E. Pembaharuan dalam Hukum Kewarisan di Irak
Ada beberapa poin-poin pembaharuan
hukum di Irak yang dapat ditemukan diantaranya: hukum yang berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian dan aturan tambahan. Bagaian pertama terdiri dari
poligami, syarat-syarat dalam perjanjian perkawinan, kecakapan untuk menikah,
nafkah istri, talaq, pembubaran perkawinan melalui pengadilan. Sedangkan bagian
tambahan terdiri dari waris, aturan jika tidak ada waris.[27]
Adapun persoalan waris diatur pada
bab IX mulai dari pasal 86 hingga 93 UU no.188/1959. Yang mungkin perlu
dikemukakan dalam permasalahan hukum waris di Irak adalah apa yang dikemukakan
N J Coulsen. Menurutnya ada kecenderungan untuk menarik peraturan kewarisan di
Irak kearah mazhab Syi’ah. Di sini terlihat begitu menonjol proses seleksi
doktrin-doktrin yang berbeda antara Sunni dan Syi’ah. Hukum kewarisan Sunni
menekankan pada hak-hak keturunan laki-laki, mengkonsumsi system masyarakat
suku. Tetapi melihat kebutuhan system social Irak kontemporer yang mengalami
disintegrasi dan unit masyarakat bertumpu pada lingkungan keluarga kecil atau
keluarga inti, yakni orang tua dan anak-anak, dimana wanita memiliki peran dan
tanggung jawab yang semangkin tinggi. Sedangkan di sisi lain pewarisan Syi’ah
menekankan secara konsisten tuntutan-tuntutan lingkungan keluarga kecil dan
memberikan kepada wanita posisi yang penting di dalamnya. Dengan pergesaran sistem
keluarga, maka tidak sulit bagi masyarakat Sunni menerima proses transisi ke
Syi’i. Hal ini dilakukan karena bagi masyarakat Sunni yang tidak mempunyai
keturunan laki-laki akan lebih baik untuk menerapkan system pewarisan Syi’ah
dari pada harta yang ada jatuh ke pihak keluarga garis laki-laki yang jauh.
Setidak-tidaknya system Syi’ah ini mampu menjaga harta warisan agar anak wanita
tetap mendapatkan harta. Menurut Coulsen, pewarisan Irak ini adalah contoh
pertama di mana prinsip seleksi (talfiq) yang menorobos batas perbedaan
tradisional antara ortodoxsi dan Islam sekretarian dengan menerapkan fikih Syi’ah
kepada masyarakat Sunni.[28]
Dalam analisa yang berbeda Anderson
menegaskan;
In a number of countries the reformers have, therefore, found
different ways and means of furthering the interest of the nucleur family. The
most radical reforms of all was introduced, naturally enough, in Iraq, where
rather more than half the population are shi’is, and where a number of sunnis
are alleged to have espoused shi’is allegiance precisely because the shi’i system
of inherientance was better suited than
the sunni to their family circumstance. In its original form the Iraqi Law of
1959 even went so far as completely to abandon the islaamic law of inheritance,
ang to adopt in its place the law (hukum local) (itself largely of german
origin) whice was previously in force in the Ottoman Empire to regulate rights
of sucession to the use of government land. Two reason were given for this
astonishingly bold innovation: first, that the different between the Sunni and
Shi’I system of inheritance were so radical that thay could not be reconciled;
and, secondly, that neither the one nor the other ---unlike the relevant
statute--- accorded women equal shares with men. But as soon as the ‘tyrant’
Abd al-karim Qasim was overthrown in 1963, this section of the law of 1959 was
repealed and replaced by an amandement which made the general structure of the
Shi’I system of inheritance applicable to all Iraqis (although within this
basic framework of three mutually exlusive classe of heirs the Sunni still
apply their own principles to the detailed division of an estate between
individual claimants)[29]
Yang terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: di
sejumlah Negara para reformis telah menemukan cara-cara yang berbeda dan
langkah-langkah maju yang mengarah pada bentuk necleur family. Reformasi
yang paling radikal dari semua reformasi yang dikenal, cukup natural, terjadi
di Iraq, dimana lebih dari setengah populasinya adalah Syi’ah dan dimana
sejumlah golongan Sunni diduga telah mendukung pengikut Syi’ah justru karena
system kewarisan Syi’ah lebih cocok dari hukum Sunni bila melihat keadaan
keluarga mereka. Dalam bentuk aslinya undang-undang Iraq tahun 1959 bergerak
sejauh ini secara keseluruhan meningggalkan hukum kewarisan Islam, dan
mengadopsi hukum local (yaitu sebagain besar hukum Jerman) yang sebelumnya
dalam kekuasaan Ottoman Empire meregulasi hak-hak perpindahan harta untuk
penggunaan tanah Negara. Dua alasan yang dikemukakan untuk menunjukan inovasi
ini: pertama, adanya perbedaan antara sistem kewarisan Sunni dan Syi’ah
yang secara radikal keduanya tidak dapat direkonsiliasikan; dan kedua,
baik hukum yang satunya maupun yang lain ---tidak seperti undang-undang yang
relevan--- menyesuaikan persamaan bagian wanita dengan laki-laki. Tetapi selama
“kekuasaan tirani” Abd al-Karim Qasim yang digulingkan tahun 1963 (1962?),
aturan undang-undang tahun 1959 ini dicabut dan digantikan melalui amandemen
yang membuat stuktur umum system kewarisan Syi’ah dapat diaplikasikan pada
semua masyarakat Iraq (sekalipun dalam ketentuan ini kerangka dasar tiga
golongan ahli waris yang saling tertutup, Mazhab Sunni masih menggunakan
prinsip-prinsup kewarisannya untuk perincian bagian harta antara
tuntutan-tuntutan individu).
Apa yang dikemukakan Coulsen maupun
Anderson sejauh ini telah memberikan gambaran bagaimana kebijakan Negara
mencoba membuat aturan lintas mazhab yang tentunya sangat sulit untuk
disatukan. Walaupun apa yang dikemukakan Anderson tentang kecenderungan
Undang-undnag no. 188/1959 lebih dekat dengan kebijakan hukum lokal, namun ia
lupa bahwa interaksi agama dengan budaya lokal telah memberikan begitu banyak
inspirasi hukum secara kreatif. Namun bagaimanapun, apa yang dilakukan
pemerintah Qasim terhadap ketetapan hukum waris cenderung memiliki visi
penyamaan kedudukan perempuan dengan memberikan perbandingan saham yang sama
dengan laki-laki. Hanya saja ketika rezim Qasim berganti maka ketentuan hukum
kewarisan dikembalikan kepada perbandingan 2:1 seperti biasanya.[30]
Kebijakan ini tentu dapat dimaklumi karena melahirkan ketegangan yang luar
biasa dalam masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan oleh Munawir Sjadzali
di Indonesia.[31]
Jadi, polemik mengarahkan peraturan kewarisan Islam yang tidak mengikat 2:1
sudah terjadi di Negara-negara Islam sekalipun hal tersebut menimbulkan reaksi
keras. Sekalipun demikian, ketentuan kewarisan Irak sekarang setidak-tidaknya telah
membuka peluang bagi Negara untuk secara perlahan mengikis ketegangan Sunni dan
Syi’ah sekalipun upaya ini masih jauh dari kata cukup. Dari analisa keduanya
yang menarik adalah adanya dukungan masyarakat Sunni terhadap system kewarisan
Syi’ah untuk diterapkan dalam perundangan mereka karena lebih menunjukan
keadilan berimbang antara hak mewarisi laki-laki dan perempuan. Di sini,
masyarakat tidak mempermasalahkan talfiq, yaitu mencampuradukan ketentuan
hukum dari beberapa mazhab hukum. Bahkan ini dijadikan metode pengembangan
hukum yang lebih kontekstual bagi masyarakat setempat. Jadi, system kewarisan
Irak adalah contoh talfiq terbaik yang mengadopsi bukan hanya berbeda
mazhab tetapi juga dianggap berbeda secara teologi (Sunni-Syi’ah).
Terlepas dari itu semua, perkembangan
hukum waris di Irak perlu ditelusuri per pasal sehingga mendapat gambaran yang
lebih jelas sejauh mana keberanjakan aturan kewarisannya dari ketentuan fikih
mazhab. Dari sini kemudian dapat dilihat metode apa saja yang dapat digolongkan
dalam peraturan perundangan-undangannya selain talfiq.
