KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM ISLAM
Juandi*
Abstrak
Persoalan mendasar dalam kerukunan
umat beragama adalah ketidaksamaan pandangan dalam memahami keyakinan agama
lain. Tolak ukur kebenaran agama “orang lain” didasari pada agama kita bukan
agama “orang lain” itu sendiri. Islam, dalam pengertian yang sesungguhnya,
memberi peluang keselamatan bagi keyakinan lain, sehingga kerukunan beragama
bisa direalisasikan. Namun, dalam pengertian khusus, Islam hanya membuka
peluang dialog pada level sosial, tidak dalam level ritual. Dengan demikian,
peluang menjalin kerukunan umat beragama dalam Islam masih sangat mungkin
dilakukan.
Keyword: Dialog, Pluralitas,
Toleransi, Ekslusifitas Agama, Kerjasama
Fundamental
issues in religious harmony is inequality in
view of understanding the beliefs
of other religions. These benchmarks
religious truth "others"
based on our religion is not a religion "others"
itself. Islam, in a real sense, provide an opportunity for the safety of other
faiths, so that religious harmony
can be realized. However, in a special sense, Islam
is only open opportunities of social dialogue at
the level, not the level of ritual.
Thus, the opportunity to establish
religious harmony in Islam is still very possible.
Keyword: Dialogue, Plurality, Tolerance, Religious
Exclusivity, Cooperation
A.
Pendahuluan
Fazlur Rahman
dalam satu kesimpulan tentang hubungan Islam dan Yahudi menegaskan bahwa
hubungan yang bermasalah antara kaum Muslim dan Yahudi berada pada level
politik.[1] Sama halnya
dengan hubungan Muslim-Yahudi, hubungan Muslim-Kristen juga hampir dipastikan
pada level yang sama. Hal ini menunjukan bahwa ketegangan hubungan
Muslim-Yahudi-Kristen bukan pada level akidah atau agama. Namun, pernyataan ini
perlu dibuktikan lebih jauh apakah ketidakrukunan antar umat beragama semata
hanya persoalan politik, bukan persoalan keyakinan murni. Kemudian bagaimana
dengan keyakinan Islam yang menganggap agama Islam menasakhkan agama-agama
sebelumnya atau agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam tidak
menjadikan sumber konflik dari ketegangan yang ada? Atau program misionaris Kristen
yang memasuki wilayah-wilayah muslim tertentu tidak menjadi sumber konflik?
Dari sudut
pandang Islam, dalam penjelasan-penjelasan tentang kedudukan Islam diantara
agama-agama yang ada, sangat jelas bahwa Islam adalah agama yang paripurna,
penyempurna agama-agama wahyu yang telah ada, agama yang hanya diterima disisi
Allah. Untuk bisa selamat, kaum Yahudi dan Nasrani harus masuk Islam dan
beriman dengan tulus dan benar. Sedangkan dari sudut pandang Yahudi dan Nasrani
yang meyakini kebenaran ajarannya, tentu menolak pandangan-pandangan tersebut
dan mereka berusahan mengumpulkan argumentasi dan bukti-bukti untuk menunjukan
ketidakbenarannya. Polemik ini muncul lantaran kita memandang agama lain dari
perspektif agama kita sendiri dan terkadang tidak didasari pada pengetahuan
yang akurat tentang agama lain itu.[2]
Sama halnya
dengan studi agama, pemahaman terhadap keyakinan agama orang lain tidak akan
berhasil sepenuhnya. Ketika kita sampai pada realitas agama, kita dihadapkan
pada fenomena yang terdiri dari nilai-nilai, keyakinan dan perasaan yang
melibatkan kedalaman pikiran atau psikis manusia. Pada level ini, tentunya,
tidak mudah membuat kesimpulan sepihak terhadap keyakinan orang lain
sebagaimana yang dikemukakan Wilfred Cantwell Smith bahwa sebuah pernyataan tentang
suatu agama oleh orang luar dapat dipandang benar jika pengikut agama yang
bersangkutakan mengatakan “ya” pada pernyataan tersebut.[3] Dalam kondisi
ini, sebenarnya kita sudah pada level yang sangat berempati dan tidak egois
pada agama apapun yang sedang kita pahami.
Agama pada
dasarnya tidak menjadi sumber konflik. Pemahaman umat terhadap agama dengan
berbagai intervensi telah membawa konflik dan kekerasan religio-komunal.
Konflik antar agama, sebagaimana yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, cenderung
bersumber dari usaha pemuka agama mengembangkan agamanya. Tentu saja hal ini
mudah dipahami mengingat ajaran agama masing-masing menuntut adanya penyampaian
ajaran agama kepada masyarakat. Teori Schrieke sebagaimana yang dikutip Azyumardi
Azra tentang “the race between Islam and Christianity”, balapan di
antara Islam dan kristen untuk mengembangkan agama masing-masing,[4] menemukan
signifikansi dalam melihat kemungkinan tersebut, namun perlu peninjauan yang
serius. Dengan demikian, memang bukan konflik antara agama tetapi konflik antar
umat yang menjadi persoalan.
Persoalan di
atas menjadi titik pangkal kesulitan dalam membangun kerukunan umat beragama.
Meyakini kebenaran agama masing-masing adalah satu keharusan karena bagian dari
keimanan, namun menolak keberadaan orang lain yang berbeda keyakinan tidak
serta merta mendapat justifikasi agama. Perspektif al-Qur’an menyebutkan bahwa
jika Allah menghendaki niscaya Ia akan menjadikan satu kaum saja, tetapi yang
demikian tidak dilakukan sehingga keragaman ini sebagai batu ujian agar manusia
berlomba-lomba dalam kebajikan.[5]
Tulisan ini
mengkaji pandangan Islam terhadap kerukunan umat beragama, yaitu menelaah
pokok-pokok ajaran Islam tentang kerukunan umat serta peluang membangun
kerukunan umat dari perspektif Islam.
B.
Pokok-pokok
Ajaran Islam tentang Kerukunan Umat Beragama
Sikap Islam
terhadap komunitas non-Muslim terutama Yahudi dan Kristen dapat dipetakan
menjadi tiga, yaitu mendukung keberadaannya dengan menggambarkan persamaan
agama-agama wahyu, menolak keberadaannya dengan menunjukan
penyimpangan-penyimpangan dan bersikap toleran dari sisi keyakinan.
Pertama, sikap
mendukung keberadaan agama-agama samawi lainnya dibuktikan dengan pengakuan
nabi Muhammad bahwa kitab-kitab suci yang terdahulu adalah dari Allah dan
mereka yang menyampaikannya adalah nabi-nabi Allah. Dalam al-Qur’an, terutama
periode Mekkah, hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada penyebutan masyarakat
agama tertentu karena risalah yang turun sebelum kenabian Muhammad memiliki
kesamaan (identik) dan universal. Itulah mengapa Nabi Muhammad mengakui
kenabian Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Bahkan al-Qur’an menyuruh nabi Muhammad
untuk mengatakan bahwa di samping percaya dengan Taurat dan Injil harus pula
mempercayai semua kitab yang diwahyukan Allah.[6] Bebarapa ayat
al-Qur’an yang secara jelas menggambarkan kondisi tersebut:
Ï9ºs%Î#sù äí÷$$sù
( öNÉ)tFó$#ur
!$yJ2
|NöÏBé&
( wur
ôìÎ7®Ks?
öNèduä!#uq÷dr&
( ö@è%ur
àMZtB#uä
!$yJÎ/
tAtRr& ª!$#
`ÏB 5=»tGÅ2 ( ßNöÏBé&ur tAÏôãL{
ãNä3uZ÷t/
( ª!$#
$uZ/u öNä3/uur
( !$uZs9
$oYè=»yJôãr&
öNä3s9ur
öNà6è=»yJôãr& ( w sp¤fãm
$uZoY÷t/ ãNä3uZ÷t/ur
( ª!$#
ßìyJøgs
$uZoY÷t/ ( Ïmøs9Î)ur çÅÁyJø9$#
Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan
tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan
Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan
kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan
kepada-Nyalah kembali (kita)".(asy-Syura: 15)
!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ptø:$$Î/ #Zϱo0 #\ÉtRur 4 bÎ)ur ô`ÏiB >p¨Bé& wÎ) xyz $pkÏù ÖÉtR
Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada
suatu umatpun melainkan Telah ada padanya seorang pemberi peringatan.(al-Fatir: 24)
ãAqà)tur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Iwöqs9 tAÌRé& Ïmøn=tã ×pt#uä `ÏiB ÿ¾ÏmÎn/§ 3 !$yJ¯RÎ) |MRr& ÖÉZãB ( Èe@ä3Ï9ur BQöqs% >$yd
Orang-orang yang kafir berkata: "Mengapa tidak
diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (kebesaran) dari Tuhannya?"
Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum
ada orang yang memberi petunjuk. (ar-Ra’d: 7)
Ketiga ayat di atas memberikan
gambaran universalitas ajaran agama-agama yang bersumber dari Allah yang Esa.
Kesadaran tentang keanekaragaman ini menjadi persoalan theologis yang penting
bagi seluruh umat manusia.
Kedua,
gambaran al-Qur’an yang bersikap negatif terhadap non-Muslim yang disebabkan
sikap ekslusifitas non-Muslim dan sikap ekstrimisme dalam keyakinan,
diantaranya kritik terhadap teologi, misalnya:
ö@è%
@÷dr'¯»t
É=»tGÅ6ø9$# w
(#qè=øós? Îû öNà6ÏZÏ uöxî
ÈdYysø9$# wur
(#þqãèÎ6®Ks?
uä!#uq÷dr&
7Qöqs%
ôs%
(#q=|Ê `ÏB ã@ö6s%
(#q=|Êr&ur #ZÏV2
(#q=|Êur `tã Ïä!#uqy
È@Î6¡¡9$#
Katakanlah: "Hai ahli kitab, janganlah kamu
berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya
(sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(al-Maidah: 77)
ôs)©9
txÿ2
úïÏ%©!$# (#þqä9$s% ¨bÎ)
©!$#
uqèd
ßxÅ¡yJø9$# ßûøó$#
zNtótB
4 ö@è%
`yJsù ÛÎ=ôJt
z`ÏB
«!$#
$º«øx© ïcÎ)
y#ur& br& Î=ôgã
yxÅ¡yJø9$# Æö/$#
zNtötB
¼çm¨Bé&ur ÆtBur Îû ÇÚöF{$#
$YèÏHsd
3 ¬!ur
Ûù=ãB
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
$tBur $yJßguZ÷t/ 4 ß,è=øs $tB âä!$t±o
4 ª!$#ur
4n?tã
Èe@ä. &äóÓx«
ÖÏs%
Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata:
"Sesungguhnya Allah itu ialah Al-masih putera
Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah, jika dia hendak membinasakan Al-masih putera
Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi
kesemuanya?". kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada
diantara keduanya; dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (al-Maidah: 17)
Dua ayat di atas dan ayat-ayat
lain yang senada (al-Baqarah: 116; al-An’am: 100; an-Nisa: 171-172, 157-158) memberikan
gambaran kecaman al-Qur’an terhadap keyakinan non-Muslim terutama kalangan
kristiani. Beberapa ayat lain juga mengecam pseudo-teologi Yahudi yang
menyatakatan Allah itu miskin dan tangan Allah terbelenggu diantaranya Ali
Imran: 181 dan al-Maidah: 64.[7]
Ketiga, sikap
al-Qur’an yang toleran terhadap keyakinan non-Muslim. Diantaranya:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri" (al-Ankabut:
46)
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (al-Kafirun: 6)
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Baqarah:
256)
Ayat pertama
mengajarkan kepada muslim tentang sikap yang seharusnya diambil jika menyangkut
hal-hal yang tidak jelas kebenaran atau kesalahan yang disampaikan ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani). Jika pandangan mereka sejalan dengan al-Qur’an dan sunnah
maka tidak ada halangan untuk membenarkannya. Sebaliknya jika pandangan mereka
bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta akal sehat maka tidak ada alasan
untuk tidak menyatakan penolakan.[8]
Ayat kedua
mengisyaratkan penyerahan keputusan tentang kebenaran mutlaq suatu keyakinan
kepada Allah semata. Abosulitisme ajaran agama hanyalah sikap jiwa ke dalam,
tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya.[9] Tugas para
pendakwa hanyalah menyampaikan kebenaran agama bukan memaksa keyakinan agama
kepada orang lain. Sedangkan ayat ketiga Allah menghendaki agar setiap orang
merasakan kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih jika jiwa tidak damai,
sehingga tidak ada paksaan dalam menganut agama.[10]
Ketiga ayat
yang dikemukakan di atas merupakan sikap pokok-pokok ajaran Islam tentang
kerukunan antar umat beragama, yaitu membangun komunikasi atau dialog secara
arif, toleran dan menghargai pluralitas beragama. Sikap ini tercermin dalam
bentuk kerjasama dalam kehidupan sosial, tidak saling bermusuhan dan saling
tolong menolong dalam kebaikan. Islam sendiri, dalam pengertian yang sangat
luas, bersifat universal dan tidak mengkotak-kotak keyakinan manusia. Islam
adalah penerimaan eksistensi Allah dan Hari Akhir. Apabila penerimaan itu
dipadukan dengan Ihsan dan amal saleh, pelakunya disebut muslim,[11] tidak perduli
apakah pengikut Nabi Muhammad, Nabi Isa, Nabi Musa atau nabi-nabi yang lain.
Beberapa firman Allah yang tegas memberi pemahaman tentang Islam ini diantaranya pernyataan jin bahwa sebagian kalangan mereka
ada yang Islam (al-Jin: 14), Ibrahim adalah seorang hanif dan juga muslim (Ali
Imran: 67), wasiat nabi Ibrahim dan Ya’kub kepada anak-anaknya agar tidak mati
kecuali dalam keadaan muslim (al-Baqarah: 132), do’a nabi Yusuf agar diwafatkan
dalam keadaan Islam (Yusuf: 10), penyataan Nabi Nuh bahwa Ia adalah seorang
muslim (Yunus: 72,73), pengikut nabi Isa atau al-Hawariyun yang menyaksikan
bahwa mereka adalah orang-orang muslim (Ali Imran: 52).
Dari ketiga
sikap di atas, intelektual muslim harus mampu bersikaf arif dan bijak dalam
menentukan sikap terhadap non-muslim. Menerima kehadiran mereka sebagai suatu
kenyataan hidup dengan tetap berpedoman pada ajaran agama masing-masing. Sikap
al-Qur’an yang toleran perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarkat tetapi
tetap memperhatikan rambu-rambu yang dijelaskan al-Qur’an tentang sikap
non-Muslim (terutama Yahudi dan Nasrani) terhadap Islam jika kita meyakini akan
kebenaran informasi al-Qur’an. Dengan demikian, ajaran kerukanan antar umat
beragama dalam Islam ada namun terbatas pada persoalan yang tidak berhubungan
dengan ritual dan konsep-konsep agama yang sudah disepakati.
Aplikasi sikap
Islam terhadap umat yang berbeda terekam jelas dalam jejak sejarah Islam yang tertuang
didalam dokumen piagam Madinah, yaitu sebuah konstitusi yang menawarkan sebuah
proyek sosial yang tidak didasari oleh dominasi melainkan dengan partisipasi
semua kelompok sosial. Ali Bulac mencatat poin penting dalam pasal-pasal piagam
Madinah antara lain: Piagam Madinah memperkenalkan konsep negara dan
batasan-batasannya. Piagam ini menggunakan istilah Ummah yang menunjukan
kesatuan politik dari kaum muslim, orang-orang Yahudi dan musrik; Dalam
hubungan di antara individu dengan kelompok, cita-cita transenden yang
universal dan aturan prinsip yang mendasar disepakati oleh semua; Menuntut
ketaatan penuh terhadap aturan hukum yang mengikat setiap orang. Piagam Madinah
ini memungkin setiap orang untuk diterima oleh orang lain sebagai sebuah
realitas alami, legeslasi terhadap sikap hormat menghormati cara hidup dan
berfikir satu sama lain.[12] Alhasil, cara
menjalani hidup rukun telah diteladani Rasulullah semenjak hijrah ke Madinah
sebagai pedoman umat Islam. Namun, pola yang digunakan Rasul yang tergambar
dalam paiagam Madinah tidak menunjukan negosiasi dalam masalah keyakinan tetapi
lebih pada masalah sosial politik an sich.
C.
Keimanan
dan Eklusifitas Agama
Agama bersifat
eksklusif, tetapi iman dan taqwa bersifat inklusif. Artinya agama memiliki
batasan tersendiri sehingga antara agama satu dengan yang lain jelas tidak sama
dan tidak bisa disamakan. Sedangkan iman sebagai karya personal menghadap
Tuhan, sesama manusia, alam semesta, pandangan dasar tentang baik buruk, kiblat
arah hidup, jiwa semangat dan citra rasa total diri memiliki sifat universal,
mimiliki kesamaan dalam semua agama walaupun mungkin terdapat perbedaan nuansa
atau argumentasi. Ritual agama atau “fiqh” antara agama satu dan yang lain
memang berbeda, tetapi moralitas semua agama hampir dapat dipastikan sama.
Totalitas kehidupan penganut agama dalam keimanan dengan tujuan mendapatkan
keridhahan Tuhan hampir diajarkan disemua agama; berbuat kebaikan sebagai
sarana masuk surga merupakan bagian dari janji Tuhan juga menjadi bagian agama.
Oleh sebab itu, keimanan itu lebih inklusif dari ‘syari’at agama.
Pertanyaan
mendasar terkait dengan eklusifitas agama adalah apakah Islam yang datang
belakangan membatalkan syari’at atau agama Yahudi dan Nasrani? Para mufassir
silang pendapat dalam persoalan ini. Mufasir kelasik yang beranggapan Islam
membatalkan syari’at sebelumnya pada dasarnya terlibat dalam taraf memberikan
identitas umat Islam yang independen dan ekslusif. Sementara mufassir modern
seperti Rashid Ridha dan Tabataba’i menggambarkan semangat al-Qur’an yang tidak
salah tentang identitas manusia yang berpusat pada Tuhan, dimana bentuk-bentuk
luar dari agama dipindahkan kepada kesaksian batin pada Tuhan. Hal ini
menunjukan bahwa “keselamatan” dalam paradigma mufasir kelasik hanya milik
mereka yang mengaku Islam, sedangkan di luar itu tidak diakui. Sebaliknya,
mufassir modern menganggap “jalan keselamatan” yang Tuhan berikan kepada
manusia adalah mereka yang merespon dua aspek dari agama Ibrahim, yaitu percaya
kepada Allah dan Hari Akhir, serta hal-hal praktis yang didasarkan pada wahyu.
Dengan demikian, Islam dalam pengertian agama yang diikuti pengikut nabi
Muhammad tidak menghapus agama Yahudi dan Nasrani.[13]
Pemahaman
semacam ini tentu mendapat reaksi dari kalangan yang tidak setuju dengan
mengemukakan sejumlah ayat al-Qur’an diantaranya yang menyatakan sesungguhnya
agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Adalah benar dan tidak ditolak sama
sekali terhadap keyakinan itu, hanya saja keyakinan terhadap Islam dalam versi
al-Qur’an sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya merupakan pengertian Islam
yang umum dan universal yang diyakini nabi Nuh hingga nabi Muhammad. Tidak
dapat dibantah lagi karena informasi al-Qur’an terkait dengan persoalan Islam
ini sangat jelas. Dengan demikian Islam bisa dipahami dalam dua aspek, yaitu
keislaman orang-orang yang memenuhi kreteria yang disebutkan di atas dan
keislaman orang-orang yang selain beriman kepda Allah, hari akhirat dan berama
saleh, juga mempercayai kenabian Muhammad beserta seluruh syari’at yang
dibawanya. Muslim sekarang berada pada posisi yang kedua, sementara posisi
pertama terdapat pada mereka bertauhid murni tetapi memgang syari’at nabi-nabi
yang lain.
Keterbukaan
umat beragama dalam memahami keuniversalan iman dan keragaman syari’at agama
menjadi titik tolak membagun kerukukan umat beragama agar saling menghargai dan
toleransi; dapat memahami dimana kita harus sepandangan dan dimana kita harus
berbeda. Sedangkan dalam bidang aqidah dan ibadah mahdah, kerukunan, toleransi
dan kerjasama tidak boleh mengaburkan dan merusak aqidah dan atau ibadah.
Kerukunan tidak dalam koridor bekerjasama dalam bidang ritual agama.
D.
Unsur-unsur
Kerukunan Umat
Unsur-unsur kerukunan
umat beragama diantaranya:
1. Menghargai Pluralitas Beragama
Pluralitas dimaknai sebagai sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah
tertentu terdapat
berbagai pemeluk agama
yang hidup secara berdampingan. Sedangkan Pluralisme Agama menurut fatwa Majelis Ulama
Indonesia adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah. Pluralisme
agama juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga. Untuk Pluralisme ini MUI secara tegas melarang umat
Islam mengikutinya, tetapi dalam masalah sosial Pluralitas harus dijunjung
tinggi sepanjang tidak saling merugikan.[14] Dalam kontek
ini, MUI hanya mentolerir peluralitas sebagai sebuah kenyataan yang harus
dijalani tetapi tidak terjebak pada pluralisme. Senandainya, pemahaman ini
disepakati mewaliki mayoritas umat Islam, maka semua agama harus memiliki
kesepahaman dengan memahami batasan-batasan agamanya sendiri maupun agama orang
lain. Dengan demikian, menghargai keyakinan orang lain sekaligius memahami
perbedaan.
2.
Sikap Saling Toleransi
Toleransi
dipahami dalam dua sisi, yaitu dalam penafsiran negatif, toleransi itu hanya
mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain.
Dalam penafsiran positif, toleransi itu membutuhkan adanya bantuan dan dukungan
terhadap keberadaan orang/kelompok lain. Dalam konteks kehidupan sosial model
penafsiran positif toleransi ini perlu dikembangkan sedangkan dalam masalah
ritual, toleransi dalam penafsiran negatif menjadi patokan. Mendukung
keberadaan orang lain memang perlu, tetapi tidak masuk dalam wilayah private
agama lain yang justru menjebak kita pada sikap unislamic. Toleransi
bukan menggadaikan aqidah, tetapi memahami posisi keimanan kita diantara yang
lain.
Sikap toleransi
ini juga harus dipahami oleh seluruh agama apapun sehingga terkesan tidak bias.
Cara-cara penyebaran agama memiliki implikasi luas terhadap hubungan sosial di
masyrakat. Garis petunjuk yang jelas untuk diterapkan adalah dilarang
menyebarkan agama kepada masyarakat yang sudah memiliki agama. Konsep muslim
dalam berdakwa ditujukan agar umat Islam memiliki kesadaran dalam beragama
dengan menjalankan syari’at Islam dengan tulus. Sementara kalangan kristiani sebagaimana
yang dikemukakan Wilfred Cantwell Smith sebaiknya mempertimbangkan kembali pengiriman
missionaris ke luar negeri. Karena hal ini menjadi batu sandung sikap toleransi
beragama di beberapa negara. Kemudian para Teolog sebaiknya memikirkan kembali
teologi baru untuk bekerjasama dengan penganut agama lain.[15] Begitu juga
dengan keyakinan-keyakinan yang lain harus mengubah paradigma dalam beragama
sehingga memunculkan sebuah kesepahaman dalam menjalankan perbedaan.
3.
Dialog antar Agama
Perbedaan
keyakinan dapat dijembatani dengan dialog. Beberapa model dialog yang dapat
dilakukan. Pertama, dialog palementer yakin dialog yang melibatkan
ratusan peserta yang datang dari berbagai unsur masyarakat, baik pada tingkat
lokal, regional, maupun internasional. Kedua, dialog kelembagaan, yaitu
dialog di antara wakil-wakil internasional berbagai organisasi agama. Ketiga,
dialog teologi, yaitu mencakup pertemuan-pertemuan yang membahas
persoalan-persolan teologis dan filosofis. Tema yang diangkat semisal pemahaman
Islam, Kristen, dan Yahudi tentang Tuhan masing-masing, sifat wahyu ilahi dan
lain-lain. Keempat, dialog dalam masyarakat dan dialog kehidupan yang
berkonsentrasi pada penyelesaian hal-hal praktis dan aktual dalam kehidupan
semisal hubungan patut antara agama dan negara, hak minoritas agama, kemiskinan
dan sebagainya. Kelima, dialog keruhanian, dengan tujuan menyuburkan dan
memperdalam kehidupan spritual di antara berbagai agama. Keseluruhan model
dialog ini harus disadari oleh para pemuka agama dengan sikap bahwa seluruhnya
sederajat.[16] Sepanjang
salah satu keyakinan merasa lebih dominan dibandingkan dengan yang lain, maka
diaolog keagamaan ini hanya sekedar basa-basi dan tidak menghasilkan apapun. Keenam,
dialog “antar-hati”. Dialog ini mensyaratkan bahwa suatu esensi internalisasi
moralitas atau tanggung jawab pribadi disaring terlebih dahulu. Hati nurani
didifinisikan sebagai ‘manusia di dalam hakikat sebenarnya’ (al-insan fi
wujudihi al-haqiqi) yang tidak boleh memisahkan karyanya dari partispasi
dalam kehidupan sosial. Dalam dialog, hati nurani menunjukan sesuatu yang lebih
personal dari persolan etika. Pada tingkat individual dan komunal, ia
berhubungan dengan relasi antara mengetahui dengan diri sendiri dan mengetahui
dengan orang lain.[17] Pada tahap
ini, diharapkan Muslim, Kristen dan Yahudi masing-masing dapat memahami hakikat
kehidupannya, kemudian memahami hakikat kehidupan yang lain sehingga
masing-masing dapat menyadari esensi kehidupan manusia. Pemahaman ini pada
dasarnya menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah tanpa memandang
keyakinan. Dengan demikian, dialog “antar hati” lebih mengutamakan sifat
humanisme.
Sudah selayaknya
masyarakat moderen mengembangkan intuisi dalam beragama, yaitu memahami dan memperlakukan
agama lain dengan lebih “berperasaan”. Karena bagaimanapun juga sensitivitas
manusia akan selalu terekspresikan pada wilayah yang dianggap privat, sehingga
manusia harus megembangkan pola-pola pikir “jangan memukul kalau tidak mau
dipukul” karena dipukul itu terasa sakit. Inilah pentingnya pengembangan intuitif
dalam hubungan antar agama. Pengabaian terhadap hal ini dipastikan bahwa dialog antar
agama-agama akan selalu mengalami jalan buntu dan kedamaian dunia yang
didambahkan oleh setiap manusia tidak akan pernah tercapai. Sudah menjadi tugas
berat para pemuka agama untuk memahami pola-pola pikir seperti ini dan
meyakinkan umat untuk selalu membatasi antara wilayah umum dalam beragama dan
wilayah khusus. Konsekuensinya dalam memahami wilayah privat agama lain tidak
akan selalu berhasil jika didekatkan dengan norma-norma keyakinan agama yang
berbeda. Maka perlu dikembangkan pendekatan lain yang lebih objektif dan tidak
diskriminatif, dengan demikian dialog antar agama akan selalu berjalan dengan
baik dan tentunya kekerasan atas nama-nama agama tidak akan terjadi
Dialog
konstruktif antar umat beragama dengan berbagai model di atas harus diiringi
dengan sikap ketulusan agar kerukunan hidup benar-benar tercapai. Oleh karena
itu selain dengan model-model dialog, perlu juga membenahi pemikiran agama
secara internal. Umat beragama perlu melakukan pemikiran kembali terhadap
konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju satu era pemikiran
baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial, melakukan reformasi
pemikiran dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju kritisisme radikal dan
pemikiran teologis yang inklusif, terbuka, dan pluralis, bersedia menerima umat
beragama lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman
keberagamaan kita. Tetapi, sekali lagi, batasan sikap inklusif ini tidak
mengoabrak abrik formulasi agama yang sudah dibangun dengan ketulusan oleh para
pemuka agama.
- Kerjasama dalam kehidupan sosial
Lanjutan dari
dialog adalah kerjasama. Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang berhubungan.
Tidak ada kerjasama tanpa didahului dialog dan dialog yang tidak berlajut pada
kerjasama merupakan dialog setengah hati. Beberapa kerjasama atau aliansi antar
agama yang dapat dilakukan antara lain: aliansi antar agama untuk penangkalan
narkoba, aliansi untuk pemberantasan judi, aliansi untuk pemberantasan
pornografi, aliansi untuk memerangi minuman keras, aliansi untuk penanganan
kriminalitas dan aliansi untuk penyantunan sosial.[18] Kerjasama
dalam bidang-bidang sosial ini tentu sangat berguna bagi perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara demi kepentingan bersama. Islam dan agama lain tidak
harus selalu berseberangan. Agar kehidupan manusia menjadi damai perlu
dilakukan kegiatan-kegiatan positif antar agama yang tidak merusak akidah
tetapi bisa dirasakan manfaatnya bersama.
E.
Penutup
Sebagai
kesimpulan pertama, padangan al-Qur’an tentang jalan keselamatan manusia
dalam bingkai ‘Islam” dapat dimakanai secara umum dan khusus. Untuk makna Islam
secara umum membuka peluang agama-agama lain mendapatkan jalan keselamatan.
Untuk itu, Islam bersikap toleran terhadap keyakinan lain tanpa harus
mendistorsi ajarannya. Sedangkan makna Islam secara khusus menutup kemungkinan
agama-agama lain mendapatkan jalan keselamatan. Kerukunan umat beragama dapat
dimulai melalui pemahaman terhadap Islam dalam pengertian umum. Oleh karena
itu, ternyata selain persoalan politik, persoalan keyakinan juga mempengaruhi
kerukunan antar umat beragama, termasuk memahami Islam itu sendiri antara makna
umum atau makna khusus membuka peluang keterbukaan terhadap agama lain atau
justru menjadi inklusif. Pokok ajaran Islam dalam kerukunan antar umat beragama
adalah membangun komunikasi atau dialog secara arif dengan agama lain, toleran
dengan keyakinan yang lain namun harus berpegang pada prinsip Islam dan
menghargai pluralitas beragama dan membangun kerjasama dalam bidang sosial
politik untuk kemajuan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Noer Zaman (ed), Agama untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000
Ilyas, Hamim, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis
terhadap Keselamatan Non-Muslim, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005
Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies,
USA: The University of Arizona Press, 1980
Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukanan
Antar Umat, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, (terj.Anas Mahyuddin), cet-2,
Bandung: Pustaka, 1996
Shihab, M. Quraish, Tafisr Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Syahrur, Muhammad, al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam, Damaskus: Al-Ahali
lil-Tiba'ah Wa an-Nashr wa at-Tauzi, 1996
Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: a Sourcebook, New York: Oxford
University Press, 1998
Fatwa Majelis Ulama Indonesia no: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tanggal 19-22
Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Skulerisme Agama
Leirvik, Odbjorn, Yesus dalam Literatur
Islam, (terj. Ali Nur Zaman), (Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002), hlm.
427
Madjid, Nurchlolis, dkk, Fiqh Lintas Agama,
(Jakarta: Paramadina, 2004)
* Penulis adalah Dosen
STIH Pertiba Pangkalpinang, alamat: Jl.Kampung Melayu Rt.05/Rw.02 Tuatunu Indah
Kota Pangkalpinang, e-mail: juan_diey100384@yahoo.com
[1] Fazlur Rahman,
Sikap Islam terhadap Yahudi, dalam Agama untuk Manusia (ed. Ali Noer
Zaman), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 30
[2] Hamim Ilyas, Dan
Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis terhadap Keselamatan
Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), h.5
[3] Fazlur Rahman,
Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay, dalam Approaches to
Islam in Religious Studies, (ed.Richard C. Martin), (USA: The University of Arizona Press, 1980),
h. 190
[4] Azyumardi Azra,
Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukanan Antar Umat
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 202
[6] Fazlur Rahman, Tema
Pokok Al-Qur’an, (terj.Anas Mahyuddin), (Bandung: Pustaka, 1996), cet-2,h.234-235
[8] M. Quraish
Shihab, Tafisr Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) Vol 10, h. 515
[11] Muhammad
Syahrur, al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam, (Damaskus:
Al-Ahali lil-Tiba'ah Wa an-Nashr wa at-Tauzi, 1996), h.38
[12] Ali Bulac, The Medina Document, dalam Charles
Kurzman
(ed.), Liberal
Islam: a
Sourcebook, (New
York: Oxford University Press, 1998), h.175-7
[13] Abdulaziz
Sachedina, “Apakah Islam Membatalkan Agama Yahudi dan Kristen”, dalam Agama untuk Manusia (ed. Ali
Noer Zaman), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 13-14, bandingkan dengan
pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Hamim Ilyas, Dan Ahli
Kitab..., h. 72 dst
[14] Fatwa Majelis
Ulama Indonesia no: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29
Juli 2005 M tentang Pluralisme, Liberalisme dan Skulerisme Agama
[17] Odbjorn Leirvik, Yesus dalam Literatur Islam, (terj. Ali Nur Zaman),
(Yogyakarta: Pustaka Baru, 2002), h. 427
Tidak ada komentar:
Posting Komentar