SAYYID
QUTUB DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA :
MELECAK
GENEOLOGI “KEKERASAN”
Oleh:
Juandi*
Latar Belakang Masalah dan Metodologi
Sayyid Qutub (selanjutnya ditulis Qutub) adalah salah
satu tokoh politik yang digolongkan pada kelompok fundamentalis Islam.[1] Ia telah merumuskan sejumlah agenda politik yang
tertuang dalam berbagai karyanya terutama Ma’alim fi at-Thoriq.
Pemikiran-pemikiran politknya telah memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan
pemuda dalam menghadang Barat di berbagai negara terutama Mesir. Secara tidak
langsung mungkin dapat dikatakan ada geneologi kekerasan yang dihubungkan
dengan teori politik Qutub yang mengakibatkan lahirnya golongan pejuang muslim
garis keras di beberapa belahan bumi. Apakah benar sedemikian ekstrimnya
pemikiran Qutub? Agar tidak terjebak untuk saling tuduh menuduh, maka perlu
dikaji dan diperdalam sejauh mana pemikiran Qutub dan agenda-agenda politiknya
dalam membela keyakinannya. Serta mengapa muncul pemikirannya tersebut?
Untuk melihat pemikiran satu tokoh atau kelompok, kita
tidak akan dapat memahaminya kecuali melihat sejauh mana lingkungan membentuk
dan mempengaruhi kelompok dan tokoh tersebut. Oleh karena itu, kita sangat
berhati-hati untuk jangan sampai terjebak dalam pengkultusan kelompok dan tokoh
tertentu atau sebaliknya justru membuat klaim yang bukan pada tempatnya.
Keterkaitan antara teks dan konteks (dalam wilayah penafsiran) juga dapat
digunakan untuk membaca dan mengkaji pikiran seseorang.
M. Abu Zahroh menjelaskan tentang kecenderungan
pemikiran manusia yang tidak terlepas dari 4 faktor Pertama, faktor
alamiayah karunia Tuhan, seperti kekuatan analisis, hafalan, kemampuan berfikir
rasional, kefasehan dan sejenisnya. Kedua, faktor guru-guru yang banyak
mempengaruhi keilmuannya. Ketiga, interaksi seseorang dengan kelompok
dan majelis tertentu. Keempat, trend pemikiran yang berkembang pada masa
kehidupan seseorang tersebut.[2] Atau
dalam bahasa lain juga dikatakan bahwa ada keterkaitan erat antara cara-cara
berfikir dan historisitas seseorang sepanjang hidupnya, sehingga untuk mengkaji
seorang tokoh, menurut Ali Syari’ati sebagaimana yang dikemukakan oleh Akh.
Minhaji,[3] pertama
kali yang harus dilakukan adalah menguak pemikiran tokoh tersebut sebagaimana
terekam dalam karya tulisnya. Bersamaan dengan itu, dikaji pula biografi tokoh
tersebut dalam rangka memahami, antara lain korelasi antara ide-ide yang
tertuang dalam karya-karyanya dengan aktifitas kesehariannya. Dengan demikian,
tulisan ini berusaha untuk mengkaji pemikiran Qutub dengan melakukan pendekatan
dan teori tersebut. Kemudian disinggung juga pemikirannya dalam hukum keluarga
terutama yang berhubungan dengan poligami.
Sayyid Qutub dan Perjalanan Hidupnya
Sayyid Qutub dilahirkan pada tanggal 9 Oktober 1906 di Musha, Asyut, Mesir atas
(325 kilometer dari Kairo) dari keluarga yang memiliki tanah yang luas,
meskipun tidak kaya. Ayahnya pemuka desa dan menikah dua kali. Dia memiliki
satu saudara laki-laki yang lebih tua yaitu Muhammad dan dua orang adik
perempuan bernama Hamidah dan Aminah. Ayahnya tuan rumah yang dermawan sehingga
memaksakan dirinya menggadaikan tanahnya, dan terkadang terpaksa melepaskan
tanahnya kepada para pemberi kredit.[4] Qutub adalah seorang penulis, intelektual Mesir, dan Islamis
yang bergabung dengan Persaudaraan Muslim Mesir (ikhwan al-muslimin).
Sejak kecil ia sudah menghapal al-Qur’an. Kemudian ia pindah ke Kairo, dimana
ia mengenyam pendidikan Barat antara tahun 1929 dan 1933, sebelum memulai
karirnya sebagai seorang guru di Ministry of Public Instruction. Pada
pertengahan karirnya, Qutub memfokuskan dirinya pada tulisan-tulisan sebagai
pengarang dan pengkritik, menulis sejumlah novel seperti Ashwak dan
memperkenalkan novelist Mesir Naguib Mahfouz dari ketidak tenaran. Pada tahun
1939, dia menjabat sebagai fungsionaris pada Mentri Pendidikan Mesir (wizarat
al-Ma’arif). Dari tahun 1948 hingga tahun1950, ia berangkat ke Amerika
dalam rangka mendapatkan beasiswa untuk belajar Sistem Pendidikan, menerima
gelar master dari The Colorado State College of Education (sekarang University
of Northern Colorado). Karya pertamanya tentang kritik sosial keagamaan, Al-'adala
al-Ijtima'iyya fi-al-Islam (keadilan sosial dalam Islam),
dipublikasikan pada tahun 1948, pada saat di luar negeri.
Qutub lebih dikenal dengan
karya teoretikalnya dalam meredefinisikan rumusan Islam fundamentalis dalam
perubahan sosial dan politik, secara spesifik terdapat dalam karyanya ‘Keadilan
Sosial’ dan Milestone (petunjuk jalan).[5] Pada tahun awal-awal Qutub
terjun ke dunia tulis menulis, dia termasuk seorang penulis nasionalis, liberal
bahkan skuler. Kemudian pada tahun 1945 ia menerbitkan karya pertamanya yang
menunjukan kembalinya ke Islam yaitu at-Tasawwur al-Fanni fi al-Qur’an
(persepsi artistik dalam al-Qur’an).[6] Karya tafsir qur’annya
yang luas fi zilal al-Qur’an (di bawah lindungan Qur’an) telah
memberikan kontribusi secara signifikant terhadap persepsi-persepsi moderen
tentang konsep-konsep Islam seperti jihad, jahiliyyah dan ummah.[7]
Pada tahun 1955 sekitar bulan
Mei, Qutub termasuk salah seoran pemimpin ikhwan muslimin yang ditahan
setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasser dengan tuduhan berkomplotan
untuk menjatuhkan pemerintahan. Pada tanggal 13 Juli 1955, pengadilan rakyat
menjatuhkan hukuman 15 tahun kerja keras kepadanya. Ia ditahan di beberapa
penjara Mesir hingga pertengahan tahun 1964. Pada tahun itu pula ia dibebaskan
atas permintaan Abdul Salam Arif, presiden Irak yang mengadakan kunjungan ke
Mesir. Setahun kemudian ia ditangkap lagi bersama saudara-saudaranya dan 20
ribu orang, termasuk diantaranya 700 wanita. Tanggal 12 April 1966, Qutub
diadili oleh pengadilam Militer dengan tuduhan berupaya menumbangkan
pemerintahan Mesir dengan kekerasan lewat karya Ma’alim fi ath-thariq-nya.
Pada 21 Agustus 1966, Ia bersama Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy
dinyatakan bersalah dan dihukum mati. Kemudian ia bersama dua orang temannya
dihukum gantung pada tanggal 29 Agustus 1966.[8]
Meninggalnya Qutub secara
fisik tidak berarti hilangnya ide-ide pemikirannya tentang Islam dan politik.
Banyak karyanya yang sampai sekarang masih memberikan pengaruh yang kuat bagi
para pejuang muslim fundamentalis.
Karya-karyanya antara lain: At-taswirul fanny
fi al-Qur’an (seni artistik dalam al-Qur’an), Masyahid
al-Qiyamah fi al-Qur’an (hari akhir menurut al-Qur’an), Al-‘Adalah
al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), Fi Zhilal
al-Qur’an (tafsir dibawah naungan al-Qur’an), As-Salam al-‘Alamiy wa al-Islam
( Islam dan perdamaian dunia), Al-Mustaqbal li hadza ad-Din ( masa depan
agama Islam), Hadza ad-Din (inilah Islam), Al-Islam wa Musykilat
al-Hadharah (Islam dan problem-problem peradaban), Khasha’ish
at-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwimatuhu (karakteristik konsepsi Islam), Ma’alim
fi ath-thatiq (petunjuk jalan), Ma’rakatuna ma’al Yahud (benturan
kita dengan Yahudi), Dirasah Islamiyyah (studi Islam), Nahwa Mujtama’
Islamiy (masyarakat Muslim), An-Naqd al-Adabiy: asaluhu wa manahijuhu
( kritik sastra: prinsip dasar dan metode-metode), Ma’rakah al-Islam wa
ar-Ra’sumaliyah (benturan Islam dan kapitalisme), Fi at-tarikh: fikra wa
manahij (teori dan metode dalam sejarah), Muhimmat asy-Sya’ir fi
al-Hayan (urgensi penyair dalam kehidupan), Naqdu Kitab al-Mustaqbal
ats-Tsaqafah fi Misr (kritik terhadap buku masa depan peradaban mesir), Thifl
min al-Qaryah (seorang anak dari desa), Al-Asywak (duri-duri).[9]
Dari uraian di atas kita dapat membuat fakta perjalanan
hidup Qutub dalam tabel:
Tahun
|
Fakta
|
1906
|
Sayyid Qutub dilahirkan
|
1925
|
Masuk sekolah
lanjutan di Kairo (sekolah Guru)
|
1929-1933
|
belajar di Dar
al-‘Ulum dan memperoleh gelar sarjana
|
1930-1940
|
mulai menulis essai dan kritik sastra
|
1939
|
Menjabat
sebagai fungsionaris pada
Mentri Pendidikan Mesir (wizarat al-Ma’arif)
|
1945
|
menerbitkan
karya pertama tentang Islam at-Tasawwuf al-Fanni fi al-Qur’an
(persepsi artistik dalamal-Qur’an)
|
1948-1950
|
ke Amerika dalam rangka studi
|
1949
|
menerbitkan al-‘Adalah
al-Ijtima’iyah fi al-Islam
|
1952
|
Sayyid Qutub
kembali dari Amerika dan terjadi krisis politik di Mesir
|
1953
|
Bergabung
dengan gerakan Islam al-Ikhwan al-Muslimin, keluar dari jabatannya dan
mulai menulis topik-topik tentang Islam, menghadiri konferensi di Yordaniya
dan Suriyah serta memberikan cerama tentang pentingnya akhlak sebagai
prasyarat kebangkitan umat
|
1954
|
diangkat
menjadi pimpinan redaksi harian Ikhwan Muslimin, hanya berjalan selama
dua bulan, kemudian harian tersebut ditutup
|
1955
|
ditangkap
bersama pimpinan Ikhwan Muslimin lainnya
|
13 Juli 1955
|
dihukum 15
tahun kerja keras oleh pengadilan rakyat
|
1964
|
dibebaskan
atas permintaan presiden Irak, Abdul Salam Arif.
|
1966
|
ditangkap oleh
Pengadilan Militer denga tuduhan berupaya makar. Tuduhan didasarkan atas
karyanya Ma’alim fi ath-Thariq
|
21 Agustus
1966
|
dinyatakan
bersalah dan dihukum mati
|
29 Agustus
1966
|
diekskusi mati ditiang gantung
|
Setting Sosio-Politik Mesir
Babak baru dalam perjalan
Qutub adalah sepulang dari Amerika. Ia masuk menjadi anggota al-ikwan
al-Muslimin dan kemudian menjadi teoritikus utama dari organisasi ini. Dia
ternyata merupakan penulis yang sangat produktif. Ditemukan tidak kurang 20
buku dan banyak artikel tentang pendidikan dan agama. Sebagai seorang
cendikiawan Mesir, ia sangat tertarik dengan kemajuan dan peradaban Barat,
kemudian ia menjadi sangat anti Barat terutama setelah menyaksikan keterlibatan
negara-negara Barat dalam mendirikan negara Israel di bumi Palestina.
Kunjungannnya ke Amerika Serikat memperkuat keyakinannya tentang kebobrokan
peradaban Barat dalam hal moralitas dan tentang kuatnya semangat anti Arab di
negara itu.[10]
Pada saat kembali ke Mesir, negara Mesir dilanda kerisis politik yang
menyebabkan terjadinya kudeta mileter pada Juli 1952. Kemudian Qutub menjadi
salah satu pendukung pemberontakan Nasser (penguasa pada saat itu), tetapi
akhirnya berbalik menentangnya ketika Nasser mulai menyiksa orang-orang Ikhwan.[11]
Gerakan Islam al-Ikhwan
al-Muslimin adalah organisasi keagamaan yang didirikan di Ismailiyyah,
sebelah timur Kairo, Mesir pada tahun 1928 oleh syeikh Hasan al-Bana.[12] Gerakan ini bertujuan
mewujudkan kembali dan melindungi masyarakat politik Islam, serta sebagai
kelompok yang hendak membuktikan keyakinan mereka. Di samping itu juga, mereka
secar politik berkeinginan membentuk khalifah yang terdiri dari negara-negara
Muslim yang merdeka dan berdaulat. Kekhalifaan itu harus didasarkan sepenuhnya
pada ajaran al-Qur’an. Tujuan kekhalifaan ini adalah untuk mencapai keadilan
sosial dan menjamin kesempatan yang memadai bagi semua individu muslim.[13] Qutub adalah salah satu
tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan tersebut di samping Hasan al-Hudaibi
dan Abdul Qadir Audah. Qutub menjadi juru bicara pergerakan ini setelah
dilakukan pembubaran oleh pemerintah pada tahun 1954, karena dianggap sebagai
pembawa oposisi terhadap sosialisme.[14]
Ikhwanul Muslim pada awalnya memiliki hubungan erat
dengan gerakan nasional hingga gerakan ini berkembang dan berjaya pada dekade
40-an. Namun, pada dekade 50-an, setelah 2 tahun meletus revolusi Mesir,
terjadi benturan perbedaan yang mengakibatkan keretakan hubungan keduanya.[15] Kemudian keterlibatan
langsung gerakan ini terhadap wilayah politik di Mesir dengan melakukan
berbagai kegiatan menentang kekuasaan Inggris dan berdirinya negara Israel di
bumi Palestina. Aspirasi politik ini mengarah pada pembentukan negara Islam di
Mesir dan terjadinya serentetan insiden berdarah diantaranya adalah pembunuhan
kepala kepolisian Kairo. Kemudian terjadinya pembunuhan terhadap Perdana
Menteri Mesir Nuqrashi Pasha.[16]
Beberapa tahun sebelum
bergabungnya Qutub dengan Ikhwanu Muslim sesungguhnya telah banyak
terjadi berbagai gejolak politik antara pemerintah dan kelompok ini termasuk
juga karena terjadinya berbagai peristiwa berdarah. Namun, dalam realitas
sesungguhnya bukan hanya persoalan politi, Ikhwan sendiri telah
memberikan penegasan diri yang dirangkai dengan tekad penolakan terhadap
pengaruh budaya, politik dan ekonomi Barat. Walaupun al-Bana, pemimpin Ikhwan
Muslim saat itu, sendiri masih membedakan antara kemajuan humanisme Barat
dan komunisme sekaligus materialisme yang merusak, yang jelas integritas Islam
dan kemustahilan memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik merupakan
upaya yang harus dilakukan umat Islam pasca-kolonial. Pendapat ini disetujui
oleh Abu al-‘A’la al-Maududi yang kemudian dengan tekad yang sama dengan Ikhwan
berusaha untuk mematahkan cengkraman budaya dan pemikiran Barat atas kaum
cendikiawan muslim.[17] Bagi al-Maududi, Nabi
Muhammad diutus tidak sekedar membawa jalan kehidupan, tetapi juga memberikan
latihan-latihan kepada individu dan masyarakat muslim keseluruhannya untuk
mempersiapkan mereka bagi partisipasi praktis dalam evolusi kultural dan
kebudayaan Islam. Sehingga orang-orang muslim harus berkembang menjadi
masyarakat terorganisir dan ikut aktif menegakan sistem kehidupan yang Islami,
dimana kata-kata Allah berkuasa diatas segalanya.[18]
Pemikiran al-Maududi inilah
yang kemudian banyak mempengaruhi pemikiran politik Qutub.[19] Apalagi ketika ia menjadi
penasehat kebudayaan terkemuka untuk gerakan perjuangan kemerdekaan, perioritas
politik Islamnya membuatnya bersinggung langsung dengan presiden Nasser. Nasser
adalah seorang penguasa yang paham betul akan bahayanya Islam dalam wilayah
kekuasannya. Oleh karena itu, semenjak adanya upaya percobaan pembunuhan
terhadapanya, pada tahun 1954, Nasser mengilegalkan gerakan Ikhwan dan
memenjarahkan para anggotanya dimana Qutub salah satu diantaranya. Nasser
sesungguhnya adalah seorang yang muslim yang tulus tetapi menginginkan agama
dan politik terpisah, bahkan ia mencoba membentuk sistem pemerintahan ala
Barat. Hal inilah yang membuat jijik kalangan Ikhwan dan mungkin juga
oleh golongan Islam radikal lainnya.[20]
Barat sendiri, menurut Qutub,
telah gagal memberiakan perkembangan nilai-nilai bagi kemanusiaan. Dalam
pengantar bukunya Ma’alim fi Thariq ia mengatakan: sekarang kemanusiaan
sedang berdiri di tepi jurang…..bukan lantaran ancaman penghancuran yang
melayang di atas kepalanya….ini hanyalah gejala penyakit bukan penyakit itu
sendiri….akan tetapi lantaran miskinnya kemanuisaan dalam hal memahami “nilai”
yang mungkin memelihara kehidupan manusia dalam bayangan kemanusiaan, menjaga
keselamatan dan memajukan kemajuan yang benar. Hal ini jelas nampak dalam
pengetahuan Barat yang tidak mampu memberikan “nilai” bagi kemanusiaan, bahkan
tidak sadar dengan kehidupan sendiri setelah sistem demokrasi mengalami
kehancuran.[21]
Dari penjelasan di atas, ada
beberapa hal yang dapat dilihat tentang perkembangan sosio-politik di Mesir:
- keadaan pemerintah Nasser saat itu berkeinginan memisahkan antara agama dan negara, bahkan menginginkan sistem pemerintahan model Barat di Mesir.
- masuknya unsur-unsur budaya asing terutama “Barat” dalam kebudayaan Mesir secara kusus dan budaya Islam pada umumnya dalam sendi-sendi kehidupan baik politik, sosial maupun ekonomi.
- dalam isu gelobal adanya dukungan negara-negara Barat terhadap terbentuknya negara Israel yang Yahudi.
- terkikisnya nilai-nilai moral yang disebabakan karena berkembangnya peradaban Barat yang sarat dengan budaya materialisme yang mengakibatkan pola masyarakat mengarah pada hedonisme dan disamping itu juga budaya Barat sarat dengan budaya komunisme.
Gagasan Tentang Politik Islam
Sayyid Qutub dalam perjalan sejarahnya dapat dikatakan
sebagai seorang fundamentalis Islam semisal Hasan al-Bana, al-Maududi, dan
Muhammad Ghazali, yang mengecam nasionalisme: linguistik, etnis maupun liberal[22].
Fundamentalisme Islam adalah gerakan yang relatif moderen, namun gerakan ini
memiliki doktrin yang berakar dari periode awal sejarah muslim. Mereka memiliki
semangat untuk melakukan pembaharuan, untuk kembali kepada kemurnian,
mewujudkan kebenaran dan kesederhanaan zaman Rasulullah. Dalam idiologi gerakan
ini terdapat unsur keyakinan yang kuat, namun karakter yang khas dari gerakan
fundamentalis adalah skripturalisme berciri khusus.[23] Seperti apa yang diungkapkan Hasan al-Bana
dan pengikutnya yang menegaskan kembali visi Islam yang komprehensif yang
meliputi kehidupan politik, sosial dan ekonomi: “Islam adalah iman dan ritual,
negara (wathan) dan kebangsaan, agama dan negara, spritual dan amal,
al-Qur’an dan pedang.” [24]
Namun, dalam pemkiran Qutub sendiri telah terjadi
pergeseran-pergeseran dalam bidang
politik dan pemerintahan.[25] Dalam
karyanya keadilan sosial dalam Islam yang diterbit sekitar tahun 1949 ada tiga
dasar keadilan sosial yang dikemukannya yaitu: kebebasan berkehendak secara
mutlak, persamaan manusia secara keseluruhan, jaminan sosial yang kuat.[26] Sebelum
sampai pada penjelasan mengapa tiga dasar keadilan sosial dalam Islam harus
ditegakan, Qutub menjelaskan terlebih dahulu berbagai hal tentang
keutamaan-keutamaan Islam sebagai agama. Ia mengatakan bahwa aturan kehidupan
manusia tidak akan tegak hingga manusia saling bahu membahu dan berusaha memegang
teguh jalan Allah dan syari’at-Nya.[27]
Penjelasan-penjelasan selanjutnya memang cenderung apologetik, karena apa yang
dikemukakan pada penjelasananya adalah ingin memperkuat argumentasi yang
mengarah pada sesuatu yang sangat ideal dalam Islam.
Pada kesimpulan tentang kebebasan berkehendak, Qutub
menyatakan bahwa kebebasan ini adalah salah satu asas dari rukun untuk
membangun keadilan sosial dalam Islam, tetapi kebebasan ini adalah dasar yang
paling fundamental untuk menegakan bagian-bagian penting dalam mewujudkan
keadilan sosial.[28]
Dalam penjelasannya tentang kebebasan ia memulai dengan pernyataan bahwa Islam
memulai dengan membebaskan manusia dari menyembah sesuatu selain Allah dan dari
ketundukan kepada sesuatu selain Allah. Maka tidak ada ketundukan kepada selain
Allah termasuk juga pada penguasa.
Berangkat dari kebebasan berkehendak tersebut, kemudian
manusia diakui persamaannya. Pada dasarnya Qutub mengakui adanya persamaan
manusia karena semua jenis manusia adalah mulia, namun dalam pembahasan
selanjutnya ia mengatakan -dalam lingkup muslim- bahwa persamaan laki-laki dan
perempuan terdapat pada jenis dan hak-hak kemanusiaan yaitu diniyyah, ruhiyyah
dan persamaan untuk berhak mendapatkan harta warisan, sedangkan dalam persoalan
bagian harta warisan, kesaksian dan kepemimpinan mereka berbeda.[29] Dari
sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa keadilan sosial dalam pandangan Qutub
tidak diartikan sebagai keadilan yang merata. Karena pada dasarnya dalam
persoalan keadilan akan kita temukan dua macam yaitu keadilan merata dan
keadilan yang tidak merata, tatapi dalam kondisi atau konteksnya dapat
dikatakan adil. Apabila kedua hal tersebut di atas telah ditempuh, maka
kemudian jaminan soaial bagi masyarakat akan kuat. Dengan demikian, keadilan
masyarakat dalam Islam akan terwujud.
Pamikiran Qutub yang orisinal tentang Islam adalah ia
berpendapat bahwa al-Qur’an sesungguhnya telah menghimpun segala sesuatu yang
dibutuhkan manusia. Islam adalah ajaran yang komprehensif dan satu kesatuan
yang homogen. Ia adalah anti modernisme dan menolak pandangan bahwa Islam harus
belajar dari Barat mengenai pembangunan masyarakat dan poltik. Ajaran Islam tentang hubungan kemasyarakatan
dan pranata sosial yang dijelaskan dalam fikih bukanlah bersifat baku; keduanya
bisa diadaptasikan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam memahami al-Qur’an,
Qutub berada dalam tradisi revelasionisme (wahyu) murni, tetapi ia memberikan
sebuah makan baru bahwa pemahaman langsung, personal dan intuitif disertai
bantuan agama, ia bisa mencapai pemahaman yang memadai tentang alam semesta.[30] Sama
halnya “ teori politik berdiri atas dasar nurani, bukan hukum.”
Sebelum menjelaskan tentang sikap politikya, Qutub
memulai dari melihat persoalan politik yang sudah berkembang terutama di Mesir.
Menurutnya kehidupan dunia sekarang berada dalam kondisi “jahiliyyah”
kondisi jahiliyyah ini muncul karena telah melampau batas dasar-dasar
kedaulatan Allah di bumi yaitu al-hakimiyyah. Tidak hanya seperti
masyarakat jahiliyyah awal, bahkan “jahiliyyah moderen”[31] ini
lebih buruk lagi. Semua sendi kehidupan menggambarkan ke-jahilyyah-an
yaitu pemikiran dan seni, konstitusi dan perundang-undangan, budaya dan
pemerintahan jauh dari manhaj Allah
dalam prakteknya.[32]
Tentang teori pemerintahan di dalam Islam, Qutub
mengatakan bahwa tegaknya teori pemerintahan dalam Islam atas dasar kesaksian
bahw tiada Tuhan selain Allah. Allah ta’ala mewakilkan al-hakimiyyah (kedaulatan)
dalam kehidupan manusia adalah dengan cara menyerahkan urusan mereka pada
kehendak-Nya dan takdir-Nya dari satu sisi, dan dengan cara mengatur posisi,
kehidupan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, hubungan-hubungan,
ikatan-ikatan dengan syari’at-Nya dan manhaj-Nya di sisi lain. Dalam
aturan Islam tidak mengakui keesahan Allah, tidak berada dalam kehendak dan
takdir Allah dan tidak berada dalam manhaj dan syari’at Allah maka ia
syirik atau kafir. [33] Karena
mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah merupakan
fondasi paling utama (rukn al-Islam al-awal), maka agama tidak akan
bangkit dan tidak akan terpenuhi hingga landasan ini terwujudkan.[34] Qutub
ingin mengatakan bahwa untuk menegakan pemerintahan yang pertama kita harus
menegakan agama terlebih dahulu, karena ini adalah landasan paling mendasar.
Gagasan politik Qutub yang cukup fundamental adalah
menyerukan agar terciptanya pemerintahan Islam yang bersifat menyeluruh[35] atau
supra nasional.[36]
Walaupun bukan dalam istilah imperium, namun pemerintahan tersebut memiliki pusat
pemerintahan dimana mencakup daerah-daerah Islam di luarnya dan warganya
memiliki persamaan hak dan kewajiban dengan warga di pusat pemerintahan serta
tidak diperlakukan sebagai negara jajahan. Konsep ini mengusulkan agar seluruh
umat Islam yang berada dalam pemerintahan tersebut meninggalkan fanatisme ras
dan kedaerahan.[37]
Mungkin juga secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa yang dibutuhkan
umat Islam sekarang adalah nasionalisme Islam bukan nasionalisme negara.
Nampaknya negara-negara Islam atau yang mayoritas muslim harus merelakan
kehilangan negaranya dan harus bersiap-siap menjadi negara bagian kalau memang
benar-benar menyetujui konsep supra nasional Qutub tersebut.
Gagasan tentang pemerintahan yang bersifat supra
nasional ini bila dilacak lebih jauh adalah sebagai upaya mengembalikan pada
kondisi Islam awal dimana nabi sebelum wafat telah menciptakan kondisi untuk
terbinanya persaudaraan universal yang berdasarkan iman. Prinsip ini merupakan
kekuatan yang melebihi kesetiaan ikata darah dan kesukuan bangsa Arab. Karena
hal ini disampaikan Nabi dalam khotbah haji perpisahannya.[38] Namun
yang perlu digaris bawahi bahwa pemerintahan dan kepemimpinan negara-negara
muslim atau mayoritas muslim sekarang adalah hasil pertarungan melawan kolonial
dengan mengatasnamakan persatuan tanah air dan budaya, hanya sebagain yang
mengatasnamakan agama. Sehingga sulit dibedakan antara perjuangan menegakan
agama atau menegakan nasionalisme. Gagasan-gagasan membentuk pemerintahan islam
yang supra nasional hanya berhenti pada gagasan-gagasan murni yang terispirasi
dari romantisme masa lalu dimana kejayaan Islam dengan system kekhalifaannya
yang berhasil memancangkan pengaruh terhadap dunia. Namun bagaimanapun, pasca
keruntuhan kekhalifaan Usmaniyah wilayah-wilayah Islam yang berada dibawah
penjajahan Eropa hanya mampu membebaskan dirinya dalam bentuk kemerdekaan
bangsa. Dari sini kumudian wilayah-wilayah Islam di seluruh dunia terinspirasi
untuk memerdekakan diri menjadi Negara kesatuan. Dengan demikian, gagasan
Negara Islam supra nasional menjadi semakin jauh terjangkau.
Kemudian yang paling radikal dari pemikiran Qutub, ia
menegaskan bahwa dimana ditemukan masyarakat muslim, yang menyerupai di
dalamnya manhaj Allah, maka Allah memeberikan hak untuk bergerak dan
maju untuk menyelamatkan atau mengambil kekuasaan dan menentukan pemerintahan.[39]
Menurut Qutub pemerintahan Islam harus mendasarkan pada
tiga asas politik yaitu keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan permusyawaratan
antara penguasa dan rakyat.[40]
Keadilan penguasa di sini, lebih menyoroti pada pribadi penguasa yang harus
adil secara mutlak dalam kebijakan dan keputusan tanpa pandang bulu. Ketaatan
rakyat pada penguasa adalah merupakan kepanjangtanganan dari ketaatan kepada
Allah dan rasulnya. Namun ketaatan di sini bukan karena jabatan tetapi karena
mereka menegakan syari’at Allah dan Rasul-Nya. Batasan ketaatan kepada ulil
‘amri bukan pada kelembagaannya tetapi apakah penguasa menjalankan syari’at
Islam atau tidak. Melaksanakan syari’at Islam[41] adalah
tawaran mutlak yang harus ada pada penguasa sekalipun sistem pemerintahan yang
dijalankan berbeda-beda. Logika sebaliknya (mafhum mukhalafah) dari ini
adalah boleh untuk tidak taat kepada penguasa yang tiran, tidak menjalankan
syari’at Islam dan seterusnya. Dalam asas politik ini nampaknya pendapat ini
memang perlu mendapat dukungan. Kalau ditarik dalam konteks Indonesia, maka
perlu adanya reformasi moral dan spritual bagi pemimpin-pemimpin negara
sehingga mereka dapat berlaku adil dan tidak korup. Dengan demikian, barulah
konsep ketaatan kepada penguasa dalam konteks ini dapat dijalankan. Adapun
dalam menghadapi penguasa tiran, selama masih dapat diperbaiki melalui
kelembutan dan perpolitikan yang baik, mengapa harus dengan kekerasan.
Terkecuali jalan-jalan lain sudah tertutup. Indonesia pun membuktikan bahwa
kudeta dapat dilakukan sepanjang tirani penguasa tidak dapat ditolelerir,
sekalipun pada kenyataannya kudeta tidak menyelesaikan persoalan sepanjang
reformasi moral dan spritual tidak dijalankan.
Tentang permusyawaratan antara rakyat dan penguasa
adalah salah satu sistem Islam yang harus dijalankan sebagai asas pemerintahan
yang sudah dipraktekan sejak masa Nabi. Dalam hal ini menurut penulis, untuk
konsep negara bangsa, dapat dipastikan bahwa hanya negara yang memiliki
demokrasi yang mapanlah yang dapat melakukan permusyawaratan yang baik. Karena
permusyawaratan ini adalah bentuk transparansi penguasa kepada rakyat dalam
menentukan arah dan kebijakannya.sedangkan negara yang bersifat penguasa
oriented, permusyawaratan hanya menjadi kegiatan yang sia-sia karena
kepentingan yang diinginkan bukan kemakmuran rakyat, tetapi kemakmuran pengasa
dan kroni-kroninya.
Menurut Hamid Enayat, Qutub memiliki pandangan yang
mendekati holistik mengenai masalah negara Islam. Pertama, baik Islam
maupun sosialisme adalah sistem pemikiran dan kehidupan yang sama-sama
komprehensif yang tidak bisa dipecah bela, namun keduanya terpisah satu dengan
yang lain. Karenanya kedua sistem ini
tidak bisa dirujukkan atau disintesiskan. Kedua, iman yang sejati dalam
Islam dari kepasrahan mutlak kepada kehendak dan kedaulatan Tuhan. Sehingga
pengagungan kepada pribadi yang berkembang
di bawah sosialisme Mesir adalah tidak Islami. Ketiga, dalam alasan
gagasan, pilihan yang real saat ini terletak pada Islam dan jahilyyiah. Keempat,
sosialisme-sama juga dengan kapitalisme dan komunisme- adalah pertumbuhan dari
pemikiran jahiliyyah dan karenanya membawa serta watak aslinya yang
rusak. Kelima, sosialisme Mesir berkaitan erat dengan nasionalisme
–keyakinan jahiliyyah lain yang sangat bertentangan dengan jiwa Islam.
Dengan demikian, Qutub menyeruhkan adanya rekonstruksi dan regenerasi spritual,
agar setiap orang memperhatikan kesalahan imannya dan keselarasan iman dan
prilaku hidup.[42]
Selanjutnya Qutub berpendapat bahwa kelompok yang
menentang Islamisasi masyarakat dan negara, terutama mereka yang dianggap pemimpin
muslim, harus diperlakukan layaknya kaum jahiliyyah (pagan, kafir,
murtad), sehingga dibolehkan untuk melakukan kekerasan demi melawan rezim
semacam ini.[43]
Siapa saja yang tergolong masyarakat jahiliyyah ini? Qutub menjelaskan
bahwa mereka adalah semua masyarakat yang selain masyarkat muslim. Dengan
demikian, semua masyarakat di muka bumi adalah masyarakat jahiliyyah,
termasuk juga masyarakat Yahudi dan Nasrani dan mereka yang mengaku muslim
tetapi tidak menjalankan manhaj Islam. [44] Penulis
dapat memastikan bahwa manhaj Islam yang diinginkan tidak mutli
interpreted yang selama ini telah terjadi sepanjang sejarah Islam, tetapi
apa yang dia pandang benar seperti interpretasinya terhadp teks agama.
Disinilah dapat dipastikan pula terjadi geneologi Islam eksklusif yang kemudian
berkembang hingga sekarang. Dalam beberapa hal saling mengkafirkan dan
menganggap di luar komunitasnya adalah kafir dan najis. Selanjutnya dari
pemikiran ini juga ditemukan geneologi kekerasan yang berkelanjutan yaitu boleh
melakukan tidakan kekerasan sepanjang hal tersebut dilakukan untuk memberantas jahiliyyah
dan masih dalam wilayah jihad. Doktrin jahiliyyah ini kemudian dikaitkan
dengan dogma al-Hakimiyyah li Allah (pemerintahan Tuhan) sebagai dasar
Negara Islam. Dogma al-hakimiyyah inilah yang selanjutnya dislahgunakan
sebagai slah satu alasan terpenting untuk melakukan tindakan-tindakan destruktif.
Misalnya, gagasan Qutub tentang hakimiyyah telah digunakan oleh kelompok al-ikhwan
al-muslimin untuk melakukan pemberontakan para pemerintahan resmi dan
membunuh presiden Anwar Sadat. Alasannya adalah bahwa rezim yang berkuasa
dianggap tidak sah dan illegal karena system pemerintahan yang digunakan adalah
system moderen yang mengandung hukum setan atau undang-undang kekafiran dan
masyarakatnya jahiliyyah.[45]
Sedangkan mereka memginginkan system pemerintahan yang islami, sebagaimana yang
digagas Qutub.
Pembentukan masyarakat muslim dan negara Islam dalam
konsepsi Qutub dimulai dari penjelasan adanya dualisme yang bertentangan dalam
kehidupan yaitu baik dan buruk, manhaj Islam dan Manhaj jahiliyyah,
masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyyah, iman dan murtad, Tuhan dan
setan.[46] Jihad
yang membebaskan belum berakhir sampai semua orang kembali kepada agama Tuhan’,
Qutub menyebut perjuangan ini sebagai “revolusi (ats-tsawrah)”. Alat
yang digunakan dalam perjuangan tergantung pada keadaan, dan pada bagaimana
musuh jahiliyyah bertindak. Taktik utamanya adalah dakwa; baru ketika
massa telah beralih ke ajaran Islam yang benar, negara Islam dapat didirikan.
Selama kebebasan berbicara tiada terancam, metode damai harus digunakan. Baru
ketika umat dikekang, jihad fisik mesti dilakukan. Dengan demikian ia mendukung
gerakan bawah tanah bersenjata.[47]
Dualisme konsepsi ini pada dasarnya tidak ada masalah karena dasar dalam
kehidupan tidak lepas dari dua hal yaitu baik-buruk, salah-benar, hidup-mati.
Namun yang berbeda dari Qutub bahwa kebenaran adalah harga mati dan itu satu,
sedangkan dalam banyak pemikiran kita boleh mengatakan bahwa kebenaran itu ada
tetepi wilayah kebenaran mungkin bisa lebih luas bukan kebenaran satu-satunya.
Seperti ketika menafsirkan teks agama orang cenderung berbeda karena
perspektifnya berbeda tetapi masing-masing berkeyakinan bahwa mereka masih
dalam lingkup kebenaran. Sedangkan pemikiran Qutub untuk mendirikan negara yang
benar-benar Islami dengan pola apabila massa telah beralih ke dalam ajaran
Islam yang benar menjadi cita-cita yang melangit.
Adapun tahapan jihad dalam Islam menurut Qutub memeiliki
ciri sistem pergerakan: pertama, waqi’iyyah jiddiyah ‘sesuai
realitas, tetap menampilkan keseriusan’
Gerakan Islam bertugas menghadang jahiliyyah pada sektor akidah
yang berdiri di atas sistem riil dan aplikatif, serta ditopang oleh kekuasaan
yang memiliki kekuatan finansial. Upaya pelurusan akidah dan persepsi ini
dihadapi dengan dakwah dan penjelasan. Kedua, waqi’iyyah harakiyyah
‘sesuai dengan realitas, tetapi selalu dinamis.’ Islam adalah gerakan yang
memiliki tahapan-tahapan. Orang-orang muslim banyak mengalami kekalahan ‘ruhiyyah
dan ‘aqliyyah’ karena mereka beraggapan bahwa jihad dalam Islam hanya
untuk mempertahankan diri. Mereka ini berada di bawah tekanan realitas yang
menyedihkan di tengah-tengah kaum muslimin yang tidak tersisa lagi Islamnya
kecuali nama. Padahal, manhaj Islam bertujuan untuk menghapus segala
bentuk thagut yang ada dimuka bumi dan mengajak manusia agar hanya
menyembah kepada Allah. Ketiga, gerakan Islam adalah tetap, tetapi
sarananya bisa berubah-ubah, dengan catatan tidak keluar dari kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan dan tujuan yang telah digariskan. Keempat, adanya
kereteria syari’at dalam hubungan antar masyarakat muslim yaitu wahyu pertama
ditujukan kepada nabi untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan sebagai tanda
awal kenabian, kemudian Allah mengumumkan kenabian dengan perintah-Nya “iqra’”
dan mengumumkan kerasulnya dengan “ya ayyuhal muddastir.” Kemudian Allah
memerintahkan Nabi untuk menyebarkan peringatan kepada kerabat dekat. Kemudian
memberikan perigatan kepada kaumnya. Kemudian kepada orang yang bertetangga
dengan jazira Arab, kemudian kepada orang Arab secara keseluruhan dan kemudian
kepada seluruh alam. Kaidah ini bersifat universal dan dakwah ini tidak boleh
berhenti karena adanya sandungan sistem politik atau kekuatan materi.[48] Dari
penjelasan ini kita apat menangkap makna dari perjuangan Islam untuk
menyelamatkan manusia, tetapi perlu juga digarisbawahi bahwa Islam tidak
meligitimasi kekerasan dan pemaksaan dalam menyiarkan agama.
Penutup dan Kesimpulan
Pemikiran Qutub dalam sosial dan politik sangat
dipengaruh oleh kondisinya dan kondisi lingkungannya yang mencakup wilayah
ekternal dan internal. Dalam wilayah internal ada tiga hal, pertama,
orintasi masyarakat yang materialisme dan dekadensi moral yang secara
keseluruhan dipengaruh oleh kebudayaan Barat. Inilah yang berusaha untuk
ditolak habis-habisan termasuk juga menolak Barat dalam pengertian jiwa dan
raga. Kedua, keadaan pemerintahan Mesir yang tidak “Islami” karena
berusaha memisahkan agama dan negara. Ketiga, masuknya wacana Islam yang
dibawah oleh tokoh-tokoh Islam “fundamentalis” seperti Abu a’la al-Maududi, Abu
al-Hasan ‘Ali al-Nadvi dan lain-lain ke dalam pemikiran Qutub. Sedangkan
wilayah eksternal yang mempengaruhi pemikirannya adalah isu gelobal dimana
negara-negara Barat mendukung terbentuknya negara Israel yang Yahudi.
Pada tataran politik yang digagas Qutub adalah
penggalangan dukungan agar tegaknya ‘ashabiyyah ad-diniyyah bukan ‘ahabiyyah
al-Qoumiyyah (qabilah) apalagi ‘ashabiyyah al-jinsiyyah. Dari
pandangan politik Qutub yang telah dijelaskan di atas kita pun menemukan
geneologi pembenaran akan kekerasan dalam wilayah politik, atau
setidak-tidaknya sudah digunakan sebagai alasan pemebenar atas gerakan-gerakan
destruktif yang dilakukan oleh sebagia organisasi Islam.
Daftar Pustaka
Abegebriel,
A. Maftuh dan Ibida Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis,
dalam A. Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Arif,
Muhammad, Wacana Naskh dalam Tafsir fi Dzilal al-Qur’an (Eksposisi Penafsiran
Alternatif Sayyid Qutub), dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron samsudin (ed.), Studi
al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta:
Tirai Wacana, 2002
Armstrong,
Karen, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, Jakarta: Serambi, 2003
Azra, Azumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis, Jakarta: Paramadina, 1996
Binder, Leonard, Islam Liberal: Keritik
Terhadap Idiologi-Idiologi Pembangunan, alih bahasa: Iram Mutaqin,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari
Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana
Arisetyawati, Jakarta: Serambi, 2006
Chirzin,
Muhammad, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Zhilal, Solo: Era
Intermedia, 2001
Depertemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: C.V. Gema Risala Press,
1993
Euben,
Roxanne L., Mush Dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalitas
Moderen, terj. Satrio Waono, Jakarta: Serambi, 2002
Hanafi,
Hasan, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad dan
Mufliha Wijayanti, Yogyakarta: Islamika, 2003
Ilyas,
Hamim, Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, dalam A. Maftuh
Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2004
Maududi,
Abul a’la al-, Apakah Arti Islam, dalam Altar Gauhar, Tantangan Islam,
terj. Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka, 1982
Minhaji,
Akh., Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam, dalam Muqaddimah, no.
8, tahun v, 1999
__________.,
Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan (Perspektif Normatif-Empiris)
Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif
Modernisdan Fundamentalis, Magelang: Indonesia Tera, 2001
Qutub,
Muhammad, Evolusi Moral, terj. Yudian Aswin, Surabaya: al-Ikhlas, 1995
Qutub,
Sayyid, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, Kairo: Darul Kitab
al-‘Arabi, 1967
___________,
Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzzakir, Bandung: Pustaka, 1990
___________,
Ma’alim fi at- Thariq, ttp.: tp., tt
___________,
Tafisr fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan al-Qur’an, terj. As’ad yasin,
dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, 30 jilid.
Rahman,
Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. Ke 5, Bandung: Pustaka, 2003
Sagiv,
David, Islam Otentitas Liberalisme, alih bahasa: Yudian W. Asmin,
Yogyakarta: Lkis, 1997
Sjadzili,
Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI-Press, 1993
Zahroh,
M. Abu, Abu Hanifah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, Kairoh:
Dar al-Fikr al-Arabi 1948
__________,
Asy-Syafi’I : Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, Kairoh: Dar
al-Fikr al-Arabi 1948
Syaikh Ayyid asy
Syamari, Membongkar
pikiran Hasan Al Banna - Quthbiyyah (III), http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=337,
akses 20 Maret 2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Qutb,
akses tanggal 20 Pebruari 2007
Al Ustadz Muhammad
Umar As Sewed, kerancuan pemahaman Sayyid Qutub terhadap “la illaha illallah”, http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/01/14/bahayanya-pemikiran-takfir-sayyid-qutub/#more-6,
akses tanggal 20 Maret 2007
[1] Istilah fundamentalsme pertama kali muncul dikalangan para penganut
Kristen Protestan di Amerika Serikat, sekitar tahun 1910-an. Fundamentaslisme
dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada “fundament” agama
kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci
agama itu sendiri secara rigid dan literalis. Gerakan ini
merupakan bagian dari fenomena responsi kalangan konservatif terhadap
perkembagan teologi liberal-modernisme dan gejala sekuler. Sedangkan gerakan
fundamentalisme islam dapat diartikan, diantaranya, sebagai gerakan-gerakan
Islam yang secra politik menjadikan islam sebagai idiologi dan secara budaya
menjadikan Barat sebagai the others. A. Maftuh Abegebriel dan Ibida
Syitaba, Fundamentalisme Islam; Akar Teologis dan Politis, dalam A. Maftuh
Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 449 dan 502. Sedangkan dalam pengertian yang
sesungguhnya Fundamentalisme Islam dapat diartikan sebagai satu tradisi
interpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan islam sebagai agama dan
ideologi. Sehingga interpretasi yang dikembangkan didalamnya tidak hanya
doktrin-doktrin teologi tetapi juga idiologis. Lihat: Hamim Ilyas, Akar
Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, dalam ibid, hlm. 125
[2] Lihat: M.Abu Zahroh, Asy-Syafi’I : Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu
wa Fiqhuhu (Kairoh: Dar al-Fikr al-Arabi 1948), hlm. 32-33. lihat juga: Abu
Hanifah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Kairoh: Dar al-Fikr
al-Arabi 1948) hlm.52.
[3] Akh. Minhaji, Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan
(Perspektif Normatif-Empiris) Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi
Islam dan Negara Perspektif Modernisdan Fundamentalis (Magelang: Indonesia
Tera, 2001), hlm. Xxv. Bandingkan dengan: Akh.Minhaji, Pendekatan Sejarah dalam
Kajian Hukum Islam, dalam Muqaddimah, no. 8, tahun v (1999), 78
[4] David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, alih bahasa:
Yudian W. Asmin (Yogyakarta: Lkis, 1997), hlm. 39
[6] Sagiv, Islam…, hlm. 40
[8] Ibid., hlm. 38-40
[9] Ibid., hlm. 52-55
[10] Munawir Sjadzili, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 148
[11] Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Qutub dalam Tafsir Zhilal
(Solo: Era Intermedia, 2001), hlm. 32
[12] Sjadzili, Islam…, hlm. 145
[13]Azumardi Azra, Pergolakan Politik
Islam: Dari Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 117
[14] Chirzin, Jihad…, hlm. 33
[15] Hasan Hanafi, Aku Bagian dari
Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad dan Mufliha Wijayanti
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 131.
[16] Sjadzili, Islam dan Tata…, hlm.
146
[17] Antony Black, Pemikiran Politik Islam
Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana
Arisetyawati (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 574-5. Sejalan dengan Maududi
Muhammad Qutub (saudara Sayyid Qutub) menyatakan bahwa orang Barat benar-benar
telah tertipu manakalah beranggapan bahwa mareka akan mampu terus menjauh dari
agama, kemudian terus sukses dan terus akan berada pada moral yang lurus! Akan tetapi, ia hanya salah satu fase “evolusi”, tidak permanen!
Bagaimana manusia akan tetap tergelincir? Ia bermula dari kemaslahatan politik.
Kemudian urusan-urusan seksual, kemudian “moral” yang lainnya. Muhammad Qutub, Evolusi
Moral, terj. Yudian Aswin (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), hlm. 320
[18] Abul a’la al-Maududi, Apakah Arti Islam, dalam Altar Gauhar, Tantangan
Islam, terj. Anas Muhyiddin (Bandung: Pustaka, 1982), hlm. 7
[19] Menurut beberapa catatan bahwa Qutub dengan bebasnya mengadopsi
karya, Abu al-A’la al-Maududi dalam merumuskan teori politiknya, dimana konsep
politiknya yang paling kuat adaalah istilah-istilah qur’ani yang telah digunakan al-Maududi selama
bertahun-tahun. Selain al-Maududi, Qutub juga terpengaruh oleh pemikir india
Abu al-Hasan al-Nadwi dalam karyanya islam and the world. Sedangkan
dalam bidang hukum, teori yang mengatakan bahwa ketidak absahan hukum non-islam
yang diikuti Qutub merupakan warisan kontemporer dari Ibn Taimiyyah yaitu yang
memperkenalkan bahwa ada kreteria untuk menilai penguasa dalam teori ‘hak untuk
memberontak’ yang dilontarkan pada abad ke-14. Roxanne L.Euben, Musuh Dalam Cermin:
Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalitas Moderen, terj. Satrio Waono (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 110-1
[20] Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang
Teluk, terj. Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 507
[21] Sayyid Qutub, Ma’alim fi at- Thariq (ttp.: tp., tt.), hlm. 3
[22] Chirzin, Jihad…, hlm. 41
[23] Leonard Binder, Islam Liberal: Keritik Terhadap
Idiologi-Idiologi Pembangunan, alih bahasa: Iram Mutaqin (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 250. dalam pengertian yang lebih jelas dikatakan
bahwa skripturalisme adalah keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang
merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan demikian dalam
aplikasinya satu agama tertentu harus dipegang kokoh dalam bentuk literel dan
bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan. Hamim Ilyas,
Akar Fundamentalisme.., hlm. 126.
[24] Dalam Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 573. Bandingkan
dengan Sayyid Qutub yang mengatakan bahwa islam adalah kesatuan agama antara
ibadah dan mu’amalah, aqidah dan syari’ah, ruh dan tubuh, penguasaan ekonomi
dan penguasaan tujuan-tujuannya, agama dan akhirat, bumi dan langit. Sayyid
Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam, cet. Ke-7 (Kairo: Darul
Kitab al-‘Arabi, 1967), hlm. 28
[25] Pada dasarnya pemikiran Qutub, menurut catatan Taufiq Barkat dan
dikutip oleh Mahmud Arif, ada 3 tahapan: fase pertama pemikirannya belum
mempunyai orientasi keislaman, fase kedua pemikiran Qutub telah mempunyai
orientasi keislaman namun masih bersifat umum dan pada fase terakhir pemikitannya berorientasi islam militan
dimana dalam fase ini, ia sangat “muak” dengan westernisasi,
kolonialisme dan penguasa Mesir yang dianggap kesemuanya bertentangan dengan
Islam. Lihat: Muhammad Arif, Wacana Naskh dalam Tafsir fi Dzilal al-Qur’an
(Eksposisi Penafsiran Alternatif Sayyid Qutub), dalam Abdul Mustaqim dan
Sahiron samsudin (ed.), Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002), hlm. 112
[26] Ibid, hlm. 35
[27] Ibid, hlm. 24
[28] Ibid, hlm. 51
[29]Ibid, hlm. 55-57. Qutub untuk
permasalahan ini benar-benar melandasan pada ayat-ayat yang dimaknai secara tekstual
ayat. Hanya saja kemudian ia berkepentingan untuk membuat argumentasi sebagai
upaya memperkuat ayat tersebut.
[30] Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm 578-9
[31] Salah satu doktin utama dalam fundamentalisme Islam Qutub yang
selanjutnyan dianut ikwan mulim adalah “jahiliyyah moderen” ini yaitu
modernitas sebagai ‘barbaritas baru’.
Konsep ini pertama kali di kembangkan oleh al-Maududi. Kosep jahiliyyah
ini kemudian sangat berkembang ketika Abu al-Hasan ‘Ali al-Nadvi menulis pada
tahun 1950 dalam karyanya maza khasirah al-‘alam bi inhithath al-Muslimin
(kerugian apa yang diderita dunia akibat kemunduran Islam). Ia menjelaskan
perjalanan Islam secara historis sejak kebangkitan, kejayaan dan kemunduran.
Menurutnya kaum muslim mulai mengalami dekadensi sosial dan moral sejak masa
‘Ustmani’ khususnya ketika dinasti ini
mulai mengambil alih gagasan dan institusi Eropa dalam upaya modernisasinya.
Padahal kebudayaan Barat secara keseluruhan bersifat pagan dan materialistik
(jahiliyyah-maddiyah). Lihat: Azumardi Azra, Pergolakan..,hlm. 118
[32] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 8
[33] Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…,
hlm. 100. Penafsiran kata la ilaaha illallah dengan al-hakim
(yang menghukumi) ini adalah penafsiran yang persis seperti pemikiran Abul A’la
Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat
barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang
Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata :
”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al
Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” Lihat: Al Ustadz Muhammad Umar As
Sewed, kerancuan pemahaman Sayyid Qutub terhadap “la illaha illallah”, http://tukpencarialhaq.wordpress.com/2007/01/14/bahayanya-pemikiran-takfir-sayyid-qutub/#more-6,
akses tanggal 20 Maret 2007, dikutip dari Majalah Salafy, Edisi
XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M
[34] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 94
[35]Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…, hlm. 106-7 dalam
kesempatan lain Qutub mengatakan bahwa islam bukanlah bagian dari nasionalisme
(qaum) dan bukan pula pemerintahan berdasarkan tanah air, akan tetapi ia adalah
manhaj Allah dan bentuk pemerintahan duniawiyah-Nya. Lihat: Ma’alim…,
hlm. 80.
[36] Lihat: Sjadzili, Islam dan Tata…, hlm. 149
[37] Ibid…
[38] Lihat: Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. Ke 5
(Bandung: Pustaka, 2003), hlm. 23
[39] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 82
[40] Sayyid Qutub, al-Adalah al-Ijtima’iyah…, hlm 101-4
[41] Syariat Islam dapat dipahami sebagai manhaj rabbani. Secara
umum konsep islam adalah konsep yang rabbani. Menurut Qutub konsep robbani
adalah yang datang dari Allah dengan membawa segala karakteristik tersendiri,
sehingga ia merupakan konsep yang esensinya tidak berkembang tetapi manusialah
dalam kerangkanya dan meningkat di dalam memahami dan meanggapnya. Manusia akan
tetap berkembang dan meningkat, tumbuh dan maju, sedangkan kerangka ini akan
selalu mencakupnya dan konsep rabbani akan selalu membimbingnya; sebab sumber
yang menciptakan konsep ini adalah juga sumber yang menciptakan manusia. Sayyi
Qutub, Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzzakir (Bandung: Pustaka,
1990), hlm. 47
[42] Chirzin, Jihad…, hlm. 43-4
[43] Dalam Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 578
[44] Sayyid Qutub, Ma’alim…, hlm. 88-91
[46] Penjelasannya teresebar sepanjang karya ma’alimnya misalnya
halaman 18, 88-91 dan sebagainya, lihat juga Sagiv, Islam Otentitas
Liberalisme…,hlm. 46 dan Black, Pemikiran Politik Islam…, hlm. 581
[47] Ibid…, hlm. 581-2. lihat juga:
Karen Armstrong, Perang Suci…, hlm. 540. Menurut catatan Syaikh Ayyid
asy Syamari bahwa Ali ‘Isymari (salah seorang pendukung ikhwan muslim) yang
pernah duduk bersama Sayyid Quthub mengatakan bahwa apabila terjadi suatu
gangguan terhadap dakwahnya (IM), Sayyid memerintahkan agar mereka segera
menuntaskannya dengan melancarkan berbagai macam kerusuhan dan peledakan besar,
seperti mensabotase jembatan-jembatan, pusat-pusat listrik dan tempat-tempat
lainnya, hingga akhirnya dapat menggulingkan Jamal Abdun Nasher. Lihat: Syaikh
Ayyid asy Syamari, Membongkar
pikiran Hasan Al Banna - Quthbiyyah (III), http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=337,
akses 20 Maret 2007.
[48] Sayyid Qutub, Tafisr fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan
al-Qur’an, terj. As’ad yasin, dkk, jilid 10 (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), hlm. 124-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar