MAQASID ASY-SYARI’AH:
SEBUAH TINJAUAN DARI SUDUT ILMU EKONOMI ISLAM
Oleh: Juandi*
Abstrak
Masuknya teori Maqashid asy-syari’ah dalam kajian ekonomi Islam dapat
ditemukan langsung dalam landasan etika (landasan filosofis dalam dataran
aksiologi), dimana penguasaan sumber-sumber ekonomi strategis tidak melupakan
aspek kemaslahatan. Bagi para pengkaji ekonomi islam, teori maqashid
asy-syari’ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai
konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan
berketuhanan di sisi lain. Tulisan ini
mengkaji dua hal yang saling mempengaruhi satu dan yang lain, yaitu bangunan
keilmuan ekonomi islam dan teori maqasid asy-syari’ah. Yang disebutkan terakhir
merupakan pijakan dalam membangun ekonomi Islam.
Kata kunci: Maqasid asy-Syari’ah, Ekonomi Islam, Integrasi Keilmuan.
Inclusion theory
maqashid ash-Shariah in Islamic economic
studies can be found directly
in the foundation of ethics (philosophical grounding in plain axiology),
where the control of strategic economic
resources do not forget the aspect of welfare. For
students of Islamic economics, the theory maqashid
ash-Shari'ah is one logical effort that must be implemented as a logical consequence
of the economic understanding
of justice in one hand and has a runway of
divinity on the other side. This
paper examines two things affect each other and the
other one, which is building the scientific theory of Islamic economics and maqasid al-Shari'ah.
The latter is an economic
foothold in establishing Islam
Key word: Maqashid ash-Shariah, Islamic Economics, Integration of Science
A. Pendahuluan
Dalam satu kesempatan
seminar Ekonomi Syari’ah yang diadakan oleh UIN Sunan Kalijaga, seorang
narasumber menyampaikan satu landasan teologi dalam ekonomi Islam. Ia
mengatakan:
“Islam adalah agama yang memandang kemiskinan sebagai musuh iman bahkan
kemiskinan adalah janji syaithan yang memerintahkan manusia berbuat kejelekan
dan kemungkaran. Karena itu, dalam rukun Islam paling kurang ada dua yang
mensyaratkan kemampuan ekonomi, yaitu zakat dan haji. Secara terbatas syahadat,
shalat dan puasa bernuansa kemampuan ekonomi. Kemampuan ekonomi menghindarkan
manusia dari kufur yang ditiadakan melalui syahadat. Shalat juga memerlukan
kelengkapan pakaian yang memadai, demikian juga puasa.”[1]
Landasan teologi ekonomi Islam yang disampaikan di atas
menarik untuk dicermati mengingat semakin maraknya persoalan ekonomi yang
disandarkan dengan kata-kata Islam atau syari’ah. Sebuah sistem ekonomi
alternatif yang merupakan reaksi ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi
kapitalis dan sistem ekonomi sosialis[2] atau untuk tidak
menafikan keberadaan sistem ekonomi lainnya.
Gejala seperti ini
mulai dirasakan beberapa tahun belakangan semenjak ilmu-ilmu sosial mengenal
apa yang dinamakan dengan masa post-moderen, yang ditandai dengan kecenderungan
kuatnya aktifitas yang bernuansa lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Realitas
munculnya masa post-moderen yang berparadigma post-modernisme telah memberi
‘sinyal’ hadirnya sejumlah pemikir, filosof dan intelektual yang berusaha
mendekonstruksi basis dasar pengetahuan moderen.[3] Masa moderen bagi
kalangan post-modernisme telah membawa umat kepada kehidupan yang gersang,
materialistik, sekuler dan jauh dari nilai-nilai spritual. Sekalipun
post-modernisme bukan satu-satunya penyebab lahirnya gagasan-gagasan spritual,
namun kesadaran manusia untuk kembali mengkaji nilai-nilai agama, setelah
dimanjakan dengan berbagai pengetahuan moderen, muncul pada masa ini. Kuatnya
arus perubahan dari tradisionalisme, modernisme dan post-modernisme menjadi
tantangan bagi umat Islam dalam menyikapi persoalan umat yang mengalami
fluktatif. Oleh karena itu, bagi umat Islam nilai spritual yang memang
merupakan basis dalam kehidupannya harus dapat diaplikasikan dalam segala
tindakan-tanduk kehidupan umat baik dalam segala aspek termasuk aspek ekonomi.
Sistem ekonomi Islam
dalam kaitan sebagai sebuah ilmu memiliki landasan, yaitu the spirit of Islam
dan postulat Islam. Dengan demikian, dalam sistem ekonomi Islam selalu
memberikan landasan teologis yang diambil dari teks-teks suci. Sekalipun
demikian, sebuah landasan yang dijadikan pijakan dalam bertindak tidak akan
memberikan kepuasan secara spritual dengan berlandaskan realitas jika tidak
digali secara mendalam. Salah satu cara yang ditawarkan ulama dalam penemuan
hukum adalah dengan pendekatan maqashid asy-syari’ah.[4]
Pendekatan inilah yang akan digunakan untuk melihat bentuk ekonomi Islam yang
sesungguhnya dengan menekankan pada makna ekonomi Islam sebagai pengetahuan dan
aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah, yaitu untuk menghindari
ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya material, agar
memberikan kepuasan manusia sehingga memungkinkan manusia melaksanakan
tanggungjawabnya terhadap Tuhan dan masyarakat.
B. Maqasid asy-Syari’ah dalam Tinjauan Teoretis
Maqashid asy-syari’ah dalam kajian ushul fiqh scara kronologis dapat dilacak
dari metode-metode penemuan illat hukum dalam teori qiyas.[5]
Penemuan ‘illat hukum dalam sebuah kasus yang terdapat dalam teks secara
garis besar dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid),
metode-metode yang keabsahannya diakui oleh para jurist, dan dugaan (probable/zhanniyyah
atau mutawahhamah), yang keabsahannya masih bersifat dugaan dan
kemungkinan.[6] Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’
(consensus) dan nass (the text). Nass terbagi
menjadi dua lagi yaitu nass yang eksplisit (sharih) dan implisit
(ima wa tanbih). Sementara itu, metode yang kedua yang bersifat dugaan
ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian), syabah (keserupan), thard
atau tharadi (kebersamaan atau kebetulan), dawran (perputaran),
juga disebut thard wa’aks (kebersamaan dan kespesifikan) dan sabr
wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).[7] Selain metode
tersebut, masih ada perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah dan jenis
lainnya. Misalnya, fuqaha menganggap metode tanqih al-manath
(pembersihan dan dasar ketetapan hukum), tahqiq al-manath (verifikasi
atau realisasi dasar ketetapan hukum) dan takhrij al-manath (pengambilan
dasar ketetapan hukum) dapat digunakan sebagai metode penetapan ‘illat.
Ketiga metode ini ditolak oleh al-Ghazali dan al-Amidi sebagai masalik
al-illat.[8] Keduanya memasukannya dalam ijtihad fi al-‘illat.
Al-Ghazali
sendiri lebih sering menggunakan metode munasabah. Wael B. Hallaq mengatakan
bahwa metode munasabah (kesesuaian) ini banyak dipergunakan al-Ghazali.
Ia menunjukan contoh penggunaan teori ini. Di dalam al-Qur’an, minum anggur
dilarang karena mempunyai sifat memabukan, dan memabukan menghilangkan daya
akal, yang menyebabkan orang mabuk mengabaikan kewajiban-kewajiban agama. Kalau
kita harus mengasumsikan, demi argument, bahwa al-Qur’an tidak melarang
mengkonsumsikan anggur karena hal itu akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi
yang berbahaya. Hal ini sama saja dengan pemikiran atas dasar kesesuain, karena
kita, terlepas dari wahyu, tahu bahwa ada bahaya tertentu untuk membolehkan
mengkonsumsi anggur dan ada keuntungan tertentu muncul dari larangan tersebut.[9] Menurut al-Ghazali kereteria untuk menentukan kesesuaian
atau kelayakan (munasabah) adalah keterkaitannya dengan kemaslahatan.
Artinya, kesesuaian tersebut adalah bahwa ‘illat dimaksud, dilihat dari
segi kemaslahatannya, memang menghendaki ditetapkannya hukum bersangkutan dan al-ausaf
al-munasib (atribut yang sesuai) atau munasib adalah alasan yang
didasarkan pada kemaslahatan. Selanjutnya, munasib ini dibedakan menjadi
3 yaitu: munasib efektif (mu’ashshir), munasib selaras (mula’im)
dan munasib ganjil (garib).[10]
Al-Ghazali
sendiri menegaskan bahwa ‘illat di sini adalah sesuatu yang
disyari’atkan oleh hukum yang mendatangkan kemaslahatan dengan mendatangkan
manfaat dan menolak mafsadat dan ‘illat itu tetap melekat pada
hukum menjadi kemaslahatan ‘ibad.[11] Kemudian ini dikembangkan menjadi maqasyid
asy-syari’ah. Maqasyid ini terbagi menjadi 3 salah satunya adalah dharuriyah
yang mencakup lima hal yaitu menjaga agama misalnya jihad, menjaga jiwa
misalnya pemberlakuan hukum qishash, menjaga akal misalnya dengan
larangan mabuk, menjaga keturunan misalnya dengan larangan zina dan menjaga
harta misalnya dengan larangan mencuri.[12] Selanjutnya, teori maqashid asy-syari’ah ini
mengalami puncaknya setelah berada di tangan imam asy-Syatibi.[13] Ia tetap mempertahankan pembagian maqashid yang
dilakukan al-Ghazali dan bahkan memberikan penjelasan panjang lebar terkait
dengan tujuan Syari’.[14] Selanjutnya teori maqasid ini adalah salah satu
sifat teologi hukum Islam yang dapat dilihat dari tujuan-tujuannya.[15]
Pembahasan
tentang maqashid asy-syari’ah, sebagaiman yang telah disebutkan di atas,
dalam pandangan asy-Syatibi adalah kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun
di akhirat.[16] Dalam ungkapannya ia menegaskan bahwa disyari’atkannya hukum-hukum
adalah untuk kemaslahatan hambah.[17] Adapun maqashid ini dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu merujuk pada maqashid asy-syari’ dan merujuk pada maqashid
al-mukalaf. Dalam sudut pandang maqasyid as-syari’ mengandung empat
aspek, yaitu tujuan awal peletakkan syari’at, syari’at sebagai sesuatu yang
harus dipahami, syari’at sebagai hukum taklif yang harus dilaksanakan, dan
syari’at yang bertujuan membawa mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya.[18] Sedangkan maqashid al-mukallaf membahas empat aspek. Aspek pertama membahas
tentang maslahah, aspek kedua membahas dimensi kebahasaan masalah taklif
yang harus bisa dipahami oleh semua subjek dan dalam masalah ini asy-Syatibi
menjelaskan dua hal, yaitu ad-dalalah al-asliyyah (arti dasar) dan ad-dalalah
al-‘umiyyah (arti yang dipahami oleh masyarakat), aspek ketiga menganalisis
gagasan taklif yang terkait dengan persoalan qudrah (kemampuan), masyaqah
(kesulitan) dan lain-lain, dan aspek keempat mengemukakan aspek huzhuzh
dalam kaitan dengan hawa dan ta’abud.[19]
Cara memahami maqashid
asy-syari’ah dalam pandangan asy-Syatibhi adalah dengan memadukan dua
pendektakan, yaitu pendekatan zahir al-lafz dan pertimbangan makna (‘illat).
Untuk merealisasikan pemikiran ini, ada tiga cara:
- melakukan analisis terhadap lafaz perintah dan larangan.
- penelahan ‘illat al-‘amr dan an-nahy. ‘illat ini dapat ditemukan dalam teks secara tertulis maupun yang tidak tertulis. Untuk kasus pertama, diutamakan untuk mengikuti tujuan yang tertulis sedangkan kasus kedua harus melakukan tawaquf (menyerakan hal ini kepada pembuat hukum) dengan didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu tidak boleh melakukan ta’adi (perluasan cakupan) terhadap apa yang telah ditetapkan nash; dan dimungkinkan untuk melakukan perluasan cakupan nash apabila tujuan hukum dapat diketahui tabi’ah.
- analisis terhadap as-sukut an syar’iyyah al-amal ma’a qiyam al-ma’na al-muqtada lah (sikap diam asy-Syari’). Dalam hal ini ada dua pembagiannya, yaitu as-sukut karena tidak ada motif atau factor pendorong, dan as-sukut walau ada motif dan factor pendorong tabi’ah (sikap diam asy-Syari’ terhadap suatu persoalan hukum, walapun pada dasarnya terdapat faktor dan motif yang mengharuskan asy-Syari’ untuk tidak bersikap diam pada waktu muncul persoalan hukum).[20]
Maqashid
asy-syari’ah yang dikembangkan
asy-Syatibi dibagi menajdi tiga aspek, yaitu bersifat dharuriyyah
(keharusan), hajiyyah (kebutuhan), dan tahsiniyyah (penghiasan). Maqashid
ad-dharuriyyah disebut harus karena maqashid ini tidak bisa
dihindarkan dalam menopang masalih ad-din (agama dan akhirat) dan dunia,
dengan pengertian bahwa jika maslahah ini dirusak maka stabilitas kehidupan
dunia pun menjadi rusak. Kerusakan maslahah ini mengakibatkan
berakhirnya kehidupan dunia ini dan diakhirat ia mengakibatkan hilangnya
keselamatan dan rahmat.[21] Dengan demikian, jika merujuk pada pembagian paradigma teologi
maka pemahman tentang kehidupan manusia di sini cenderung menggunakan paradigma
teologi keadilan Tuhan. Dari paradigma ini kemudian memberikan implikasi
terhadap pemahaman bahwa aturan yang Allah tetapkan kepada manusia tidak
semata-mata menunjukan adanya kekuasaan Allah tetapi memberikan aspek keadilan
bagi kehidupan manusia, yaitu adanya kemaslahatan yang diinginkan.[22] Beranjak dari
sini, kemudian kemaslahatan itu tidak hanya dapat ditemukan dalam ketentuan
wayu yang tertulis tetapi juga yang tidak tertulis seperti keteraturan Alam.
Seperti apa yang dilakukan oleh G.F.
Hourani dengan mengkaji maslahah sebagai konsep etika pada masa Islam
pertengahan. Dia mengamati bahwa ada dua teori nilai dalam medival Islam.
Pertama, teori nilai objektif, yaitu nilai memiliki eksistensi yang
nyata; kedua, teori nilai yang bersifat shistic subjectifism
dimana nilai ditentukan oleh kehendak Allah. Teori objektif dikemukakan oleh Mu’tazilah
sedangkan teori subjektif dikemukakan Asy’ari.[23]
Berpijak pada
permaslahan maslahah ad-daruriyah, disusunlah katagorinya dalam lima
hal, yaitu menjaga kemaslahatan agama (ad-din), jiwa (an-nafs),
keturunan (an-nasl), kekayaan (al-mal) dan intelektual (al-aql)
dengan contoh-contoh yang telah disebutkan. Sedangkan kemaslahatan yang
bersifat hajiyyat disebutkan karena dibutuhkan untuk memperluas (tawassu’)
maqashid dan untuk menghilangkan kekakuan pengertian literal. Artinya
kebutuhan akan hajiyyat adalah sebagai pertimbangan manusia dalam
merumuskan kemaslahatan yang bersifat daruriyyah. Akan tetapi hancurnya hajiyyah
tidak menghancurkan keseluruhan masalih. [24] Dalam bidang
mu’amalah, contoh hajiyyah adalah dibolehkannya qiradh
(menghutangkan uang), musaqat (asosiasi pertanian), dan sebagainya. Adapun
maqashid yang bersifat tahsiniyyah diamksudkan untuk mengambil
apa yang sesuai dan apa yang terbaik dari kebiasaan (adat) dan menghindari
cara-cara yang tidak disukai orang bijak. Tipe ini mencakup pada persoalan
kebiasaan terpuji (etika, moralitas).[25] Dalam bidang mu’amalah contohnya adalah larangan menjual
barang-barang yang najis dan sebagainya. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa ketiga tingkatan
maqashid tersebut mempunyai kaitan dalam sekala prioritas, yaitu
kepentingan primer (daruriyyah) merupakan dasar dan landasan bagi
kepentingan yang lain. Sedangkan kepentingan
skunder (hajiyyah) menjadi penyangga dan penyempurna kepentingan primer.
Sebagai pelengkap (tahsiniyyah) merupakan unsur penopang bagi
kepentingan skunder. Beranjak dari landasan di atas asy-Syatibi kemudian merumuskan
lima ketentuan berikut:
- kepentingan primer (dharuri) adalah asal bagi segala kepentingan yang lain
- kerusakan (ikhtilal) pada kebutuhan dharuri berarti kerusakan bagi kepentingan yang lain secara mutlak
- kerusakan pada kepentingan yang lain tidak berarti merusak kepentingan dharuriyyah
- terkadang kerusakan kepentingan tahsiniyyah atau hajiyyah secara mutlak bisa berakibat rusaknya kepentingan primer
- perlindungan (muhafazah) atas kepentingan tahsiniyyah dan hajiyyah harus dilakukan untuk mencapai kepentingan primer[26]
Bagian yang penting
dari maqashid asy-syari’ah adalah penjelasan tentang tujuan Syari’ membawa
mukhalaf ke bawah naungan hukum-Nya. Tujuan utamanya adalah mengeluarkan
mukhalaf dari dorongan (semata-mata) hawa nafsunya sehingga ia bisa
menjadi hambah Allah secara suka rela (iktiyaran) sebagaimana ia adalah
hambah Allah secara pasti (idziraran). Pengalaman manusia dalam
bermasyarakat menunjukan bahwa masalah ---baik masalah keagamaan maupun
dunia--- tidak bisa dicapai dengan cara mengikuti hawa nafsu dan motif-motif
egois. Asy-syatibi menolak pengidentifikasian maslahah dengan syahwat
(keinginan-keinginan), hawa (hawa nafsu), dan agrad (kepentingan-kepentingan
pribadi).[27]
Jika perbuatan sesuai
dengan tujuan Syari’ maka kesesuaian itu mempunyai dua kemungkinan, yakni
sesuai dengan tujuan utama (maqashid asliyah) dan tujuan sekunder (maqashid
tabi’ah). Yang dimaksud dengan tujuan utama yang tidak memberi tempat bagi
keuntungan pribadi (haz) mukhallaf. Tujuan asal ini adalah lima
kepentingan daruriyah. [28] Sedangkan tujuan sekunder (maqashid tabi’ah)
ialah tujuan yang menyediakan keuntungan pribadi bagi mukhallaf. Dari
arah ini mukhallaf bisa mendapatkan tuntutan-tuntutan alamiah (syahwat)
dan kesenangan yang juga dimaksudkan untuk dipuaskan. Asy-syatibi mengajukan
argumentasi bahwa dalam tujuan sekunder, syahwat merupakan sarana untuk
mencapai dan mengabdi untuk kepentingan tujuan asal. Kalau tujuan asal pada
dasarnya diwajibkan atas mukhallaf tanpa memperdulikan apakah ia menerima
atau menolak, namun tujuan sekunder bisa mendatangkan keutungan dan manfaat
bagi mukhallaf. Dengan demikian, sungguhpun perbuatan mukhallaf
dalam tujuan asal bisa mendatangkan tujuan sekunder, namun yang lebih utama
hendaknya amal itu diarahkan untuk mencapai tujuan asal. Sebaliknya, perbuatannya
dalam memenuhi tujuan sekunder hendaknya diabadikan kepada tujuan asal.[29]
Secara garis besar, apa yang diinginkan asy-Syatibi secara metodologis adalah upaya
penggeseran prosedur metodologis dengan menggunakan prosedur induksi sempurna (istiqra’
tamm), dimana seseorang dapat bergerak dari aturan-aturan partikular ke
arah hukum-hukum universal syari’ah.
Tujuan utama maupun
tujuan sekunder dalam hukum Islam, sebagaimana yang diungkapkan asy-Syatibhi, hanya
dapat diwujudkan dengan mengacu pada pemberlakuan norma yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Pemberlakuan norma ini dikembangkan secara
bertingkat sebagai upaya merealisasikan antara idealitas dan realistas, antara
aturan yang abstrak dan aturan yang praktis. Setidaknya ada tiga tingkatan
norma yang dikembangkan sekarang, yaitu nilai-nilai dasar (al-qiyam
al-asasiyyah), asas-asas umum (al-us al-kuliyyah), dan
peraturan-peraturan hukum konkrit (al-ahkam al-far’iyyah). Nilai-nilai
dasar hukum Islam adalah nilai dasar agama Islam itu sendiri. Nilai-nilai dasar
itu adalah ketauhidan, keadilan, persamaan, kebebasan, kemaslahatan,
persaudaraan, musyawarah, amanah, fadhilah, tasamuh, taawun
dan sebagainya. Dari nilai dasar ini kemudian diturunkan asas-asas umum hukum Islam
yang kemudian diturunkan dalam peraturan konkrit yang kontekstual.[30]
Rumusan ini adalah pertingkatan norma sebagai teori pendekatan dalam ushul
fikih. Teori ini juga dapat digunakan untuk menemukan konsep ekonomi Islam.
C. Ekonomi Islam: Pengertian dan
Prinsip
Memahami makna ekonomi
dalam Islam dimulai dari pelacakan kata ekonomi (al-iqtishad). Dalam literatur
Arab disebutkan al-qashd (ekonomis) berarti kelurusan cara,[31]
dan al-qashd (ekonomis) juga bermakna adil atau keseimbangan.[32]
Kata al-iqtishad kalau digandengkan dengan kata al-ilm menjadi ‘ilm
al-iqtishad berarti ilmu yang berkaitan dengan atau membahas ekonomi. Secara
terminologi, para pakar ekonomi Islam, menurut catatan Abdul Husein at-Tariqi,
mendifinisikan secara beragam, antara lain: pertama, Muhammad bin Abdullah
al-Arabi mendifinisikan bahwa ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip
umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an, sunnah, dan pondasi
ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan
kondisi lingkungan dan waktu. Kedua, menurut Muhammad Syauki al-Fanjari
adalah segala sesuatu yang mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai
dengan pokok-pokok Islam dan politik ekonominya. Ketiga, menurut at-Tariqi sendiri adalah ilmu tentang
syari’ah aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci tentang
persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan cara-cara
mengembangka harta.[33]
Pengertian yang agak
panjang dikemukakan oleh Umar Chafra. Ia mendifinisikan ekonomi Islam sebagai cabang
ilmu pengetahuan yang membantu untuk mewujudkan kesejahteraan manusia melalui
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka sesuai dengan al-iqtishad
asy-syar’iyah atau tujuan ditetapkan syari’ah tanpa mengekang kebebasan
individu secara berlebihan-lebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi
dan ekologi, atau melemahkan institusi keluarga dan solidaritas sosial juga
jalinan etika moral dalam kehidupan masyarakat.[34] Pengertian
terakhir ini nampaknya berusaha melihat makna ekonomi Islam dari sisi tujuan
syar’i yang dalam pembahasan ushul fiqh disebut maqashid asy-syari’ah. Memang
secara etimologi antara kata ekonomi (iqtishad) dan maqashid
memiliki akar kata yang sama, sehingga setidaknya
dua kata ini memiliki hubungan yang kuat. Dengan demikian, ekonomi dalam
istilah Islam sekalipun tidak diberi embel-embel Islam langsung dapat dimaknai
sebagai suatu sistem perekonomian yang memiliki tujuan tertentu. Tujuan
tertentu ini lebih beroreantasi pada kesejahteraan umat manusia pada umumnya
dan umat Islam pada khususnya, tanpa menolak adanya kepemilikan pribadi.
Semacam ramuan antara sistem ekonomi kapitalis sebagian dan sistem sosialis
sebagain lainnya.
Dari berbagai
pendifinisian tersebut, dapat dilihat bahwa landasan filosofis ekonomi dalam Islam
berawal dari persepsi yang dibangun Islam yang memandang manusia sebagai
makhluk Allah yang semua perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan di
kemudian hari. Ini adalah dasar keimanan yang tidak dimiliki oleh sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis. Oleh karena itu, bagi manusia yang beriman
tidak ada kompetisi murni tetapi mengutamakan kerja sama. Karena untuk
mewujudkan kesejahteraan umat akan sulit dicapai jika menggunakan prinsip
kompetisi dalam pengertian negatif. Sebagaiman sistem ekonomi kapitalis yang memberikan
kuasa terhadapa alat-alat produksi pada individu, sistem ekonomi Islam juga
memperbolehkan penguasaan terhadap alat-alat produksi secara individu dan juga
memberikan kebebasan manusia untuk berusaha. Namun, yang paling pokok dari
penguasaan alat produksi dan kebebasan berusaha dalam ekonomi Islam adalah
menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Sebagaimana firman Allah yang menegaskan bahwa dalam harta kekayaan umat Islam
itu terdapat hak orang miskin sehingga ada kewajiban sosial yang harus dipenuhi
terkait dengan persoalan harta, yaitu zakat, sedekah dan sebagainya. Di sinilah
arti pentingnya keseimbangan dan upaya menyejahterakan umat secara keseluruhan
agar harta itu tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang mampu secara
ekonomi, tetapi bagaimana orang yang mampu tersebut dapat membantu ekonomi
masyarakat miskin. Tidak hanya itu, tujuan yang terpenting dalam ekonomi Islam
adalah menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber daya
material agar memberi kepuasan manusia sehingga memungkinkan manusia
melaksanakan tanggungjawabnya terhadap Allah dan masyarakat.[35]
Misalnya, Islam dalam melarang riba tidak hanya mendasari pada landasan
teologis tetapi juga melihat dari sisi humanitas, yaitu menghindari eksploitasi
yang kuat atas yang lemah, dan menekankan kesejahteraan yang adil.[36]
Ini adalah dasar ekonomi Islam dalam pertingkatan norma yang paling atas.
Berdasarkan landasan
filosofis tersebut, dapat dilihat beberapa karakter yang melekat pada ekonomi Islam,
yaitu melandaskan pelaksanaanya pada agama atau ketuhanan, adanya unsur keberimbangan atau pertengahan, mengutamakan
prinsip berkeadilan atau berkecukupan, dan mengutamakan keberkahan dan pertumbuhan
ekonomi yang sehat.[37] Karakter ini
kemudian diturunkan dalam prinsip ekonomi Islam. Ada lima prinsip dasar yang
dikembangkan pemikir muslim, yaitu prinsip dasar beraktifitas hukumnya boleh
sampai ada peraturan yang secara jelas dan tegas melarangnya, prinsip kerelaan
menjadi dasar keabsahan seluruh aktifitas muslim yang berhubungan dengan orang
lain sebagai mitra kerja, prinsip kemanfaatan dalam bermuammalah
mengindikasikan adanya nilai guna terhadap para pelaku sebagai akibat hukum dan
kekuatan hukum yang dikehendaki, perinsip keadilan mengarah pada prilaku pelaku
usaha untuk melakukan aktifitasnya dengan cara yang sehat, fair dan
menghindari tindakan yang dapat merugikan orang lain, dan prinsip bebas bunga
merupakan teori yang diterapkan karena adanya indikasi eksploitasi terhadap
orang lain sehingga menghilangkan nilai keadilan.[38]
Prinsip-prinsip tersebut menjadi asas-asas dalam ekonomi Islam yang merupakan
pertingkatan kedua dalam norma hukum.
Pada dataran praktis,
ekonomi Islam didasarkan pada beberapa prinsip yang saling menyatu.[39]
Pertama, kerja. Prinsip ini didasarkan pada kesadaran bahwa sumber daya
manusia merupakan sumber daya yang bernilai tinggi. Dengan bekerja orang dapat
menopang hidup secara mandiri dan sekaligus menghindari perbuatan yang mubazir
atas sumber daya yang ada. Dorongan untuk bekerja inilah yang mendorong manusia
untuk membuat kerja sama dengan pihak lain. Kedua, efisiensi. Maksudnya
adalah menghilangkan pemborosan (the absence of wasting) sebagaimana
yang ditegaskan Allah dalam surat al-isra’ ayat 27
.¨bÎ)
tûïÍÉjt6ßJø9$#
(#þqçR%x.
tbºuq÷zÎ)
ÈûüÏÜ»u¤±9$#
( tb%x.ur
ß`»sÜø¤±9$#
¾ÏmÎn/tÏ9
#Yqàÿx.
yang berimplikasi pada pemahaman bahwa tidak ada sumber
daya yang tidak dapat dimanfaatkan sehingga agen-agen ekonomi yang tidak dapat
menggunakan aset akan menemukan pihak-pihak lain yang menjadi partener yang
dapat mengerjakan aset tersebut. Ketiga, profesional. Maksudnya para
ekonom Islam harus memiliki keterampilan tinggi dalam mengolah perekonomian
yang mensejahterakan. Keempat, kerjasama. Kelima, persaingan
dalam pengertian positif. Kompetisi di sini tidak diartikan sebagaima
pengertian dalam sistem ekonomi kapitalis dimana mereka saling berkompetisi
dengan jalan meraup kekayaan sebanyak-banyaknya dan menindas pihak-pihak lemah
sebagai lawan. Kompetisi diarahkan sebagai upaya pemacu umat untuk lebih
agresif membaca peluang bisnis dan menciptakan dinamikan ekonomi Islam yang
lebih hidup. Ketuju, keseimbangan. Dengan mengacu pada prinsip baik secara umum
maupun lebih khusus, ekonomi Islam telah memberikan instrumen dasar sebagai
upaya untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat, yaitu penghapusan riba,
pelembagaan zakat, pelarangan gharar dan pelarangan sesuatu yang haram.
Secara menyuluh,
ekonomi dalam Islam memiliki hubungan yang terikat dengan komponen Islam lainnya,
yaitu akidah, syari’ah, dan moral. Dalam tataran aqidah dapat dilihat
pandangan-padangan manusia Islam terhadap manusia, harta, alam, perbuatan
manusia dan sebagainya. Begitu juga dengan hubungannya dengan syari’ah, yaitu
mengkaitkan segala perbuatan ekonomi dalam Islam menjadi ibadah (perbuatan taat
kepada Allah), perbuatan luhur dan mengandung pengawasan ketat.[40]
Begitu pula kaitannya dengan persoalan moral yang dalam aktivitas ekonomi Islam
ditandai dengan beberapa hal, yaitu larangan terhadap pemilik dalam penggunaan
hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan
masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, larangan menimbun, dan
larangan melakukan pemborosan.
Relasi pertingkatan
norma yang ditunjukan dalam ekonomi Islam memberikan indikasi bahwa pencapaian
tujuan kemaslahatan dalam kehidupan ekonomi memerlukan persiapan metodologi
yang matang. Sehingga apa yang menjadi dasar sejalan dengan asas dan dapat
diturunkan dengan baik dalam wilayah
praktis. Pada dataran praksis ini kekuatan geo-ekonomi harus sejalan dengan
geo-politik sehingga pelaku ekonomi Islam dapat menyusun startegi ekonomi yang
dapat mencapai tujuan-tujuan pokok dalam Islam.
D. Landasan Ekonomi Islam dan
Integrasi Keilmuan
Dalam berbagai
penjelasan suatu ilmu yang didasarkan pada Islam, landasan pertama yang paling
penting adalah landasan doktrinal (atau kalau tidak setuju dengan doktrinal
maka kita gunakan the highest wisdom of god). Dalam al-Qur’an
setidak-tidaknya ada tiga dasar pemikiran ekonomi, yaitu Al-Hasyr (59) ayat 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t
P's!rß
tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB
4
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur
©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx©
É>$s)Ïèø9$#
[41]
Kemudian Az-zariyat (51): 19
Kemudian al-Baqarah (2): 275;
úïÏ%©!$#
tbqè=à2ù't
(#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx.
ãPqà)t
Ï%©!$#
çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$#
4
y7Ï9ºs
öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s%
$yJ¯RÎ)
ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù
¼çnuä!%y`
×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù
¼ã&s#sù
$tB
y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î)
«!$# ( ïÆtBur y$tã
y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r&
Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz [43]
Disamping landasan
doktrinal, ekonomi Islam juga memiliki landasan idiologis. Secara idiologi
ekonomi Islam berkaitan dengan kepentingan pemberdayaan ekonomi umat menghadang
kapitalisme global. Dengan demikian, ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi
alternatif bagi mereka yang terbiasa dengan ketidakadilan sistem ekonomi kapitalis
atau keanehan sistem ekonomi sosialis, dan menjadi sistem ekonomi utama bagai
umat Islam. Kondisi real umat Islam selama ini yang terjadi berkutat dalam tiga
problematika yang sama sulit untuk diselesaikan, yaitu persoalan kemiskinan,
kebodohan, dan ketidakadilan. Dengan demikian konsep ekonomi Islam harus
memiliki kejelasan dan menemukan bentuk oprasional yang tidak hanya dalam
bentuk konsep tetapi juga dengan dukungan kekuasaan politik dan kekuatan sumber
daya manusia yang berkualitas, dana yang besar dan komitmen agama yang tinggi.[44]
Landasan berikutnya
dalam ekonomi Islam yang perlu dipahami adalah landasan filosofis dalam dataran
aksiologinya. Dalam kajian filsafat, aksiologi dipahami sebagai ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai [45] Dalam kajian
tentang nilai setidaknya ada tiga nilai yang sering dikemukakan, yaitu nilai
benar-salah yang kemudian dikenal dengan nilai logika atau nilai kebenaran,
nilai baik dan jahat yang kemudian dikenal dengan nilai etika atau nilai
kebaikan, dan nilai indah dan jelek yang dikenal dengan nilai estetika atau
nilai keindahan.[46]
Landasan aksiologi ini terdapat dalam ekonomi Islam dengan mengacu pada
petunjuk ajaran Islam itu sendiri. Pertama, landasan logika Islam yang
berbasis dua penilaian, yaitu ketidakadilan sistem kapitalisme, dan kesenjangan
dehumanisasi sistem komunis yang sosialis. Ekonomi Islam menawarkan jalam
tengah ummatan wasath sebagai saksi sebagaiman yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 143 dan mengusung moral nahy munkar yang diiringi amal
ma’ruf sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali-Imran ayat 110.
Kedua, landasan estetika yang berporos pada tiga komponen,
yaitu individu, masyarakat dan negara. Individu dalam Islam dijelaskan bahwa
manusia sebaik-baiknya bentuk ciptaan ahsana taqwim. Aspek masyarakat
yang membentuk proses perekonomian umat dijelaskan sebagai khoiro ummah
umatan wasath yang menjunjung moral, spritual dan intelektual. Sedangkan
aspek negara dijelaskan bahwa baldah thoyyibah wa robb ghofur. Komponen
inilah dengan nilai-nilai yang ditunjukan Islam sebagai landasan estetika
ekonomi Islam.
Ketiga, landasan etika.
Landasan ini berbasis pada aspek maqashid asy-syari’ah dimana
ekonomi Islam dalam menentukan nilai-nilai kebaikan berlandaskan pada lima
aspek sebagai acuan, yaitu hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz an-nasl, hifz
al-mal, dan hifz al-aql. Dalam wilayah inilah bertemunya
tujuan syari’ sebagai acuan pembentuk ekonomi Islam yang syarat dengan nilai.
Model etika ini menempati posisi sentral. Bahkan, sekalipun berbagai ketentuan
al-Qur’an harus diterapkan oleh lembaga negara, ia pun harus berlandaskan
antropologi: manusia, makhluk yang memiliki berbagai kebutuhan, harus mengatur
berbagai kegiatannya sesuai dengan model yang bermoral ---seperti yang
dicontohkan oleh nabi. Sebagimana cita-cita masyarakat Islam, menurut Bani
Shadra, adalah “untuk berproduksi sesuai dengan kemampuan masing-masing dan
mengkonsumsi sesuai dengan ketakwaan. Sebab, hanya pembatasan konsumsi inilah
yang bisa menjamin adanya surplus serta redistribusi---secara sukarela dan otomatis
bagi mereka yang mengikuti jalan ketakwaan.[47]
Dengan demikian,
kebangkitan Islam dalam bidang ekonomi bukan hanya akibat dari perasaan
keterasingan dalam bidang ekonomi atau penolakan terhadap proyek sistem ekonomi
moderen yang kapitalis, sosialis atau sebagainya, tetapi, lebih jauh lagi, merupakan
munculnya Islam sebagai bagian penting dari idiologi ekonomi itu sendiri.
Struktur ekonomi suatu negara Islam adalah bagian integral dari hubungan
organik agama dan negara. Namun sekalipun demikian, ekonomi umat Islam harus
mempunyai visi ekonomi kolektif sehingga simbol-simbol keagamaan tidak hanya
dijadikan simbol sebagai kepentingan ekonomi tertentu yang notabene-nya
tidak menguntungkan umat.
Dalam analisa-analisa
kebangkitan Islam dalam lapangan ilmu pengetahuan, yang ditandai dengan
munculnya berbagai teori integrasi keilmuan, ilmu ekonomi Islam merupakan
contoh terbaik adanya integrasi Islam dengan ilmu. Untuk menggerakan usaha
tersebut, ilmu ekonomi Islam telah mempersiapkan dirinya dalam empat langkah sebagai
proses pengintegrasian Islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi:
- Membangun paradigma. Sebagai ilmu, ekonomi Islam harus memiliki paradigma tersendiri.
- Pengembangan dari teori-teori ilmu. Tiap-tiap ilmu memiliki teori dan kemudian teori-teori yang ada dinilai lagi untuk diterima atau ditolak. Mislanya, prilaku konsumen. Orang akan berbelanja akan rasional dengan mempertimbangkan kepuasan, namun semangkin banyak penggunaannya semangkin berkurang kepuasaan tersebut.
- Melalui pengembangan metodologi
- Melalaui pengembangan prosedur-prosedur tekhnis. Pada dataran ini yang sudah ada (konvensional) akan dilihat apakah sesuai dengan Islam atau tidak. Kalau belum sesuai kemudian disesuaikan.[48]
Ragaan 1:
Proses integrasi Islam ke dalam konstruksi ilmu ekonomi
Proses
Integrasi
Integrasi nilai
Pengujian pernyataan
ke dalam
konstruksi
deskriptif Islam untuk
ilmu ekonomi
memperkokoh ilmu
ekonomi
Islam
1)
perumusan paradigma
2)
perumusan teori
3)
peumusan
metodologi
4)
perumusan prosedur
tehnis tertentu
Keempat
langkah-langkah tersebut adalah sebagai prosedur agar ilmu ekonomi Islam
diterima tidak hanya sebagai ilmu yang abstrak tetapi juga memiliki landasan
epistemologi dan real. Langka pertama dan kedua dalam perkembangan sekarang
sudah dirumuskan sedemikian rupa. Langkah ketiga dan
keempat masih dalam tahapan pengkajian. Misalnya tawaran-tawaran integrasi ilmu
dan agama yang dapat dijadikan pegangan adalah model Louay Safi dan Anas
Az-Zarqa.[49]
E. Aplikasi Maqashid asy-Syari’ah dalam Ilmu
Ekonomi Islam
Masuknya teori maqashid
asy-syari’ah dalam wilayah ekonomi Islam dapat ditemukan secara langsung
dalam landasan etika. Para pelaku ekonomi tidak hanya dituntut untuk dapat
menguasai sumber-sumber ekonomi yang strategis tetapi juga memanfaatkannya
untuk kepentingan umat dengan mengacu pada kemaslahatan dharuriyah, hajiyyah,
dan tahsiniyyah. Dengan demikian, bagi kajian ekonomi teori maqashid
asy-syari’ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan sebagai
konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan
berketuhanan di sisi lain. Selain itu, kemudian akan dipahami kemaslahatan
sebagai kebutuhan manusia termasuk juga dikaitkan dengan lapangan ekonomi akan
mengikuti teori-teori ekonomi yang sesuai dengan pencapaian visi dan misi
Islam. Dalam hal ini, Survei-survei perkembangan soaial dan kondisi real dalam
masyarakat serta inferensi tekstual harus dijadikan acuan dalam menentukan
strategi ekonomi.
Secara singkat
ketentuan di atas dijelaskan sebagai berikut: untuk menyelamatkan harta, Islam
mensyari’atkan hukum-hukum mu’amalah dan menjalankan aktifitas ekonomi
disamping melarang langkah-langkah yang merusaknya seperti kecurangan.
Ketentuan ini tentunya berkait dengan ketentuan untuk memelihara jiwa karena
tujuan menjalankan aktifitas mu’amalah juga bertujuan memelihara kehidupan.
Kemudian ia juga berkait dengan ketentuan menjaga keturunan secara tidak
langsung. Berkaitan secara langsung dengan ketentuan menjaga agama karena
nilai-nilai dasar dalam hukum mu’amalah diambil dari dasar agama yang bersifat
universal. Sementara ketentuan untuk menjaga harta ini juga berkaitan dengan
ketentuan untuk menjaga akal karena kecenderungan untuk memuaskan kebutuhan hidup
secara berlebih-lebihan membuat orang kehilangan akal.
Demi melancarkan
tujuan menjalankan aktifitas ekonomi dibutuhkanlah berbagai fasilitas bela
harta. Misalnya per-bank-kan, lembaga pegadaian, lembaga asuransi, baitul maal
wattamwil, dan sebagainya. Tanpa lembaga ini, kegiatan pemutaran uang bisa saja
dilakukan. Misalnya dengan menyimpan uang di rumah atau melakukan usaha kecil,
atau meminjam uang kepada orang lain. Namun, dengan kehadiran lembaga-lembaga
ini sangat membantu masyarakat untuk mengelolah, menyimpan dan memutar
keuangannya. Pada tahap tersier, pilihan untuk menentukan bank mana yang
diinginkan diserahkan kepada kemantapan dan kemampuan lokal. Atau model lembaga
pegadaian apa dan model asuransi apa yang diinginkan diserahkan sesuai dengan
kemantapan masing-masing. Namun, model lembaga yang diinginkan tidak boleh
keluar dari nilai-nilai dasar Islam dan asas-asas dasarnya. Sehingga
pengembangan lembaga-lembaga tersebut yang benar-benar mengakomodir nilai dan
asas dasar perekonomian Islam menjadi kebutuhan yang mendesak (daruriyyah)
sebagai upaya menjaga harta, yaitu kehalalan, kesucian dan proses yang benar.
Untuk menuju lembaga
di atas, dibutuhkan prosedur yang baik. Pilihan untuk menentukan prosedur
diserahkan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sedangkan model prosedur
yang harus dijalankan adalah pilihan masyarakat Islam untuk berkreasi. Di sini,
kreatifitas ekonom Islam dituntut lebih keratif untuk mengembangkan model-model
ekonomi yang dapat menjangkau dua sisi. Sisi pertama, memberikan suatu model sederhana mengenai
prilaku manusia dan untuk menjamin suatu pola yang dapat diramalkan dari
tingkah laku pasar, bukan spekulasi,[50] manusia ekonomi
dianggap sebagai rasioanal dalam seluruh tindakan sekalipun dalam realitasnya
tidak seluruh tindakannya rasional. Rasionalitas, yang merupakan jantung ilmu
ekonomi neo-klasik, adalah asumsi fundamental model ekonomi dalam teori
moderen. Sisi kedua, memberikan dasar metafisik, yaitu prinsip-prinsip
trasendental yang telah mendorong kelahiran ilmu terus membentuk fondasi
metafisik bagi kelimuan, suatu fondasi yang diasumsikan secara luas meskipun
jarang dinyatakan.
Berikut ini akan
ditampilkan contoh aplikasi maqashid asy-syariah dalam wilayah ekonomi.
Misalnya persoalan investasi dan bagi hasil. Dalam kajian ekonomi Islam ada dua
model bagi hasil yang berkembang, yaitu al-musyarakah dan al-mudharabah.[51]
Kedua model ini sama-sama diperbolehkan (mubah). Yang disebutkan pertama adalah
kerjasama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko
ditanggung bersama. Sedangkan yang disebutkan terakhir adalah akad kerjasama
usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelolah.
Al-mudharabah atau investasi satu orang menarik untuk dicermati. Dalam
dataran teoritis, mudharabah ini hasil usahanya akan dibagikan
berdasarkan nisbah yang disepakati.[52] Sedangkan kerugian
usaha yang tidak disebabkan kelalaian pihak pengelolah dana akan ditanggung
sepenuhnya oleh penyedia dana (investor). Mudharabah merupakan salah
satu produk yang ditawarkan dalam perbankan syari’ah.
Dalam kasus-kasus
tertentu yang merupakan sektor ekonomi rakyat seperti pertanian yang mungkin
keuntungannya hanya 6% setahun, khususnya konteks Indonesia, bagi hasil ini
akan membantu di sektor pertanian yang memang memerlukan subsidi pemerintah.
Namun, dalam kasus investasi khusus dimana pemilik modal dapat menetapkan syarat
tertentu yang harus dipenuhi bank, misalnya modal disyaratkan untuk diinvestasikan
pada usaha real estate yang memiliki keuntungan 36% setahun seperti yang
terjadi di Timur Tengah, maka bagi hasil akan menjadi eksploitasi pemilik modal
dalam bisnis ini.[53] Misalkan orang
kaya di negara-negara dengan ekonomi kuat di dunia akan bersedia masuk ke
Indonesia untuk investasi real estate. Dengan demikian, berarti pemerintah
Indonesia membiarkan modal nasional tersisihkan dari sektor yang sangat
menguntungkan. Dalam konteks seperti ini, para ekonom Islam harus melakukan
riset sejauh mana telah terjadi kesewenang-wenangan. Pertimbangan prinsip
keadilan dalam berusaha yang merupakan prinsip dasarnya, pada usaha ini tidak
dilanggar. Begitu juga pada asas usaha yang bebas bunga juga tidak dilangggar.
Namun, jika bagi hasil yang merupakan kesepakan investor dengan pemerintah yang
36% keuntungan itu dibagi sama jelasnya tidak memberikan kemaslahatan bagi umat,
karena kekayaan yang hanya berputar pada pemilik modal dalam jumlah yang sangat
besar.
Pada dasarnya, menjalankan
bisnis apapun dengan model mudharabah diperbolehkan namun apabila sebagian
besar investor hanya membidik bidang-bidang ekonomi yang berkeuntungan besar
tentunya, dalam batas-batas tertentu, tidak membawa kemaslahatan bagi perkembangan
usaha kecil. Karena dalam etika ekonomi Islam kekayaan tidak boleh beredar di kalangan
orang kaya saja. Kemudian ekonomi Islam menjunjung nilai-nilai yang
memungkinkan kaum mukmin bukan saja menikmati hal-hal duniawi, tetapi juga
menghasilkan kemakmuran masyarakat dan kemajuan perekonomian. Dengan kata lain,
ekonomi dijadikan alat bukan tujuan. Dengan demikian, sekalipun model mudharabah
diperbolehkan dalam ekonomi Islam, namun harus ada riset-riset lebih jauh lagi
dalam tataran penerapan. Apakah ada penyimpangan, ketidaksesuaian atau kesewenang-wenangan.
Sehingga secara konseptual bukan akad yang dipermasalahkan tetapi kemungkinan
adanya penyimpangan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang menjadi
pertimbangan.
Contoh lain penerapan
maqashid syari’ah dalam kegiatan ekonomi adalah dengan memaknai ulang kemaslahatan
manusia sebagai kebutuhan manusia. Ada
lima kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan agama, kebutuhan jiwa, kebutuhan
menjaga keturunan, kebutuhan akal, dan kebutuhan menjaga harta. Misalnya
kebutuhan dalam kontek ekonomi disebutkan bahwa ada kebutuhan dharuriyah
dalam melaksanakan ibadah, yaitu perlengkapan ibadah yang minimal, sedangkan
tambahan dengan segala macam aksesoris ibadah merupakan kebutuhan hajjiyah
dan tahsiniyah. Peran produsen Islam adalah membidik peluang-peluang ini
untuk dijadikan sebagai lahan bisnis yang baik. Kebutuhan
menjaga jiwa diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan
papan. Kebutuhan paling minimal untuk tiga jenis kebutuhan tersebut merupakan
kebutuhan dharuri. Sedangkan tambahan kebutuhan yang menjamin hidup
lebih baik adalah kebutuhan hajiyyah dan kebutuhan tahsiniyyah,
yang menjamin kehidupan lebih mudah.
F. Penutup
Konsep ekonomi Islam adalah
satu keniscayaan yang harus dikembangkan lebih jauh lagi. Bukan hanya dalam
dataran konseptual tetapi juga dalam dataran praktis. Islam telah menyediakan
sumber-sumber tekstual yang memadai untuk memberikan batasan prilaku manusia,
termasuk juga dalam lapangan ekonomi, namun hal itu tidak cukup jika tidak
diimbangi dengan inferensi sosial. Adanya teori maqashid asy-syari’ah
dalam kajian pereokonomian Islam merupakan langkah maju dalam pengembangan
model ekonomi Islam, namun sekali lagi untuk menemukan model ekonomi Islam yang
paling ideal, tentunya, hal ini belum cukup. Dengan demikian, adalah tugas bersama
antara pakar hukum Islam (ushul fikih) dan pakar ekonomi untuk berijtihad
mengembangkan model ekonomi Islam yang lebih membumi.
BIBLIOGRAFI
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996
Anwar,
Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, RM. Books, 2007
________,
“Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,” dalam dalam
Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000
________,
Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam kumpulan makalah
Metodologi Studi Islam, 2007 (tidak diterbitkan)
________,
“Ekonomi dalam Studi Keislaman”, Makalah tidak diterbitkan
Arif,
Abd. Salam, Bank Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat, dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000
Arkoun,
Muhammad, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung:
Pustaka, 2000
Asy’ari, Musa, “Ekonomi Islam dan Kemiskinan” Makalah
disampaikan dalam seminar nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syari’ah
dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, 15 Maret 2007
Chafra, M. Umar, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah
Tinjauan Islam, alih bahasa: Ikhwan Abidin, Jakarta: Gema Insani Press,
2001
Djamil, Fathurrahman, “Hubungan Antara Konsep Baik dan
Buruk dalam Kalam dengan Konsep Maslahat dalam Hukum Islam,” dalam Al-Jami’ah
Journal of Islamic Studies, no. 63/VI/1999
Eldine, Achyar, “Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam”, dalam
situs http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm.
akses tanggal 1 Oktober 2007
Ghazali, Muhammad al-, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul,
jilid 2, ttp: Dar al-Fikr, tt
Hanafi, Syafiq Mahmadah, “Hutang Luar negeri antara
Kebutuhan Rasional dan Kebutuhan Etis,” dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu
Syari’ah, No. 7 Th. 2000
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar
untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E.Kusnadiningrat dan Abdul
Haris bin Wahid, cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Hasan,
Ahmad Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical
Principle of Qiyas, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para
Mujtahid, alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka
Amani, 2002
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul
Fikih, ttp.: Amzah, 2005
Kamali, Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-teori Hukum
Islam, alih bahasa: Noorhaidi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Kattsof, Louis O., Pengantar Filsafat, alih
bahasa: soejono soemargono, cet. Ke-ix, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004
Ma’luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A’lam, Bairut:
Dār al-Masyriq, 1998
Mas’ud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam: Studi
Tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih bahasa: Ahsin
Muhammad, Bandung: Pustaka 1996
Mas’ud,
Muhammad Khalid, Shatibi’s Philoshopy of Islamic Law, Delhi: Adam
Publisher and Distributors, 1997
Muchtar,
Kamal, dkk, Ushul Fiqh jilid 1, Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995
Muhajir,
Noeng, Filsafat Ilmu Kualitatif & Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan
Penelitian, edisi III, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006
Naqvi, Sayed Nawab Haider, Etika dan Ilmu Ekonomi:
Suatu Sintesis Islami, Bandung: Mizan, 1993
Raissouni, Ahmad ar-, Nazariyat al-Maqashid ‘Inda
al-Imam asy-Syatibhi, Herndon: The International Institute of Islamic
Thought, 1995
Roy,
Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, alih bahasa:
Hari Murti dan Qomaruddin, Jakarta: Serambi, 1996
Santoso, Listiyono, “Purna Wacana: Postmodernisme:
Keritik Atas Epitemologi Moderen, dalam Listiyono santoso, dkk., Epistemology
Kiri, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2003
Sawit, M. Husein, “Kata Pengantar” dalam Goenawan
Mohammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1, Yogyakarta: UII
Press, 1999
Scacht,
Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press,1950
Salih,
Muhammad Adib, Masdhar at-tasyri’ al-Islami wa manahij al-Istinbath, Kairo:
Dar al-Fikr, ttp.
Safi,
Louay, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and
Western Methos of Inqury, Slangor: International Islamic University
Malaysia Press dan International Instritute of Islamic Thought, 1996
Sholeh,
Khatib, “Fikih Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syari’ah Syatibi,” dalam Gerbang
Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03. nomor II, Juli-September
1999
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah:
Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia, 2002
Syafi’I, Muhammad Idris asy-, ar-Risalah li al-Imam
al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani,
Kairo: Dar al-Fikr, 1969
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997
Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-, Al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam, cet ke-3, IV jilid, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997
Tariqi, Abudllah Abdul Husein at-, Ekonomi Islam:
Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih bahasa: M.Irfan Syofyan, Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004
Wahyudi, Yudian, Maqashid syari’ah dalam Pergumulan
Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga, Yogyakarta:
Nawasea, 2006
_______Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam
dari Kanada dan Amerika, Yogyakarta: Nawasea, 2006
Ya’fi, Ali, Fikih Perdagangan Bebas, Jakarta:
Teraju, 2003
Yuslem, Nawir, “Maqasid al-Syariah Al-Ghazali tentang
Pengembangan Hukum Islam,” dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas
Sosial di Mata Intektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi,
2005
* Penulis adalah Dosen
STIH Pertiba Pangkalpinang, alamat: Jl.Kampung Melayu Rt.05/Rw.02 Tuatunu Indah
Kota Pangkalpinang, e-mail: juan_diey100384@yahoo.com
[1] Musa Asy’ari,
“Ekonomi Islam dan Kemiskinan” Makalah disampaikan dalam seminar
nasional tentang Peran Strategi Ekonomi Syari’ah dalam Akselerasi Pengentasan
Kemiskinan di Indonesia 2007
[2] Fondasi
filosofis sistem ekonomi kaptalis adalah manusia dianggap sebagai makhluk
individualis atau egois. Dasarnya adalah kebebasan individu dalam kepemilikan
alat produksi (privat ownership) dengan paradigma ekonomi pasar untuk
saling berkompetisi. Faham Kapitalisme berasal dari Inggris abad 18, kemudian
menyebar ke Eropa Barat dan Amerika Utara.
Sebagai akibat dari perlawanan terhadap ajaran gereja, dan tumbuhnya
aliran pemikiran liberalisme di negara-negara Eropa Barat. Aliran ini kemudian
merambah ke segala bidang termasuk bidang ekonomi. Dasar filosofis pemikiran
ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry
into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun
1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran
tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi
sistem ekonomi, dan pada akhirnya kemudian mengakar menjadi ideologi yang
mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Sedangkan
sistem ekonomi sosialis landasan filosofisnya menempatkan kepemilikan alat
produksi dikuasai secara bersama (collective ownership), dan kalau
dibebaskan kepemilikannya kepada individu, akan memunculkan persoalan baru yang
lebih serius yaitu eksploitasi sesama individu atau golongan dalam masyarakat.
Diilhami pendapat Hegel yang menyatakan bahwa perubahan historis merupakan
hasil kekuatan-kekuatan yang bertentangan satu sama lain. Pertentangan tersebut
pada dasarnya bersifat ekonomis atau materialistis, dengan demikian
faktor-faktor ekonomi menurut Marx mejadi sebab pokok terjadinya
perubahan. Kata Komunisme secara
historis sering digunakan untuk menggambarkan sistem-sistem sosial di mana
barang-barang dimiliki secara bersama-sama dan didistribusikan untuk
kepentingan bersama sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Produksi dan konsumsi
bersama berdasarkan kapasitas ini merupakan hal pokok dalam mendefinisikan
paham komunis, sesuai dengan motto
mereka: from each according to his abilities to each according to his
needs (dari setiap orang sesuai dengan kemampuan, untuk setiap orang sesuai
dengan kebutuhan). Oleh karena itu, sistem ekonomi ini adalah marxis dan
bukan ekonomi pasar. Lihat: Achyar
Eldine, “Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam”, dalam situs http://www.uika-bogor.ac.id/jur07.htm.
akses tanggal 1 Oktober 2007. Lihat juga: M. Husein Sawit, “Kata Pengantar”
dalam Goenawan Mohammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam, ed. 2, cet. 1
(Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. viii-ix
[3] Listiyono
Santoso, “Purna Wacana: Postmodernisme: Keritik Atas Epitemologi Moderen, dalam
Listiyono santoso, dkk., Epistemology Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press,
2003), hlm. 318. Yang paling menonjol
adalah munculnya sejumlah gagasan tentang islamisasi pengetahuan yang salah
satunya dikemukakakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi. Gagasan ini terletak pada
wilayah epistemology keilmuan islam, yaitu integrasi antara pengetahuan barat
dan warisan Islam. Kemudian dikembangkan
oleh Louay Safi dengan model pendekatan
integrative atau terpadu hokum islam dan social. Lihat: Louay Safi, The Foundation
of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and Western Methos of Inqury
(Slangor: International Islamic University Malaysia Press dan International
Instritute of Islamic Thought, 1996),hlm. 171-96. Lihat juga: model pendekatan
Louay Safi dan Muhammad Anas az-Zarqa dalam Syamsul Anwar, Pendekatan
Integratif dalam Hukum Islam, dalam Metodologi Hukum Islam,
(kumpulan makalah tidak diterbitkan).
[4] Maqashid asy-syari’,
maqashid asy-syari’ah, dan maqashid asy-syar’iyah
mempunyai konotasi yang sama yang secara etimologi tersusun dari dua kata,
yaitu maqashid dan asy-syari’ah dengan berbagai derivasinya. kata
maqashid adalah bentuk jama’ dari kata maqshid yang merupakan
bentuk kata jadian (bentuk isim makan) dari kata kerja qashada (fi’il
madhi) yang berarti bernaksud atau menunju sesuatu.. Lois Ma’luf, Al-Munjid
fi al-Lughoh wa al-A’lam (Bairut: Dār al-Masyriq, 1998), hlm. 632. Atabik
Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), hlm. 1208. Kata asy-syari’ah berarti
kebiasaan, atau sunnah. Lois Ma’luf, Al-Munjid.,
hlm. 382. Dalam perkembangannya makana asy-syari’ah ditujukan pada bagaian
tertentu dari ajaran Islam secara keseluruhan
[5] Secara etimologis, qiyas
berarti mengukur, memastika, membandingkan sesuatu yang semisalnya. Liaht:
Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah
(Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 31-32. Sementara itu, secara istilah ushul
al-fiqh, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash
tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan ‘illat (effecitve cause) hukumnya. Lihat: Muhammad
Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, alih bahasa:
Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 255. Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997), hlm. 144. Kamal Muchtar,
dkk, Ushul Fiqh jilid 1 (Yogyakarta: dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.
107. teori ini secara sistematis pertama
kali dicetus oleh imam asy-syafi’I yang secara panjang diuraikan dalam kitab Ar-Risalah-nya.
‘illat yang dikembangkan oleh ulama setelahnya dalam pengetahuan
asy-Syafi’i tidaklah disebut ‘illat tetapi ma’na. penjelasan
tentang qiyas yang asli dalam pandangan asy-Syafi’i lihat: Muhammad Idris
asy-Syafi’i, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris
asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani (Kairo: Dar al-Fikr, 1969),,
hlm. 26. Sedangkan menurut Joshep Schacht qiyas diturunkan dari istilah
tafsir Yahudi hiqqish, infinitifnya heqqesh, dari akar kata bahsa
Aramea naqsh, yang berarti “memukuli bersama-sama”. Kemudian Schacht
menjabarkan penggunaannya yaitu: dalam penjajaran dua pokok masalah dalam
bible, mengenai kegiatan penafsiran yang membuat perbandingan dengan
menggunakan teks tertulis, untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan analogi
berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus
patokan maupun kasus istilahnya yang disejajarkan. Lihat: Joseph Scacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950),
hlm. 99. Kemudian alasan ini ditolak Ahmad Hasan karena: pertama, metode
filologi memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam menyingkapi asal-usul dan
sumber pranata fiqh. Kedua, secara sosiologis masyarakat menciptakan
prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak selalu
harus meminjam dari peradaban asing. Lihat: Ahmad Hasan Analogical Reasoning
In Islamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas
(Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), hlm. 96-7
[6] Lihat: Hasan, Analogical
Reasoning In Islamic Jurisprudence…, 232. Sebagaimana dikutip dari al-Iji.
Sedangkan menurut catatan Hasan al-Syirazi membagi kedua metode tersebut
menjadi jenis yaitu pasti (qat’i) dan mungkin (zani). Ibid.
[7] Metode penemuan ‘illat
hukum yang bersifat dugaan tersebut dijelaskan sebagai berikut: penemuan ‘illat
berdasarkan al-sabr wa at-taqsim artinya mengukur atau menguji beberapa
sifat yang terdapat dalam suatu hukum dan kemudian memilih semua kemungkinan
yang dianggap ‘illat hukum setelah menghimpun sifat-sifat yang patut
dijadikan ‘illat. Metode munasabah artinya mencari kesusaian
antara sifat atau sebab hukum dengan kasus hukum dalam rangka menciptakan
kebaikan dan menolak kerusakan. Metode thard artinya mencari sifat yang
sesuai dengan ketetapan hukum atau ketatapan hukum ada bersamaan dengan sifat
atau ‘illat dalam semua kasus, kecuali dalam hal-hal yang diperdebatkan.
Metode syabah digunakan dalam tiga makna yaitu menyamakan sesuatu kepada
yang lain karena keserupaan bentuknya, merupakan qiyas berdasarkan
keserupaan dalam makna, merupakan kualitas yang menyerupai ‘illat.
Metode dawran maksudnya tetapnya hukum karena adanya sifat tertentu dan
tidak adanya sifat tersebut menetapkan pula tida adanya hukum. Baca: Muhammad
Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas
Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), hlm. 81-7
[8] Hasan, Analogical
Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 233-4. Lihat juga: Muhammad Roy, Ushul
Fiqh…, hlm. 75-88. al-Ghazali menggunakan metode munasabah dalam
penemuan ‘illat hukum sebagaimana yang akan dibahas sedangkan al-Amidi
cenderung menggunakan metode tard wa’aks atau dalam istilah ushul fiqh
lebih dikenl dengan dawran (rotation), yaitu apabila ada kualitas
hukum tertentu maka hukum juga ada bersamaan dengannya dan jika kualiatas hukum
tersebut tidak ada maka hukum pun tidak ada. Hasan, Analogical Reasoning
InIslamic Jurisprudence…, 315
[9] Wael B. Hallaq, Sejarah
Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa:
E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet. 2 (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 130-1
[10] Lihat: Muhammad
al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, tahqiq: Muhammad Sualiman
al-asyqar (Bairut: muasasah ar-Risalah, 1998), II: 307. Untuk eksplorasi
tentang munasib ini lebih lanjut baca: Syamsul Anwar, “Teori Konformitas
dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,” dalam dalam Amin Abdullah, dkk.
(ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan
Kalijaga Press, 2000), hlm. 278
[11] Pada dasarnya, maslahat
dalam tinjauan syari’at ada tiga macam, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah
mulghah, dan maslahah mursalah. Maslahah yang pertama diketahui
dengan adanya nash yang menjelaskannya sebagaimana contoh-contoh ayat-ayat
hukum yang ada dalam al-Qur’an. Maslahah kedua adalah maslahah yang ada dalam
nash namun kemaslahatannya lebih kecil bila dibandingkan dengan
kemafsadatannya. Contoh yang sering diajukan adalah tentang khamar. Sedangkan
maslahah yang terakhir adalah maslahah yang tidak ada nash secara eksplisit
menyebutkannya tetapi masuk dalam ruang lingkup pembahasan dan tujuan syari’at.
Karena tidak ada nash yang membatalkan dan mendukung keberadaannya maka
kemudian disebut mursalah. Lihat: Muhammad Adib Salih, Masdhar at-tasyri’
al-Islami wa manahij al-Istinbath (Kairo: Dar al-Fikr, ttp.), hlm. 466
[12] Lihat: Muhammad
al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, jilid 2 (ttp: Dar al-Fikr,
tt), hlm. 260-2
[13] Asy-Syatibi adalah orang
ketiga yang mengembangkan teori maqashid. Sebelumnya sudah ada al-Ghazali dan
imam al-haramain al-Juwaini. Al-Juwaini adalah orang yang pertama kali
mengembangkan teori maqashid asy-syari’ah. Sedangkan asy-syatibi pada
hakekatnya hanya melakukan pengulangan dan merujuk pada gagasan yang telah
dimatangkan oleh al-Ghazali yang sebelumnya telah dicetuskan oleh al-Juwaini.
Nawir Yuslem, “Maqasid al-Syariah Al-Ghazali tentang Pengembangan Hukum Islam,”
dalam Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intektual Muslim
Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005), hlm. 241. Hanya saja
patut disayangkan, maqashid asy-syari’ah yang pada dasarnya lebih merupakan
metode, dijadikan semacam doktrin usul fikih sehingga ia mengalami perkembangan
yang kurang memadai dalam memecahkan kasus-ksus sekarang. Untuk keritik lebih
jauh lihat Yudian Wahyudi, Maqashid syari’ah dalam Pergumulan Politik:
Berfilsafat Hukum Islam dari Harvad ke Sunan Kalijaga (Yogyakarta: Nawasea,
2006), hlm. 8-11. bandingkan dengan karya lainnya, Ushul Fikih Versus
Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawasea,
2006), hlm. 44-52
[14] Abu Ishaq
Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
cet ke-3, jilid 1 (Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997), hlm. 324
[15] Yudian Wahyudi, Ushul
Fikih…,hlm. 44
[17] Ibid., hlm. 54
[18] Ibid., hlm. 321
[19] Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat
Hukum Islam: Studi Tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq al-Syathibi, alih
bahasa: Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka 1996), hlm. 242
[20] Totok Jumantoro dan
Samsul Munir, Kamus Ilmu Ushul Fikih (ttp.: Amzah, 2005), hlm. 197-8
[22] Perdebatan
tentang tujuan Tuhan dalam menetapkan hukum adalah perdebatan panjang yang
bersumber dari mazhab kalam. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa ada tujuan
yang diinginkan Tuhan ketika menetapkan suatu hukum, sedangkan golongan
As’ariyah masih berbeda pendapat. Misalnya al-Razi, sekalipun menolak pandangan
bahwa Tuhan mempunyai maksud tertentu dalam menetapkan hukum, menerima adanya
‘illat hukum, yaitu hukum islam disyari’atkan untuk kemaslahatan manusia.
Fathurrahman Djamil, “Hubungan Antara Konsep Baik dan Buruk dalam Kalam dengan
Konsep Maslahat dalam Hukum Islam,” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic
Studies, no. 63/VI/1999, hlm. 73
[23] Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s
Philoshopy of Islamic Law (Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1997),
hlm 131
[24] Mas’ud, Filsafat
Hukum Islam…, hlm. 231
[26] asy-Syatibi, Al-Muwafaqat...,
II: 331. Lihat juga: Ahmad ar-Raissouni, Nazariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam
asy-Syatibhi (Herndon: The International Institute of Islamic Thought,
1995), hlm. 148
[29] Khatib Sholeh, “Fikih
Kemaslahatan: Menimbang Maqashid asy-Syari’ah Syatibi,” dalam Gerbang Jurnal
Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 03. nomor II, Juli-September 1999, hlm.
106
[30] Syamsul Anwar, Studi
Hukum Islam Kontemporer (Jakarta, RM. Books, 2007), hlm. 37
[31] Lois
Ma’luf, Al-Munjid…, hlm. 632
[32] Atabik
Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer…, hlm. 1454-6. Bentuk al-iqtishadu
yang merupakan mashdar dari iqtashada dimaknai penghematan yang
merupakan lawan kata dari at-tafrithu. Lihat: A.W.Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet-25 (Surabaya: Pustaka Progresif,
2002), hlm. 1124
[33] Abudllah Abdul
Husein at-Tariqi, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan, alih bahasa:
M.Irfan Syofyan (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hlm. 14
[34] M. Umar Chafra,
Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, alih bahasa: Ikhwan
Abidin (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 108. diterjemahkan dari The
future of economies: An Islamic Pespective.
[36] Abd. Salam Arif, Bank
Islam: Suatu Alternatif Pemberdayaan ekonomi Umat, dalam Asy-Syir’ah
Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000, hlm. 65
[37] at-Tariqi, Ekonomi
Islam..., hlm.15-20. Sedangkan menurut Sayed Nawab Haider Naqvi prinsip
dalam ekonomi Islam ada lima, yaitu
prinsip ketuhanan (ilahiyyat/unity), prinsip keseimbangan
(equiblirium), prinsip kebebasan, prinsip tanggung jawab, prinsip
kebenaran. Sayed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Imu Ekonomi: Suatu Sintesis
Islami (Bandung: Mizan, 1993), hlm.
77-82
[38] Syafiq
Mahmadah Hanafi, “Hutang Luar negeri antara Kebutuhan Rasional dan Kebutuhan
Etis,” dalam Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah, No. 7 Th. 2000, hlm. 34-6
[39] Diambil dari
point-point yang disampaikan dalam seminar nasional “Peran Strategi Ekonomi
Syari’ah dalam Akselerasi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang diadakan
UIN Sunan Kalijaga, 15 Maret 2007.
[40] Ali Ya’fi, Fikih
Perdagangan Bebas (Jakarta: teraju, 2003), hlm.38
[41] Artinya: “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
[42] Artinya: “Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian”
[43]Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil
riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
[44] Bagi beberapa
kalangan, ada kecenderungan pesimis dengan system ekonomi islam, sekalipn
landasan konseptual islam secara murni begitu indah dan manusiawi. Mislanya,
Oliver Roy mencatat beberapa kasus kebangkrutan lembaga keuangan Islam di Mesir
(Bank al-Rayan), kegagalan system wakaf di Iran pada masa Reza Pahlevi yang
dikelolah secara teknokrasi, munculnya Organisasi Perekonomian Islam yang
berasal dari kurang lebih 1.300 serikat keredit islam ketika terjadi tekanan
pasar dengan memeberi suku bunga sebesar 25 sampai 50 persen, keberhasilan Bank
Besar Islam (Bank Islam Dubai, Bank Islam Faisal, Kwuait Finance, Bank Islam
al-Taqwa) yang pada dasarnya mengembangkan modal para pemegang saham tingkat tinggi
demi mengeruk keuntungan dan menarik tabungan rakyat bukan didasarkan atas
Negara islamnya, dan kebangkrutan BCCI tahun 1991(bank konvensional yang
membuka divisi islam dengan modal Dubai yang dikelolah oleh Pakistan). Alasan
yang menjadi persoalan bagi system perekonomian Islam adalah beroprasi atas
dasar spekulasi serta investasi jangka pendek. Lihat: Oliver Roy, Gagalnya
Islam Politik, alih bahasa: Hari Murti dan Qomaruddin (Jakarta: Serambi,
1996), hlm. 173-83
[45]Louis O.
Kattsof, Pengantar Filsafat, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Ke-ix
(Yogyakarta: Tirai Wacana, 2004), hlm. 319
[47] Oliver Roy, Gagalnya
Islam…, hlm. 171
[48] Lihat: Syamsul Anwar,
“Ekonomi dalam Studi Keislaman, Makalah tidak diterbitkan, hlm. 17-25
[49] Teori integrasi ini
dapat dilihat dalam Louay Safi, The Foundation of Knowlage:…, hlm.
190-5; Syamsul Anwar, Pendekatan Integratif dalam Hukum Islam, dalam Metodologi
Hukum Islam, (kumpulan makalah tidak diterbitkan), hlm. 17-23.
[50] Secara umum, hal ini
mengingat bahwa perekonomian islam tidak cukup hanya dilandasi pada kesalehan
individu karena ada mekanisme yang meleburkan keragaman para pelakunya maupun
tindakan mereka menjadi satu kesatuan, yaitu pasar. Pasar tidak bergantung pada
kehendak perorangan tetapi diatur oleh lembaga (Negara, bursa). Oleh karena
itu, system perekonomian islam harus sejalan dengan system politik yang baik.
[51] Heri Sudarsono,
Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi dan Ilustrasi (Yogyakarta:
Ekonisia, 2003), hlm. 52-4
[52] Perbedaan
pendapat tentang syarat penanaman modal (qiradh) dalam ekonomi islam diuraikan
Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid, alih
bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm.
110-3
[53] Contoh sebagai renungan
ini dikemukakan Noeng Muhajir dalam, Filsafat Ilmu Kualitatif &
Kuantitatif untuk Pengembangn Ilmu dan Penelitian, edisi III (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2006), hlm. 224
Tidak ada komentar:
Posting Komentar