Pada pasal 86 ayat 1 mencakup tiga
elemen dalam hukum waris yang menjadi
rukun waris, yaitu meliputi murist atau orang yang mewarisi (almarhum), warist
atau orang yang masih hidup dan berhak untuk mewarisi, dan mirast atau
harta yang ditinggalkan oleh almarhun untuk ahli warisnya. Ketentuan ini sama
seperti yang ada dalam mazhab fikih sehingga tidak ada proses pembaruan dalam
aturan tersebut. Ketentuan ayat 2 yang mengatur sebab mewarisi, yaitu hubungan
kekerabatan dan perkawinan yang sah juga tidak berbeda dengan ketentuan fikih
manapun. Sedangkan ayat 3 tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan terjadinya
pewarisan juga tidak mengalami perubahan sebagaimana yang sudah ada dalam
ketentuan fikih. Secara kesuluran pasal 86 ini jika mengacu pada sifat
reformasi hukum keluarga di Negara muslim maka dapat digolongkan ke dalam
katagori intra doctrin reform.
Aturan pada pasal 87 yang memuat empat
ketentuan yang berhubungan dengan harta yang ditinggalkan oleh almarhum juga
tidak banyak berbeda dari ketentaun mazhab baik Jumhur maupun Ja’fari. Hanya
saja mungkin berbeda dalam urutan-urutan mana yang didahulukan dan mana yang
diakhirkan. Yang menarik justru ketentuan yang terdapat dalam pasal selanjutnya
(88) dimana undang-undang membuat ketetapan empat golongan yang berhak atas
harta peninggalan, yaitu ahli waris yang memiliki hubungan dekat (kerabat) dan
melalui perkawinan yang sah, “pengakuan sanak saudara” almarhum, “universal legeslasi”(wasiat
umum) yang dibuat almarhum, dan bayt al-mal. Dalam tradisi Sunni tiga
golongan terakhir masuk dalam katagori yang berhak mendapatkan harta
peninggalan tetapi bukan dengan jalan mempusakai, yaitu orang yang diakukan
(mengakui) nasabnya oleh si mati kepada orang lain, orang yang diberi wasiat
melebihi sepertiga harta peninggalan, dan bayt al-mal.[32]
Nampakanya dalam perundangan Irak tersebut mencakup secara umum katagori orang
atau lembaga yang berhak atas harta seseorang sehingga maksud dari penempatan
ahli waris di tempat pertama sebagai gambaran bahwa yang paling berhak atas
harta seseorang adalah ahli warisnya baru kemudian katagori selanjutnya. Aturan
ini, tentunya, tidak diperbarui karena baik Sunni maupun Syi’ah mengakui
penerimaan ini. Jadi, sifat aturan ini adalah penyesuaian ke dalam mazhab yang
berkembang.
Ketentuan selanjutnya yang ditetapkan
dalam pasal 89 menjelaskan tentang ahli waris-ahli waris yang karena hubungan
dan posisinya berhak untuk mewarisi, yaitu 1). Orang tua (ayah ibu), anak,
cucu, berdasarkan aturan laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian
perempuan. 2) kakek, saudara laki-laki dan perempuan, anak saudara laki-laki
dan anak saudara perempuan (keponakan), dan 3) paman dan bibi dari pihak ayah
dan pihak ibu; dan ahli waris sekandung. Aturan ini sangat jelas menunjukan
pengaruh mazhab Syi’ah karena hanya mazhab Syi’ahlah yang membuat ketentuan
ahli waris dengan membaginya berdasarkan derajat (golongan). Derajat 1
menghalangi penerimaan derajat 2, dan derajat 2 menghalangi penerimaan derajat
3. Pasal ini jika kita tarik dalam katagori the eclectic expedient
justru akan lebih tepat tidak mengkatagorikannya sebagai talfiq atau
mencampurkan ketentuan mazhab yang sudah ada karena ketentuan ini memang tidak
mencampuradukan ketentuan mazhab, tetapi justru memegang satu mashab, yaitu
Syi’ah (Ja’fari)
Kemudian pasal 91 menetapkan bahwa
suami mendapat hak seperempat harta jika ada anak dari istrinya yang meninggal,
dan jika tidak ada anak suami mendapat setengah. Jika istri yang mewariskan
suami maka ia diberi hak untuk mendapatkan seperdelapan harta jika ada anak dan
ia mendapat seperempat jika tidak ada anak. Ketentuan ini dibuat diluar
ketentuan penggolongan ahli waris yang sudah disebutkan. Ada kemungkinan tidak
memasukan pasangan ke dalam golongan manapun untuk memastikan bahwa yang
menjadi ketentuan penggolongan ahli waris adalah yang berdasarkan nasab
(pertalian darah) sedangkan berdasarkan sebab (perkawinan) tidak termasuk
karena dalam kondisi apapun pasangan tetap mewariskan. Aturan tentang besarnya
jumlah bagaian ini tidak berbeda dengan ketentuan Sunni dan Syi’ah, namun
karena aturan Sunni biasanya langsung memasukan katagori pasangan dalam satu
paket ahli waris maka dapat dipastikan bahwa aturan ini ditetapkan berdasarkan
pemikiran mazhab Syi’ah.
Pasal 92 menetapkan bahwa semua ketentuan
perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut yang
dibuat dalam perundangan ini dicabut. Ketentuan
ini sebagai antisipasi karena adanya berbagai aturan yang benar-benar baru dan
bertentangan dengan aturan sebelumnya. Hal ini merupakan politik pemerintah
untuk menerapkan kebijakannya. Sebagaimana yang dikemukakan Anderson dan
Coulsen di atas bahwa UU no 188/1959 telah diamandemen padahal undang-undang
ini sejauh pengamatan keduanya lebih mengarah pada aturan local setempat.
Perbedaan secara menyeluruh dari
system kewarisan Irak adalah sejak tahun 1963 mereka menganut sistem qarabah
mazhab Ja’fari. Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 89 tentang ahli waris
maka ketentuan system kekerabatan secara teoritis adalah keturunan menghijab
garis sisi. Akan tetapi dalam dataran prakteknya, mereka harus mnafsirkan
ketentuan tersebut dengan dua penafsiran. Pertama, bagi mereka yang bermazhab
Ja’fariah menggunakan penafsiran sesuai dengan mazhab Ja’fariah. Kedua,
bagi mereka yang bermazhab Sunni menggunakan penafsiran yang disesuaikan dengan
ketentuan mazhan Hanafi.[33] Misalnya
jika ahli waris itu adalah satu anak perempuan, satu cucu laki-laki garis
perempuan dan saudara laki-laki, maka hukum waris Irak membagikan semua harta
warisan tersebut kepada anak perempuan sedangkan cucu laki-laki dan saudara
laki-laki sekandung tidak mendapatkan apa-apa karena terhijab.
Secara umum, kita dapat memetakan
sifat reformasi hukum di Negara Irak. Pertama, pengembangan dalam hukum
waris dalam peraturan perundangan Irak cenderung mengambil bentuk intra
doctrinal reform yang dalam bentuk praktisnya lebih banyak mengambil
ketentuan satu mazhab yang dianggap mewakili keinginan dari bentuk keluarga di
sana, yaitu mazhab Ja’fari (Syi’ah). Kedua, metode-metode reformasi
hukum yang dikemukakan oleh Andeson jika dikroscekkan pada peratura perudangan
Irak dalam bidang kewarisan mengambil bentuk the procedural expedient (takhsis
al-qadha’/kebijakan prosedural) karena menyangkut aturan-aturan yang
dilaksanakan secara procedural yang jelas, the eclectic expedient (taghayur/kebijakan
memilih ketentuan dari mazhab yang berbeda) yang jelasnya sudah dipaparkan dan
khusus untuk ketentuan waris dipilih mazhab Syi’ah, the expedient of administrative
orders (kebijakan tata tertib administrasi) yang ditunjukan secara umum
dalam pasal 92, dan the expedient of reform by judical decisions
(kebijakan reformasi melalui keputusan hakim) yang sangat dimungkinkan
mengingat ketentuan ini menjadi sumber hukum material bagi pengadilan untuk memutuskan
perkara waris di Irak.
Beralih pada persoalan politik, walau
secara tidak langsung, interaksi Negara dan institusi waris dapat dilihat dalam
kebijakan Negara yang cenderung populis. Irak, walaupun terjadi ketegangan awal
dalam penetapan undang-undang hukum keluarga, termasuk waris di dalamnya, tetap
berani mengambil langkah-langakah maju dalam mengatasi persoalan waris.
Dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa ada kebutuhan masyarakat
terhadap aturan waris yang dapat
memberikan hak harta kepada anak-anaknya secara keseluruhan. Sehingga
masyarakat Sunni pun tidak mengingingkan aturan waris mazhab Sunni, kecuali
dalam hal-hal tertentu, tetapi lebih cenderung pada aturan Syi’ah. Posisi
pemerintah lebih kompromistik dalam menghadapi maslah waris. Penguasa politik
yang bermazhab Sunni, pada waktu itu, nampaknya tidak menjadikan persoalan ini
sebagaai isu yang krusial. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara
politik penguasa Irak mengatur institusi waris dengan tidak banyak melakukan
intervensi di dalamnya. Mungkin inilah salah satu jalan bagi pemerintah untuk
mendapatkan respon positif terhadap kekuasaannya, tertutama dari masyarakat Syi’ah.
Walaupun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Terakhir, dapat dicatat bahwa ada
tiga model yang dapat ditemukan dalam persoalan perjumpaan institusi Negara
dengan institusi agama, yaitu:
- Negara tidak mengintervensi (zero intervention)
- Negara mengintervensi institusi keagamaan tertentu secara penuh, baik substansi maupun managementnya (full intervention)
- Negara menyerahkan institusi keagamaan pada masyarakat tetapi mencampuri pengaturannya (quasi intervention)[34]
Dalam persoalan waris, karena memang lebih bersifat
personal dan ketegangan yang ditimbulkan antara kepentingan pemerintah dan
masyarakat cenderung kecil, negara, secara politik, lebih memilih model quasi
intervention.
F. Kesimpulan
Sejauh ini, bentuk hukum keluarga di
Irak adalah paling unik karena bukan hanya melakukan percampuran antara
mazhab-mazhab dalam kesatuan mazhab Sunni tetapi juga mengambil dari mazhab
Syi’ah. Contoh terbaik sepanjang ketentuan perundangan ini adalah hukum waris
yang lebih murnih ke-syi’ah-annya bila dibandingkan dengan hukum paerkawinan
dan perceraian. Alasan yang logis dari ketetapan ini bahwa ketentuan mazhab
Syi’ah (Ja’fari) lebih sesuai diterapkan pada masyarakat Irak sekalipun mereka
yang berkuasa secara politik adalah pengikut Sunni (pada waktu itu di bawah
kekuasaan partai Ba’ats). Dari sini terlihat bahwa kepentingan pemerintah
cenderung tidak terlalu kuat, sehingga model perjumpaan antara institusi Negara
dan Agama dalam hal ini adalah quasi intervention.
Daftar Pustaka
Abubakar,
Al Yasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: INIS, 1998
Anderson,
J N D, Islamic Law in the Moderen World, New York: New York University Press, 1959
________,
Law Reform In The Muslim Warld, London: The Anholone Press, 1976
Azra,
Azyumardi (ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Pt.Ikhtiar BAru Van Hoeve,
2005
Coulson,
Noel J, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein, Yogyakarta:
Navila, 2001
El
Alami, Dawoud, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World,
London: Cimel and Kluwer law international, 1996
http://www.law.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm#text, akses tanggal 12 November 2006
https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/iz.html.,
akses tanggal 12 November 2006
Khan,
Mohammad Mustafa Ali, Islamic Law of Inheritance: a New Approch, New
Delhi: Kitab Bhavan, 1989
Kuran, Timur, “The Provision of Public Goods under Islamic Law:
Origins, Impact, and Limitations of the Waqf System” dalam Journal of Law and Society Review, 2001
Mahmood,
Tahir, Famili Law Reform in the Muslim World, Bombay: Tripathi, 1972
_____________
, Personal Law in Islamic Counties (History, Text and Comparative Analysis, New
Delhi: Academy of Law and Religion, 1978
Mallat,
Chinly, “Shi’ism and Sunnism in Irak”, dalam Chinly Mallat dan Jane Connors, Islamic
Family Law, t.tp: school of oriental and African studies, 1990
Mugniyah,
Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab, alih bahasa: Masykur, dkk, cet ke-4,
Jakarta: Lentera, 1999
Na’im,
Abdullah Ahmad An-, Islamic Family Law in a Changing World: a Global
Resource Book, (London: Zed Books Ltd, 2002
Power,
David S., Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of
inhetitance, Barkeley: University of California Press, 1986
Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung: PT
al-Ma’arif, tt.
Summa,
Muhammas Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Utama, 2005
Sjazhali,
Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997
[1] J N D Anderson, Islamic Law in the Moderen World (New York:
New York University Press, 1959), hlm. 83 Bandingkan dengan Tahir Mahmood, Famili
Law Reform in the Muslim World (Bombay: Tripathi, 1972), hlm. 2-3
[2] Lebih lanjut baca: Ibid, terutama bagian ketiga (the Islamic
law of marriage dan divorce) dan bagian keempat ( the Islamic law of
inheritance).
[3] Tahir Mahmood, Famili Law Reform…, hlm. 7
[4] Muhammas Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Utama, 2005), hlm. 162-1165.
[5] M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 177. Tahir Mahmud mengelompokkan
metode pembaharuan hukum islam kedalam empat katagori, yaitu takhayur,
talfiq, siyasa shar’iyah dan ijtihad. Lihat: Tahir Mahmood, Famili
Law Reform…, hlm. 12
[6] Norman Anderson, Law Reform In The Muslim Warld, (London:
The Anholone Press, 1976), hlm. 43-82
[7] Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Pt.Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 209.
[8] https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/iz.html.
akses tanggal 12 November 2006. jumlah penduduk tersebut sebelum terjadinya
perang Irak.
[9] Abdullah Ahmad An-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World:
a Global Resource Book (London: Zed Books Ltd, 2002), hlm. 93
[10] Tahir mahmood, Personal Law in Islamic Counties (History, Text
and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1978),
hlm. 49.
[11] Dawoud El Alami, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab
World (London: Cimel and Kluwer law international, 1996), hlm. 63. Namun
sejak berakhirnya kekuasaan Turki Usmani di Irak, setelah Inggris datang
membebaskannya pasca perang dunia I, aturan-aturan hukum peninggalan Turki
Usmani dalam perkembangan tidak diterapkan oleh pemegang kebijakan Inggris
untuk Irak disebabkan karena kenyataannya penduduk Irak terdiri dari golongan
Sunni dan Syi’I yang secara kuantitas hampir sama. Ini berlangsung hingga terbentuknya
kerajaan Irak dengan raja Faisal I (1921). Lihat: http://www.law.emory.edu/IFL/legal/iraq.htm#text
akses tanggal 12 November 2006
[12] Dawoud El Alami, Islamic Marriage…, hlm. 63.
[13] Tahir Mahmood, Famili Law…, hlm. 137
[14] ibid
[15] Abd ar-Razzaq as-Sanuri adalah ketua komite pembentukan undag-undag
tahun 1951 di Irak pada saat itu. Ia berasal dari Mesir. Sehingga dapat
dipastikan bagaimana bentuk perundang-undangan Irak yang mengambil corak
perundangan yang telah diberlakukan di Mesir. Namun hukum ini ternyata lebih islami
dibandingkan hukum Mesir, walaupun
Sanuri tetap menghormati hukum Mesir. Namun sesungguhnya hukum yang
diberlakukan di Irak sendiri masih mengadopsi dari hukum Majjallah (kodifikasi
hukum keluarga pertama kali yang dilakukan oleh pemerintahan Turki Usmani) dan
memadukan dengan hukum Mesir yang selama 70 tahun didominasi oleh hukum
Perancis. Namun setidak-tidaknya, seperti yang ditulis dalam memorandum
undag-undaang tersebut, aturan ini adalah usaha penyusunan hukum perdata di
Arab yang bertujuan untuk menyatykan Arab dan juga sebagai jembatan menghubungi
antara westernisasi yang terjadi di eberapa Negara Muslim dan Negara
konservati. N D Anderson, Islamic Law…, hlm. 36-37.
[17] Chinly Mallat, “Shi’ism and Sunnism in Irak”, dalam Chinly Mallat dan
Jane Connors, Islamic Family Law (t.tp: school of oriental and African
studies, 1990), hlm. 78-90
[18] Seluruh isi perundangan ini diambil dari apa yang tercatat dalam
Tahir Mahmood, Famili Law…, hlm. 151-2
[19] Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, alih bahasa:
Masykur, dkk, cet ke-4 (Jakarta: Lentera, 1999), hlm. 550 Penejelasan tentang
bagian ini ditemukan hamper di semua tulian tentang waris.
[20] Ibid., hlm. 52-3
[21] Ibid., hlm. 554
[22] David S. Power, Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of
the Islamic Law of inhetitance (Barkeley: University of California Press,
1986), hlm. 96-7. Pembedaan ini penting untuk menjembtani pemahaman yang
kontradiksi dalam al-Qur’an, yaitu prinsip dua banding satu yang hanya terjadi
dalam kasus ahli waris tersebut dalam satu tingkatan (sebagai ahli waris
primer) sedangkan dalam kasus beda tingkatan (ahli waris skunder) prinsip ini
diabaikan. Sekalipun model primer skunder terdapat dalam kewarisan Syi’ah,
mereka tidak menetapkan sebagaimana yang digambarkan Power karena dalam
tingkatan ahli waris utama (derajat I) ada dua golongan yang dimasukan, yaitu
orang tua dan anak. Sedangkan dalam katagorisasi yang dilakukan Power sebagai
ahli waris primer adalah Anak maka ahli waris sekunder adalah orang tua. Jika
anak tidak ada, yang menjadi ahli waris primer orang tua, maka ahli waris
sekunder adalah saudara. Walaupun demikian, baik ahli waris primer maupun
sekunder tetap mendpatkan bagian. Hanya saja bagian bagi ahli waris sekunder
tidak mengikat pada prinsip li zakari mistlu hazi al-unstayain.
[23] Mugniyah, Fikih Lima Mazhab…, hlm. 555-6
[24] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab
(Jakarta: INIS, 1998), hlm. 181-2
[25] Contoh secara keseluruhan diambil dari al Yasa Abubakar, Ibid.,
hlm203-4
[26] Mohammad Mustafa Ali Khan, Islamic Law of Inheritance: a New
Approch (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 173-174
[27] Tahir Mahmood, Famili Law Reform…, hlm. 138-142.
[28] Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih
bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 46-47. secara jelasnya
aturan kewarisan yang terdapatdalam mazhan Syi’I antara lain menyamakan antara
laki-laki dan perempuan dalam hal hak atas warisan, tertib urutan ahli waris
sangat alami yaitu mendudukan orang tua dan anak-anak dalam peringkat pertama
dan paling berhak atas semua harta Mugniyah, Fikih…, hlm. 503. lebih
lanjut mereka menolak adanya ahli waris asobah dan membatasi penerimaan warisan
pada penerima fard dan kerabat tanpa memedakan antara laki-laki dan perempuan. Ibid,
hlm.555.
[29] Anderson, Law Reform…, hlm. 150-1
[30] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah…, hlm. 198
[31] Saham yang tidak seimbang dalam ketentuan waris, menurut al-Maula,
diyakini terkait dengan adanya beban mahar kepada anak laki-laki dan memberi
papan, pangan dan sandang. Menurul Munawir alasan tersebut mungkin saja bias
diterima, namun bagaimana kalau budaya kita tidak lagi demikian. Mislanya dalam
masyarakat Indonesia sekarang menganggap mahar hanya formalitas saja kerena
tidak jarang mahar hanya berupa seperangkat alat shalat yang harganya tidak
mahal. Selain itu suami istri sama-sama mencari nafkah untuk kebutuhan hidup
keluarga. Sehingga hubungan suami-istri tidak bisa dianggap sebagai hubungan
memberi dan menerima tetapi hubungan dua orang yang sepakat hidup bersama dan
bergotong royong. Dalam bentuk keluarga seperti ini menurut Munawir alasan
pemberian saham tidak seimbang sudah tidak relevan. Kemudian berangkat dari
kenyataan banyaknya ulama Indonesia enggan melaksanakan hukum waris, namun juga
tidak ingin melanggar fara’id sehingga membagi-bagikan kekayaan semasa hidup
kepada anak-anaknya sama besar dengan jalan hibbah. Kenyataan inilah yang
menimbulkan gagasan untuk memberikan saham kepada anak laki-laki dan perempuan
sama besarnya. Lihat: Munawir Sjazhali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta:
Paramadina, 1997), hlm. 62
[33] Al Yasa Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah…, hlm. 197
[34] Tiga model perjumpaan
institusi Negara dan Institusi agama ini sangat kuat terlihat dalam persoalan
wakaf. Dan model yang paling sring muncul ada yang kedua dan ketiga. Bahkan
yang kedua cenderung menjadi keniscayaan di negara-negara moderen. Untuk
contoh-contoh intervensi ini dapat dilihat dalam tulisan Timur Kuran, “The Provision of Public Goods under
Islamic Law: Origins, Impact, and Limitations of the Waqf System” dalam Journal of Law and Society Review, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar