Senin, 09 November 2015

maqasyid syari'ah: tinjauan ekonomi islam



MAQASID ASY-SYARI’AH:
SEBUAH TINJAUAN DARI SUDUT ILMU EKONOMI ISLAM
Oleh: Juandi*
Abstrak
Masuknya teori Maqashid asy-syari’ah dalam kajian ekonomi Islam dapat ditemukan langsung dalam landasan etika (landasan filosofis dalam dataran aksiologi), dimana penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis tidak melupakan aspek kemaslahatan. Bagi para pengkaji ekonomi islam, teori maqashid asy-syari’ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan berketuhanan di sisi lain. Tulisan ini mengkaji dua hal yang saling mempengaruhi satu dan yang lain, yaitu bangunan keilmuan ekonomi islam dan teori maqasid asy-syari’ah. Yang disebutkan terakhir merupakan pijakan dalam membangun ekonomi Islam.
Kata kunci: Maqasid asy-Syari’ah, Ekonomi Islam, Integrasi Keilmuan.

Inclusion theory maqashid ash-Shariah in Islamic economic studies can be found directly in the foundation of ethics (philosophical grounding in plain axiology), where the control of strategic economic resources do not forget  the aspect of welfare. For students of Islamic economics, the theory maqashid ash-Shari'ah is one logical effort that must be implemented as a logical consequence of the economic understanding of justice in one hand and has a runway of divinity on the other side. This paper examines two things affect each other and the other one, which is building the scientific theory of Islamic economics and maqasid al-Shari'ah. The latter is an economic foothold in establishing Islam
Key word: Maqashid ash-Shariah, Islamic Economics, Integration of Science
A. Pendahuluan
Dalam satu kesempatan seminar Ekonomi Syari’ah yang diadakan oleh UIN Sunan Kalijaga, seorang narasumber menyampaikan satu landasan teologi dalam ekonomi Islam. Ia mengatakan:
“Islam adalah agama yang memandang kemiskinan sebagai musuh iman bahkan kemiskinan adalah janji syaithan yang memerintahkan manusia berbuat kejelekan dan kemungkaran. Karena itu, dalam rukun Islam paling kurang ada dua yang mensyaratkan kemampuan ekonomi, yaitu zakat dan haji. Secara terbatas syahadat, shalat dan puasa bernuansa kemampuan ekonomi. Kemampuan ekonomi menghindarkan manusia dari kufur yang ditiadakan melalui syahadat. Shalat juga memerlukan kelengkapan pakaian yang memadai, demikian juga puasa.”[1]
Landasan teologi ekonomi Islam yang disampaikan di atas menarik untuk dicermati mengingat semakin maraknya persoalan ekonomi yang disandarkan dengan kata-kata Islam atau syari’ah. Sebuah sistem ekonomi alternatif yang merupakan reaksi ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis[2] atau untuk tidak menafikan keberadaan sistem ekonomi lainnya.
Gejala seperti ini mulai dirasakan beberapa tahun belakangan semenjak ilmu-ilmu sosial mengenal apa yang dinamakan dengan masa post-moderen, yang ditandai dengan kecenderungan kuatnya aktifitas yang bernuansa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas munculnya masa post-moderen yang berparadigma post-modernisme telah memberi ‘sinyal’ hadirnya sejumlah pemikir, filosof dan intelektual yang berusaha mendekonstruksi basis dasar pengetahuan moderen.[3] Masa moderen bagi kalangan post-modernisme telah membawa umat kepada kehidupan yang gersang, materialistik, sekuler dan jauh dari nilai-nilai spritual. Sekalipun post-modernisme bukan satu-satunya penyebab lahirnya gagasan-gagasan spritual, namun kesadaran manusia untuk kembali mengkaji nilai-nilai agama, setelah dimanjakan dengan berbagai pengetahuan moderen, muncul pada masa ini. Kuatnya arus perubahan dari tradisionalisme, modernisme dan post-modernisme menjadi tantangan bagi umat Islam dalam menyikapi persoalan umat yang mengalami fluktatif. Oleh karena itu, bagi umat Islam nilai spritual yang memang merupakan basis dalam kehidupannya harus dapat diaplikasikan dalam segala tindakan-tanduk kehidupan umat baik dalam segala aspek termasuk aspek ekonomi.
Sistem ekonomi Islam dalam kaitan sebagai sebuah ilmu memiliki landasan, yaitu the spirit of Islam dan postulat Islam. Dengan demikian, dalam sistem ekonomi Islam selalu memberikan landasan teologis yang diambil dari teks-teks suci. Sekalipun demikian, sebuah landasan yang dijadikan pijakan dalam bertindak tidak akan memberikan kepuasan secara spritual dengan berlandaskan realitas jika tidak digali secara mendalam. Salah satu cara yang ditawarkan ulama dalam penemuan hukum adalah dengan pendekatan maqashid asy-syari’ah.[4] Pendekatan inilah yang akan digunakan untuk melihat bentuk ekonomi Islam yang sesungguhnya dengan menekankan pada makna ekonomi Islam sebagai pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah, yaitu untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material, agar memberikan kepuasan manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat.


B. Maqasid asy-Syari’ah dalam Tinjauan Teoretis
Maqashid asy-syari’ah dalam kajian ushul fiqh scara kronologis dapat dilacak dari metode-metode penemuan illat hukum dalam teori qiyas.[5] Penemuan ‘illat hukum dalam sebuah kasus yang terdapat dalam teks secara garis besar dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid), metode-metode yang keabsahannya diakui oleh para jurist, dan dugaan (probable/zhanniyyah atau mutawahhamah), yang keabsahannya masih bersifat dugaan dan kemungkinan.[6] Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’ (consensus) dan nass (the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass yang eksplisit (sharih) dan implisit (ima wa tanbih). Sementara itu, metode yang kedua yang bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian), syabah (keserupan), thard atau tharadi (kebersamaan atau kebetulan), dawran (perputaran), juga disebut thard wa’aks (kebersamaan dan kespesifikan) dan sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).[7] Selain metode tersebut, masih ada perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah dan jenis lainnya. Misalnya, fuqaha menganggap metode tanqih al-manath (pembersihan dan dasar ketetapan hukum), tahqiq al-manath (verifikasi atau realisasi dasar ketetapan hukum) dan takhrij al-manath (pengambilan dasar ketetapan hukum) dapat digunakan sebagai metode penetapan ‘illat. Ketiga metode ini ditolak oleh al-Ghazali dan al-Amidi sebagai masalik al-illat.[8] Keduanya memasukannya dalam ijtihad fi al-‘illat.
Al-Ghazali sendiri lebih sering menggunakan metode munasabah. Wael B. Hallaq mengatakan bahwa metode munasabah (kesesuaian) ini banyak dipergunakan al-Ghazali. Ia menunjukan contoh penggunaan teori ini. Di dalam al-Qur’an, minum anggur dilarang karena mempunyai sifat memabukan, dan memabukan menghilangkan daya akal, yang menyebabkan orang mabuk mengabaikan kewajiban-kewajiban agama. Kalau kita harus mengasumsikan, demi argument, bahwa al-Qur’an tidak melarang mengkonsumsikan anggur karena hal itu akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya. Hal ini sama saja dengan pemikiran atas dasar kesesuain, karena kita, terlepas dari wahyu, tahu bahwa ada bahaya tertentu untuk membolehkan mengkonsumsi anggur dan ada keuntungan tertentu muncul dari larangan tersebut.[9] Menurut al-Ghazali kereteria untuk menentukan kesesuaian atau kelayakan (munasabah) adalah keterkaitannya dengan kemaslahatan. Artinya, kesesuaian tersebut adalah bahwa ‘illat dimaksud, dilihat dari segi kemaslahatannya, memang menghendaki ditetapkannya hukum bersangkutan dan al-ausaf al-munasib (atribut yang sesuai) atau munasib adalah alasan yang didasarkan pada kemaslahatan. Selanjutnya, munasib ini dibedakan menjadi 3 yaitu: munasib efektif (mu’ashshir), munasib selaras (mula’im) dan munasib ganjil (garib).[10]
Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa ‘illat di sini adalah sesuatu yang disyari’atkan oleh hukum yang mendatangkan kemaslahatan dengan mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat dan ‘illat itu tetap melekat pada hukum menjadi kemaslahatan ‘ibad.[11] Kemudian ini dikembangkan menjadi maqasyid asy-syari’ah. Maqasyid ini terbagi menjadi 3 salah satunya adalah dharuriyah yang mencakup lima hal yaitu menjaga agama misalnya jihad, menjaga jiwa misalnya pemberlakuan hukum qishash, menjaga akal misalnya dengan larangan mabuk, menjaga keturunan misalnya dengan larangan zina dan menjaga harta misalnya dengan larangan mencuri.[12] Selanjutnya, teori maqashid asy-syari’ah ini mengalami puncaknya setelah berada di tangan imam asy-Syatibi.[13] Ia tetap mempertahankan pembagian maqashid yang dilakukan al-Ghazali dan bahkan memberikan penjelasan panjang lebar terkait dengan tujuan Syari’.[14] Selanjutnya teori maqasid ini adalah salah satu sifat teologi hukum Islam yang dapat dilihat dari tujuan-tujuannya.[15]
Pembahasan tentang maqashid asy-syari’ah, sebagaiman yang telah disebutkan di atas, dalam pandangan asy-Syatibi adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.[16] Dalam ungkapannya ia menegaskan bahwa disyari’atkannya hukum-hukum adalah untuk kemaslahatan hambah.[17] Adapun maqashid ini dilihat dari dua sudut pandang, yaitu merujuk pada maqashid asy-syari’ dan merujuk pada maqashid al-mukalaf. Dalam sudut pandang maqasyid as-syari’ mengandung empat aspek, yaitu tujuan awal peletakkan syari’at, syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami, syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan, dan syari’at yang bertujuan membawa mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya.[18] Sedangkan maqashid al-mukallaf  membahas empat aspek. Aspek pertama membahas tentang maslahah, aspek kedua membahas dimensi kebahasaan masalah taklif yang harus bisa dipahami oleh semua subjek dan dalam masalah ini asy-Syatibi menjelaskan dua hal, yaitu ad-dalalah al-asliyyah (arti dasar) dan ad-dalalah al-‘umiyyah (arti yang dipahami oleh masyarakat), aspek ketiga menganalisis gagasan taklif yang terkait dengan persoalan qudrah (kemampuan), masyaqah (kesulitan) dan lain-lain, dan aspek keempat mengemukakan aspek huzhuzh dalam kaitan dengan hawa dan ta’abud.[19]
Cara memahami maqashid asy-syari’ah dalam pandangan asy-Syatibhi adalah dengan memadukan dua pendektakan, yaitu pendekatan zahir al-lafz dan pertimbangan makna (‘illat). Untuk merealisasikan pemikiran ini, ada tiga cara:
  1. melakukan analisis terhadap lafaz perintah dan larangan.
  2. penelahan ‘illat al-‘amr dan an-nahy. ‘illat ini dapat ditemukan dalam teks secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Untuk kasus pertama, diutamakan untuk mengikuti tujuan yang tertulis sedangkan kasus kedua harus melakukan tawaquf (menyerakan hal ini kepada pembuat hukum) dengan didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu tidak boleh melakukan ta’adi (perluasan cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan nash; dan dimungkinkan untuk melakukan perluasan cakupan nash apabila tujuan hukum dapat diketahui tabi’ah.
  3. analisis terhadap as-sukut an syar’iyyah al-amal ma’a qiyam al-ma’na al-muqtada lah (sikap diam asy-Syari’). Dalam hal ini ada dua pembagiannya, yaitu as-sukut karena tidak ada motif atau factor pendorong, dan as-sukut walau ada motif dan factor pendorong tabi’ah (sikap diam asy-Syari’ terhadap suatu persoalan hukum, walapun pada dasarnya terdapat faktor dan motif yang mengharuskan asy-Syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu muncul persoalan hukum).[20]
Maqashid asy-syari’ah yang dikembangkan asy-Syatibi dibagi menajdi tiga aspek, yaitu bersifat dharuriyyah (keharusan), hajiyyah (kebutuhan), dan tahsiniyyah (penghiasan). Maqashid ad-dharuriyyah disebut harus karena maqashid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang masalih ad-din (agama dan akhirat) dan dunia, dengan pengertian bahwa jika maslahah ini dirusak maka stabilitas kehidupan dunia pun menjadi rusak. Kerusakan maslahah ini mengakibatkan berakhirnya kehidupan dunia ini dan diakhirat ia mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat.[21] Dengan demikian, jika merujuk pada pembagian paradigma teologi maka pemahman tentang kehidupan manusia di sini cenderung menggunakan paradigma teologi keadilan Tuhan. Dari paradigma ini kemudian memberikan implikasi terhadap pemahaman bahwa aturan yang Allah tetapkan kepada manusia tidak semata-mata menunjukan adanya kekuasaan Allah tetapi memberikan aspek keadilan bagi kehidupan manusia, yaitu adanya kemaslahatan yang diinginkan.[22] Beranjak dari sini, kemudian kemaslahatan itu tidak hanya dapat ditemukan dalam ketentuan wayu yang tertulis tetapi juga yang tidak tertulis seperti keteraturan Alam. Seperti apa yang dilakukan oleh G.F. Hourani dengan mengkaji maslahah sebagai konsep etika pada masa Islam pertengahan. Dia mengamati bahwa ada dua teori nilai dalam medival Islam. Pertama, teori nilai objektif, yaitu nilai memiliki eksistensi yang nyata; kedua, teori nilai yang bersifat shistic subjectifism dimana nilai ditentukan oleh kehendak Allah. Teori objektif dikemukakan oleh Mu’tazilah sedangkan teori subjektif dikemukakan Asy’ari.[23]
Berpijak pada permaslahan maslahah ad-daruriyah, disusunlah katagorinya dalam lima hal, yaitu menjaga kemaslahatan agama (ad-din), jiwa (an-nafs), keturunan (an-nasl), kekayaan (al-mal) dan intelektual (al-aql) dengan contoh-contoh yang telah disebutkan. Sedangkan kemaslahatan yang bersifat hajiyyat disebutkan karena dibutuhkan untuk memperluas (tawassu’) maqashid dan untuk menghilangkan kekakuan pengertian literal. Artinya kebutuhan akan hajiyyat adalah sebagai pertimbangan manusia dalam merumuskan kemaslahatan yang bersifat daruriyyah. Akan tetapi hancurnya hajiyyah tidak menghancurkan keseluruhan masalih. [24] Dalam bidang mu’amalah, contoh hajiyyah adalah dibolehkannya qiradh (menghutangkan uang), musaqat (asosiasi pertanian), dan sebagainya. Adapun maqashid yang bersifat tahsiniyyah diamksudkan untuk mengambil apa yang sesuai dan apa yang terbaik dari kebiasaan (adat) dan menghindari cara-cara yang tidak disukai orang bijak. Tipe ini mencakup pada persoalan kebiasaan terpuji (etika, moralitas).[25] Dalam bidang mu’amalah contohnya adalah larangan menjual barang-barang yang najis dan sebagainya. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa ketiga tingkatan maqashid tersebut mempunyai kaitan dalam sekala prioritas, yaitu kepentingan primer (daruriyyah) merupakan dasar dan landasan bagi kepentingan yang lain. Sedangkan kepentingan skunder (hajiyyah) menjadi penyangga dan penyempurna kepentingan primer. Sebagai pelengkap (tahsiniyyah) merupakan unsur penopang bagi kepentingan skunder. Beranjak dari landasan di atas asy-Syatibi kemudian merumuskan lima ketentuan berikut:
  1. kepentingan primer (dharuri) adalah  asal bagi segala kepentingan yang lain
  2. kerusakan (ikhtilal) pada kebutuhan dharuri berarti kerusakan bagi kepentingan yang lain secara mutlak
  3. kerusakan pada kepentingan yang lain tidak berarti merusak kepentingan dharuriyyah
  4. terkadang kerusakan kepentingan tahsiniyyah atau hajiyyah secara mutlak bisa berakibat rusaknya kepentingan primer
  5. perlindungan (muhafazah) atas kepentingan tahsiniyyah dan hajiyyah harus dilakukan untuk mencapai kepentingan primer[26]
Bagian yang penting dari maqashid asy-syari’ah adalah penjelasan tentang tujuan Syari’ membawa mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya. Tujuan utamanya adalah mengeluarkan mukhalaf dari dorongan (semata-mata) hawa nafsunya sehingga ia bisa menjadi hambah Allah secara suka rela (iktiyaran) sebagaimana ia adalah hambah Allah secara pasti (idziraran). Pengalaman manusia dalam bermasyarakat menunjukan bahwa masalah ---baik masalah keagamaan maupun dunia--- tidak bisa dicapai dengan cara mengikuti hawa nafsu dan motif-motif egois. Asy-syatibi menolak pengidentifikasian maslahah dengan syahwat (keinginan-keinginan), hawa (hawa nafsu), dan agrad (kepentingan-kepentingan pribadi).[27]
Jika perbuatan sesuai dengan tujuan Syari’ maka kesesuaian itu mempunyai dua kemungkinan, yakni sesuai dengan tujuan utama (maqashid asliyah) dan tujuan sekunder (maqashid tabi’ah). Yang dimaksud dengan tujuan utama yang tidak memberi tempat bagi keuntungan pribadi (haz) mukhallaf. Tujuan asal ini adalah lima kepentingan daruriyah. [28] Sedangkan tujuan sekunder (maqashid tabi’ah) ialah tujuan yang menyediakan keuntungan pribadi bagi mukhallaf. Dari arah ini mukhallaf bisa mendapatkan tuntutan-tuntutan alamiah (syahwat) dan kesenangan yang juga dimaksudkan untuk dipuaskan. Asy-syatibi mengajukan argumentasi bahwa dalam tujuan sekunder, syahwat merupakan sarana untuk mencapai dan mengabdi untuk kepentingan tujuan asal. Kalau tujuan asal pada dasarnya diwajibkan atas mukhallaf tanpa memperdulikan apakah ia menerima atau menolak, namun tujuan sekunder bisa mendatangkan keutungan dan manfaat bagi mukhallaf. Dengan demikian, sungguhpun perbuatan mukhallaf dalam tujuan asal bisa mendatangkan tujuan sekunder, namun yang lebih utama hendaknya amal itu diarahkan untuk mencapai tujuan asal. Sebaliknya, perbuatannya dalam memenuhi tujuan sekunder hendaknya diabadikan kepada tujuan asal.[29] Secara garis besar, apa yang diinginkan asy-Syatibi secara metodologis adalah upaya penggeseran prosedur metodologis dengan menggunakan prosedur induksi sempurna (istiqra’ tamm), dimana seseorang dapat bergerak dari aturan-aturan partikular ke arah hukum-hukum universal syari’ah.
Tujuan utama maupun tujuan sekunder dalam hukum Islam, sebagaimana yang diungkapkan asy-Syatibhi, hanya dapat diwujudkan dengan mengacu pada pemberlakuan norma yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Pemberlakuan norma ini dikembangkan secara bertingkat sebagai upaya merealisasikan antara idealitas dan realistas, antara aturan yang abstrak dan aturan yang praktis. Setidaknya ada tiga tingkatan norma yang dikembangkan sekarang, yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), asas-asas umum (al-us al-kuliyyah), dan peraturan-peraturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah). Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai dasar agama Islam itu sendiri. Nilai-nilai dasar itu adalah ketauhidan, keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan, persaudaraan, musyawarah, amanah, fadhilah, tasamuh, taawun dan sebagainya. Dari nilai dasar ini kemudian diturunkan asas-asas umum hukum Islam yang kemudian diturunkan dalam peraturan konkrit yang kontekstual.[30] Rumusan ini adalah pertingkatan norma sebagai teori pendekatan dalam ushul fikih. Teori ini juga dapat digunakan untuk menemukan konsep ekonomi Islam.


C. Ekonomi Islam: Pengertian dan Prinsip
Memahami makna ekonomi dalam Islam dimulai dari pelacakan kata ekonomi (al-iqtishad). Dalam literatur Arab disebutkan al-qashd (ekonomis) berarti kelurusan cara,[31] dan al-qashd (ekonomis) juga bermakna adil atau keseimbangan.[32] Kata al-iqtishad kalau digandengkan dengan kata al-ilm menjadi ‘ilm al-iqtishad berarti ilmu yang berkaitan dengan atau membahas ekonomi. Secara terminologi, para pakar ekonomi Islam, menurut catatan Abdul Husein at-Tariqi, mendifinisikan secara beragam, antara lain: pertama, Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendifinisikan bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an, sunnah, dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu. Kedua, menurut Muhammad Syauki al-Fanjari adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok Islam dan politik ekonominya. Ketiga, menurut  at-Tariqi sendiri adalah ilmu tentang syari’ah aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara mengembangka harta.[33]
Pengertian yang agak panjang dikemukakan oleh Umar Chafra. Ia mendifinisikan ekonomi Islam sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu untuk mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka sesuai dengan al-iqtishad asy-syar’iyah atau tujuan ditetapkan syari’ah tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan-lebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan institusi keluarga dan solidaritas sosial juga jalinan etika moral dalam kehidupan masyarakat.[34] Pengertian terakhir ini nampaknya berusaha melihat makna ekonomi Islam dari sisi tujuan syar’i yang dalam pembahasan ushul fiqh disebut maqashid asy-syari’ah. Memang secara etimologi antara kata ekonomi (iqtishad) dan maqashid memiliki akar kata yang sama, sehingga  setidaknya dua kata ini memiliki hubungan yang kuat. Dengan demikian, ekonomi dalam istilah Islam sekalipun tidak diberi embel-embel Islam langsung dapat dimaknai sebagai suatu sistem perekonomian yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan tertentu ini lebih beroreantasi pada kesejahteraan umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya, tanpa menolak adanya kepemilikan pribadi. Semacam ramuan antara sistem ekonomi kapitalis sebagian dan sistem sosialis sebagain lainnya.
Dari berbagai pendifinisian tersebut, dapat dilihat bahwa landasan filosofis ekonomi dalam Islam berawal dari persepsi yang dibangun Islam yang memandang manusia sebagai makhluk Allah yang semua perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Ini adalah dasar keimanan yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Oleh karena itu, bagi manusia yang beriman tidak ada kompetisi murni tetapi mengutamakan kerja sama. Karena untuk mewujudkan kesejahteraan umat akan sulit dicapai jika menggunakan prinsip kompetisi dalam pengertian negatif. Sebagaiman sistem ekonomi kapitalis yang memberikan kuasa terhadapa alat-alat produksi pada individu, sistem ekonomi Islam juga memperbolehkan penguasaan terhadap alat-alat produksi secara individu dan juga memberikan kebebasan manusia untuk berusaha. Namun, yang paling pokok dari penguasaan alat produksi dan kebebasan berusaha dalam ekonomi Islam adalah menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Sebagaimana firman Allah yang menegaskan bahwa dalam harta kekayaan umat Islam itu terdapat hak orang miskin sehingga ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi terkait dengan persoalan harta, yaitu zakat, sedekah dan sebagainya. Di sinilah arti pentingnya keseimbangan dan upaya menyejahterakan umat secara keseluruhan agar harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, tetapi bagaimana orang yang mampu tersebut dapat membantu ekonomi masyarakat miskin. Tidak hanya itu, tujuan yang terpenting dalam ekonomi Islam adalah menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material agar memberi kepuasan manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Allah dan masyarakat.[35] Misalnya, Islam dalam melarang riba tidak hanya mendasari pada landasan teologis tetapi juga melihat dari sisi humanitas, yaitu menghindari eksploitasi yang kuat atas yang lemah, dan menekankan kesejahteraan yang adil.[36] Ini adalah dasar ekonomi Islam dalam pertingkatan norma yang paling atas.
Berdasarkan landasan filosofis tersebut, dapat dilihat beberapa karakter yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu melandaskan pelaksanaanya pada agama atau ketuhanan,  adanya unsur keberimbangan atau pertengahan, mengutamakan prinsip berkeadilan atau berkecukupan, dan mengutamakan keberkahan dan pertumbuhan ekonomi yang sehat.[37] Karakter ini kemudian diturunkan dalam prinsip ekonomi Islam. Ada lima prinsip dasar yang dikembangkan pemikir muslim, yaitu prinsip dasar beraktifitas hukumnya boleh sampai ada peraturan yang secara jelas dan tegas melarangnya, prinsip kerelaan menjadi dasar keabsahan seluruh aktifitas muslim yang berhubungan dengan orang lain sebagai mitra kerja, prinsip kemanfaatan dalam bermuammalah mengindikasikan adanya nilai guna terhadap para pelaku sebagai akibat hukum dan kekuatan hukum yang dikehendaki, perinsip keadilan mengarah pada prilaku pelaku usaha untuk melakukan aktifitasnya dengan cara yang sehat, fair dan menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain, dan prinsip bebas bunga merupakan teori yang diterapkan karena adanya indikasi eksploitasi terhadap orang lain sehingga menghilangkan nilai keadilan.[38] Prinsip-prinsip tersebut menjadi asas-asas dalam ekonomi Islam yang merupakan pertingkatan kedua  dalam norma hukum.
Pada dataran praktis, ekonomi Islam didasarkan pada beberapa prinsip yang saling menyatu.[39] Pertama, kerja. Prinsip ini didasarkan pada kesadaran bahwa sumber daya manusia merupakan sumber daya yang bernilai tinggi. Dengan bekerja orang dapat menopang hidup secara mandiri dan sekaligus menghindari perbuatan yang mubazir atas sumber daya yang ada. Dorongan untuk bekerja inilah yang mendorong manusia untuk membuat kerja sama dengan pihak lain. Kedua, efisiensi. Maksudnya adalah menghilangkan pemborosan (the absence of wasting) sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam surat al-isra’ ayat 27
.¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx.
yang berimplikasi pada pemahaman bahwa tidak ada sumber daya yang tidak dapat dimanfaatkan sehingga agen-agen ekonomi yang tidak dapat menggunakan aset akan menemukan pihak-pihak lain yang menjadi partener yang dapat mengerjakan aset tersebut. Ketiga, profesional. Maksudnya para ekonom Islam harus memiliki keterampilan tinggi dalam mengolah perekonomian yang mensejahterakan. Keempat, kerjasama. Kelima, persaingan dalam pengertian positif. Kompetisi di sini tidak diartikan sebagaima pengertian dalam sistem ekonomi kapitalis dimana mereka saling berkompetisi dengan jalan meraup kekayaan sebanyak-banyaknya dan menindas pihak-pihak lemah sebagai lawan. Kompetisi diarahkan sebagai upaya pemacu umat untuk lebih agresif membaca peluang bisnis dan menciptakan dinamikan ekonomi Islam yang lebih hidup. Ketuju, keseimbangan.  Dengan mengacu pada prinsip baik secara umum maupun lebih khusus, ekonomi Islam telah memberikan instrumen dasar sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat, yaitu penghapusan riba, pelembagaan zakat, pelarangan gharar dan pelarangan sesuatu yang haram.
Secara menyuluh, ekonomi dalam Islam memiliki hubungan yang terikat dengan komponen Islam lainnya, yaitu akidah, syari’ah, dan moral. Dalam tataran aqidah dapat dilihat pandangan-padangan manusia Islam terhadap manusia, harta, alam, perbuatan manusia dan sebagainya. Begitu juga dengan hubungannya dengan syari’ah, yaitu mengkaitkan segala perbuatan ekonomi dalam Islam menjadi ibadah (perbuatan taat kepada Allah), perbuatan luhur dan mengandung pengawasan ketat.[40] Begitu pula kaitannya dengan persoalan moral yang dalam aktivitas ekonomi Islam ditandai dengan beberapa hal, yaitu larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, larangan menimbun, dan larangan melakukan pemborosan.
Relasi pertingkatan norma yang ditunjukan dalam ekonomi Islam memberikan indikasi bahwa pencapaian tujuan kemaslahatan dalam kehidupan ekonomi memerlukan persiapan metodologi yang matang. Sehingga apa yang menjadi dasar sejalan dengan asas dan dapat diturunkan dengan  baik dalam wilayah praktis. Pada dataran praksis ini kekuatan geo-ekonomi harus sejalan dengan geo-politik sehingga pelaku ekonomi Islam dapat menyusun startegi ekonomi yang dapat mencapai tujuan-tujuan pokok dalam Islam.
D. Landasan Ekonomi Islam dan Integrasi Keilmuan
Dalam berbagai penjelasan suatu ilmu yang didasarkan pada Islam, landasan pertama yang paling penting adalah landasan doktrinal (atau kalau tidak setuju dengan doktrinal maka kita gunakan the highest wisdom of god). Dalam al-Qur’an setidak-tidaknya ada tiga dasar pemikiran ekonomi, yaitu Al-Hasyr (59) ayat 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# [41]
Kemudian Az-zariyat (51): 19
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur [42]
Kemudian al-Baqarah (2): 275;
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz [43]

Disamping landasan doktrinal, ekonomi Islam juga memiliki landasan idiologis. Secara idiologi ekonomi Islam berkaitan dengan kepentingan pemberdayaan ekonomi umat menghadang kapitalisme global. Dengan demikian, ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi alternatif bagi mereka yang terbiasa dengan ketidakadilan sistem ekonomi kapitalis atau keanehan sistem ekonomi sosialis, dan menjadi sistem ekonomi utama bagai umat Islam. Kondisi real umat Islam selama ini yang terjadi berkutat dalam tiga problematika yang sama sulit untuk diselesaikan, yaitu persoalan kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Dengan demikian konsep ekonomi Islam harus memiliki kejelasan dan menemukan bentuk oprasional yang tidak hanya dalam bentuk konsep tetapi juga dengan dukungan kekuasaan politik dan kekuatan sumber daya manusia yang berkualitas, dana yang besar dan komitmen agama yang tinggi.[44]
Landasan berikutnya dalam ekonomi Islam yang perlu dipahami adalah landasan filosofis dalam dataran aksiologinya. Dalam kajian filsafat, aksiologi dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai [45] Dalam kajian tentang nilai setidaknya ada tiga nilai yang sering dikemukakan, yaitu nilai benar-salah yang kemudian dikenal dengan nilai logika atau nilai kebenaran, nilai baik dan jahat yang kemudian dikenal dengan nilai etika atau nilai kebaikan, dan nilai indah dan jelek yang dikenal dengan nilai estetika atau nilai keindahan.[46] Landasan aksiologi ini terdapat dalam ekonomi Islam dengan mengacu pada petunjuk ajaran Islam itu sendiri. Pertama, landasan logika Islam yang berbasis dua penilaian, yaitu ketidakadilan sistem kapitalisme, dan kesenjangan dehumanisasi sistem komunis yang sosialis. Ekonomi Islam menawarkan jalam tengah ummatan wasath sebagai saksi sebagaiman yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 143 dan mengusung moral nahy munkar yang diiringi amal ma’ruf sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 110.
Kedua, landasan estetika yang berporos pada tiga komponen, yaitu individu, masyarakat dan negara. Individu dalam Islam dijelaskan bahwa manusia sebaik-baiknya bentuk ciptaan ahsana taqwim. Aspek masyarakat yang membentuk proses perekonomian umat dijelaskan sebagai khoiro ummah umatan wasath yang menjunjung moral, spritual dan intelektual. Sedangkan aspek negara dijelaskan bahwa baldah thoyyibah wa robb ghofur. Komponen inilah dengan nilai-nilai yang ditunjukan Islam sebagai landasan estetika ekonomi Islam.
Ketiga, landasan etika.  Landasan ini berbasis pada aspek maqashid asy-syari’ah dimana ekonomi Islam dalam menentukan nilai-nilai kebaikan berlandaskan pada lima aspek sebagai acuan, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz an-nasl, hifz al-mal, dan hifz al-aql. Dalam wilayah inilah bertemunya tujuan syari’ sebagai acuan pembentuk ekonomi Islam yang syarat dengan nilai. Model etika ini menempati posisi sentral. Bahkan, sekalipun berbagai ketentuan al-Qur’an harus diterapkan oleh lembaga negara, ia pun harus berlandaskan antropologi: manusia, makhluk yang memiliki berbagai kebutuhan, harus mengatur berbagai kegiatannya sesuai dengan model yang bermoral ---seperti yang dicontohkan oleh nabi. Sebagimana cita-cita masyarakat Islam, menurut Bani Shadra, adalah “untuk berproduksi sesuai dengan kemampuan masing-masing dan mengkonsumsi sesuai dengan ketakwaan. Sebab, hanya pembatasan konsumsi inilah yang bisa menjamin adanya surplus serta redistribusi---secara sukarela dan otomatis bagi mereka yang mengikuti jalan ketakwaan.[47]
Dengan demikian, kebangkitan Islam dalam bidang ekonomi bukan hanya akibat dari perasaan keterasingan dalam bidang ekonomi atau penolakan terhadap proyek sistem ekonomi moderen yang kapitalis, sosialis atau sebagainya, tetapi, lebih jauh lagi, merupakan munculnya Islam sebagai bagian penting dari idiologi ekonomi itu sendiri. Struktur ekonomi suatu negara Islam adalah bagian integral dari hubungan organik agama dan negara. Namun sekalipun demikian, ekonomi umat Islam harus mempunyai visi ekonomi kolektif sehingga simbol-simbol keagamaan tidak hanya dijadikan simbol sebagai kepentingan ekonomi tertentu yang notabene-nya tidak menguntungkan umat.
Dalam analisa-analisa kebangkitan Islam dalam lapangan ilmu pengetahuan, yang ditandai dengan munculnya berbagai teori integrasi keilmuan, ilmu ekonomi Islam merupakan contoh terbaik adanya integrasi Islam dengan ilmu. Untuk menggerakan usaha tersebut, ilmu ekonomi Islam telah mempersiapkan dirinya dalam empat langkah sebagai proses pengintegrasian Islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi:
    1. Membangun paradigma. Sebagai ilmu, ekonomi Islam harus memiliki paradigma tersendiri.
    2. Pengembangan dari teori-teori ilmu. Tiap-tiap ilmu memiliki teori dan kemudian teori-teori yang ada dinilai lagi untuk diterima atau ditolak. Mislanya, prilaku konsumen. Orang akan berbelanja akan rasional dengan mempertimbangkan kepuasan, namun semangkin banyak penggunaannya semangkin berkurang kepuasaan tersebut.
    3. Melalui pengembangan metodologi
    4. Melalaui pengembangan prosedur-prosedur tekhnis. Pada dataran ini yang sudah ada (konvensional) akan dilihat apakah sesuai dengan Islam atau tidak. Kalau belum sesuai kemudian disesuaikan.[48]






Ragaan 1: Proses integrasi Islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi 


 
Proses
Integrasi

 



                   Integrasi nilai                                                 Pengujian pernyataan
               ke dalam konstruksi                                           deskriptif Islam untuk              
                   ilmu ekonomi                                                  memperkokoh ilmu
                                                                                             ekonomi Islam
           
      
1)      perumusan paradigma
2)      perumusan teori
3)      peumusan metodologi              
4)      perumusan prosedur
       tehnis tertentu                                                  
 

Keempat langkah-langkah tersebut adalah sebagai prosedur agar ilmu ekonomi Islam diterima tidak hanya sebagai ilmu yang abstrak tetapi juga memiliki landasan epistemologi dan real. Langka pertama dan kedua dalam perkembangan sekarang sudah dirumuskan sedemikian rupa. Langkah ketiga dan keempat masih dalam tahapan pengkajian. Misalnya tawaran-tawaran integrasi ilmu dan agama yang dapat dijadikan pegangan adalah model Louay Safi dan Anas Az-Zarqa.[49]
E. Aplikasi Maqashid asy-Syari’ah dalam Ilmu Ekonomi Islam
Masuknya teori maqashid asy-syari’ah dalam wilayah ekonomi Islam dapat ditemukan secara langsung dalam landasan etika. Para pelaku ekonomi tidak hanya dituntut untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi yang strategis tetapi juga memanfaatkannya untuk kepentingan umat dengan mengacu pada kemaslahatan dharuriyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Dengan demikian, bagi kajian ekonomi teori maqashid asy-syari’ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan berketuhanan di sisi lain. Selain itu, kemudian akan dipahami kemaslahatan sebagai kebutuhan manusia termasuk juga dikaitkan dengan lapangan ekonomi akan mengikuti teori-teori ekonomi yang sesuai dengan pencapaian visi dan misi Islam. Dalam hal ini, Survei-survei perkembangan soaial dan kondisi real dalam masyarakat serta inferensi tekstual harus dijadikan acuan dalam menentukan strategi ekonomi.
Secara singkat ketentuan di atas dijelaskan sebagai berikut: untuk menyelamatkan harta, Islam mensyari’atkan hukum-hukum mu’amalah dan menjalankan aktifitas ekonomi disamping melarang langkah-langkah yang merusaknya seperti kecurangan. Ketentuan ini tentunya berkait dengan ketentuan untuk memelihara jiwa karena tujuan menjalankan aktifitas mu’amalah juga bertujuan memelihara kehidupan. Kemudian ia juga berkait dengan ketentuan menjaga keturunan secara tidak langsung. Berkaitan secara langsung dengan ketentuan menjaga agama karena nilai-nilai dasar dalam hukum mu’amalah diambil dari dasar agama yang bersifat universal. Sementara ketentuan untuk menjaga harta ini juga berkaitan dengan ketentuan untuk menjaga akal karena kecenderungan untuk memuaskan kebutuhan hidup secara berlebih-lebihan membuat orang kehilangan akal.
Demi melancarkan tujuan menjalankan aktifitas ekonomi dibutuhkanlah berbagai fasilitas bela harta. Misalnya per-bank-kan, lembaga pegadaian, lembaga asuransi, baitul maal wattamwil, dan sebagainya. Tanpa lembaga ini, kegiatan pemutaran uang bisa saja dilakukan. Misalnya dengan menyimpan uang di rumah atau melakukan usaha kecil, atau meminjam uang kepada orang lain. Namun, dengan kehadiran lembaga-lembaga ini sangat membantu masyarakat untuk mengelolah, menyimpan dan memutar keuangannya. Pada tahap tersier, pilihan untuk menentukan bank mana yang diinginkan diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal. Atau model lembaga pegadaian apa dan model asuransi apa yang diinginkan diserahkan sesuai dengan kemantapan masing-masing. Namun, model lembaga yang diinginkan tidak boleh keluar dari nilai-nilai dasar Islam dan asas-asas dasarnya. Sehingga pengembangan lembaga-lembaga tersebut yang benar-benar mengakomodir nilai dan asas dasar perekonomian Islam menjadi kebutuhan yang mendesak (daruriyyah) sebagai upaya menjaga harta, yaitu kehalalan, kesucian dan proses yang benar.
Untuk menuju lembaga di atas, dibutuhkan prosedur yang baik. Pilihan untuk menentukan prosedur diserahkan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sedangkan model prosedur yang harus dijalankan adalah pilihan masyarakat Islam untuk berkreasi. Di sini, kreatifitas ekonom Islam dituntut lebih keratif untuk mengembangkan model-model ekonomi yang dapat menjangkau dua sisi. Sisi pertama,  memberikan suatu model sederhana mengenai prilaku manusia dan untuk menjamin suatu pola yang dapat diramalkan dari tingkah laku pasar, bukan spekulasi,[50] manusia ekonomi dianggap sebagai rasioanal dalam seluruh tindakan sekalipun dalam realitasnya tidak seluruh tindakannya rasional. Rasionalitas, yang merupakan jantung ilmu ekonomi neo-klasik, adalah asumsi fundamental model ekonomi dalam teori moderen. Sisi kedua, memberikan dasar metafisik, yaitu prinsip-prinsip trasendental yang telah mendorong kelahiran ilmu terus membentuk fondasi metafisik bagi kelimuan, suatu fondasi yang diasumsikan secara luas meskipun jarang dinyatakan.
Berikut ini akan ditampilkan contoh aplikasi maqashid asy-syariah dalam wilayah ekonomi. Misalnya persoalan investasi dan bagi hasil. Dalam kajian ekonomi Islam ada dua model bagi hasil yang berkembang, yaitu al-musyarakah dan al-mudharabah.[51] Kedua model ini sama-sama diperbolehkan (mubah). Yang disebutkan pertama adalah kerjasama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko ditanggung bersama. Sedangkan yang disebutkan terakhir adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelolah.
Al-mudharabah atau investasi satu orang menarik untuk dicermati. Dalam dataran teoritis, mudharabah ini hasil usahanya akan dibagikan berdasarkan nisbah yang disepakati.[52] Sedangkan kerugian usaha yang tidak disebabkan kelalaian pihak pengelolah dana akan ditanggung sepenuhnya oleh penyedia dana (investor). Mudharabah merupakan salah satu produk yang ditawarkan dalam perbankan syari’ah.
Dalam kasus-kasus tertentu yang merupakan sektor ekonomi rakyat seperti pertanian yang mungkin keuntungannya hanya 6% setahun, khususnya konteks Indonesia, bagi hasil ini akan membantu di sektor pertanian yang memang memerlukan subsidi pemerintah. Namun, dalam kasus investasi khusus dimana pemilik modal dapat menetapkan syarat tertentu yang harus dipenuhi bank, misalnya modal disyaratkan untuk diinvestasikan pada usaha real estate yang memiliki keuntungan 36% setahun seperti yang terjadi di Timur Tengah, maka bagi hasil akan menjadi eksploitasi pemilik modal dalam bisnis ini.[53] Misalkan orang kaya di negara-negara dengan ekonomi kuat di dunia akan bersedia masuk ke Indonesia untuk investasi real estate. Dengan demikian, berarti pemerintah Indonesia membiarkan modal nasional tersisihkan dari sektor yang sangat menguntungkan. Dalam konteks seperti ini, para ekonom Islam harus melakukan riset sejauh mana telah terjadi kesewenang-wenangan. Pertimbangan prinsip keadilan dalam berusaha yang merupakan prinsip dasarnya, pada usaha ini tidak dilanggar. Begitu juga pada asas usaha yang bebas bunga juga tidak dilangggar. Namun, jika bagi hasil yang merupakan kesepakan investor dengan pemerintah yang 36% keuntungan itu dibagi sama jelasnya tidak memberikan kemaslahatan bagi umat, karena kekayaan yang hanya berputar pada pemilik modal dalam jumlah yang sangat besar.
Pada dasarnya, menjalankan bisnis apapun dengan model mudharabah diperbolehkan namun apabila sebagian besar investor hanya membidik bidang-bidang ekonomi yang berkeuntungan besar tentunya, dalam batas-batas tertentu, tidak membawa kemaslahatan bagi perkembangan usaha kecil. Karena dalam etika ekonomi Islam kekayaan tidak boleh beredar di kalangan orang kaya saja. Kemudian ekonomi Islam menjunjung nilai-nilai yang memungkinkan kaum mukmin bukan saja menikmati hal-hal duniawi, tetapi juga menghasilkan kemakmuran masyarakat dan kemajuan perekonomian. Dengan kata lain, ekonomi dijadikan alat bukan tujuan. Dengan demikian, sekalipun model mudharabah diperbolehkan dalam ekonomi Islam, namun harus ada riset-riset lebih jauh lagi dalam tataran penerapan. Apakah ada penyimpangan, ketidaksesuaian atau kesewenang-wenangan. Sehingga secara konseptual bukan akad yang dipermasalahkan tetapi kemungkinan adanya penyimpangan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang menjadi pertimbangan.
Contoh lain penerapan maqashid syari’ah dalam kegiatan ekonomi adalah dengan memaknai ulang kemaslahatan manusia sebagai  kebutuhan manusia. Ada lima kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan agama, kebutuhan jiwa, kebutuhan menjaga keturunan, kebutuhan akal, dan kebutuhan menjaga harta. Misalnya kebutuhan dalam kontek ekonomi disebutkan bahwa ada kebutuhan dharuriyah dalam melaksanakan ibadah, yaitu perlengkapan ibadah yang minimal, sedangkan tambahan dengan segala macam aksesoris ibadah merupakan kebutuhan hajjiyah dan tahsiniyah. Peran produsen Islam adalah membidik peluang-peluang ini untuk dijadikan sebagai lahan bisnis yang baik. Kebutuhan menjaga jiwa diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan paling minimal untuk tiga jenis kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan dharuri. Sedangkan tambahan kebutuhan yang menjamin hidup lebih baik adalah kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah, yang menjamin kehidupan lebih mudah.
F. Penutup
Konsep ekonomi Islam adalah satu keniscayaan yang harus dikembangkan lebih jauh lagi. Bukan hanya dalam dataran konseptual tetapi juga dalam dataran praktis. Islam telah menyediakan sumber-sumber tekstual yang memadai untuk memberikan batasan prilaku manusia, termasuk juga dalam lapangan ekonomi, namun hal itu tidak cukup jika tidak diimbangi dengan inferensi sosial. Adanya teori maqashid asy-syari’ah dalam kajian pereokonomian Islam merupakan langkah maju dalam pengembangan model ekonomi Islam, namun sekali lagi untuk menemukan model ekonomi Islam yang paling ideal, tentunya, hal ini belum cukup. Dengan demikian, adalah tugas bersama antara pakar hukum Islam (ushul fikih) dan pakar ekonomi untuk berijtihad mengembangkan model ekonomi Islam yang lebih membumi.




BIBLIOGRAFI

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, RM. Books, 2007
________, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,” dalam dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
________, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam kumpulan makalah Metodologi Studi Islam, 2007 (tidak diterbitkan)
________, “Ekonomi dalam Studi Keislaman”, Makalah tidak diterbitkan
Arif, Abd. Salam, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat, dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000
Arkoun, Muhammad, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung: Pustaka, 2000
Asy’ari, Musa, “Ekonomi Islam dan Kemiskinan” Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syari’ah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, 15 Maret 2007
Chafra, M. Umar, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, alih bahasa: Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Djamil, Fathurrahman, “Hubungan Antara Konsep Baik dan Buruk dalam Kalam dengan Konsep Maslahat dalam Hukum Islam,” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, no. 63/VI/1999
Eldine, Achyar, “Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam”, dalam situs http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm. akses tanggal 1 Oktober 2007
Ghazali, Muhammad al-, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, jilid 2, ttp: Dar al-Fikr, tt
Hanafi, Syafiq Mahmadah, “Hutang Luar negeri antara Kebutuhan Rasional dan Kebutuhan Etis,” dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Hasan, Ahmad Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih, ttp.: Amzah, 2005
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa: Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Kattsof, Louis O., Pengantar Filsafat, alih bahasa: soejono soemargono, cet. Ke-ix, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004
Ma’luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam, Bairut: Dār al-Masyriq, 1998
Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka 1996
Mas’ud, Muhammad Khalid, Shatibi’s Philoshopy of Islamic Law, Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1997
Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh jilid 1, Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995
Muhajir, Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan Penelitian, edisi III, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006
Naqvi, Sayed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami, Bandung: Mizan, 1993
Raissouni, Ahmad ar-, Nazariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam asy-Syatibhi, Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1995
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, alih bahasa: Hari Murti dan Qomaruddin, Jakarta: Serambi, 1996
Santoso, Listiyono, “Purna Wacana: Postmodernisme: Keritik Atas Epitemologi Moderen, dalam Listiyono santoso, dkk., Epistemology Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
Sawit, M. Husein, “Kata Pengantar” dalam Goenawan Mohammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1, Yogyakarta: UII Press, 1999
Scacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon Press,1950
Salih, Muhammad Adib, Masdhar at-tasyri’ al-Islami wa manahij al-Istinbath, Kairo: Dar al-Fikr, ttp.
Safi, Louay, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and Western Methos of Inqury, Slangor: International Islamic University Malaysia Press dan International Instritute of Islamic Thought, 1996
Sholeh, Khatib, “Fikih Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syari’ah Syatibi,” dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03. nomor II, Juli-September 1999
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2002
Syafi’I, Muhammad Idris asy-, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani, Kairo: Dar al-Fikr, 1969
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, cet ke-3, IV jilid, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997
Tariqi, Abudllah Abdul Husein at-, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih bahasa: M.Irfan Syofyan, Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004
Wahyudi, Yudian, Maqashid syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Nawasea, 2006
_______Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawasea, 2006
Ya’fi, Ali, Fikih Perdagangan Bebas, Jakarta: Teraju, 2003
Yuslem, Nawir, “Maqasid al-Syariah Al-Ghazali tentang Pengembangan Hukum Islam,” dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005



* Penulis adalah Dosen STIH Pertiba Pangkalpinang, alamat: Jl.Kampung Melayu Rt.05/Rw.02 Tuatunu Indah Kota Pangkalpinang, e-mail: juan_diey100384@yahoo.com
[1] Musa Asy’ari, “Ekonomi Islam dan Kemiskinan” Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syari’ah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia 2007
[2] Fondasi filosofis sistem ekonomi kaptalis adalah manusia dianggap sebagai makhluk individualis atau egois. Dasarnya adalah kebebasan individu dalam kepemilikan alat produksi (privat ownership) dengan paradigma ekonomi pasar untuk saling berkompetisi. Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara.  Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, dan tumbuhnya aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776.  Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Sedangkan sistem ekonomi sosialis landasan filosofisnya menempatkan kepemilikan alat produksi dikuasai secara bersama (collective ownership), dan kalau dibebaskan kepemilikannya kepada individu, akan memunculkan persoalan baru yang lebih serius yaitu eksploitasi sesama individu atau golongan dalam masyarakat. Diilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi sebab pokok terjadinya perubahan.  Kata Komunisme secara historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan untuk kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan paham komunis, sesuai  dengan   motto   mereka: from each according to his abilities to each according to his needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai dengan kebutuhan). Oleh karena itu, sistem ekonomi ini adalah marxis dan bukan ekonomi pasar.  Lihat: Achyar Eldine, “Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam”, dalam situs http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm. akses tanggal 1 Oktober 2007. Lihat juga: M. Husein Sawit, “Kata Pengantar” dalam Goenawan Mohammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1 (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. viii-ix
[3] Listiyono Santoso, “Purna Wacana: Postmodernisme: Keritik Atas Epitemologi Moderen, dalam Listiyono santoso, dkk., Epistemology Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003), hlm. 318.  Yang paling menonjol adalah munculnya sejumlah gagasan tentang islamisasi pengetahuan yang salah satunya dikemukakakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi. Gagasan ini terletak pada wilayah epistemology keilmuan islam, yaitu integrasi antara pengetahuan barat dan warisan Islam.  Kemudian dikembangkan oleh Louay Safi dengan model  pendekatan integrative atau terpadu hokum islam dan social. Lihat: Louay Safi, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and Western Methos of Inqury (Slangor: International Islamic University Malaysia Press dan International Instritute of Islamic Thought, 1996),hlm. 171-96. Lihat juga: model pendekatan Louay Safi dan Muhammad Anas az-Zarqa dalam Syamsul Anwar, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam Metodologi Hukum Islam, (kumpulan makalah tidak diterbitkan).
[4] Maqashid asy-syari’, maqashid asy-syari’ah, dan maqashid asy-syar’iyah mempunyai konotasi yang sama yang secara etimologi tersusun dari dua kata, yaitu maqashid dan asy-syari’ah dengan berbagai derivasinya. kata maqashid adalah bentuk jama’ dari kata maqshid yang merupakan bentuk kata jadian (bentuk isim makan) dari kata kerja qashada (fi’il madhi) yang berarti bernaksud atau menunju sesuatu.. Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam (Bairut: Dār al-Masyriq, 1998), hlm. 632. Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), hlm. 1208. Kata asy-syari’ah berarti kebiasaan, atau sunnah.  Lois Ma’luf, Al-Munjid., hlm. 382. Dalam perkembangannya makana asy-syari’ah ditujukan pada bagaian tertentu dari ajaran Islam secara keseluruhan
[5] Secara etimologis, qiyas berarti mengukur, memastika, membandingkan sesuatu yang semisalnya. Liaht: Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 31-32. Sementara itu, secara istilah ushul al-fiqh, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat (effecitve cause) hukumnya. Lihat: Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa: Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 255. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997), hlm. 144. Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh jilid 1 (Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 107.  teori ini secara sistematis pertama kali dicetus oleh imam asy-syafi’I yang secara panjang diuraikan dalam kitab Ar-Risalah-nya. ‘illat yang dikembangkan oleh ulama setelahnya dalam pengetahuan asy-Syafi’i tidaklah disebut ‘illat tetapi ma’na. penjelasan tentang qiyas yang asli dalam pandangan asy-Syafi’i lihat: Muhammad Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani (Kairo: Dar al-Fikr, 1969),, hlm. 26. Sedangkan menurut Joshep Schacht qiyas diturunkan dari istilah tafsir Yahudi hiqqish, infinitifnya heqqesh, dari akar kata bahsa Aramea naqsh, yang berarti “memukuli bersama-sama”. Kemudian Schacht menjabarkan penggunaannya yaitu: dalam penjajaran dua pokok masalah dalam bible, mengenai kegiatan penafsiran yang membuat perbandingan dengan menggunakan teks tertulis, untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus istilahnya yang disejajarkan. Lihat: Joseph Scacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950), hlm. 99. Kemudian alasan ini ditolak Ahmad Hasan karena: pertama, metode filologi memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam menyingkapi asal-usul dan sumber pranata fiqh. Kedua, secara sosiologis masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak selalu harus meminjam dari peradaban asing. Lihat: Ahmad Hasan Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), hlm. 96-7
[6] Lihat: Hasan, Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence…, 232. Sebagaimana dikutip dari al-Iji. Sedangkan menurut catatan Hasan al-Syirazi membagi kedua metode tersebut menjadi jenis yaitu pasti (qat’i) dan mungkin (zani). Ibid.
[7] Metode penemuan ‘illat hukum yang bersifat dugaan tersebut dijelaskan sebagai berikut: penemuan ‘illat berdasarkan al-sabr wa at-taqsim artinya mengukur atau menguji beberapa sifat yang terdapat dalam suatu hukum dan kemudian memilih semua kemungkinan yang dianggap ‘illat hukum setelah menghimpun sifat-sifat yang patut dijadikan ‘illat. Metode munasabah artinya mencari kesusaian antara sifat atau sebab hukum dengan kasus hukum dalam rangka menciptakan kebaikan dan menolak kerusakan. Metode thard artinya mencari sifat yang sesuai dengan ketetapan hukum atau ketatapan hukum ada bersamaan dengan sifat atau ‘illat dalam semua kasus, kecuali dalam hal-hal yang diperdebatkan. Metode syabah digunakan dalam tiga makna yaitu menyamakan sesuatu kepada yang lain karena keserupaan bentuknya, merupakan qiyas berdasarkan keserupaan dalam makna, merupakan kualitas yang menyerupai ‘illat. Metode dawran maksudnya tetapnya hukum karena adanya sifat tertentu dan tidak adanya sifat tersebut menetapkan pula tida adanya hukum. Baca: Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), hlm. 81-7
[8] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 233-4. Lihat juga: Muhammad Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 75-88. al-Ghazali menggunakan metode munasabah dalam penemuan ‘illat hukum sebagaimana yang akan dibahas sedangkan al-Amidi cenderung menggunakan metode tard wa’aks atau dalam istilah ushul fiqh lebih dikenl dengan dawran (rotation), yaitu apabila ada kualitas hukum tertentu maka hukum juga ada bersamaan dengannya dan jika kualiatas hukum tersebut tidak ada maka hukum pun tidak ada. Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, 315
[9] Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 130-1
[10] Lihat: Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, tahqiq: Muhammad Sualiman al-asyqar (Bairut: muasasah ar-Risalah, 1998), II: 307. Untuk eksplorasi tentang munasib ini lebih lanjut baca: Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,” dalam dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 278
[11] Pada dasarnya, maslahat dalam tinjauan syari’at ada tiga macam, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah, dan maslahah mursalah. Maslahah yang pertama diketahui dengan adanya nash yang menjelaskannya sebagaimana contoh-contoh ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an. Maslahah kedua adalah maslahah yang ada dalam nash namun kemaslahatannya lebih kecil bila dibandingkan dengan kemafsadatannya. Contoh yang sering diajukan adalah tentang khamar. Sedangkan maslahah yang terakhir adalah maslahah yang tidak ada nash secara eksplisit menyebutkannya tetapi masuk dalam ruang lingkup pembahasan dan tujuan syari’at. Karena tidak ada nash yang membatalkan dan mendukung keberadaannya maka kemudian disebut mursalah. Lihat: Muhammad Adib Salih, Masdhar at-tasyri’ al-Islami wa manahij al-Istinbath (Kairo: Dar al-Fikr, ttp.), hlm. 466
[12] Lihat: Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, jilid 2 (ttp: Dar al-Fikr, tt), hlm. 260-2
[13] Asy-Syatibi adalah orang ketiga yang mengembangkan teori maqashid. Sebelumnya sudah ada al-Ghazali dan imam al-haramain al-Juwaini. Al-Juwaini adalah orang yang pertama kali mengembangkan teori maqashid asy-syari’ah. Sedangkan asy-syatibi pada hakekatnya hanya melakukan pengulangan dan merujuk pada gagasan yang telah dimatangkan oleh al-Ghazali yang sebelumnya telah dicetuskan oleh al-Juwaini. Nawir Yuslem, “Maqasid al-Syariah Al-Ghazali tentang Pengembangan Hukum Islam,” dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), hlm. 241. Hanya saja patut disayangkan, maqashid asy-syari’ah yang pada dasarnya lebih merupakan metode, dijadikan semacam doktrin usul fikih sehingga ia mengalami perkembangan yang kurang memadai dalam memecahkan kasus-ksus sekarang. Untuk keritik lebih jauh lihat Yudian Wahyudi, Maqashid syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Nawasea, 2006), hlm. 8-11. bandingkan dengan karya lainnya, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawasea, 2006), hlm. 44-52
[14] Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, cet ke-3, jilid 1 (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997), hlm. 324
[15] Yudian Wahyudi, Ushul Fikih…,hlm. 44
[16] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 324
[17] Ibid., hlm. 54
[18] Ibid., hlm. 321
[19] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam: Studi Tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka 1996), hlm. 242
[20] Totok Jumantoro dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih (ttp.: Amzah, 2005), hlm. 197-8
[21] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 324.
[22] Perdebatan tentang tujuan Tuhan dalam menetapkan hukum adalah perdebatan panjang yang bersumber dari mazhab kalam. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa ada tujuan yang diinginkan Tuhan ketika menetapkan suatu hukum, sedangkan golongan As’ariyah masih berbeda pendapat. Misalnya al-Razi, sekalipun menolak pandangan bahwa Tuhan mempunyai maksud tertentu dalam menetapkan hukum, menerima adanya ‘illat hukum, yaitu hukum islam disyari’atkan untuk kemaslahatan manusia. Fathurrahman Djamil, “Hubungan Antara Konsep Baik dan Buruk dalam Kalam dengan Konsep Maslahat dalam Hukum Islam,” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, no. 63/VI/1999, hlm. 73
[23] Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s Philoshopy of Islamic Law (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1997), hlm 131
[24] Mas’ud, Filsafat Hukum Islam…, hlm. 231
[25] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 327
[26] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 331. Lihat juga: Ahmad ar-Raissouni, Nazariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam asy-Syatibhi (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1995), hlm. 148
[27] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 469-71
[28] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat..., II: 476
[29] Khatib Sholeh, “Fikih Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syari’ah Syatibi,” dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03. nomor II, Juli-September 1999, hlm. 106
[30] Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer (Jakarta, RM. Books, 2007), hlm. 37
[31] Lois Ma’luf, Al-Munjid…, hlm. 632
[32] Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer…, hlm. 1454-6. Bentuk al-iqtishadu yang merupakan mashdar dari iqtashada dimaknai penghematan yang merupakan lawan kata dari at-tafrithu. Lihat: A.W.Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet-25 (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm. 1124
[33] Abudllah Abdul Husein at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih bahasa: M.Irfan Syofyan (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14
[34] M. Umar Chafra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, alih bahasa: Ikhwan Abidin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 108. diterjemahkan dari The future of economies: An Islamic Pespective.
[35] M. Husein Sawit, “Kata Pengantar”..., hlm. xi
[36] Abd. Salam Arif, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat, dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000, hlm. 65
[37] at-Tariqi, Ekonomi Islam..., hlm.15-20. Sedangkan menurut Sayed Nawab Haider Naqvi prinsip dalam ekonomi Islam ada lima, yaitu  prinsip ketuhanan (ilahiyyat/unity), prinsip keseimbangan (equiblirium), prinsip kebebasan, prinsip tanggung jawab, prinsip kebenaran. Sayed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Imu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1993), hlm.  77-82
[38] Syafiq Mahmadah Hanafi, “Hutang Luar negeri antara Kebutuhan Rasional dan Kebutuhan Etis,” dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000, hlm. 34-6
[39] Diambil dari point-point yang disampaikan dalam seminar nasional “Peran Strategi Ekonomi Syari’ah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang diadakan UIN Sunan Kalijaga, 15 Maret 2007.
[40] Ali Ya’fi, Fikih Perdagangan Bebas (Jakarta: teraju, 2003), hlm.38
[41] Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
[42] Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”
[43]Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
[44] Bagi beberapa kalangan, ada kecenderungan pesimis dengan system ekonomi islam, sekalipn landasan konseptual islam secara murni begitu indah dan manusiawi. Mislanya, Oliver Roy mencatat beberapa kasus kebangkrutan lembaga keuangan Islam di Mesir (Bank al-Rayan), kegagalan system wakaf di Iran pada masa Reza Pahlevi yang dikelolah secara teknokrasi, munculnya Organisasi Perekonomian Islam yang berasal dari kurang lebih 1.300 serikat keredit islam ketika terjadi tekanan pasar dengan memeberi suku bunga sebesar 25 sampai 50 persen, keberhasilan Bank Besar Islam (Bank Islam Dubai, Bank Islam Faisal, Kwuait Finance, Bank Islam al-Taqwa) yang pada dasarnya mengembangkan modal para pemegang saham tingkat tinggi demi mengeruk keuntungan dan menarik tabungan rakyat bukan didasarkan atas Negara islamnya, dan kebangkrutan BCCI tahun 1991(bank konvensional yang membuka divisi islam dengan modal Dubai yang dikelolah oleh Pakistan). Alasan yang menjadi persoalan bagi system perekonomian Islam adalah beroprasi atas dasar spekulasi serta investasi jangka pendek. Lihat: Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, alih bahasa: Hari Murti dan Qomaruddin (Jakarta: Serambi, 1996), hlm. 173-83
[45]Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Ke-ix (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004), hlm. 319
[46] Ibid.
[47] Oliver Roy, Gagalnya Islam…, hlm. 171
[48] Lihat: Syamsul Anwar, “Ekonomi dalam Studi Keislaman, Makalah tidak diterbitkan, hlm. 17-25
[49] Teori integrasi ini dapat dilihat dalam Louay Safi, The Foundation of Knowlage:…, hlm. 190-5; Syamsul Anwar, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam Metodologi Hukum Islam, (kumpulan makalah tidak diterbitkan), hlm. 17-23.
[50] Secara umum, hal ini mengingat bahwa perekonomian islam tidak cukup hanya dilandasi pada kesalehan individu karena ada mekanisme yang meleburkan keragaman para pelakunya maupun tindakan mereka menjadi satu kesatuan, yaitu pasar. Pasar tidak bergantung pada kehendak perorangan tetapi diatur oleh lembaga (Negara, bursa). Oleh karena itu, system perekonomian islam harus sejalan dengan system politik yang baik.
[51] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hlm. 52-4
[52] Perbedaan pendapat tentang syarat penanaman modal (qiradh) dalam ekonomi islam diuraikan Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 110-3
[53] Contoh sebagai renungan ini dikemukakan Noeng Muhajir dalam, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan Penelitian, edisi III (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006), hlm. 224

Tidak ada komentar:

Posting Komentar