Senin, 09 November 2015

sayyid qutub dan pemikiran politiknya



SAYYID QUTUB DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA :
MELECAK GENEOLOGI “KEKERASAN”

Oleh: Juandi*
Latar Belakang Masalah dan Metodologi
Sayyid Qutub (selanjutnya ditulis Qutub) adalah salah satu tokoh politik yang digolongkan pada kelompok fundamentalis Islam.[1] Ia  telah merumuskan sejumlah agenda politik yang tertuang dalam berbagai karyanya terutama Ma’alim fi at-Thoriq. Pemikiran-pemikiran politknya telah memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan pemuda dalam menghadang Barat di berbagai negara terutama Mesir. Secara tidak langsung mungkin dapat dikatakan ada geneologi kekerasan yang dihubungkan dengan teori politik Qutub yang mengakibatkan lahirnya golongan pejuang muslim garis keras di beberapa belahan bumi. Apakah benar sedemikian ekstrimnya pemikiran Qutub? Agar tidak terjebak untuk saling tuduh menuduh, maka perlu dikaji dan diperdalam sejauh mana pemikiran Qutub dan agenda-agenda politiknya dalam membela keyakinannya. Serta mengapa muncul pemikirannya tersebut?
Untuk melihat pemikiran satu tokoh atau kelompok, kita tidak akan dapat memahaminya kecuali melihat sejauh mana lingkungan membentuk dan mempengaruhi kelompok dan tokoh tersebut. Oleh karena itu, kita sangat berhati-hati untuk jangan sampai terjebak dalam pengkultusan kelompok dan tokoh tertentu atau sebaliknya justru membuat klaim yang bukan pada tempatnya. Keterkaitan antara teks dan konteks (dalam wilayah penafsiran) juga dapat digunakan untuk membaca dan mengkaji pikiran seseorang.
M. Abu Zahroh menjelaskan tentang kecenderungan pemikiran manusia yang tidak terlepas dari 4 faktor Pertama, faktor alamiayah karunia Tuhan, seperti kekuatan analisis, hafalan, kemampuan berfikir rasional, kefasehan dan sejenisnya. Kedua, faktor guru-guru yang banyak mempengaruhi keilmuannya. Ketiga, interaksi seseorang dengan kelompok dan majelis tertentu. Keempat, trend pemikiran yang berkembang pada masa kehidupan seseorang tersebut.[2] Atau dalam bahasa lain juga dikatakan bahwa ada keterkaitan erat antara cara-cara berfikir dan historisitas seseorang sepanjang hidupnya, sehingga untuk mengkaji seorang tokoh, menurut Ali Syari’ati sebagaimana yang dikemukakan oleh Akh. Minhaji,[3] pertama kali yang harus dilakukan adalah menguak pemikiran tokoh tersebut sebagaimana terekam dalam karya tulisnya. Bersamaan dengan itu, dikaji pula biografi tokoh tersebut dalam rangka memahami, antara lain korelasi antara ide-ide yang tertuang dalam karya-karyanya dengan aktifitas kesehariannya. Dengan demikian, tulisan ini berusaha untuk mengkaji pemikiran Qutub dengan melakukan pendekatan dan teori tersebut. Kemudian disinggung juga pemikirannya dalam hukum keluarga terutama yang berhubungan dengan poligami.
Sayyid Qutub dan Perjalanan Hidupnya
Sayyid Qutub dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 di Musha, Asyut, Mesir atas (325 kilometer dari Kairo) dari keluarga yang memiliki tanah yang luas, meskipun tidak kaya. Ayahnya pemuka desa dan menikah dua kali. Dia memiliki satu saudara laki-laki yang lebih tua yaitu Muhammad dan dua orang adik perempuan bernama Hamidah dan Aminah. Ayahnya tuan rumah yang dermawan sehingga memaksakan dirinya menggadaikan tanahnya, dan terkadang terpaksa melepaskan tanahnya kepada para pemberi kredit.[4] Qutub adalah  seorang penulis, intelektual Mesir, dan Islamis yang bergabung dengan Persaudaraan Muslim Mesir (ikhwan al-muslimin). Sejak kecil ia sudah menghapal al-Qur’an. Kemudian ia pindah ke Kairo, dimana ia mengenyam pendidikan Barat antara tahun 1929 dan 1933, sebelum memulai karirnya sebagai seorang guru di Ministry of Public Instruction. Pada pertengahan karirnya, Qutub memfokuskan dirinya pada tulisan-tulisan sebagai pengarang dan pengkritik, menulis sejumlah novel seperti Ashwak dan memperkenalkan novelist Mesir Naguib Mahfouz dari ketidak tenaran. Pada tahun 1939, dia menjabat sebagai fungsionaris pada Mentri Pendidikan Mesir (wizarat al-Ma’arif). Dari tahun 1948 hingga tahun1950, ia berangkat ke Amerika dalam rangka mendapatkan beasiswa untuk belajar Sistem Pendidikan, menerima gelar master dari The Colorado State College of Education (sekarang University of Northern Colorado). Karya pertamanya tentang kritik sosial keagamaan, Al-'adala al-Ijtima'iyya fi-al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), dipublikasikan pada tahun 1948, pada saat di luar negeri.
Qutub lebih dikenal dengan karya teoretikalnya dalam meredefinisikan rumusan Islam fundamentalis dalam perubahan sosial dan politik, secara spesifik terdapat dalam karyanya ‘Keadilan Sosial’ dan Milestone (petunjuk jalan).[5] Pada tahun awal-awal Qutub terjun ke dunia tulis menulis, dia termasuk seorang penulis nasionalis, liberal bahkan skuler. Kemudian pada tahun 1945 ia menerbitkan karya pertamanya yang menunjukan kembalinya ke Islam yaitu at-Tasawwur al-Fanni fi al-Qur’an (persepsi artistik dalam al-Qur’an).[6] Karya tafsir qur’annya yang luas fi zilal al-Qur’an (di bawah lindungan Qur’an) telah memberikan kontribusi secara signifikant terhadap persepsi-persepsi moderen tentang konsep-konsep Islam seperti jihad, jahiliyyah dan ummah.[7]
Pada tahun 1955 sekitar bulan Mei, Qutub termasuk salah seoran pemimpin ikhwan muslimin yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasser dengan tuduhan berkomplotan untuk menjatuhkan pemerintahan. Pada tanggal 13 Juli 1955, pengadilan rakyat menjatuhkan hukuman 15 tahun kerja keras kepadanya. Ia ditahan di beberapa penjara Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Pada tahun itu pula ia dibebaskan atas permintaan Abdul Salam Arif, presiden Irak yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Setahun kemudian ia ditangkap lagi bersama saudara-saudaranya dan 20 ribu orang, termasuk diantaranya 700 wanita. Tanggal 12 April 1966, Qutub diadili oleh pengadilam Militer dengan tuduhan berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan lewat karya Ma’alim fi ath-thariq-nya. Pada 21 Agustus 1966, Ia bersama Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati. Kemudian ia bersama dua orang temannya dihukum gantung pada tanggal 29 Agustus 1966.[8]
Meninggalnya Qutub secara fisik tidak berarti hilangnya ide-ide pemikirannya tentang Islam dan politik. Banyak karyanya yang sampai sekarang masih memberikan pengaruh yang kuat bagi para pejuang muslim fundamentalis.  Karya-karyanya antara lain: At-taswirul fanny fi al-Qur’an (seni artistik dalam al-Qur’an), Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an (hari akhir menurut al-Qur’an), Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), Fi Zhilal al-Qur’an (tafsir dibawah naungan al-Qur’an), As-Salam al-‘Alamiy wa al-Islam ( Islam dan perdamaian dunia), Al-Mustaqbal li hadza ad-Din ( masa depan agama Islam), Hadza ad-Din (inilah Islam), Al-Islam wa Musykilat al-Hadharah (Islam dan problem-problem peradaban), Khasha’ish at-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu (karakteristik konsepsi Islam), Ma’alim fi ath-thatiq (petunjuk jalan), Ma’rakatuna ma’al Yahud (benturan kita dengan Yahudi), Dirasah Islamiyyah (studi Islam), Nahwa Mujtama’ Islamiy (masyarakat Muslim), An-Naqd al-Adabiy: asaluhu wa manahijuhu ( kritik sastra: prinsip dasar dan metode-metode), Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’sumaliyah (benturan Islam dan kapitalisme), Fi at-tarikh: fikra wa manahij (teori dan metode dalam sejarah), Muhimmat asy-Sya’ir fi al-Hayan (urgensi penyair dalam kehidupan), Naqdu Kitab al-Mustaqbal ats-Tsaqafah fi Misr (kritik terhadap buku masa depan peradaban mesir), Thifl min al-Qaryah (seorang anak dari desa), Al-Asywak (duri-duri).[9]
Dari uraian di atas kita dapat membuat fakta perjalanan hidup Qutub dalam tabel:
Tahun
Fakta
1906
Sayyid Qutub dilahirkan
1925
Masuk sekolah lanjutan di Kairo (sekolah Guru)
1929-1933
belajar di Dar al-‘Ulum dan memperoleh gelar sarjana
1930-1940
mulai menulis essai dan kritik sastra
1939
Menjabat sebagai fungsionaris pada Mentri Pendidikan Mesir (wizarat al-Ma’arif)
1945
menerbitkan karya pertama tentang Islam at-Tasawwuf al-Fanni fi al-Qur’an (persepsi artistik dalamal-Qur’an)
1948-1950
ke Amerika dalam rangka studi
1949
menerbitkan al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam
1952
Sayyid Qutub kembali dari Amerika dan terjadi krisis politik di Mesir
1953
Bergabung dengan gerakan Islam al-Ikhwan al-Muslimin, keluar dari jabatannya dan mulai menulis topik-topik tentang Islam, menghadiri konferensi di Yordaniya dan Suriyah serta memberikan cerama tentang pentingnya akhlak sebagai prasyarat kebangkitan umat
1954
diangkat menjadi pimpinan redaksi harian Ikhwan Muslimin, hanya berjalan selama dua bulan, kemudian harian tersebut ditutup
1955
ditangkap bersama pimpinan Ikhwan Muslimin lainnya
13 Juli 1955
dihukum 15 tahun kerja keras oleh pengadilan rakyat
1964
dibebaskan atas permintaan presiden Irak, Abdul Salam Arif.
1966
ditangkap oleh Pengadilan Militer denga tuduhan berupaya makar. Tuduhan didasarkan atas karyanya Ma’alim fi ath-Thariq
21 Agustus 1966
dinyatakan bersalah dan dihukum mati
29 Agustus 1966
diekskusi mati ditiang gantung
Setting Sosio-Politik Mesir
Babak baru dalam perjalan Qutub adalah sepulang dari Amerika. Ia masuk menjadi anggota al-ikwan al-Muslimin dan kemudian menjadi teoritikus utama dari organisasi ini. Dia ternyata merupakan penulis yang sangat produktif. Ditemukan tidak kurang 20 buku dan banyak artikel tentang pendidikan dan agama. Sebagai seorang cendikiawan Mesir, ia sangat tertarik dengan kemajuan dan peradaban Barat, kemudian ia menjadi sangat anti Barat terutama setelah menyaksikan keterlibatan negara-negara Barat dalam mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Kunjungannnya ke Amerika Serikat memperkuat keyakinannya tentang kebobrokan peradaban Barat dalam hal moralitas dan tentang kuatnya semangat anti Arab di negara itu.[10] Pada saat kembali ke Mesir, negara Mesir dilanda kerisis politik yang menyebabkan terjadinya kudeta mileter pada Juli 1952. Kemudian Qutub menjadi salah satu pendukung pemberontakan Nasser (penguasa pada saat itu), tetapi akhirnya berbalik menentangnya ketika Nasser mulai menyiksa orang-orang Ikhwan.[11]
Gerakan Islam al-Ikhwan al-Muslimin adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismailiyyah, sebelah timur Kairo, Mesir pada tahun 1928 oleh syeikh Hasan al-Bana.[12] Gerakan ini bertujuan mewujudkan kembali dan melindungi masyarakat politik Islam, serta sebagai kelompok yang hendak membuktikan keyakinan mereka. Di samping itu juga, mereka secar politik berkeinginan membentuk khalifah yang terdiri dari negara-negara Muslim yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifaan itu harus didasarkan sepenuhnya pada ajaran al-Qur’an. Tujuan kekhalifaan ini adalah untuk mencapai keadilan sosial dan menjamin kesempatan yang memadai bagi semua individu muslim.[13] Qutub adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan tersebut di samping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Qutub menjadi juru bicara pergerakan ini setelah dilakukan pembubaran oleh pemerintah pada tahun 1954, karena dianggap sebagai pembawa oposisi terhadap sosialisme.[14]
Ikhwanul Muslim pada awalnya memiliki hubungan erat dengan gerakan nasional hingga gerakan ini berkembang dan berjaya pada dekade 40-an. Namun, pada dekade 50-an, setelah 2 tahun meletus revolusi Mesir, terjadi benturan perbedaan yang mengakibatkan keretakan hubungan keduanya.[15] Kemudian keterlibatan langsung gerakan ini terhadap wilayah politik di Mesir dengan melakukan berbagai kegiatan menentang kekuasaan Inggris dan berdirinya negara Israel di bumi Palestina. Aspirasi politik ini mengarah pada pembentukan negara Islam di Mesir dan terjadinya serentetan insiden berdarah diantaranya adalah pembunuhan kepala kepolisian Kairo. Kemudian terjadinya pembunuhan terhadap Perdana Menteri Mesir Nuqrashi Pasha.[16]
Beberapa tahun sebelum bergabungnya Qutub dengan Ikhwanu Muslim sesungguhnya telah banyak terjadi berbagai gejolak politik antara pemerintah dan kelompok ini termasuk juga karena terjadinya berbagai peristiwa berdarah. Namun, dalam realitas sesungguhnya bukan hanya persoalan politi, Ikhwan sendiri telah memberikan penegasan diri yang dirangkai dengan tekad penolakan terhadap pengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat. Walaupun al-Bana, pemimpin Ikhwan Muslim saat itu, sendiri masih membedakan antara kemajuan humanisme Barat dan komunisme sekaligus materialisme yang merusak, yang jelas integritas Islam dan kemustahilan memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik merupakan upaya yang harus dilakukan umat Islam pasca-kolonial. Pendapat ini disetujui oleh Abu al-‘A’la al-Maududi yang kemudian dengan tekad yang sama dengan Ikhwan berusaha untuk mematahkan cengkraman budaya dan pemikiran Barat atas kaum cendikiawan muslim.[17] Bagi al-Maududi, Nabi Muhammad diutus tidak sekedar membawa jalan kehidupan, tetapi juga memberikan latihan-latihan kepada individu dan masyarakat muslim keseluruhannya untuk mempersiapkan mereka bagi partisipasi praktis dalam evolusi kultural dan kebudayaan Islam. Sehingga orang-orang muslim harus berkembang menjadi masyarakat terorganisir dan ikut aktif menegakan sistem kehidupan yang Islami, dimana kata-kata Allah berkuasa diatas segalanya.[18]
Pemikiran al-Maududi inilah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran politik Qutub.[19] Apalagi ketika ia menjadi penasehat kebudayaan terkemuka untuk gerakan perjuangan kemerdekaan, perioritas politik Islamnya membuatnya bersinggung langsung dengan presiden Nasser. Nasser adalah seorang penguasa yang paham betul akan bahayanya Islam dalam wilayah kekuasannya. Oleh karena itu, semenjak adanya upaya percobaan pembunuhan terhadapanya, pada tahun 1954, Nasser mengilegalkan gerakan Ikhwan dan memenjarahkan para anggotanya dimana Qutub salah satu diantaranya. Nasser sesungguhnya adalah seorang yang muslim yang tulus tetapi menginginkan agama dan politik terpisah, bahkan ia mencoba membentuk sistem pemerintahan ala Barat. Hal inilah yang membuat jijik kalangan Ikhwan dan mungkin juga oleh golongan Islam radikal lainnya.[20]
Barat sendiri, menurut Qutub, telah gagal memberiakan perkembangan nilai-nilai bagi kemanusiaan. Dalam pengantar bukunya Ma’alim fi Thariq ia mengatakan: sekarang kemanusiaan sedang berdiri di tepi jurang…..bukan lantaran ancaman penghancuran yang melayang di atas kepalanya….ini hanyalah gejala penyakit bukan penyakit itu sendiri….akan tetapi lantaran miskinnya kemanuisaan dalam hal memahami “nilai” yang mungkin memelihara kehidupan manusia dalam bayangan kemanusiaan, menjaga keselamatan dan memajukan kemajuan yang benar. Hal ini jelas nampak dalam pengetahuan Barat yang tidak mampu memberikan “nilai” bagi kemanusiaan, bahkan tidak sadar dengan kehidupan sendiri setelah sistem demokrasi mengalami kehancuran.[21]
Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal yang dapat dilihat tentang perkembangan sosio-politik di Mesir:
  1. keadaan pemerintah Nasser saat itu berkeinginan memisahkan antara agama dan negara, bahkan menginginkan sistem pemerintahan model Barat di Mesir.
  2. masuknya unsur-unsur budaya asing terutama “Barat” dalam kebudayaan Mesir secara kusus dan budaya Islam pada umumnya dalam sendi-sendi kehidupan baik politik, sosial maupun ekonomi.
  3. dalam isu gelobal adanya dukungan negara-negara Barat terhadap terbentuknya negara Israel yang Yahudi.
  4. terkikisnya nilai-nilai moral yang disebabakan karena berkembangnya peradaban Barat yang sarat dengan budaya materialisme yang mengakibatkan pola masyarakat mengarah pada hedonisme dan disamping itu juga budaya Barat sarat dengan budaya komunisme.
Gagasan Tentang Politik Islam
Sayyid Qutub dalam perjalan sejarahnya dapat dikatakan sebagai seorang fundamentalis Islam semisal Hasan al-Bana, al-Maududi, dan Muhammad Ghazali, yang mengecam nasionalisme: linguistik, etnis maupun liberal[22]. Fundamentalisme Islam adalah gerakan yang relatif moderen, namun gerakan ini memiliki doktrin yang berakar dari periode awal sejarah muslim. Mereka memiliki semangat untuk melakukan pembaharuan, untuk kembali kepada kemurnian, mewujudkan kebenaran dan kesederhanaan zaman Rasulullah. Dalam idiologi gerakan ini terdapat unsur keyakinan yang kuat, namun karakter yang khas dari gerakan fundamentalis adalah skripturalisme berciri khusus.[23]  Seperti apa yang diungkapkan Hasan al-Bana dan pengikutnya yang menegaskan kembali visi Islam yang komprehensif yang meliputi kehidupan politik, sosial dan ekonomi: “Islam adalah iman dan ritual, negara (wathan) dan kebangsaan, agama dan negara, spritual dan amal, al-Qur’an dan pedang.” [24]
Namun, dalam pemkiran Qutub sendiri telah terjadi pergeseran-pergeseran dalam bidang  politik dan pemerintahan.[25] Dalam karyanya keadilan sosial dalam Islam yang diterbit sekitar tahun 1949 ada tiga dasar keadilan sosial yang dikemukannya yaitu: kebebasan berkehendak secara mutlak, persamaan manusia secara keseluruhan, jaminan sosial yang kuat.[26] Sebelum sampai pada penjelasan mengapa tiga dasar keadilan sosial dalam Islam harus ditegakan, Qutub menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal tentang keutamaan-keutamaan Islam sebagai agama. Ia mengatakan bahwa aturan kehidupan manusia tidak akan tegak hingga manusia saling bahu membahu dan berusaha memegang teguh jalan Allah dan syari’at-Nya.[27] Penjelasan-penjelasan selanjutnya memang cenderung apologetik, karena apa yang dikemukakan pada penjelasananya adalah ingin memperkuat argumentasi yang mengarah pada sesuatu yang sangat ideal dalam Islam.
Pada kesimpulan tentang kebebasan berkehendak, Qutub menyatakan bahwa kebebasan ini adalah salah satu asas dari rukun untuk membangun keadilan sosial dalam Islam, tetapi kebebasan ini adalah dasar yang paling fundamental untuk menegakan bagian-bagian penting dalam mewujudkan keadilan sosial.[28] Dalam penjelasannya tentang kebebasan ia memulai dengan pernyataan bahwa Islam memulai dengan membebaskan manusia dari menyembah sesuatu selain Allah dan dari ketundukan kepada sesuatu selain Allah. Maka tidak ada ketundukan kepada selain Allah termasuk juga pada penguasa.
Berangkat dari kebebasan berkehendak tersebut, kemudian manusia diakui persamaannya. Pada dasarnya Qutub mengakui adanya persamaan manusia karena semua jenis manusia adalah mulia, namun dalam pembahasan selanjutnya ia mengatakan -dalam lingkup muslim- bahwa persamaan laki-laki dan perempuan terdapat pada jenis dan hak-hak kemanusiaan yaitu diniyyah, ruhiyyah dan persamaan untuk berhak mendapatkan harta warisan, sedangkan dalam persoalan bagian harta warisan, kesaksian dan kepemimpinan mereka berbeda.[29] Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa keadilan sosial dalam pandangan Qutub tidak diartikan sebagai keadilan yang merata. Karena pada dasarnya dalam persoalan keadilan akan kita temukan dua macam yaitu keadilan merata dan keadilan yang tidak merata, tatapi dalam kondisi atau konteksnya dapat dikatakan adil. Apabila kedua hal tersebut di atas telah ditempuh, maka kemudian jaminan soaial bagi masyarakat akan kuat. Dengan demikian, keadilan masyarakat dalam Islam akan terwujud.
Pamikiran Qutub yang orisinal tentang Islam adalah ia berpendapat bahwa al-Qur’an sesungguhnya telah menghimpun segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Islam adalah ajaran yang komprehensif dan satu kesatuan yang homogen. Ia adalah anti modernisme dan menolak pandangan bahwa Islam harus belajar dari Barat mengenai pembangunan masyarakat dan poltik.  Ajaran Islam tentang hubungan kemasyarakatan dan pranata sosial yang dijelaskan dalam fikih bukanlah bersifat baku; keduanya bisa diadaptasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam memahami al-Qur’an, Qutub berada dalam tradisi revelasionisme (wahyu) murni, tetapi ia memberikan sebuah makan baru bahwa pemahaman langsung, personal dan intuitif disertai bantuan agama, ia bisa mencapai pemahaman yang memadai tentang alam semesta.[30] Sama halnya “ teori politik berdiri atas dasar nurani, bukan hukum.”
Sebelum menjelaskan tentang sikap politikya, Qutub memulai dari melihat persoalan politik yang sudah berkembang terutama di Mesir. Menurutnya kehidupan dunia sekarang berada dalam kondisi “jahiliyyah” kondisi jahiliyyah ini muncul karena telah melampau batas dasar-dasar kedaulatan Allah di bumi yaitu al-hakimiyyah. Tidak hanya seperti masyarakat jahiliyyah awal, bahkan “jahiliyyah moderen”[31] ini lebih buruk lagi. Semua sendi kehidupan menggambarkan ke-jahilyyah-an yaitu pemikiran dan seni, konstitusi dan perundang-undangan, budaya dan pemerintahan  jauh dari manhaj Allah dalam prakteknya.[32]
Tentang teori pemerintahan di dalam Islam, Qutub mengatakan bahwa tegaknya teori pemerintahan dalam Islam atas dasar kesaksian bahw tiada Tuhan selain Allah. Allah ta’ala mewakilkan al-hakimiyyah (kedaulatan) dalam kehidupan manusia adalah dengan cara menyerahkan urusan mereka pada kehendak-Nya dan takdir-Nya dari satu sisi, dan dengan cara mengatur posisi, kehidupan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, hubungan-hubungan, ikatan-ikatan dengan syari’at-Nya dan manhaj-Nya di sisi lain. Dalam aturan Islam tidak mengakui keesahan Allah, tidak berada dalam kehendak dan takdir Allah dan tidak berada dalam manhaj dan syari’at Allah maka ia syirik atau kafir. [33] Karena mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah merupakan fondasi paling utama (rukn al-Islam al-awal), maka agama tidak akan bangkit dan tidak akan terpenuhi hingga landasan ini terwujudkan.[34] Qutub ingin mengatakan bahwa untuk menegakan pemerintahan yang pertama kita harus menegakan agama terlebih dahulu, karena ini adalah landasan paling mendasar.
Gagasan politik Qutub yang cukup fundamental adalah menyerukan agar terciptanya pemerintahan Islam yang bersifat menyeluruh[35] atau supra nasional.[36] Walaupun bukan dalam istilah imperium, namun pemerintahan tersebut memiliki pusat pemerintahan dimana mencakup daerah-daerah Islam di luarnya dan warganya memiliki persamaan hak dan kewajiban dengan warga di pusat pemerintahan serta tidak diperlakukan sebagai negara jajahan. Konsep ini mengusulkan agar seluruh umat Islam yang berada dalam pemerintahan tersebut meninggalkan fanatisme ras dan kedaerahan.[37] Mungkin juga secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa yang dibutuhkan umat Islam sekarang adalah nasionalisme Islam bukan nasionalisme negara. Nampaknya negara-negara Islam atau yang mayoritas muslim harus merelakan kehilangan negaranya dan harus bersiap-siap menjadi negara bagian kalau memang benar-benar menyetujui konsep supra nasional Qutub tersebut.
Gagasan tentang pemerintahan yang bersifat supra nasional ini bila dilacak lebih jauh adalah sebagai upaya mengembalikan pada kondisi Islam awal dimana nabi sebelum wafat telah menciptakan kondisi untuk terbinanya persaudaraan universal yang berdasarkan iman. Prinsip ini merupakan kekuatan yang melebihi kesetiaan ikata darah dan kesukuan bangsa Arab. Karena hal ini disampaikan Nabi dalam khotbah haji perpisahannya.[38] Namun yang perlu digaris bawahi bahwa pemerintahan dan kepemimpinan negara-negara muslim atau mayoritas muslim sekarang adalah hasil pertarungan melawan kolonial dengan mengatasnamakan persatuan tanah air dan budaya, hanya sebagain yang mengatasnamakan agama. Sehingga sulit dibedakan antara perjuangan menegakan agama atau menegakan nasionalisme. Gagasan-gagasan membentuk pemerintahan islam yang supra nasional hanya berhenti pada gagasan-gagasan murni yang terispirasi dari romantisme masa lalu dimana kejayaan Islam dengan system kekhalifaannya yang berhasil memancangkan pengaruh terhadap dunia. Namun bagaimanapun, pasca keruntuhan kekhalifaan Usmaniyah wilayah-wilayah Islam yang berada dibawah penjajahan Eropa hanya mampu membebaskan dirinya dalam bentuk kemerdekaan bangsa. Dari sini kumudian wilayah-wilayah Islam di seluruh dunia terinspirasi untuk memerdekakan diri menjadi Negara kesatuan. Dengan demikian, gagasan Negara Islam supra nasional menjadi semakin jauh terjangkau.
Kemudian yang paling radikal dari pemikiran Qutub, ia menegaskan bahwa dimana ditemukan masyarakat muslim, yang menyerupai di dalamnya manhaj Allah, maka Allah memeberikan hak untuk bergerak dan maju untuk menyelamatkan atau mengambil kekuasaan dan menentukan pemerintahan.[39]
Menurut Qutub pemerintahan Islam harus mendasarkan pada tiga asas politik yaitu keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat.[40] Keadilan penguasa di sini, lebih menyoroti pada pribadi penguasa yang harus adil secara mutlak dalam kebijakan dan keputusan tanpa pandang bulu. Ketaatan rakyat pada penguasa adalah merupakan kepanjangtanganan dari ketaatan kepada Allah dan rasulnya. Namun ketaatan di sini bukan karena jabatan tetapi karena mereka menegakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Batasan ketaatan kepada ulil ‘amri bukan pada kelembagaannya tetapi apakah penguasa menjalankan syari’at Islam atau tidak. Melaksanakan syari’at Islam[41] adalah tawaran mutlak yang harus ada pada penguasa sekalipun sistem pemerintahan yang dijalankan berbeda-beda. Logika sebaliknya (mafhum mukhalafah) dari ini adalah boleh untuk tidak taat kepada penguasa yang tiran, tidak menjalankan syari’at Islam dan seterusnya. Dalam asas politik ini nampaknya pendapat ini memang perlu mendapat dukungan. Kalau ditarik dalam konteks Indonesia, maka perlu adanya reformasi moral dan spritual bagi pemimpin-pemimpin negara sehingga mereka dapat berlaku adil dan tidak korup. Dengan demikian, barulah konsep ketaatan kepada penguasa dalam konteks ini dapat dijalankan. Adapun dalam menghadapi penguasa tiran, selama masih dapat diperbaiki melalui kelembutan dan perpolitikan yang baik, mengapa harus dengan kekerasan. Terkecuali jalan-jalan lain sudah tertutup. Indonesia pun membuktikan bahwa kudeta dapat dilakukan sepanjang tirani penguasa tidak dapat ditolelerir, sekalipun pada kenyataannya kudeta tidak menyelesaikan persoalan sepanjang reformasi moral dan spritual tidak dijalankan.
Tentang permusyawaratan antara rakyat dan penguasa adalah salah satu sistem Islam yang harus dijalankan sebagai asas pemerintahan yang sudah dipraktekan sejak masa Nabi. Dalam hal ini menurut penulis, untuk konsep negara bangsa, dapat dipastikan bahwa hanya negara yang memiliki demokrasi yang mapanlah yang dapat melakukan permusyawaratan yang baik. Karena permusyawaratan ini adalah bentuk transparansi penguasa kepada rakyat dalam menentukan arah dan kebijakannya.sedangkan negara yang bersifat penguasa oriented, permusyawaratan hanya menjadi kegiatan yang sia-sia karena kepentingan yang diinginkan bukan kemakmuran rakyat, tetapi kemakmuran pengasa dan kroni-kroninya.
Menurut Hamid Enayat, Qutub memiliki pandangan yang mendekati holistik mengenai masalah negara Islam. Pertama, baik Islam maupun sosialisme adalah sistem pemikiran dan kehidupan yang sama-sama komprehensif yang tidak bisa dipecah bela, namun keduanya terpisah satu dengan yang lain.  Karenanya kedua sistem ini tidak bisa dirujukkan atau disintesiskan. Kedua, iman yang sejati dalam Islam dari kepasrahan mutlak kepada kehendak dan kedaulatan Tuhan. Sehingga pengagungan kepada pribadi yang  berkembang di bawah sosialisme Mesir adalah tidak Islami. Ketiga, dalam alasan gagasan, pilihan yang real saat ini terletak pada Islam dan jahilyyiah. Keempat, sosialisme-sama juga dengan kapitalisme dan komunisme- adalah pertumbuhan dari pemikiran jahiliyyah dan karenanya membawa serta watak aslinya yang rusak. Kelima, sosialisme Mesir berkaitan erat dengan nasionalisme –keyakinan jahiliyyah lain yang sangat bertentangan dengan jiwa Islam. Dengan demikian, Qutub menyeruhkan adanya rekonstruksi dan regenerasi spritual, agar setiap orang memperhatikan kesalahan imannya dan keselarasan iman dan prilaku hidup.[42]
Selanjutnya Qutub berpendapat bahwa kelompok yang menentang Islamisasi masyarakat dan negara, terutama mereka yang dianggap pemimpin muslim, harus diperlakukan layaknya kaum jahiliyyah (pagan, kafir, murtad), sehingga dibolehkan untuk melakukan kekerasan demi melawan rezim semacam ini.[43] Siapa saja yang tergolong masyarakat jahiliyyah ini? Qutub menjelaskan bahwa mereka adalah semua masyarakat yang selain masyarkat muslim. Dengan demikian, semua masyarakat di muka bumi adalah masyarakat jahiliyyah, termasuk juga masyarakat Yahudi dan Nasrani dan mereka yang mengaku muslim tetapi tidak menjalankan manhaj Islam. [44] Penulis dapat memastikan bahwa manhaj Islam yang diinginkan tidak mutli interpreted yang selama ini telah terjadi sepanjang sejarah Islam, tetapi apa yang dia pandang benar seperti interpretasinya terhadp teks agama. Disinilah dapat dipastikan pula terjadi geneologi Islam eksklusif yang kemudian berkembang hingga sekarang. Dalam beberapa hal saling mengkafirkan dan menganggap di luar komunitasnya adalah kafir dan najis. Selanjutnya dari pemikiran ini juga ditemukan geneologi kekerasan yang berkelanjutan yaitu boleh melakukan tidakan kekerasan sepanjang hal tersebut dilakukan untuk memberantas jahiliyyah dan masih dalam wilayah jihad. Doktrin jahiliyyah ini kemudian dikaitkan dengan dogma al-Hakimiyyah li Allah (pemerintahan Tuhan) sebagai dasar Negara Islam. Dogma al-hakimiyyah inilah yang selanjutnya dislahgunakan sebagai slah satu alasan terpenting untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif. Misalnya, gagasan Qutub tentang hakimiyyah telah digunakan oleh kelompok al-ikhwan al-muslimin untuk melakukan pemberontakan para pemerintahan resmi dan membunuh presiden Anwar Sadat. Alasannya adalah bahwa rezim yang berkuasa dianggap tidak sah dan illegal karena system pemerintahan yang digunakan adalah system moderen yang mengandung hukum setan atau undang-undang kekafiran dan masyarakatnya jahiliyyah.[45] Sedangkan mereka memginginkan system pemerintahan yang islami, sebagaimana yang digagas Qutub.
Pembentukan masyarakat muslim dan negara Islam dalam konsepsi Qutub dimulai dari penjelasan adanya dualisme yang bertentangan dalam kehidupan yaitu baik dan buruk, manhaj Islam dan Manhaj jahiliyyah, masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyyah, iman dan murtad, Tuhan dan setan.[46] Jihad yang membebaskan belum berakhir sampai semua orang kembali kepada agama Tuhan’, Qutub menyebut perjuangan ini sebagai “revolusi (ats-tsawrah)”. Alat yang digunakan dalam perjuangan tergantung pada keadaan, dan pada bagaimana musuh jahiliyyah bertindak. Taktik utamanya adalah dakwa; baru ketika massa telah beralih ke ajaran Islam yang benar, negara Islam dapat didirikan. Selama kebebasan berbicara tiada terancam, metode damai harus digunakan. Baru ketika umat dikekang, jihad fisik mesti dilakukan. Dengan demikian ia mendukung gerakan bawah tanah bersenjata.[47] Dualisme konsepsi ini pada dasarnya tidak ada masalah karena dasar dalam kehidupan tidak lepas dari dua hal yaitu baik-buruk, salah-benar, hidup-mati. Namun yang berbeda dari Qutub bahwa kebenaran adalah harga mati dan itu satu, sedangkan dalam banyak pemikiran kita boleh mengatakan bahwa kebenaran itu ada tetepi wilayah kebenaran mungkin bisa lebih luas bukan kebenaran satu-satunya. Seperti ketika menafsirkan teks agama orang cenderung berbeda karena perspektifnya berbeda tetapi masing-masing berkeyakinan bahwa mereka masih dalam lingkup kebenaran. Sedangkan pemikiran Qutub untuk mendirikan negara yang benar-benar Islami dengan pola apabila massa telah beralih ke dalam ajaran Islam yang benar menjadi cita-cita yang melangit.
Adapun tahapan jihad dalam Islam menurut Qutub memeiliki ciri sistem pergerakan: pertama, waqi’iyyah jiddiyah ‘sesuai realitas, tetap menampilkan keseriusan’  Gerakan Islam bertugas menghadang jahiliyyah pada sektor akidah yang berdiri di atas sistem riil dan aplikatif, serta ditopang oleh kekuasaan yang memiliki kekuatan finansial. Upaya pelurusan akidah dan persepsi ini dihadapi dengan dakwah dan penjelasan. Kedua, waqi’iyyah harakiyyah ‘sesuai dengan realitas, tetapi selalu dinamis.’ Islam adalah gerakan yang memiliki tahapan-tahapan. Orang-orang muslim banyak mengalami kekalahan ‘ruhiyyah dan ‘aqliyyah’ karena mereka beraggapan bahwa jihad dalam Islam hanya untuk mempertahankan diri. Mereka ini berada di bawah tekanan realitas yang menyedihkan di tengah-tengah kaum muslimin yang tidak tersisa lagi Islamnya kecuali nama. Padahal, manhaj Islam bertujuan untuk menghapus segala bentuk thagut yang ada dimuka bumi dan mengajak manusia agar hanya menyembah kepada Allah. Ketiga, gerakan Islam adalah tetap, tetapi sarananya bisa berubah-ubah, dengan catatan tidak keluar dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan tujuan yang telah digariskan. Keempat, adanya kereteria syari’at dalam hubungan antar masyarakat muslim yaitu wahyu pertama ditujukan kepada nabi untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan sebagai tanda awal kenabian, kemudian Allah mengumumkan kenabian dengan perintah-Nya “iqra’” dan mengumumkan kerasulnya dengan “ya ayyuhal muddastir.” Kemudian Allah memerintahkan Nabi untuk menyebarkan peringatan kepada kerabat dekat. Kemudian memberikan perigatan kepada kaumnya. Kemudian kepada orang yang bertetangga dengan jazira Arab, kemudian kepada orang Arab secara keseluruhan dan kemudian kepada seluruh alam. Kaidah ini bersifat universal dan dakwah ini tidak boleh berhenti karena adanya sandungan sistem politik atau kekuatan materi.[48] Dari penjelasan ini kita apat menangkap makna dari perjuangan Islam untuk menyelamatkan manusia, tetapi perlu juga digarisbawahi bahwa Islam tidak meligitimasi kekerasan dan pemaksaan dalam menyiarkan agama.

Penutup dan Kesimpulan
Pemikiran Qutub dalam sosial dan politik sangat dipengaruh oleh kondisinya dan kondisi lingkungannya yang mencakup wilayah ekternal dan internal. Dalam wilayah internal ada tiga hal, pertama, orintasi masyarakat yang materialisme dan dekadensi moral yang secara keseluruhan dipengaruh oleh kebudayaan Barat. Inilah yang berusaha untuk ditolak habis-habisan termasuk juga menolak Barat dalam pengertian jiwa dan raga. Kedua, keadaan pemerintahan Mesir yang tidak “Islami” karena berusaha memisahkan agama dan negara. Ketiga, masuknya wacana Islam yang dibawah oleh tokoh-tokoh Islam “fundamentalis” seperti Abu a’la al-Maududi, Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadvi dan lain-lain ke dalam pemikiran Qutub. Sedangkan wilayah eksternal yang mempengaruhi pemikirannya adalah isu gelobal dimana negara-negara Barat mendukung terbentuknya negara Israel yang Yahudi.
Pada tataran politik yang digagas Qutub adalah penggalangan dukungan agar tegaknya ‘ashabiyyah ad-diniyyah bukan ‘ahabiyyah al-Qoumiyyah (qabilah) apalagi ‘ashabiyyah al-jinsiyyah. Dari pandangan politik Qutub yang telah dijelaskan di atas kita pun menemukan geneologi pembenaran akan kekerasan dalam wilayah politik, atau setidak-tidaknya sudah digunakan sebagai alasan pemebenar atas gerakan-gerakan destruktif yang dilakukan oleh sebagia organisasi Islam.
Daftar Pustaka
Abegebriel, A. Maftuh dan Ibida Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis, dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Arif, Muhammad, Wacana Naskh dalam Tafsir fi Dzilal al-Qur’an (Eksposisi Penafsiran Alternatif Sayyid Qutub), dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron samsudin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002
Armstrong, Karen, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, Jakarta: Serambi, 2003
Azra, Azumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis, Jakarta: Paramadina, 1996
Binder, Leonard, Islam Liberal: Keritik Terhadap Idiologi-Idiologi Pembangunan, alih bahasa: Iram Mutaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati, Jakarta: Serambi, 2006
Chirzin, Muhammad, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Zhilal, Solo: Era Intermedia, 2001
Depertemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: C.V. Gema Risala Press, 1993
Euben, Roxanne L., Mush Dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalitas Moderen, terj. Satrio Waono, Jakarta: Serambi, 2002
Hanafi, Hasan, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad dan Mufliha Wijayanti, Yogyakarta: Islamika, 2003
Ilyas, Hamim, Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Maududi, Abul a’la al-, Apakah Arti Islam, dalam Altar Gauhar, Tantangan Islam, terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka, 1982
Minhaji, Akh., Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam, dalam Muqaddimah, no. 8, tahun v, 1999
__________., Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan (Perspektif Normatif-Empiris) Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernisdan Fundamentalis, Magelang: Indonesia Tera, 2001
Qutub, Muhammad, Evolusi Moral, terj. Yudian Aswin, Surabaya: al-Ikhlas, 1995
Qutub, Sayyid, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi, 1967
­­___________, Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzzakir, Bandung: Pustaka, 1990
___________, Ma’alim fi at- Thariq, ttp.: tp., tt
___________, Tafisr fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan al-Qur’an, terj. As’ad yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, 30 jilid.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. Ke 5, Bandung: Pustaka, 2003
Sagiv, David, Islam Otentitas Liberalisme, alih bahasa: Yudian W. Asmin, Yogyakarta: Lkis, 1997
Sjadzili, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993
Zahroh, M. Abu, Abu Hanifah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi 1948
__________, Asy-Syafi’I : Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi 1948
http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Qutb, akses tanggal 20 Pebruari 2007
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, kerancuan pemahaman Sayyid Qutub terhadap “la illaha illallah”, http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/01/14/bahayanya-pemikiran-takfir-sayyid-qutub/#more-6, akses tanggal 20 Maret 2007



[1] Istilah fundamentalsme pertama kali muncul dikalangan para penganut Kristen Protestan di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Fundamentaslisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundament” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci  agama itu sendiri secara rigid dan literalis. Gerakan ini merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan konservatif terhadap perkembagan teologi liberal-modernisme dan gejala sekuler. Sedangkan gerakan fundamentalisme islam dapat diartikan, diantaranya, sebagai gerakan-gerakan Islam yang secra politik menjadikan islam sebagai idiologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the others. A. Maftuh Abegebriel dan Ibida Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis, dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 449 dan 502. Sedangkan dalam pengertian yang sesungguhnya Fundamentalisme Islam dapat diartikan sebagai satu tradisi interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan islam sebagai agama dan ideologi. Sehingga interpretasi yang dikembangkan didalamnya tidak hanya doktrin-doktrin teologi tetapi juga idiologis. Lihat: Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, dalam ibid, hlm. 125
[2] Lihat: M.Abu Zahroh, Asy-Syafi’I : Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi 1948), hlm. 32-33. lihat juga: Abu Hanifah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi 1948) hlm.52.
[3] Akh. Minhaji, Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan (Perspektif Normatif-Empiris) Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernisdan Fundamentalis (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. Xxv. Bandingkan dengan: Akh.Minhaji, Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam, dalam Muqaddimah, no. 8, tahun v (1999), 78
[4] David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, alih bahasa: Yudian W. Asmin (Yogyakarta: Lkis, 1997), hlm. 39
[5]http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Qutb, akses tanggal 20 Pebruari 2007
[6] Sagiv, Islam…, hlm. 40
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Qutb, akses tanggal 20 Pebruari 2007
[8] Ibid., hlm. 38-40
[9] Ibid., hlm. 52-55
[10] Munawir Sjadzili, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 148
[11] Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Zhilal (Solo: Era Intermedia, 2001), hlm. 32
[12] Sjadzili, Islam…, hlm. 145
[13]Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 117
[14] Chirzin, Jihad…, hlm. 33
[15] Hasan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad dan Mufliha Wijayanti (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 131.
[16] Sjadzili, Islam dan Tata…, hlm. 146
[17] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 574-5. Sejalan dengan Maududi Muhammad Qutub (saudara Sayyid Qutub) menyatakan bahwa orang Barat benar-benar telah tertipu manakalah beranggapan bahwa mareka akan mampu terus menjauh dari agama, kemudian terus sukses dan terus akan berada pada moral yang lurus! Akan tetapi, ia hanya salah satu fase “evolusi”, tidak permanen! Bagaimana manusia akan tetap tergelincir? Ia bermula dari kemaslahatan politik. Kemudian urusan-urusan seksual, kemudian “moral” yang lainnya. Muhammad Qutub, Evolusi Moral, terj. Yudian Aswin (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), hlm. 320
[18] Abul a’la al-Maududi, Apakah Arti Islam, dalam Altar Gauhar, Tantangan Islam, terj. Anas Muhyiddin (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 7
[19] Menurut beberapa catatan bahwa Qutub dengan bebasnya mengadopsi karya, Abu al-A’la al-Maududi dalam merumuskan teori politiknya, dimana konsep politiknya yang paling kuat adaalah istilah-istilah qur’ani yang  telah digunakan al-Maududi selama bertahun-tahun. Selain al-Maududi, Qutub juga terpengaruh oleh pemikir india Abu al-Hasan al-Nadwi dalam karyanya islam and the world. Sedangkan dalam bidang hukum, teori yang mengatakan bahwa ketidak absahan hukum non-islam yang diikuti Qutub merupakan warisan kontemporer dari Ibn Taimiyyah yaitu yang memperkenalkan bahwa ada kreteria untuk menilai penguasa dalam teori ‘hak untuk memberontak’ yang dilontarkan pada abad ke-14. Roxanne L.Euben, Musuh Dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalitas Moderen, terj. Satrio Waono (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 110-1
[20] Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 507
[21] Sayyid Qutub, Ma’alim fi at- Thariq (ttp.: tp., tt.), hlm. 3
[22] Chirzin, Jihad…, hlm. 41
[23] Leonard Binder, Islam Liberal: Keritik Terhadap Idiologi-Idiologi Pembangunan, alih bahasa: Iram Mutaqin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 250. dalam pengertian yang lebih jelas dikatakan bahwa skripturalisme adalah keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan demikian dalam aplikasinya satu agama tertentu harus dipegang kokoh dalam bentuk literel dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan. Hamim Ilyas, Akar Fundamentalisme.., hlm. 126.
[24] Dalam Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 573. Bandingkan dengan Sayyid Qutub yang mengatakan bahwa islam adalah kesatuan agama antara ibadah dan mu’amalah, aqidah dan syari’ah, ruh dan tubuh, penguasaan ekonomi dan penguasaan tujuan-tujuannya, agama dan akhirat, bumi dan langit. Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, cet. Ke-7 (Kairo: Darul Kitab al-‘Arabi, 1967), hlm. 28
[25] Pada dasarnya pemikiran Qutub, menurut catatan Taufiq Barkat dan dikutip oleh Mahmud Arif, ada 3 tahapan: fase pertama pemikirannya belum mempunyai orientasi keislaman, fase kedua pemikiran Qutub telah mempunyai orientasi keislaman namun masih bersifat umum dan pada fase terakhir  pemikitannya berorientasi islam militan dimana dalam fase ini, ia sangat “muak” dengan westernisasi, kolonialisme dan penguasa Mesir yang dianggap kesemuanya bertentangan dengan Islam. Lihat: Muhammad Arif, Wacana Naskh dalam Tafsir fi Dzilal al-Qur’an (Eksposisi Penafsiran Alternatif Sayyid Qutub), dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron samsudin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002), hlm. 112
[26] Ibid, hlm. 35
[27] Ibid, hlm. 24
[28] Ibid, hlm. 51
[29]Ibid, hlm. 55-57. Qutub untuk permasalahan ini benar-benar melandasan pada ayat-ayat yang dimaknai secara tekstual ayat. Hanya saja kemudian ia berkepentingan untuk membuat argumentasi sebagai upaya memperkuat ayat tersebut.
[30] Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm 578-9
[31] Salah satu doktin utama dalam fundamentalisme Islam Qutub yang selanjutnyan dianut ikwan mulim adalah “jahiliyyah moderen” ini yaitu modernitas sebagai ‘barbaritas baru’.  Konsep ini pertama kali di kembangkan oleh al-Maududi. Kosep jahiliyyah ini kemudian sangat berkembang ketika Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadvi menulis pada tahun 1950 dalam karyanya maza khasirah al-‘alam bi inhithath al-Muslimin (kerugian apa yang diderita dunia akibat kemunduran Islam). Ia menjelaskan perjalanan Islam secara historis sejak kebangkitan, kejayaan dan kemunduran. Menurutnya kaum muslim mulai mengalami dekadensi sosial dan moral sejak masa ‘Ustmani’  khususnya ketika dinasti ini mulai mengambil alih gagasan dan institusi Eropa dalam upaya modernisasinya. Padahal kebudayaan Barat secara keseluruhan bersifat pagan dan materialistik (jahiliyyah-maddiyah). Lihat: Azumardi Azra, Pergolakan..,hlm. 118
[32] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 8
[33] Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…, hlm. 100. Penafsiran kata la ilaaha illallah dengan al-hakim (yang menghukumi) ini adalah penafsiran yang persis seperti pemikiran Abul A’la Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata : ”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” Lihat: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, kerancuan pemahaman Sayyid Qutub terhadap “la illaha illallah”, http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/01/14/bahayanya-pemikiran-takfir-sayyid-qutub/#more-6, akses tanggal 20 Maret 2007, dikutip dari Majalah Salafy, Edisi XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M
[34] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 94
[35]Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…, hlm. 106-7 dalam kesempatan lain Qutub mengatakan bahwa islam bukanlah bagian dari nasionalisme (qaum) dan bukan pula pemerintahan berdasarkan tanah air, akan tetapi ia adalah manhaj Allah dan bentuk pemerintahan duniawiyah-Nya. Lihat: Ma’alim…, hlm. 80.
[36] Lihat: Sjadzili, Islam dan Tata…, hlm. 149
[37] Ibid…
[38] Lihat: Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. Ke 5 (Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 23
[39] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 82
[40] Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…, hlm 101-4
[41] Syariat Islam dapat dipahami sebagai manhaj rabbani. Secara umum konsep islam adalah konsep yang rabbani. Menurut Qutub konsep robbani adalah yang datang dari Allah dengan membawa segala karakteristik tersendiri, sehingga ia merupakan konsep yang esensinya tidak berkembang tetapi manusialah dalam kerangkanya dan meningkat di dalam memahami dan meanggapnya. Manusia akan tetap berkembang dan meningkat, tumbuh dan maju, sedangkan kerangka ini akan selalu mencakupnya dan konsep rabbani akan selalu membimbingnya; sebab sumber yang menciptakan konsep ini adalah juga sumber yang menciptakan manusia. Sayyi Qutub, Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzzakir (Bandung: Pustaka, 1990), hlm. 47
[42] Chirzin, Jihad…, hlm. 43-4
[43] Dalam Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 578
[44] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 88-91
[45] Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam…, hlm. 139-40
[46] Penjelasannya teresebar sepanjang karya ma’alimnya misalnya halaman 18, 88-91 dan sebagainya, lihat juga Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme…,hlm. 46 dan Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 581
[47] Ibid…, hlm. 581-2. lihat juga: Karen Armstrong, Perang Suci…, hlm. 540. Menurut catatan Syaikh Ayyid asy Syamari bahwa Ali ‘Isymari (salah seorang pendukung ikhwan muslim) yang pernah duduk bersama Sayyid Quthub mengatakan bahwa apabila terjadi suatu gangguan terhadap dakwahnya (IM), Sayyid memerintahkan agar mereka segera menuntaskannya dengan melancarkan berbagai macam kerusuhan dan peledakan besar, seperti mensabotase jembatan-jembatan, pusat-pusat listrik dan tempat-tempat lainnya, hingga akhirnya dapat menggulingkan Jamal Abdun Nasher. Lihat: Syaikh Ayyid asy Syamari, Membongkar pikiran Hasan Al Banna - Quthbiyyah (III), http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=337, akses 20 Maret 2007.

[48] Sayyid Qutub, Tafisr fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan al-Qur’an, terj. As’ad yasin, dkk, jilid 10 (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 124-7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar