STRUKTUR LOGIKA DALAM TEORI HUKUM ISLAM
(Telaah atas Teori Qiyas dan Double
Movement)
Oleh : Juandi*
Latar Belakang Masalah
Josef van Ess menulis tentang
struktur[1] logika dalam telogi Islam.
Dalam catatannya ia mengatakan bahwa dasar logika berfikir para Mutakallimun
tidak hanya mengakses pada logika Aristoteles, tetapi lebih jauh lagi, walaupun
secara keseluruhan logika kalam tidak identik dengan logika Stoik, fakta
yang ia temukan adalah logika kalam dibangun atas dasar logika Stoik.[2] Struktur logika Stoik dalam hal ini adalah ditandai dengan adanya sistem
penandaan (jika……maka…), sedangkan logika Aristoteles ditemukan adanya “silogisme”
yang mendasarkan pemikiran adanya premis minor, premis mayor, kesimpulan dan
terdapat middle term antara dua premis.
Model logika berfikir
Aristoteles ini, menurut beberapa penelitian, mempengaruhi pola-pola berfikir
dalam sistem Islam seperti kalam dan fiqh[3] (silogisme model asy-Syafi’i yang dikenal
dalam tradisi Islam sebagai qiyas). Penggunaan qiyas dalam
tradisi Mutakallimun berusaha untuk membuktikan kebenaran adanya Tuhan. Dalil
didasarkan pada indikasi tanda yang mereka kenal sebagaimana meng-qiyas-kan
sesuatu yang nampak (ada) kepada sesuatu yang tidak nampak (ghaib) atau
sebaliknya meng-qiyas-kan sesuatu yang tidak ada kepada sesuatu yang
nampak (ada). Selanjutnya, dalam tradisi hukum Islam qiyas digunakan
dengan menemukan ‘illat (alasan hukum) yang secara kasar dapat disamakan
dengan ratio legis yang kadang disebutkan secara eksplisit dalam teks
dan adakalahnya tidak.[4]
Tradisi hukum Islam (fiqh)
mengenal adanya sumber-sumber hukum yaitu al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.[5] Untuk menjelaskan tentang proses qiyas, asy-Syafi’i menegaskan
sekurang-kurangnya ada dua hal yang harus diperhatikan: pertama, jika
Allah dan rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau
menghalalkannya karena alasan (‘illat/ma’na) tertentu, kemudian
kita dapatkan hal serupa tetapi tidak ada nash khusus di dalam al-Qur’an atau
Sunnah maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa
hal itu mempunyai essensi (‘illat) yang sama dengan yang telah
ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah tadi. Kedua, dalam
hal dua kasus yang hampir-hampir sama, maka analogi (qiyas) harus
didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap, terutama dari sudut lahiriah.[6] Dalam hubungan ini, landasan penetapan hukum model qiyas asy-Syafi’i
memiliki kesamaan secara struktur logika dengan cara berfikir Aristoteles. Akan
tetapi, landasan penemuan ‘illat hukum harus didasari pada apa yang
ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah[7] dan ijma’. Dalam
konteks ini, peran akal ada tetapi dibatasi oleh peran teks.[8]
Kesinambungan antara
peran akal dan teks pada periode kontemporer ditunjukan oleh satu tesis yang
dikeluarkan oleh Fazlur Rahaman tentang gerak ganda (double movement)[9] yang
digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, secara khusus hukum Islam. Dalam
teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu “ideal moral” dan ketentuan
legal spesifik al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai
penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pasan al-Qur’an sebagai
satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang sehingga
al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat.[10] Aplikasi
pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya
tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan legal spesifiknya. “Ideal moral”
yang dituju al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifik.[11]
Melihat hal di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun Rahman berusaha
untuk mengkontektualisasikan ajara al-Qur’an, termasuk ajaran hukum, tetapi ia
tidak lepas dari ketergantungan terhadap teks. Karena “ideal moral” adalah
prinsip umum yang dibangun oleh al-Qur’an sebagai teks suci itu sendiri.
Teori double movement
di atas maupun teori qiyas dalam tawarannya memiliki logika berfikir
masing-masing, namun hal yang tidak dapat dinafikan bahwa kedua teori ini memiliki
kesamaan dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran
tentang substansi teks. Dengan demikian makalah ini berusaha melihat sejauhmana
keterkaitan antara logika-logika tersebut dengan melihat alur berfikir dalam
penarikan hukum serta term-term yang digunakan. Hal ini menarik untuk dikaji
karena menurut asy-Syatibi yang dikutip Danusiri[12] bahwa
golongan pola pikir gabungan antara tektualis dan kontekstualis (mungkin juga
raionalitas) merupakan golongan yang matang intelektualnya (rāsikhun/profesional)
dalam mengetahui maksud syara’.
Untuk menemukan
keterkaitan antara logika hukum Islam, maka digunakanlah pendekatan sistemik (systemic
Appraoch),[13]
namun agak disederhanakan. Sungguhpun demikian, pembahasan ini juga berusaha
melakukan pendekatan sejarah untuk menutupi kekurangan pendekatan sistemik di
atas.[14] Dalam
hubungan ini, pembahasan yang dilakukan adalah kajian teks dengan berupaya
melihat dua komponen yaitu genisis pemikiran dan sistematika pemikiran. Untuk
sistematika pemikiran mungkin memiliki kesamaan dengan systemic approach.
Logika Aristoteles dan Stoik
Logika adalah term yang diambil dari bahasa latin
berasal dari kata “logos” yang artinya perkataan, sabda, lelucon, ibarat atau
perumpamaan.[15]
Akan tetapi, kata logika yang dalam bahasa latin disebut juga “logica”,
inggris “logic”, Yunani “logike” atau “logikos”, secara
umum diartikan sebagai apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal
budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis dan dapat dimengerti.[16] Istilah
lain dalam terminologi Islam disebut mantiq, yaitu kata Arab yang
diambil dari kata kerja nathaqa yang berarti berkata, berucap atau
berbicara. Semantara itu, al-manthiqiyu disebut juga al-kalamu:
ucapan.[17]
Mantiq atau logika dalam
perkembangannya memiliki beberapa pengertian, diantaranya, George F. Kreller
dalam buku Logic and Language of Education sebagaimana yang dikutip
Mundiri menyebutkan bahwa manthiq adalah “penyelidikan tentang
dasar-dasar dan metode-metode berfikir benar”.[18] Selanjutnya,
Thaib Thahir mengatakan manthiq sebagai ilmu untuk menggerakan pikiran
kepada jalan yang lurus dalam memperoleh kebenaran.[19] Irving M.Copi
mendifinisikan logika sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang
digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran yang salah.[20] Sementara
itu, Ibn Khaldun mengatakan bahwa logika berbicara tentang kaidah-kaidah yang
memungkinkan seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah,
dimana keduanya dalam difinisi memberi informasi tentang isi sesuatu (mahiyat)
dan dengan alasan yang bermanfaat bagi persepsi.[21]
Sungguhpun demikian, pengertian logika yang telah dirumuskan di atas tidak
terlepas dari dasar logika yang digagas Aristoteles.
Aristoteles, sekalipun gagasan logika selalu disandarkan
kepadanya, tidak pernah menyebut kata-kata logika (logike) dalam
buku-bukunya. Ia menyebutnya dengan analytic untuk menyelidiki
argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang benar dan dialectic
untuk menyelidiki argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis yang tidak
pasti kebenarannya.[22] Kata
logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium dalam arti “seni berdebat”.
Kemudian digunakan oleh Alexander Aphrodisias dalam arti ilmu yang menyelidiki
lurus tidaknya suatu pemikiran[23] dan selanjutnya
dirintis oleh kaum Sofis, Socrates dan Plato. Sungguhpun demikian, logika
sebagai ilmu diperkenalkan oleh Aristoteles, Theoprostus dan kaum Stoa.[24] Istilah
logika ini kemudian digunakan sebagai padanan kata untuk istilah dua bentuk
penalaran dan argumentasi, yaitu demonstration, yang mengahasilkan
bukti-bukti ilmiah dan dialectical argument yang ditemukan dalam
pedebatan dan silang pendapat antara beberapa orang.[25] Selanjutnya,
ilmuwan belakangan mencoba membagi-bagi logika berdasarkan kualitas, metode dan
objeknya.[26]
Berdasarkan pembagian logika maka logika Aristoteles
disebut logika tradisionalis, logika formal atau logika deduktif.[27] Secara
deduktif muatan logika fundamental tentang argument ada dua yaitu, pertama,
argument yang valid (logis) adalah jika semua premis benar, kemudian
kesimpulannya harus benar. Dengan kata lain, sebuah argument dikatakan valid
hanya dalam kasus yang tidak mungkin semua premis benar dan kemudian
kesimpulannya salah. Kedua, invalid argument adalah jika mungkin premis
benar dan kesimpulan salah.[28] Logika
Aristoteles yang teringkas dalam enam karyanya yang terkenal dengan Organon
“instrument”[29]
mengandung ajaran yang paling penting yaitu silogisme. Silogisme adalah jenis khusus dari sebuah argument
yang terdiri dari tiga bagian yaitu premis mayor, premis minor dan
kesimpulan.[30]
Sejumlah bentuk dalam silogisme dapat ditemukan dalam
istilah yang digunakan oleh Skolastik.
Bentuk pertama: bentuk silogisme yang
mana term tengah (middle term) menjadi subyek pada premis mayor dan
menjadi predikat pada preis minor.
* Semua manusia fana (premis mayor). Sokrates
adalah seorang manusia (premis minor). Dengan demkian:
sokrates fana (kesimpulan)
Model ini disebut “Barbara”:
* Tak ada ikan yang rasional, Semua hiu adalah ikan, Dengan
demikian: tak ada hiu yang rasional
Model ini disebut “Calerent”
* Semua manusia rasional, sebagaian
binatang adalah manusia, dengan demikian sebagain binatang adalah
rasional.
Model ini disebut “Darii”
* Tak ada orang Yunani berkulit hitam, sebagaian manusia
adalah orang Yunani, dengan demikian sebagian manusia tak berkulit
hitam.
Model ini disebut “Ferio”.
Bentuk kedua: bentuk silogisme dengan
term tengah menjadi predikat pada premis mayor dan premis minor.
* Semua tumbuhan membutuhkan air. Tidak satu
pun benda mati membutuhkan air. Dengan demikian, tidak satu
pun benda mati adalah tumbuhan
Bentuk ketiga: silogisme dengan term
tengah menjadi subjek pada premis mayor dan premis minor.
* Setiap manusia mempunyai rasa takut. Tetapi
setiap manusia adalah binatang. Dengan demikian, Sebagian binatang
mempunyai rasa takut
Model-model
silogisme di atas lebih sering disebut silogisme katagorik yaitu silogisme yang
semua proposisinya katagorik. Di samping itu, ditemukan juga silogisme hipotesis
dan disjungtif. Yang disebutkan pertama bergumul dengan penalaran-penalaran
abstrak yang bersifat mungkin, jika, memakai pernyataan “jika-maka”, atau
kombinasi pernyataan “jika-maka” dan pernyataan katagoris,[31]
sedangkan yang disebutkan terakhir yang dalam uraian kuno tentang silogisme,
pembedaan dibuat diantara arti lemah “entah-atau” (sering disebut alternative)
dan arti kuat (sering disebut disjungtif).[32] Kedua
logika ini telah terkonsep dalam logika Stoik.
Logika Stoic atau juga sering disebut sebagai logika mazhab
Stoa[33] adalah logika
model silogisme hipotesis dan disjungtif, berbeda dengan logika Aristoteles
yang menggunakan silogisme katagorik. Paling tidak, dua istilah di atas berasal
dari kaum Stoa. Mereka menganggap logika sebagai hal yang paling mendasar. Selain
itu, kaum Stoa memiliki teori pengetahuan yang sangat rinci terutama bersifat
empiris dan didasarkan pada persepsi, meskipun mereka mengakui beberapa ide dan
asas tertentu yang dianggap ditetapkan oleh consensus gentium,
kesepakatan umat manusia.[34] Agaknya,
yang disebut belakangan berada di luar pembahasan logika sekalipun masih ada
keterkaitannya.
Pada pembahasan tentang logika, menurut kalangan Stoic, dapat
dibagi menjadi dua yaitu dialektika dan retorika sebagai upaya untuk menambah
teori definisi dan teori tentang kereteria kebenaran. Logika Stoik tidak jarang
pula disebut dengan epistemology Stoic, yaitu menghilangkan logika formal model
Aristoteles.[35]
Dalam logika Aristoteles terdapat teori katagori yang menjelaskan tentang
adanya 10 kebenaran yang dapat dijadikan pokok (untuk katagori pertama adalah
substansi) dan sebutan dalam suatu kereteria logika. Jenis keberadaan itu
adalah substance (benda), quantity (besaran), quality
(sifat), relation (hubunan), place (tempat), time (waktu),
attitude (sikap), possessing (kepemilikan), activity (kegiatan)
dan passivity (penderitaan).[36] Selanjutnya,
10 model Aristoteles ini direduksi oleh logika Stoik menjadi 4 bagian saja
yaitu: substrate, esensial constitution, accidental constitution dan relative
accidential constitution. Akhirnya, 4 katagori tersebut dikenal juga dengan
logika formal model Stoik.[37]
Logika dan epistemologi pada masa Stoic kuno menekankan
pada kalkulus proposional dan menurunkan kaitan-kaitan logis.[38] Model logika
kalkulus proposional adalah
bagian paling awal dari logika moderen yang sering disbut juga kalkulus
essential.[39]
Epistemology Stoic menyumbangkan “paham umum” kepada filsafat.
Preposisi-preposisi[40] menjadi
sederhana jika term-termnya[41]
non-proposisi, sebaliknya berupa campuran. Proposisi
campuran diumpamakan, “jika X, maka Y”, ada 4 katogori yang dihasilkan dari
preposisi campuran ini yaitu: (1) dikatakan benar, jika X dan Y keduanya benar;
(2) dikatakan salah, jika X benar dan Y salah; (3) dikatakan benar, jika X
salah dan Y benar; (4) dikatan benar, jika X dan Y keduanya salah. Jadi, implikasi “logika materil” kita terpisah dengan implikasi “logika
formal” dan implikasi “logika sempurna.” [42] Jika dibuat
tabel kebenaran maka akan dihasilakan sebagai berikut[43] :
X
|
Y
|
hasil
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
B
B
S
S
|
B
S
B
S
|
B
S
S
B
|
Beranjak pada persoalan
pembuktian akan kebenaran, logika Stoic dibangun atas dua hal yaitu commemorative
sign dan indicative sign. Commemorative sign adalah
fakta-fakta yang sudah kita ketahui sebelumnya. Misalnya, kita mengetahui bahwa
adanya asap selalu identik dengan adanya api karena kita telah melihat asap keluar
dari api sebelumnya sebagai pengalaman inderawi kita. Sebaliknya, Indicative
sign hanya memberikan tanda atau isyarat sesuatu yang seseorang belum
mengetahui sebelumnya dan barangkali tidak akan perna tahu secara sempurnah.[44] Akan tetapi, pengetahuan manusia didapatkan dari adanya indikasi atau
petunjuk yang menuju ke arah sesuatu. Stoic tidak hanya menolak doktrin Plato
tentang universalitas transcendental, tetapi juga menolak doktrin Aristoteles
universalita konkrit. Hanya keberadaan individu dan pengetahuan kita yang
merupakan pengetahuan objek tertentu. Objek khusus inilah yang membuat kesan
dalam jiwa, dan pengetahuan sesungguhnya adalah pengetahuan akan kesan ini.
Dengan demikian, Stoik adalah empiristik, sejajar dengan “sensualis”[45]; tetapi mereka juga memelihara
Rasionalisme yang jarang konsisten dengan posisi empiristik dan nominalis.[46] Sekalipun demikian, model pembuktian
Stoik ini dengan jelas kita temukan dalam pembuktian adanya Tuhan pada logika Mutakalimmun.
Logika Mutakalimmun
Josef van Ess menilai Logika
atau manthiq ini sekalipun tidak disukai oleh Mutakalimmun awal
karena mereka lebih senang menggunakan istilah adab al-kalam atau jadal
al-kalam dalam beragumentasi, namun secara tidak langsung para teolog dan
juga para pembuat hukum menggunakan metode-metode logika.[47] Kalam sendiri secara harfiah berarti berkata atau berbicara.[48] Para sarjana barat menduga bahwa asal-usul istilah kalam diturunkan
secara langsung dari kata Yunani, dialexis, yang digunakan oleh para
pastur, atau kata logos, secara tidak langsung melalui bahasa Yunani. Akan
tetapi, tidak satupun argument yang mendasari pandangan-pandangan tersebut memberikan
kesimpulan pasti karena istilah kalam dalam Islam sudah ada sebelum
terjadi kontak dengan sumber-sumber Kristen, Yunani atau Suryani.[49] Sungguhpun demikian, model pembicaraan Mutakalimmun yang dirumuskan
dalam adab al-jadal adalah keniscayaan yang menunjukan adanya penggunaan
logika.
Model-model pembicaran dilingkungan Mutakalimmun,
menurut van Ess, sering menggunakan tanya jawab dalam beradu argumentasi dengan
lawan, mempertahan argumennya (defen) dan menyerang lawan (attack),
mereka selalu mengunggulkan argumentum ad haminem.[50] Hal ini
juga diperkuat oleh pendifinisian olah Ibn Khaldun bahwa ilmu kalam
adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan aqidah
keimanan dan menolak pembaruan yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum
muslim pertama dan ortodoksi muslim, ahl as-sunnah.[51]
Apa yang dikemukankan van Ess tersebut mengarahkan pada
pengertian kalam sebagai sebuah prosedur dimana ketika kita membahas
atau mendiskusikan suatu topik, biasanya terjadi dengan struktur tertentu,
yaitu dimulai dengan adanya tanya dan jawab yang terkadang justru melahirkan
dilema. Pendapat van Ess ini kemudian dibantah oleh Abdul Haleem. Ia mengatakan
bahwa pendapat van Ess yang menyatakan bahwa kalam melibatkan struktur
dialektis tidak selaras dengan pandangan Islam tentang kalam. Situasi
dialektis dan rumusan konjungtif tentu saja merupakan bagian dari kalam
tetapi yang pasti bukan satu-satunya bentuk yang diakui. Dalam hubungan ini,
sepanjang sejarah kalam, tulisan-tulisan idiologi dan karakteristik
beragam juga diterima sebagai bagaian kalam.[52]
Walaupun pendapat Haleem dapat saja kita terima, namun yang tidak dapat ditolak
adalah bahwa Mutakalimmun banyak melalui rumusan tersebut dalam membuat
rumusan-rumusan tentang ketuhanan dan hal-hal yang terkait dengan keyakinan
(tentang manusia dan Tuhan) sebagai akibat dari adanya perdebatan awal.
Dalam mempertahankan aqidahnya, Mutakalimmun,
sebagaimana yang telah dieksplorasi van Ess, telah menghasilkan katagori atau
sistem berfikir, di sini kita sebut dengan struktur logika Mutakalimmun.
Dari sejumlah karya-karya Mutakalimmun yang ditelitinya terdapat
sejumlah kata-kata yang selalu digunakan yaitu : tard wa al-‘aks, su’al
wa jawab, tamyiz, adab al-kalam atau adab al-jadal, dalil, dalalah,
wajhu al-istidlal, ta’aluq, qiyas, lazim dan qarina. Sungguhpun
demikian, dari sejumlah term yang muncul istilah tamyiz lebih memiliki
kemiripan dengan model ontologi yang dikemukakan Aristoteles. Aristoteles
mensyaratkan ontologi substansi dan bentuk (partikular dan universal). Difinisi
ini yang digunakan Mutakalimmun untuk membuat generic catagory
dan most special quality (akhsass al-ausaf) yang dimiliki dua hal
secara umum. Selanjutnya, dari sini seseorang mencoba untuk mengklasifikasikan
fakta-fakta tertentu dengan memperbandingkan dua hal tersebut (analogi) atau
dengan membedakan keduanya (tamyiz). Analogi di sini digunakan untuk
menarik kesimpulan dari satu hal yang khusus kepada hal lain dengan menentukan midle
term (hadd ausath), dalam logika Aristoteles. Sungguhpun demikian, tradisi
verbalisme dikalangan Mutakalim sebagai dasar berfikir masih bersifat atomistik
(tidak memiliki hubungan antara satu dengan lainnya), tanpa melihat substansi.
Lebih jauh lagi, para Mutakalimmun dalam
mengembangkan pemikirannya tidak hanya menggunakan model logika Aristoteles dengan
silogisme katagorik di atas, tetapi lebih banyak menggunakan logika silogisme hipotesis
model Stoik yaitu dengan pola ”jika…..maka… ”. Dengan kata lain, logika Mutakalim
lebih dekat dengan logika Stoik sekalipun kita tidak dapat mengatakan bahwa
logika Mutakalim identik dengan logika Stoik. Paling tidak, struktur
logika Mutakalim secara moral lebih bersifat agresif, apologetik dan
menekankan pada defen and attack sehingga tidak jarang mereka melakukan
kesalan logis, yaitu lebih menekankan pada triumph of Argumentum ad hominem.
Tambahan pula, logika Mutakalim bersifat mempertahankan keyakinan atau logical
demonstration of belived truth.[53] Hal ini
memang harus diakui karena logika ini tidak sebatas mempertahankan tetapi
menemukan bukti-bukti untuk membenarkan keyakinan yang mereka anut.
Sebagai upaya pembuktian ini, logika Mutakalimmun
sangat terkait dengan model indicative sign dalam logika Stoik.[54] Paling tidak, sangat terkenal di kalangan Mutakalimmun yaitu
cara-cara pembuktian adanya Tuhan dengan menunjukan segala sesuatu yang ada di
alam sebagai ciptaannya. Dalam hal ini, istilah ”istidlal bi
asy-syahid ‘ala al-ghaib atau qiyas al-qaib ‘ala asy-syahid” adalah
model logika yang menunjukan adanya persamaan dengan logika Stoik.[55] Sungguhpun demikian, sekali lagi, kita harus mengatakan bahwa apakah
benar Mutakalimmun mengambil langsung model logika Stoik dalam
pemikirannya atau ini hanyalah suatu kreatifitas berfikir dimana semua pemeluk
agama memiliki sumber dan cara tersendiri untuk membuktikan dan mengembangkan
kebenaran ajaran agamanya.
Di pihak lain, penggunaan logika Aristotelian yang
terbatas pada konseptualisme logis dan penjelasan linier dengan mengganti akal
jenis meditatif (‘aql mu’abir) yang senantiasa diseru dalam al-qur’an
menjadi akal dialektika (‘aql jadali), para Mutakalimmun mengakumulasikan
berbagai kontradiksi yang menyelubungi seruan-seruan al-Qur ‘an terhadap
kesadaran imajinatif.[56]
Penjelasan terakhir ini tidak kita bahas lebih jauh, tetapi penjelasan tentang
model indicative sign yang dalam logika Mutakalimmun membentuk
istilah qiyas al-qaib ‘ala asy-syahid, membuat ketertarikan kita untuk
melihat struktur logika hukum islam terutama qiyas.
Logika Hukum Islam (Qiyas)
Secara etimologis, qiyas berarti mengukur,
memastika, membandingkan sesuatu yang semisalnya.[57] Sementara
itu, secara istilah ushul fiqh, qiyas adalah menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat (effecitve cause) hukumnya.[58] Pengetian
qiyas semacam ini adalah qiyas dalam pemahaman Syafi’i dan
setelahnya, sedangkan qiyas sebelum asy-Syafi’i hanya digunakan untuk
menunjukan kesamaan dua kasus yang serupa yang dimulai dengan penggunaan
pendapat pribadi (ra’y) dalam kasus-kasus yang tidak ada nasnya.[59]
Pengertian qiyas setelah asy-Syafi’i memuat empat
unsur yang menjadi bagunannya, yaitu: kasus baru (far’), al-aṣl
(kasus asli yang ada dalam nash), al-’illat (ratio legis) yaitu
alasan serupa antara aṣl dan far’ yang berupa sifat umum yang
terdapat pada keduanya, dan al-hukm yaitu hukum yang dipergunakan qiyas
untuk memperluas hukum dari asal ke far’ atau norma hukum yang
dinisbatkan kepada kasus baru yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru
karena kesamaan antara kedua kasus.[60] Misalnya,
kasus yang sangat popular adalah tentang hukum keharaman anggur dari kurma
kering (nabidz) karena adanya kesamaan ‘illat dengan keharaman
meminum khamar yang terdapat di dalam al-Qur’an, yaitu memabukan.
Penemuan ‘illat hukum dalam sebuah kasus yang terdapat
dalam teks secara garis besar dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid),
metode-metode yang keabsahannya diakui oleh para juris, dan dugaan (probable)
(zhanniyyah atau mutawahhamah), yang keabsahannya masih bersifat
dugaan dan kemungkinan.[61] Metode
yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’ (consensus) dan nass
(the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass yang eksplisit (ṣarih)
dan implisit (ima wa tanbih). Sementara itu, metode yang kedua yang
bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian), syabah
(keserupan), ṭard atau ṭaradi (kebersamaan atau kebetulan), dawran
(perputaran), juga disebut ṭard wa’aks (kebersamaan dan
kespesifikan) dan sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi).[62] Selain metode tersebut, masih ada
perdebatan di kalangan ulama tentang jumlah dan jenis lainnya. Misalnya, fuqaha
menganggap metode tanqih al-manaṭ (pembersihan dan dasar ketetapan hukum),
tahqiq al-manaṭ (verifikasi atau realisasi dasar ketetapan hukum) dan takhrij
al-manaṭ (pengambilan dasar ketetepan hukum) dapat digunakan sebagai metode
penetapan ‘illat. Ketiga metode ini ditolak oleh al-Ghazali dan al-Amidi
sebagai masalik al-illat.[63] Keduanya memasukannya dalam ijtihad fi
al-‘illat.
Al-Ghazali sendiri lebih
sering menggunakan metode munasabah. Wael B.
Hallaq mengatakan bahwa metode munasabah (kesesuaian) ini banyak
dipergunakan al-Ghazali. Ia mengatakan bahwa metode munasabah (kesesuaian)
ini banyak dipergunakan al-Ghazali.[64] Menurut
al-Ghazali kereteria untuk menentukan kesesuaian atau kelayakan (munasabah)
adalah keterkaitannya dengan kemaslahatan.[65] Artinya,
kesesuaian tersebut adalah bahwa ‘illat dimaksud, dilihat dari segi
kemaslahatannya, memang menghendaki ditetapkannya hukum bersangkutan dan al-ausaf
al-munasib (atribut yang sesuai) atau munasib adalah alasan yang
didasarkan pada kemaslatan. Selanjutnya, munasib ini dibedakan menjadi 3
yaitu: munasib efektif (mu’ashshir), munasib selaras (mula’im)
dan munasib ganjil (garib).[66]
Misalnya, ‘illat ditetapkannya perwalian harta atas anak dibawa umur
adalah keadaan dibawah umur (as-siqar). Hukumnya di sini adalah
ditetapkannya perwalian atas harta; ‘illat hukum tersebut adalah keadaan
sang anak yang masih di bawah umur. Keadaan di bawah umur ini adalah al-wasf
al-munasib[67]
karena menurut pikiran sehat memang pantas atau sesuai bahwa anak di bawa umur
ditempatkan di bawah perwalian dalam hal mengurus hartanya sebab anak tersebut
belum bisa mengurus harta sendiri. Melalui perwalian kemaslahatan anak
menyangkut hartanya dapat dilindungi. Metode ini tentunya berbeda sekali dengan
dua metode berikutnya.
Metode tard wa’aks (istilah ini sering digunakan
al-Amidi dan Ibn al-Hajib) dalam istilah usul fiqh lebih dikenal dengan dawran
(rotation) adalah apabila ada kualitas hukum tertentu maka hukum juga
ada bersamaan dengannya dan jika kualiatas hukum tersebut tidak ada maka hukum
pun tidak ada. Misalnya, diperbolehkan meminum jus anggur selama tidak
memabukan dan tidak diperbolehkan jika memabukan, dan juga dibolehkan jika ia
berubah menjadi cuka.[68] Selanjutnya,
metode as-sabr wa at-taqsim yaitu metode klasifikasi dan eliminasi
secara berturut-turut. Metode ini menyortir semua alasan yang dianggap kandidat
dan dengan proses eliminasi berturut-turut, akan sampai pada sebuah alasan yang
tetap. Misalnya, roti tidak menjadi objek transaksi yang berbau riba. Menurut
mazhab Syafi’i ada tiga alasan larangan yang mungkin: dapat ditakar dengan
timbangan, dapat ditakar dengan isi dan dan dapat dimakan. Akan tetapi, roti
dikatakan tidak dapat dijual dengan timbangan dan tidak dapat dijual dengan isi
sehingga yang tersisa adalah alasan dapat dimakan.[69] Kalau
begitu, metode ini dalam logika disebut juga dengan preposisi bersyarat yang
terpisah (as-syarath al-munfashil), sejenis silogisme yang digunakan
untuk menemukan sebab-sebab rasional (‘illa al-aqliyyah) dalam persoalan
rasional (ma’qulat).[70]
Berdasarkan cara-cara penemuan ‘illat hukum dalam
qiyas di atas maka kita dapat menganalisa lebih jauh lagi. Sistem berfikir
‘illat sangat erat kaitannya dengan system logika Aristoteles maupun Stoic.
Sistem penemuan ‘illat dengan syabah sangat terpengaruh oleh
model silogisme Aristoteles. Misalnya, as-Syafi’i menegaskan bahwa niat sahnya
wudu’ berdasarkan analogi tayamum. Niat tidak berkaitan dengan kesucian tetapi
ia berkaitan dengan ibadah. Jika demikian, dapat disusun silogisme dengan
gambaran sebagai berikut:
Premis mayor : niat sesuai
dengan ibadah
Premis minor : ibadah
mensyaratkan kesucian, atau kesucian sesuai dengan ibadah
Middle term : ibadah
Kesimpulan : Niat sesuai
dengan kesucian
Sebagai kesimpulan, asy-Syafi’i membuktikan berdasarkan qiyas
syabah bahwa niat penting bagi wudu’.[71]
Struktur qiyas tersebut menunjukan bahwa ia memiliki kesamaan dengan
silogisme Aistoteles, sekalipun tidak dapat dibuktikan secara pasti bahwa para
fuqaha’ meminjam dari sana. Sesuatu yang permanent dalam logika qiyas adalah
komposisi yang sama dengan fungsi yang sama pula seperti terdapat dalam
komposisi Aristoteles, sedangkan yang berubah adalah kebutuhan akan premis
mayor yang bersumber dari sesuatu yang lebih “suci” dalam pengertian sumber.
Tidak hanya itu, logika fiqh terutama qiyas
tidak hanya mengakses pada logika Aristoteles, lebih jauh lagi ia lebih banyak
bersinggungan dengan logika Stoik. Hal ini dapat dibuktikan dengan pengunaan conditional
sentence “jika…maka…” yang terdapat dalam, terutama, penemuan ‘illat
dengan metode tard wa’aks atau dawran. “jika ada kualitas hukum
maka ada hukum dan jika tidak ada kualitas hukum maka tidak ada hukum.” Seperti
halnya logika Mutakalim maka logika fiqh pun memiliki kesamaan
dalam hal ini.[72]
Hal ini juga diperkuat dengan penelitian Josef van Ess. Ia mengatakan jika diproyeksikan
ke dalam ide Stoic maka model dawran ini tidak lebih dari kereteria
validitas klausa bersyarat dan mungkin sebanding dengan logika materil pada
masa Hellenistik.[73] Selanjutnya,
metode sabr wa taqsim dalam penemuan ‘illat juga menggunakan
logika preposisi disjungtif bersyarat yang terdiri dari dua proposisi yang
saling terkait satu dan yang lain sebagai dua alternative atau pemisah yang
saling meniadakan satu sama lainnya :”apakah nomor ini genap atau ganjil.”[74] Sementara itu, silogisme disjungtif
ditemukan dalam logika Stoik seperti juga silogisme hipotesis. Dengan demikian,
dalam logika qiyas telah mengalami pembauran antara logika Aristoteles
dan logika Stoik, namun dari penjelasan tentang penemuan ‘illat hukum,
logika Stoik lebih mendominasi dari logika Aristoteles.
Berbeda halnya dengan apa yang
dituliskan oleh Muhammad Roy bahwa yang mempengaruhi perkembangan usul fiqh
terutama konsep qiyas adalah logika Aristoteles. Menuutnya pengaruh ini
dimulai pada masa kodifikasi ushul fiqh dan pembakuan qiyas
menjadi metode ijtihad yang mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti pada masa
asy-Syafi’i. Roy sepakat untuk mengatakan bahwa asy-Syafi’i sejak awal sudah
terpengaruh logika Aristoteles dengan tiga alasan. Pertama, logika
Aristoteles telah masuk ke dunia Islam melalui ilmu kalam dan imam asy-Syafi’i
juga seorang teolog. Kedua, asy-Syafi’i menguasai bahasa Yunani
sebagaimana keterangan yang dibuat oleh Abi Abdullah al-Hakim dalam bukunya Manaqib
asy-Syafi’i. Ketiga, adanya
persamaan konsep antara teori qiyas asy-Syafi’i dan teori silogisme
Aristoteles yaitu penggunaan term dengan genus dan differentia-nya,
premis mayor, premis minor, konklusi dan fungsi masing-masing premis.[75]
Bagi penulis sendiri,
keterkaitan antara konsep qiyas dan logika Aristotles atau juga Stoik
terjadi pada masa setelah asy-Syafi’i bukan pada masa asy-Syafi’i. Hal ini
didasarkan pada pendifinisian qiyas yang dilakukan asy-Syafi’i. Ia mengemukakan
bahwa qiyas adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk mencari
kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam nash al-Qur’an
dan Sunnah (hadis). Adapun adanya ‘illat merupakan salah satu dari dua
proedur qiyas yang ia kemukakan. Dalam Bab Istbaat al-Qiyas wa
al-Ijtihad dari kitab ar-Risalah-nya, asy-Syafi’i tidak membedakan
antara qiyas yang diinginkan dengan ijtihad.
-
berdasar apakah Anda menyatakan bahwa persoalan
yang tidak ada nashnya di dalam al-kitab, sunnah atau ijma’, harus ditentukan
dengan qiyas? Apa sesungguhnya qiyas itu nas
khobar lazim?
+ saya berkata: apabila sesuatu telah
ditegaskan dalam kitab atau Sunnah, anda harus mengatakan “ini perintah Allah”
atau “ini perintah Rasulullah”, jangan anda katakana “ini qiyas”
-
apakah qiyas
itu juga ijtihad? Atau ada bedanya?
+ keduanya punya arti yang sama
-
apakah
dasar umum dari keduanya?
+ semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan
seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurang-kurangnya
ada ketentuan umum yang menunjukan kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum
tersebut harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tidak lain adalah qiyas
(analogi).[76]
Selanjutnya, pendapat ini tidak disetujui oleh imam al-Ghazali. Ia mengatakan:
sebagian fuqaha’ berpendapat bahwa qiyas berarti ijtihad. Pendapat ini
tidak benar karena ijtihad lebih komprehensif ketimbang qiyas dan
ijtihad dilakukan dengan menyelidiki hal-hal umum (‘umumat), makna inti
kata-kata (daqa’iq al-lafazh) dan semua metode penalaran (thuruq
al-adilah), di samping qiyas.
Berdasarkan pernyataannya, al-Ghazali ingin menunjukan
bahwa definisi qiyas yang diberikan asy-Syafi’i secara logis cacat karena
difinisi tersebut tidak spesifik (mani’), mengandung masalah-masalah
yang didasarkan pada ra’y yang disebut ijtihad dan tidak meyeluruh
karena ia tidak meliputi jenis-jenis qiyas, seperti qiyas jali
(analogi yang jelas), di mana penggunaan qiyas tidak mengusahakan
apapun.[77] Dari
kritik ini, dapat dilihat bahwa struktur qiyas yang dimaksud oleh ulama
setelah asy-Syafi’i yang disebut-sebut memiliki kesamaan dengan logika
Aristoteles tidak persis sama dengan logika asy-Syafi’i. Seharusnya asy-Syafi’i
tidak mendistorsi logika Aristoteles, apalagi dikatakan bahwa ia mengetahui dan
memahami bahasa Yunani. Nampak dari pemahamannya tentang qiyas awal
hanyalah sekedar membatasi kebebasan berfikir di satu sisi[78] dan
mengembangkan ajaran hukum Islam di sisi lain karena pada masa itu terdapat dua
mazhab hukum yaitu ahl hadiṡ yang cenderung tektualis dan ahl ra’y
yang cenderung tidak membatasi penggunaan ra’y.[79] Agaknya,
dimungkinkan masuknya logika Aristoteles ke dalam qiyas terjadi pada
masa ulama’ setelahnya, terutama pada masa al-Ghazali yang secara
terang-terangan menjadikan mantiq Aristo sebagai salah satu syarat sah
ijtihad.[80]
Keterpengaruhan asy-Syafi’i terhadap Aristoteles
sebagaimana yang diduga oleh Joshep Schacht[81] yang kemudian
diakui oleh M. Roy tidak dapat dibuktikan secara jelas, karena batasan
keterpengaruhan seseorang dengan pemikiran lain tidak dapat ditunjukan hanya
dengan melihat persamaan konsep. Kemungkinan keterpengaruh itu lebih pada
kemungkinan adanya kutipan langsung yang bersifat “membentuk” karakter
pemikir yang mengutip, bukan dalam bentuk kutipan dengan kepentingan “menolak”
(reaksi). Sedangkan asy-Syafi’i tidak pernah menyebutkan pemikiran Aristoteles
langsung ataupun tidak, baik sebagai “pembentuk” maupun “reaksi” pemikirannya.
Tidak ada proses referensial antara asy-Syafi’i dengan Aristoteles.
Sungguhpun demikian, model qiyas sekarang telah
memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap pengembangan keilmuan islam,
terutama dalam hukum. Hal ini terlihat juga ketika muncul satu tesis tentang
gerak ganda yang digagas Fazlur Rahman.
Logika Teori Double Movment Fazlur Rahman[82]
Ketentuan-ketentan hukum yang sudah ada dalam al-Qur’an
dan -hadis bagi pembuat hukum klasik tidak akan dilakuakan penafsiran lebih
jauh. Mereka cenderung menerima apa yang telah tercantum dalam al-Qur’an dan
al-hadis tersebut. Misalnya, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya,
keyakinan bahwa al-Qur’an dan sunnah nabi telah mencakup berbagai persoalan hukum
menyebabkan imam asy-Syafi’i harus membuat teori hukum yang langsung
disandarkan kepada kedua sumber tersebut yang dikenal dengan teori qiyas.
Sementara itu, seiring dengan perkembangan zaman dan penyebaran Islam, bentuk hukum
Islam yang bukan hanya di tanah Arab an sich, harus menemukan
bentuk-bentuk yang berbeda (kontekstual).
Penerapan hukum berdasarkan apa yang tersurat dalam
al-Qur’an maupun hadis dipandang sebagian sudah tidak kontekstual, walaupun ada
juga yang masih relevan dengan zaman dan tempat ia diberlakukan. Sementara itu,
usaha yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama untuk reinterpretasi al-Qur’an dan
hadis sebagai usaha reformasi, belum menghasilkan “sesuatu” yang memuaskan.[83] Untuk
menjawab kegelisahan ini, maka munculah ulama-ulama yang mencoba menawarkan
teori untuk memenuhi kehampaan epistemology dan aksiologi secara khusus dalam hukum
Islam, dan secara umum dalam studi Islam, menjadikannya relevan disetiap tempat
dan masa (shahih li kulli zaman wa makan). Salah satu diantaraya adalah
teori double movement yang ditawarkan Fazlur Rahman.
Rahman dalam satu karyanya menjelaskan cara-cara
pemahaman al-Qur’an yang belakangan dikenal dengan teori double movement:
first, one must understand the import or meaning of a given
statement by studying the historical situation or problem to which it was the
answer. Of course, before coming to the study of specific text in the light of
specific situation, a general study of the macrosituation in term society,
religion, customs, and institution, indeed, of life as a whole in Arabia on the
eve of Islam and particularly in and around Mecca –not excluding the
Perso-Byzantine wars- will have to the made. The first step of the first
movement, then, consists of understanding the meaning of the qur’an as a while
as well as in term of the specific tenets that constitute responses to specific
situation. The second step is to generalize those specific answers and
enunciate them as statements of general moral-social objectives that can be
“distilled” from specific text in light of sociohitorical back ground and the often-stated
rationes legis. [84]
Whereas the first movement has been from the specifics the Qur’an to
the elicting and systematizing of its general principles, values, and
long-range objectives, the second is to be from this general view to the
specific view that is to be formulated and realized now. That is, the
general has to be embodied in the present concrete sociohistorical context.
This once again reguires the careful study of the present situation and the analysis
of its various component elements so we can asses the current situation and change
the present to whatever extent necessary, and so we can determine priorites
afresh in order to implement the Qur’anic values afresh. To the exten that we
achive both moments of this double movement successfully, the Qur’anic’s
imperatives will become alive and effective once again. While the first task is
primarly the work of the historian, in the performance of the second the
instrumentality of the social scientist is abviously indispensable, but the actual
“effective orientation” and “ethical engineering” are the work of he ethist.[85]
Jika dicermati lebih seksama maka akan ditemukan beberapa hal
penting dalam pernyataannya. Pertama, memahami dan memaknai pernyataan
dengan melihat situasi sosio-historis pada saat statement itu muncul. Kedua,
membuat kesimpulan terhadap statemen tersebut dengan mengklasifikasikan asperk “ideal
moral” dan legal formal yang spesifik. Pengklasifikasian ini didasarkan atas
kombinasi antara aspek sosio-historis dengan ratio legis yang terkadang
dinyatakan. Ketiga, “ideal moral” yang didapatkan sebagai kesimpulan
terhadap pemahaman dan pemaknaan statement tersebut dibawa ke kontek sekarang
sesuai dengan sosio-historinya yang konkrit.
Konsep “ideal moral” sangat menarik untuk dicermati
karena melibatkan sesuatu yang umum. Struktur logika yang digunakan Rahman untuk
pembacaan ulang terhadap ayat al-Qur’an memiliki kesamaan dengan struk logika
yang digunakan dalam teori qiyas yaitu melibatkan rasio legis (‘illat
hukum atau ma’na dalam istilah asy-Syafi’i). Tentunya Rahman juga
terpengaruh oleh model-model logika fikih dalam menemukan hukum, hanya saja Rahman
memiliki cakupan lebih luas karena ia tidak berbicara pada persoalan hukum an
sich, tetapi lebih pada pembacaan al-Qur’an. Sungguhpun begitu, kita tidak
dapat menyimpulkan bahwa stuktur logika double movement sama persis
dengan logika qiyas, tentunya, kita akan menemukan berbagai perbedaan.
Perbedaan yang mencolok apa yang telah dilakukan Rahman
adalah ia melibatkan konteks (sosio-historis) dulu dan sekarang. Tidak hanya
itu, lebih jauh lagi, sebagai syarat penemuan “ideal moral” yang akan dijadikan
alasan pembuatan hukum untuk konteks sekarang pun harus melibatkan dua hal
yaitu alasan hukum (ratio legis) yang kadangkalah eksplisit (dinyatakan
dalam teks itu sendiri) dan kadangkalah semi-eksplisit (tidak dinyatakan tetapi
ada petunjuk), dan kontek sosio-historis yang memberikan pemahaman mengapa
sebuah aturan diturunkan. Aturan khusus yang merupakan jawaban terhadap kasus khusus
kemudian digeneralisir berdasarkan kondisi sosio-historis karena aturan khusus
tersebut telah dibatasi oleh rasio legis. Dengan demikian, logika ini
adalah induktif.[86]
Logika induktif dalam cara-cara pengungkapan “ideal
moral” dari sebuah aturan, yang dikemukakan Rahman, jika diproyeksi ke dalam
logika qiyas akan bertemu dengan pengungkapan ‘illat yang zhani.[87] Hanya
saja kita tidak akan mengatakan bahwa Rahman telah melakukan peng-qiyas-an
menjawab persoalan sekarang dengan persoalan yang terdapat dalam al-Qur’an disertai
dengan mencari sebab aturan yang ada dalam al-Qur’an.[88] Hal ini
disebabkan karena, pertama, ia tidak mengungkapan kasus perkasus tetapi
lebih umum sehingga tidak ditemukan muqayyas ‘alaih dan muqayyis,
sekalipun ada contoh-contoh kasus. Kedua, “ideal moral” yang merupakan kombinasi
rasio legis dan kontek sosio-histois tidak untuk menjawab kasus-kasus
yang benar-benar tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi juga untuk menjawab
persoalan yang ada sekarang sekalipun aturan itu sudah ada dalam al-Qur’an[89]. Hal
ini tentunya menyalahi hukum qiyas (yang sistematis), sekalipun
al-Ghazali mendifinisikan ‘illat sebagai sesuatu yang dilandaskan pada
kemaslahatan,[90]
namun Rahman tidak melandasinya pada konsep kemaslahatan karena “ideal moral”
adalah basic ĕlan dari al-Qur’an itu sendiri yaitu semangat moral, ide-ide
keadilan social dan ekonomi.[91] Ketiga,
kesimpulan akhir dari persoalan yang akan dijawab tidak harus sama dengan
jawaban terhadap kasus yang ada dalam al-Qur’an (legal spesifik). Jawaban itu
boleh sama persis dengan jawaban yang ada dalam al-Qur’an, boleh berbeda dan
bahkan bertentangan.[92] Hal ini
disesuaikan dengan formulasi antara “ideal moral” dan konteks sekarang yang
diinginkan.
Terlepas dari persoalan di atas, logika Rahman tentang
teori double movement tetap memiliki kemiripan dengan model-model ulama fiqh
menjelaskan teori qiyas karena keduanya menggunakan rasio legis. Dalam
konteks ini, dari aspek kesejarahan pemikiran tentunya logika qiyas ini
memberi pengaruh penting dalam logika double movement. Raman dalam satu
artikelnya mengelaborasi tentang qiyas dan mengkritik ulama yang tidak
seragam mempraktekakkan qiyas dengan mencari rasio legis, mereka
terkadang menerapkan prinsip qiyas terlalu ketat dan terkadang terlalu
liberal, sehingga sebagian dari mereka mengemukakan prinsip lain seperti maslahah
dan istihsan. Padahal jika fuqaha mengeluarkan prinsip-prinsip secara
sitematis lewat penyarian ‘illat al-hukm dari aturan al-Qur’an,
serta telah mensistematisasikannya secara hierarkis dalam term-term yang lebih
umum dan lebih khusus, yang lebih fundamental dan kurang fundamental maka
mereka pasti telah bisa memasukan prinsip-prinsip yang lebih rendah ke
perinsip-prinsip yang lebih tinggi.[93] Dengan
demikian, kita dapat mengatakan bahwa gerakan pertama dari double movement
adalah penyempurnaan terhadap penemuan ‘illat hukum model qiyas
dengan mengkombinasikan antara rasio legis yang mungkin disebutkan atau
semi eksplisit dan kontek sosi-historis, yang tujuannya menemukan tujuan al-Qur’an
atau “ideal moral”.
Lebih jauh lagi, tentunya, double movement adalah
contoh model logika induktif untuk gerakan pertama dan logika deduktif untuk
gerakan kedua, namun ia memadukan antara model substansi dan bentuk (universal
dan particular) dalam logika Aristoteles untuk menentukan rasio legis
dengan model logika hipotesis Stoik dengan mengambil premis-premis tidak dalam
bentuk tunggal tetapi banyak. Hal ini karena factor yang menyebabkan sesuatu
dilihat berdasarkan kondisi social, ekonomi, politik dan sebagainya secara
komprehensif. Namun, untuk
gerakan pertama proposisi-proposisi bisa saja berbentuk tunggal. Jadi, logika
Fazlur Rahman dalam teori double movement adalah perpaduan antara dua
logika sekaligus yaitu induktif yang secara cikal bakalnya dari Stoic bahkan
Plato dan logika deduktif yang cikal bakalnya dari Aristoteles. Model logika
perpaduan deduktif dan induktif ini, dalam logika qiyas, juga dilakukan oleh
imam asy-Syatibi dalam menemukan prinsip universal hukum (kulli) dari
kasus-kasus partikuler (juziyyat) dan dari kasus partikular baru (juzi).[94] Pola pertama membentuk
logika induksi dan pola kedua membentuk logika deduksi.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal:
- struktur logika dalam hukum Islam (qiyas) memiliki kesamaan dengan struktur logika kalam, sedangkan struktur logika kalam dalam beberapa hal memiliki persamaan dengan logika Aristoteles dan lebih banyak juga mengakses logika Stoik. Namun, struktur hukum Islam, dalam hal ini qiyas, tidak dapat dipastikan diadopsi dari pemikiran Aristoteles, walaupun harus diakui bahwa ulama fiqh, semisal asy-Syafi’i, tidak hanya seorang fuqaha tetapi juga Mutakalimmun. Selanjutnya, kita dapat memastikan bahwa perkembangan qiyas setelah asy-Syafi’i memang benar-benar mengadopsi pemikiran Aristoteles, misalnya, apa yang telah dilakukan al-Ghazali dan lain-lain. Pelacakan struktur logika fiqh, lebih jauh lagi, ternyata banyak menggunakan logika Stoic, terutama dalam usaha menemukan ‘illat hukum. Hal ini sama seperti yang terjadi dalam dunia kalam. Komponen yang permanen dari logika hukum Islam (qiyas) adalah model silogisme yang terdapat dalam logika Aristoteles dan juga diadopsi oleh Mutakalimmun, sedangkan yang mengalami perubahan adalah ketentuan premis mayor yang harus didapatkan dari sumber yang ”suci” sebagai ciri khas pemikiran Islam.
- logika teori double movement yang dikemukakan Fazlur Rahman adalah perpaduan antara logika induktif dan deduktif. Pada gerakan pertama adalah logika induktif yang bertujuan untuk menemukan “tujuan” atau “ideal moral” yang dalam pelacakannya ternyata merupakan usaha penyempurnaan terhadap qiyas yang sudah ada (karena qiyas yang sudah ada tidak dapat menemukan ‘illat hukum dengan klasifikasi yang sistematis). Pada gerakan pertama, tentunya, Rahman terpengaruh oleh model berfikir qiyas, karena ia pun menjelaskan prosedur qiyas yang menurutnya belum sempurnah. Selanjutnya, gerak kedua adalah model logika deduktif, yaitu manarik hal yang umum sebagai hasil dari gerak pertama kepada hal-hal yang khusus yang sedang dihadapi masyarakat sekarang dengan mempertimbangkan kondisi objektif.
Bibliografi
Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Ahmad
Warson Munawir, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984
Anwar,
Syamsul, ” Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam al-Ghazali,”
dalam Amin Abdullah, dkk., Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000
___________,
“Paradigma Fikih Kontemporer:
Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam,”
dalam kumpulan makalah Metodelogi Hukum Islam, 2007 (tidak diterbitkan)
Arkoun,
Muhammad, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa: Hidayatullah, Bandung:
Pustaka, 2000
Baihaqi,
A.k, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berfikir Logik, ttp: Darul Ulum Press,
1996
Coulsen,
N.J., A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press,
1964
Danusiri,
“Epistemologi Syara’”, dalam Noor Ahmad, dkk, Epistemologi Syara’: Mencari
Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Ess,
Josef Van, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Issa J Boullata
(ed.) An Antology of Islamic Studies, McGill: Institute of Islamic
Studies McGill University, 1970
Ghazali,
Muhammad al-, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, 2 jilid, ttp: Dar al-Fikr,
tt
Hallaq,
Wael B., A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul
al-Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press, 1997
Haleem,
M. Abdul, “Early Kalam”, dalam Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leman (ed.), History
of Islamic Philosophy (Part 1), London:
Routledge, 1996
Hasan, M. Ali, Ilmu Mantiq Logika, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992
Hasan,
Ahmad, The Early Development of Islamic Juresprudence, Delhi: Adam
Publishers and Distribution, 1994
____________,
Analogical Reasoning In Islamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical
Principle of Qiyas, Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994
Husni,
Muhammad, Pengantar Logika dan Pengembangan Kreatifitas dalam Berfikir,
Yogyakarta: Gama Exacta Corporation, 1995
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000
Jabiri,
Muhammad Abed al-, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan Dan
Pluralisme Wacana Interreligius, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta:
Ircisod, 2003
Syafi’i,
Muhammad Idris asy-, ar-Risalah li al-Imam al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris
asy-Syafi’i, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani, Kairo: Dar al-Fikr, 1969
Kamali,
Muhammad Hashim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih
bahasa: Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
Kamus Filsafat, Tim Penulis Rosada,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995
Kamus Filsafat, Loren Bagus, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2000
Kamus Ilmiah Populer, Pius A Partanto
dan M. Dahlan al-Barry, Surabaya: Arkola,1994
Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Ali Mudhofir, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 1996
Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, edisi kedua, Yogyakarta: Tirai Wacana, 2003
Madkour,
Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi
Asmin, cet. Ke-2, Jakarta: Bumi Aksara, 2002
Khatibi,
Muhammad 'Ajaj al-, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, tt
Minhaji,
Akh., “Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi
Minoritas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah, dkk., Antologi studi Islam:
Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000
Muchtar,
Kamal, dkk, Ushul Fiqh Jilid 1, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995
Mu’in,
Taib Thahir Abd., Ilmu Mantiq (Logika), Jakarta: Widjaya, 1981
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Nasir, Sahilun A., Pengantar Ilmu Kalam,
Jakarta: Rajawali, 1991
Nasution,
Khoiruddin, Fazlur Rahman tentang Wanita, Yogyakarta: Tazzfa dan
Academia, 2002
Poespopradjo,
W. dan T.Gilarso, Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berfikir Logis, Kritis,
Analisis, Dialektis, Mandiri dan Tertib, Bandung: Remaja Karya, 1989
Prent C.M, K., dkk. Kamus
Latin-Indonesia, Semarang: Penerbitan Yayasan
Kanisius, 1969
Rahman,
Fazlur, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka,
1994
_________,
Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Mahyuddin, cet.ke-3, Bandung:
Pustaka, 1995
_________,
“Islamic Modernisme: Its Scope, Method and Alternatives”, dalam International
Journal of Middle Eastern Studies, Vol.I, (1970), 317-33
_________,
Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition,
Chicago: the University of Chicago, 1919
_________,
“Menafsirkan al-Qur’an,” dalam Tufik Adnan Amal (penerjemah dan penyunting), Metode
dan Alternative Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Bandung: Mizan,
1993, diterjemahkan dari Fazlur Rahman, “interpreting the Qur’an”.
_________,
“Ke Arah Perumusan Metodologi Hukum Islam Syaikh Yamani Tentang ‘Kepentingan
Umum’ dalam Hukum Islam, dalam Tufik Adnan Amal (penerjemah dan penyunting), Metode
dan Alternative Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Bandung: Mizan,
1993, diterjemahkan dari artikel Rahman “Towards Reformulating the Methodology
of Islamic Law: Syaikh Yamani on ‘Publik Interest’ in Islamic Law”
________,
“Catatan Otobiografis: Usaha Membangkitkan Kembali Visi al-Qur’an,” dalam
Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, Sufyanto dan Imam Musbikin (ed. dan penerjemah),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),3-14. Diterjemahkan dari artikel Fazlur
Rahman “An Authobiographical Note”
Roy,
Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Russell,
Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, alih bahasa: Sigit Jatmiko, dkk,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Safi,
Louay, The Foundation of Knowlage: A Comparative Study in Islamic and
Western Methos of Inqury, Slangor: International Islamic University
Malaysia Press dan International Instritute of Islamic Thought, 1996
Salam,
Burhanuddin, Logika Formal (Filsafat Berfikir), Jakarta: Bina Aksara,
1998
Searles,
Herbert L., Logika dan Metode-metode Ilmiah Pelajaran Pendahuluan, alih
bahasa: Soejono Soemargono dan Sriboedah Soeharto, Yogyakarta: Yayasan
Pembinaan Fak. Filsafat UGM, tt.
Scacht,
Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The Clarendon
Press,1950
Smith,
Robin, “Logic,” dalam Joathan Barnes (ed.), The Cambridge Companion to
Aristotle, USA: Canbridge University Press, 1995
Soekadijo,
R.G., Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991
Syahrūr,
Muhammad, Al-Kitāb wa Al-Qur’ān: Qira'ah Mu'āşira, Damaskus:
Al-Ahali lil-Tiba'ah wa an-Nashr wa at-Tauzi, 1991
--------------,
Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa: Sahiron Samsuddin dan
Burhanudin, Yogyakarta: el Saq Press, 2004
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta:
Logos wacana Ilmu,1997
Syatibi,
Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi al-Qirnati asy-, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
cet ke-3, Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1997
Tidman,
Paul dan Howard Kahane, Logic and Philosophy: a Moderen Introduction,
USA: Wadsworth Publishing Company, 1999
Wahyudi,
Yudian, Ushul Fikih versus Hermeneutika: Membaca Islam dari Kanada dan
Amerika, Yogyakarta: Nawasea, 2006
Wegner,
Judith Romney, “Islamic and Talmudic Jurisprudence: The Four Roots of Islamic
Law and Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal
History, vol. XXVI, 1982
Wolfson,
Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam, U.S.A: Harvard University
Press, 1976
Zahrah,
Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke 9,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
[1] Meminjam pengetian Abed al-Jabari, “struktur” pada dasarnya mengacu
pada adanya factor-faktor permanent dan factor-faktor yang berubah. Muhammad
Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan
Pluralisme Wacana Interreligius, alih bahasa: Imam Khoiri (Yogyakarta:
Ircisod, 2003), hlm. 64. Konsekuensi yang akan didapatkan, ketika dikatakan
struktur logika hukum Islam maka yang dimaksud adalah adanya factor-faktor
permanent dan faktor-faktor yang berubah dalam pemikiran hukum islam yang
membentuk logika hukum Islam..
[2] Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam
Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute
of Islamic Studies McGill University, 1970), hlm. 32
[3] Ibid.; dan lihat juga: Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab
Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh
(Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), hlm. 9; dan Wolfon yang mengutip
pendapat Shahrastani tentang kemungkinan masuknya pengaruh Aristoteles dalam
pemikiran kalam. Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(U.S.A: Harvard University Press, 1976), hlm. 20-2. Qiyas dalam tradisi
Islam akan ditemukan dengan adanya muqaddimah kubra, muqaddimah sugrah
dan natijah.
[4] van Ess, The Logical Structure…, hlm. 34-5
[5] Susunan struktur hukum tersebut diakui pertama kali dilakukan oleh
imam asy-Syafi’i. Lihat Muhammad Idris asy-Syafi’i, ar-Risalah li al-Imam
al-Muthalibi Muhmmad ibn Idris asy-Syafi’I, tahqiq: Muhammad Sayid Kailani
(Kairo: Dar al-Fikr, 1969), hlm. 25. Ulama-ulama selanjutnya juga menyepakati
bahwa asy-Syafi’ilah yang telah menyusun struktur hukum tersebut. Lihat:
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh),
alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm. 6; lihat juga
N.J.Coulsen, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1964), hlm. 56-7; dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih
bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, cet. Ke-9
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 16. Sedangkan Untuk melihat hubungan
keempatnya, sebagai perbandingan, apa yang dikemukakan Aristotles mungkin dapat
membantu menguraikannya. Menurut analogi ini, al-Qur’an dan Sunnah adalah
prinsip materil (sumber), kegiatan penalaran analogis (qiyas) adalah
prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan ijma’ adalah prinsip
formalnya atau kekuatan fungsional. Dengan demikian, tujuan stuktur ini untuk
memungkinkan manusia dapat hidup di bawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan
kehendaknya. Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2
(Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 90
[6] Asy-Syafi’i, ar-Risalah…, hlm. 26. Dalam penjelasan
ini sebenarnya asy-Syafi’i tidak menggunakan kata-kata ‘illat tetapi
menggunakan kata-kata ma’na.
[7] Sunnah yang dimaksud di sini adalah sunnah dalam pengertian ulama
usul fiqh yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah selain
al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan sebagaimana layak
untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’. Muhammad 'Ajaj al-Khatibi, Ushul
al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 19.
Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa:
Anas Mahyuddin, cet.ke-3 (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 38; dan Muhammad
Syahrūr, Al-Kitāb wa Al-Qur’ān: Qira'ah Mu'āşirah ( Damaskus: Al-Ahali lil-Tiba'ah wa an-Nashr
wa at-Tauzi, 1991), hlm. 581; idem, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih
bahasa: Sahiron Samsuddin dan Burhanudin (Yogyakarta: el Saq Press, 2004),
224-5; serta Akh. Minhaji, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad
Baru tentang Posisi Minoritas Non-Muslim”, dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi
studi Islam: Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000),
hlm. 336-40
[8] Model berfikir seperti ini merupakan contoh paradigma klasik hukum
Islam yang yang bersifat epistemology/metodologis. Ada tiga paradigma hukum
Islam yang dapat kita temukan, yaitu paradigma teologis, paradigma linguistik
dan paradigma metodologis. Yang
disebutkan pertama terbagi dua, yaitu paradigma teologis yang mengakui
kekuasaan Allah dan paradigma yang mengakui keadilan Allah. Yang disebutkan
kedua juga terbagi dua, yaitu paradigma optimistik linguistik dan paradigma
skeptis linguistik. Dan yang disebutkan terakhir terbagi menjadi tiga, yaitu
paradigam dengan memegang prinsip akal mengikuti wahyu, wahyu mengikuti akal,
dan paradigma yang menyeimbangkan peran wahyu dan akal. Lihat: Samsul Anwar,
“Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari
Arah Baru Telaah Hukum Islam,” dalam kumpulan makalah Metodelogi Hukum
Islam, 2007, hlm. 2-5 (tidak diterbitkan).
[9] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition, (Chicago and London: The University of Chicago,
1982), hlm. 5
[10] Fazlur Rahaman, “Menafsirkan al-Qur’an”, dalam Tufik Adnan Amal
(penyunting dan penerjemah), Metode dan Alternative Neomodernisme Islam
Fazlur Rahman, cet-5 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 55-56. Diterjemahkan dari
Fazlur Rahman, “Interpreting the Qur’an”.
[11] Lihat: Tufik Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-Usaha
Neomodernisme Islam Dewasa ini, dalam Taufik Adnan Amal (penyunting dan
penerjemah), Metode dan Alternative Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,
cet-5 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 21
[12] Danusiri, “Epistemologi Syara’”, dalam Noor Ahmad, dkk. (ed.), Epistemologi
Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), hlm. 61
[13] Pendekatan sistemik di sini berusaha melihat adanya keterkaitan
antara masing-masing logika, struktur pemikiran dan penggunaan term-term
masing-masing logika.van Ess, The Logical Structure…, hlm. 41
[14] Pendekatan sejarah di sini terkait dengan sejarah pemikiran (history
of thought, history of ideas atau intellectual history) yang secara
metodologi mempunyai tiga pendekatan yaitu pendekatan untuk kajian teks, kajian
konteks sejarah dan kajian hubungan antara teks dan masyarakat. Pada kajian
teks yang dilihat adalah genesis pemikiran (keterpengaruan pemikiran seseorang
dengan pemikiran sebelumnya), konsistensi pemikiran, evolusi pemikiran, sistematika
pemikiran, perkembangan dan perubahan (developemnt and change), varian
pemikiran, komunikasi pemikiran, internal dialektik dan kesinambungan pemikiran
serta intertekstualitas. Pada kajian konteks ingin mendapatkan konteks sejarah,
konteks politik, konteks budaya, dan konteks sosial sedangkan dalam persoalan
hubungan antara teks dan masyarakat berupaya melihat adanya pengaruh pemikiran,
implementasi pemikiran, dimensi pemikiran dan sosialisasi pemikiran. Lihat:
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, edisi kedua (Yogyakarta: Tirai Wacana,
2003), hlm. 191-8
[15] K. Prent C.M, dkk. Kamus Latin-Indonesia (Semarang:
Penerbitan Yayasan Kanisius, 1969), hlm. 501
[16] Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2000), hlm. 519
[17] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, bagian
huruf Nun (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 1531
[18] Mundiri, Logika (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 2
[19] Secara istilahan ia menuliskan ada
5 pengertian mantiq yaitu: ilmu tentang undang-undang berfikir, ilmu untuk
mencari dalil, ilmu untuk menggerakan fikiran kepada jalan yang lurus dalam
memperoleh suatu jebenaran, ilmu ynag membahas undang-undang yang umum untuk
fikiran dan alat yang merupakan undang-undang dan bila undang-undang ini
dipelihara dan diperhatikan maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari
fikiran-fikiran yang salah. Baca: Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq (Logika)
(Jakarta: Widjaya, 1981), hlm. 16-7. Lihat juga: M. Ali Hasan, Ilmu
Mantiq Logika (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 1
[20] Mundir, Logika…, hlm. 2
[21] Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih
bahasa: Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 668. Untuk pengertian
lebih lanjut bandingkan dengan: Herbert L. Searles, Logika dan Metode-metode
Ilmiah Pelajaran Pendahuluan, alih bahasa: Soejono Soemargono dan Sriboedah
Soeharo (Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fak. Filsafat
UGM, tt), hlm. 2-3
[22] Loren Bagus, Kamus…, hlm. 529.
[23] Muhammad Roy, Ushul Fiqih…, 114. Lihat juga: Loren Bagus, Kamus…,
hlm. 519
[24] Mundiri, Logika…, hlm. 2, namun dalam catatan lain dikatakan
bahwa peletak batu pertama ilmu logika adalah Socrates yang kemudian
dilanjutkan Plato dan dilengkapi oleh Aristoteles. Di tangan Aristoteles inilah
logika berkembang sehingga ia diberi gelar guru pertama dalam ilmu pengetahuan.
Kemudian setelah ditangan Aristoteles dikembangkan pula oleh al-Farabi yang
kemudian digelar sebagai guru kedua dalam ilmu pengetahuan. Al-Farabi
mengembangkan logika pada dataran praktek. Sedangkan pada abad moderen mantiq
dikembangkan oleh Herbert dan Imanuel Kant. Baca: Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq…,
hlm. 16; bandingkan dengan Baihaqi, A.k, Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berfikir
Logik (ttp: Darul Ulum Press, 1996), hlm. 2
[25] Robin Smith, “Logic”, dalam Joathan Barnes (ed.), The Cambridge
Companion to Aristotle (USA: Canbridge University Press, 1995), hlm.
28. Dalam tulisan lain dikatakan dua
istilah yang kemudian dijadikan istilah logika Aristoteles adalah analytic
dan dialectic. Lihat Muhammad Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 115.
[26] Logika dapat dibagi menjadi beberapa katagori berdasarkan kualitas,
metode dan objeknya. Berdasarkan kualitas logika terbagi dua: logika
naturalis (manthiq al-fitri) yaitu kecakapan berlogika berdasarkan
kemampuan akal bawaan manusia dan logika artifisialis atau logika ilmiah
(manthiq as-Suri), yaitu penyusunan hukum-hukum, patokan-patokan dan
rumusan-rumusan berfikir lurus untuk membantu logika naturalis, memperhalus,
mempertajam serta menunjukan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih
teliti, efisien, mudah dan aman. Dari segi metodenya, logika terbagi dua pula: logika
tradisional (Manthiq al-Qadim), yaitu logika model
Aristoteles (logika sylogisme katagoris) dan logika Moderen (Manthoq
al-Hadis), yaitu system logika yang ditemukan oleh Raymundus Lullus “Ars
Magna”. Selanjutnya, dari segi objeknya logika terbagi dua: logika
formal (Manthiq as-Suwari) atau logika deduktif yaitu cara berfikir
dari umum ke khusus dengan mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak ada
pertentangan) dalam pemikiran dengan menggunakan aturan-aturan, hukum-hukum,
rumusan-rumusan berfikir yang benar dan logika material (Manthiq
al-Maddi) atau logika induktif, yaitu berfikir dari khusus ke umum,
mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyatan, menilai logika
formal dan menguji dengan kenyataan empiris. Lihat Mundir, Logika…, hlm.
13-4. Adapun logika moderen yang ditemukan Raymundus Lullus, sebelumnya telah
dirintis oleh Leibniz (1646-1716) dimana ia lebih mengutamakan pada penerapan
dan bercorak matematis. Selanjutnya, logika ini menjadi logika simbolik yang
menelaah semata-mata bentuk dari berbagai perbincanan, bukan isinya. Muhammad
Husni, Pengantar Logika dan Pengembangan Kreatifitas dalam Berfikir
(Yogyakarta: Gama Exacta Corporation, 1995), hlm. 6
[27] Muhammad Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 115-6.
[28] Loren Bagus, Kamus Filsafat…, hlm. 4. Sedangkan secara
pendekatan, pendekatan deduktif merupakan pendekatan rasional yang koheren dan
logis terhadap suatu gejala tertentu dimana kesimpulan yang ditarik merupakan
konsekuensi logis dari fakta-fakta yang sebelumnya telah diketahui. Husni, Pengantar
Logika…, hlm. 38
[29] Enam karyanya adalah posterior analytic yang berisikan bukti
demonstrative dan sifat dasar pengetahuan ilmiah, Prior Analytic
berisikan kaidah silogisme, Topic, On Sophistical Refutation,
Cagories, On Interpretation. Ada satu lagi karyanya yang berjudul Rhetoric,
namuan tidak termasuk dalam Organon. Lihat: Robin Smith, Logic…, hlm. 28-9
[30] Lihat: Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, alih
bahasa: Sigit Jatmiko, dkk (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 266. Lihat
juga: Paul Tidman dan Howard Kahane, Logic and Philosophy: a Moderen
Introduction (USA: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 298. Dalam
pengertian yang agak terperinci misalnya dicatat M. Roy yang dikutip dari
Richad B. Angel, silogisme diatikan sebagai suatu bentuk penarikan konklusi
secara deduktif tak langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang
disediakan serentak sehingga jika silogisme bersifat deduktif maka konklusinya
tidak dapat mempunyai sifat yang lebih umum dari premisnya dan konklusi ditarik
dari sua premis yang salah satunya harus bersifat lebih umum. Roy, Ushul
Fiqh…, hlm. 133. Loren Bagus menuliskan arti silogisme sebagai cara
berargumen deduktif abasah manapun yang mempunyai dua premis dan satu
kesimpulan, dimana premis tersebut terkait dengan kesimpulan yang terkandung
dalam premis-premis, konklusi harus menyusul. Loren Bagus, Kamus Filsafat…,
hlm. 999. Inilah yang selanjutnya dikatakan sebagai cara berfikir logis. Hukum
berfikir logis yang dirumuskan Aristoteles ada 3 prinsip, yaitu prinsip
identitas, non kotradiksi dan prinsip menyisihkan jalan tengah. Selanjutnya,
ditambahkan oleh Leibnitz dengan prinsip cukup alasan. Husni, Pengantar
Logika dan Pengembangan..,hlm. 53-4
[31] Silogisme hipotesis maksudnya penalaran dengan bentuk “jika P maka
Q; jika Q maka R” dengan silogisme hipotesisi dimaksudkan bentuk penalaran mana
saja yang premis mayornya majemuk dan premis minornya mengafirmasikan atau
menegasi (menolak) term antecendent atau term konsekuen premis mayornya. Ada 4
macam tipe silogisme hipotesa ini yaitu: pertama, silogisme hipotetik
yang premis minornya mengakui bagaian antecedent, seperti; jika hujan, saya
naik becak. Sekarang hujan. Jadi saya naik becak. Kedua, silogisme
hipotetik yang premis minornya mengakui bagian konsekuen-nya, seperti; bila
hujan, bumi akan basah. Sekarang bumi telah basah. Jadi huja telah turun. Ketiga,
silogisme hipotetik yang premis minornya mengikat antecedent, seperti; jika
politik pemerintahan dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa. Jadi kegelisahan tidak
akan timbul. Keempat, silogisme hipotetik yang premis minornya
mengingkari bagian konsekuen-nya, seperti; bila mahasiswa turun ke jalan, pihak
penguasa akan gelisah. Pihak penguasa tidak gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun
ke jalan. Lihat: Mundiri, Logika…, hlm. 113
[32] Loren, Kamus…, hlm. 1005-6 Silogisme disjungtif ini
maksudnya adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disjungtif sedangkan
premis minornya keputusan katagorika yang megakui atau mengingkari salah satu
alternative yang disebut premis mayor.
Mundiri, Logika…, hlm. 117.
[33] Stoic atau mazhab Stoa adalah mazhab filsafat yang didirikan di
Athens sekitar tahun 305 sebelum Masehi oleh Zeno dari Citium, sbuah kota di
Cyprus. Filsafat ini memberi pengaruh yang sangat besar selama kurun wakti
lebih dari 500 tahun selama periode Hellenestik, Roma dan Krsten. Filsafat ini memperoleh inspirasi dari dua
sumber yaitu Sokrates dan Heracliesus. Salah satu kepercayaan Stoik adalah
bahwa alam semesta adalah satu keseluruhan yang rasional yang dipenuhi oleh
logos. Lihat: Tim Penulis Rosada, Kamus Filsafat, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 324-5 ; dan Ali Mudhofir, Kamus Teori dan
Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gaja Mada University Press,
1996), hlm. 241-2
[34] Russell, Sejarah Filsafat…, hlm. 352
[35] Fredrick Copleston, A History of Philosophy (Great Britain:
Search Press, 1946), hlm. 386
[36] Ali Mudhofir, Kamus Teori…, hlm. 14
[37] Fredrick Copleston, A History of Philosophy…, hlm. 386
[38] Menurut kalangan Stoic manusia mempunyai sekumpulan ide umum. Ide
tersebut menyingkap titik tolak pengetahuan. Ide tersebut itu jamak dan
berperan dalam synkatotheisis (atau penerimaan preposisi-preposisi
sebagai kebenaran). Lihat: Loren Bagus, Kamus Filsafat…, hlm. 1038
[39] Ibid, hlm. 525
[40] Dalam pembicaraan ini preposisi dimaksud adalah kalimat berita yang
menyatakan pembenaran atau penyangkalan yaitu kalimat yang mengandung makna
benar atau salah. Lihat: Roy, Ushul fiqh…, hlm. 129. Adapun bentuk
preposisi ada dua yaitu keterangan mengurai (categorical proposition/qadiyah
hamilah) yang berisikan keterangan sifat atau tingkah laku dari pokok dan
keterangan berkait (condition proposition /qadiyah syarthiyah) yang
salah satu baguian dalam keterangannya bergantung pada bagian lain. Yang
disebutkan terakhir ini dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu: keterangan menduga (hypotetical
proposition/ qadiyah syarthiyah muttasilah) yang dalams alah satu bagian
keterangannya mempunyai hubungan sebab akibat dan keterangan memisah (disjungtive
preposition/ qadiyah syarthiyah munfasilah) yang isi satu bagian dari
keterangan itu mempunyai hubungan yang berlainan dengan isi bagian lainnya.
Baca: Hasan, Ilmu Mantiq…, hlm. 50-1
[41] Sedangkan term adalah kata atau beberapa kata yang memiliki satu
pengertian yang membuat konsep menjadi nyata, sehingga term adalah pernyataan
lahiriah dari konsep atau ide. Loren Bagus, Kamus Filsafat…, hlm. 119
[42] Fredrick Copleston, A History of Philosophy…, hlm. 386
[43] Dari table di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa logika Stoik
adalah bersifat implikasi dengan symbol ( É). Lihat bentuk table kebenaran dalam R.G. Soekadijo, Logika
Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991), hlm. 72-5
[44] Josef van Ess, The Logic…, hlm. 33-4
[45] Maksudnya paham yang tidak percaya kepada hal-hal yang tak
berwujud. Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer
(Surabaya: Arkola,1994), hlm. 702
[46] Fredrick Copleston, A History of Philosophy…, hlm. 387
[47] Josef van Ess, The Logic…, hlm. 22
[48] Misalnya pendapat mengatakan bahwa term kalam secara literel
berarti “berbicara” atau “perkataan”
yang digunakan dalam terjemahan bahasa Arab dari karya-karya filosof
Yunani sebagai terjemahan dari kata logos yang dalam berbagai variasi merupan
terjemahan dari “perkataan”, “ perbincangan” dan “perbedaan pendapat”.
Kata-kata kalam yang digunakan di dalam terjemahan-terjemahan Arab ini
juga berasal dari Yunani dengan pengetian bagian ilmu pengetahuan yang khusus.
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam …, hlm. 1; Isma’il R.
al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazana
Peradaban Gemilang, alih bahasa: Ilyas Hasan, cet.ke-3 (Bandung: Mizan,
2001), hlm. 315
[49] M. Abdul Haleem, “Early Kalam”, dalam Sayyed Hossein Nasr
dan Oliver Leman (ed.), History of Islamic
Philosophy (Part 1) (London: Routledge, 1996), hlm. 72. Masuknya
tradis berfikir Yunani ke dalam dunia Islam tidak lepas dari adanya aliran
Alexanderia yang merupakan benang merah yang menghubungkan Timur dan Barat,
menghubungkan peraban Yunani dengan pemikiran Timur. Hubungan ini semangkin
kuat pada waktu Justanius menutup sekolah Athena pada tahun 529 M. kemudian
dari sini banyak guru Athena yang melarikan diri ke berbagai madrasah Timur di
Ruhha, Nasibin, Hiran dan Jundisrahpur. Madrasah-madrasah ini bersifat religius
dan filosofis yang serius menggeluti ilmu-ilmu pengetahuan Yunani dan memadukan
antara filsafat dan agama. Aliran ini berhasil melestarikan antologi pemikiran
Yunani dan dimasukan ke dalam dunia Islam melalui jalur dari mulut ke mulut
atau melalui jalur sebagian tulisan singkat berbahasa Suryani. Kenyataan inilah
yang memberikan informasi bagaimana kaum muslim pada tahun-tahun pertama abad
kedua Hijriah mengenal sebagian pemikiran Yunani sebelum melakukan gerakan
besar dalam penerjemahan. Lihat: Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
alih bahasa: Yudian Wahyudi Asmin , cet. Ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hlm.
29
[50] van Ess, The Logic…, hlm. 23-25. argumentum ad hominem
maksudnya kesalahan logis yang terjadi karena tidak memperhatikan masalah yang
dibicarakan tetapi justru menyerang orang yang diajak bicara, pribadinya.
Lihat: W. Poespopradjo dan T.Gilarso, Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar
Berfikir Logis, Kritis, Analisis, Dialektis, Mandiri dan Tertib (Bandung:
Remaja Karya, 1989), hlm. 188; Baca
juga: Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berfikir) (Jakarta:
Bina Aksara, 1998), hlm. 102. Kesalahan dalam logika pada dasarnya ada tiga
bentuk yaitu kesalahan karena bahasa, kesalahan relevansi dan rasionalitas
kesesatan. Argumentum ad hominem termasuk kesalahan relevansi. Selain
itu dalam kesalahan relevansi dapat ditemukan kesalahan lain seperti: argumentum
ad verecundiam/argumentum auctoritatis (menerima atau menolak argument
karena orang yang mengemukakannya adalah orang berwibawa, dapat dipercaya dan
seorang ahli), argumentum ad baculum (penolakan atau penerimaan karena
ada ancaman hukum), argumentum ad misericordiam (untuk menimbulkan belas
kasihan), argumentum ad populum (profokasi), kesesatan non causa pro
causa (menganggap sesuatu sebab padahal bukan sebab), kesalahan aksidensi,
kesesatan karena komposisi dan divisi, petito princippi (membuktikan
sesuatu berdasarkan bukti dengan konklusinya atau apa yang hendak kita buktikan
itu sebagai premis), ignoratio elenchi (konklusi tidak sesuai dengan
premisnya), kesesatan karena pernyataan yang kompleks dan argumentum ad
ignoratiam (penyimpulan atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah).
Baca: R.G. Soekadijo, Logika Dasa…,:hlm. 12-21
[51]Ibn Khaldun, Muqaddimah…, hlm. 589
[52] Abdul Haleem, “Early Kalam”…, hlm. 74. Untuk
memperkuat dugaannya Haleem menunjukan bagaiman ilmu kalam ketika berada
ditangan Abu Hanifah. Ia tidak menyebutnya dengan ‘ilmu kalam tetapi ‘Ilm
Al-Fiqh Al-Akbar, kemudian terdapat istilah ‘Ilmu Usul Ad-Din yang
lebih menekankan pada perbedaan usul dan furu’ (roots and
branches) yang dikeluarkan oleh Asy’ari. Kemudian istilah ‘Ilm
Al-‘Aqa’id yang digunakan oleh at-Thahawi, al-Ghazali, ath-Thusi dan
al-‘Iji. Terdapat juga istilah ‘Ilm Al-Nazar Wa Al-Istidlal yang
ikemukakan oleh Taftazani dan istilah ‘Ilm At-Tauhid Wa As-Sifat yang
lebih pada membicarakan keesaan dan sifat-sifat tuhan lainnya. Terakhir yang
juga popular adalah istilah ‘Ilm Tauhid yang diperkenalkan oleh Muhammad
Abduh dalam Risalah at-Tauhid-nya. Ibid., hlm. 74-5. Artinya tidak semua
pembahasan dalam ilmu ini menunjukan adanya su’al dan jawab yang
berakibat pada dilemma.
[53] System kalam yang menjadi ciri para Mutakalimmun
adalah mencari pembuktian sesudah beriman kepada prinsip-prinsip kepercayaan
Islam, sehingga kedudukan Mutakalimmun seperti kedudukan seorang yang
ikhlas, yakin akan kebenaran suatu perkara dan berusaha untuk membelanya.
Lihat: Sahilun A.Nasir, Pengantar Ilmu Kalam (Jakarta: Rajawali, 1991), hlm.
52
[54] Josef van Ess, The Logic.., hlm. 21-34. Rahman pun setuju dengan
adanya pengaruh ajaran filosofis di dalam tubuh kalam, namun ia tidak
menunjukan secara langsung logika mana yang mempengaruhinya. Menurutnya warisan
paling penting yang ditinggalkan oleh ajaran filosofis dan diterima terutama
oleh kalangan ortodok tanpa ragu adalah pembagian wujud menjadi wujud yang
mesti (wajibul wujud) dan wujud yang bergantung (mumkin wujud),
yang memberikan manfaat besar bagi pembuktian adanya Tuhan: alam semesta yang
tercipta sebagai efek yang tergantung yang memerlukan eksistensi Tuhan, yaitu
Wujud yang Mesti, sebagai penyebabnya. Baca: Fazlur Rahman, Islam…, hlm.
173
[55] Dalam ilmu logika (mantiq) model indicative sign ini
diistilahkan dengan ad-dilālah (petunjuk), yaitu memahami sesutu dari
sesutu yang lain (fahmu amrin bi amrin). Amrin pertama dinamakan madlul
dan amrin kedua dinamakan dalal. Dilālah ini ada dua macam
yaitu: dilālah lafżiyah, yakni bilamana si petunjuk merupakan lafaz atau
suara dan dilālah ghair al-lafżi, yakni bilamana si petunjuk bukan
merupakan lafaz, tetapi berupa isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas dan lain
sebagainya. Lihat: Abd. Mu’in, Ilmu Mantiq…, hlm. 29-31; bandingkan
dengan: Baihaqi, A.k, Ilmu Mantik…, hlm. 111
[56] Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, alih bahasa:
Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 2000) , hlm. 31-32
[57] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam,
alih bahasa: Noorhaidi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm, 255; Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos wacana Ilmu,1997), hlm.
144; Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh jilid 1 (Yogyakarta: dana Bhakti
Wakaf, 1995), hlm. 107. Sedangkan menurut Joshep Schacht qiyas
diturunkan dari istilah tafsir Yahudi hiqqish, infinitifnya heqqesh,
dari akar kata bahsa Aramea naqsh, yang berarti “memukuli bersama-sama”.
Kemudian Schacht menjabarkan penggunaannya yaitu: dalam penjajaran dua pokok
masalah dalam bible, mengenai kegiatan penafsiran yang membuat perbandingan
dengan menggunakan teks tertulis, untuk suatu kesimpulan dengan menggunakan
analogi berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam
kasus patokan maupun kasus istilahnya yang disejajarkan. Lihat Lihat: Joseph
Scacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon
Press,1950), hlm. 99; bandikan dengan Judith Romney Wegner, “Islamic and
Talmudic jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law and Their Talmudic Counterparts”,
dalam The American Journal of Legal History, vol. XXVI (1982), hlm.
30-49 Kemudian alasan ini ditolak Hasan karena: pertama, metode filologi
memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam menyingkapi asal-usul dan sumber
pranata fiqh. Kedua, secara sosiologis masyarakat menciptakan
prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak selalu
harus meminjam dari peradaban asing. Lihat: Ahmad Hasan Analogical Reasoning
InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas
(Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), hlm. 96-7.
[58] Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hlm. 336; lihat juga Hasim Kamali
yang mendifinisikan dengan redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama: Prinsip
dan Teori…, hlm. 255, dengan redaksi yang bebeda pula lihat: Ahmad Hasan, Analogical
Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 15. Dengan redaksi yang berbeda
pula lihat: Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 94. Adapun untuk pendifinian yang beragam lihat:
Amir Syarifuddin, Usul Fiqh…, hlm. 144-7.
[59] Ra’y adalah istilah umum (generic) yang menggambarkan
penalaran yang sering digunakan oleh ulama sebelum asy-Syafi’i. Pada fase
perkembangannya kemudian ra’y berkembang menjadi beberapa nama seperti qiyas
(analogi), istihsan, istishlah (kepentingan umum), istishhab dan sebagainya.
Baca: Ahmad Hasan, Analogical Reasoning…, hlm. 6. Istilah ra’y
ini kemudian mempunyai nada subjektifitas yang kuat yang selanjutnya
menghasilkan segudang pendapat hukum dan keagamaan yang bertentangan satu dan
yang lain karena kerelatifbebasannya. Di Irak Imam Hanafi pelopor pemikiran
logis dalam Islam merumuskan ungkapan seprti “ini termasuk katagori…” dan “ini
sama dengan…” Lihat: Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 95. Selanjutnya, qiyas
digunakan Ahl Madinah dalam arti luas seperti imam Malik masih
menggunakan kata-kata amstal, ka dan bi manzilah dalam
al-Muwatta’. Baca: Muhammad Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 35-40
[60] Lihat: Abu Zahrah, Ushul Fiqh…, hlm. 351-2; Lihat juga:
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori…, hlm. 259; Ahmad Hasan, Analogical Reasoning…, hlm.
16; dan Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction
to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 83
[61] Lihat: Hasan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence…,
hlm. 232. Sebagaimana dikutip dari al-Iji. Sedangkan menurut catatan Hasan
al-Syirazi membagi kedua metode tersebut menjadi jenis yaitu pasti (qat’i) dan
mungkin (zani). Ibid.
[62] Metode penemuan ‘illat hukum yang masih diperdebatkan
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: penemuan ‘illat berdasarkan al-sabr
wa at-taqsim artinya mengukur atau menguji beberapa sifat yang terdapat
dalam suatu hukum dan kemudian memilih semua kemungkinan yang dianggap ‘illat
hukum setelah menghimpun sifat-sifat yang patut dijadikan ‘illat. Metode
munasabah artinya mencari kesusaian antara sifat atau sebab hukum dengan
kasus hukum dalam rangka menciptakan kebaikan dan menolak kerusakan. Metode thard
artinya mencari sifat yang sesuai dengan ketetapan hukum atau ketatapan hukum
ada bersamaan dengan sifat atau ‘illat dalam semua kasus, kecuali dalam
hal-hal yang diprdebatkan. Metode syabah digunakan dalam tiga makna
yaitu menyamakan sesuatu kepada yang lain karena keserupaan bentuknya,
merupakan qiyas berdasarkan keserupaan dalam makna, merupakan kualitas
yang menyerupai ‘illat. Metode dawran maksudnya tetapnya hukum
karena adanya sifat tertentu dan tidak adanya sifat tersebut menetapkan pula
tida adanya hukum. Baca: Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 81-7
[63] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 233-4.
[64] Hallaq, A History of Islamic…, hlm. 88
[65] Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa ‘illat di sini adalah
sesuatu yang disyari’atkan oleh hukum yang mendatangkan kemaslahatan dengan
mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat dan ‘illat itu tetap melekat
pada hukum menjadi kemaslahatan ‘ibad. Kemudian ini dikembangkan menjadi maqasyid
asy-syari’ah. Maqasyid ini terbagi menjadi 3 salah satunya adalah dharuriyah
yang mencakup lima hal yaitu menjaga agama misalnya jihad, menjaga jiwa
misalnya pemberlakuan hukum qishash, menjaga akal misalnya dengan
larangan mabuk, menjaga keturunan misalnya dengan larangan zina dan menjaga
harta misalnya dengan larangan mencuri. Lihat: Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa
min ‘Ilm al-Ushul, jilid 2 (ttp: Dar al-Fikr, tt), hlm. 260-2. Tentang
teori maqashid asy-syari’ah ini kemudian mengalami puncaknya setelah
berada di tangan imam asy-Syatibi. Ia tetap mempertahankan pembagian maqashid
yang dilakukan al-Ghazali dan bahkan memberikan penjelasan panjang lebar
terkait dengan tujuan syari’. Lebih lanjut lihat: Abu Ishaq Ibrahim al-Lakhmi
al-Qirnati asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, cet ke-3 (Bairut:
Dar al-Ma’rifah, 1997), I: 324. Selanjutnya teori maqasid ini adalah
salah satu sifat teologi huku Islam yang dapat dilihat dari tujuan-tujuannya.
Baca: Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika: Membaca Islam dari
Kanada dan Amerika (Yogyakarta: Nawasea, 2006), hlm. 44
[66] Al-Ghazali, Al-Mustasfa…, I: 251
[67] Untuk pembagian munasib ini lihat: Hasan, Analogical
Reasoning InIslamic Jurisprudence…,, hlm. 265; Eksplorasi lebih lanjut
lihat: Syamsul Anwar, “Teori Konformitas dalam Metode Penemuan Hukum Islam
al-Ghazali,” dalam dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi Islam:
Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hlm. 278
[68] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 315
[69] Hallaq, A History of Islamic…, hlm. 92
[70] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 331
[71] Ibid, hlm. 298
[72] Selain model silogisme hipotesis ini yang terdapat dalam tradisi kalam,
fuqaha’ pun mengambil konsep qiyas mirip dengan apa yang telah
dilakukan para mutakalimmun. Para mutakalimmun meng-qiyas-ka
sesuatu yang tidak nampak kepada sesuatu yang nampak sebagai pembuktian adanya
Tuhan, maka dalam tradisi fikih, qiyas digunakan untuk menemukan hukum
bagi kasus yang hukumnya sudah jelas.
[73] van Ess, “The Logic.., hlm. 40. Periode Helenestik adalah periode
kedua dari sejarak kawasan yang berbahasa Yunani. Yaitu periode kekuasaan
Makedonia yang sisa-sisa terakhirnya terhapuskan oleh aneksasi Romawi terhadap
Mesir sesudah kematian Kleopatra. Pada periode ini dalam bidang filsafat
menyaksikan kelahiran mazhab Epikurean dan Stoa, serta tampilnya Skeptisisme
sebagai ajaran yang telah terumuskan secara definitive. Lihat: Russell, Sejarah
Filsafat…, hlm. 297
[74] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 2
[75] Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 186-7
[76] asy-Syafi’i, ar-Risalah…, hlm. 205-6
[77] Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, hlm. 98
[78] Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ahmad Hasan. Kemudian ia
memberikan dua alasan terkait dengan penolakan ini. Pertama, asy-Syafi’i
memberikan tekanan pada nas dan sunnah nabi. Kedua, dia menolak ra’y dan
membatasi ruang lingkup qiyas. Lihat Ahmad Hasan, The Early Development of
Islamic Juresprudence (Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), hlm.
195
[79] Analisa berbeda yang dilakukan oleh Yudian Wahyudi adalah bahwa
kepentingan ahl ra’y dan ahl hadis pada masa imam Malik, Abu
Hanifah dan as-Syafi’i sarat dengan kepentingan politik. Sehingga bangunan
keilmuan Islam awal pun tidak lepas dari pesoalan politik yang mempengaruhinya.
Yudian melanjutkan bahwa mengapa imam Malik lebih menekankan penggunaan tradisi
Ahl Madinah dalam membuat ketetapan hukum? Hal ini disebabkan
perpindahan kekuasaan dalam pemerintahan Islam yang tidak di Madinah lagi.
Untuk merebut otoritas pemegang penetapan hukum (konstitusi), maka tradisi
Madinah (ulama’ Madinah) harus dijadikan acuan. Sedangkan Abu Hanifah yang pada
masanya berada dekat dengan pusat pemerintahan Islam, tidak menjadikan tradisi Ahl
Madinah sebagai acuan pembuat hukum karena ulama Madinah secara geo politik
sudah terpinggirkan dan tidak memiliki power. Penetapan hukum yang merupakan
asas pembuatan aturan dalam pemerintahan Islam tidak harus merujuk pada Ahl
Madinah, tetapi cukup dengan al-Qur’an, sunnah dan ra’y. Adapun Sunnah
tidak harus susah-payah dilacak hingga Ahl Madinah. Sedangkan posisi
asy-Syafi’i yang tinggal di Mesir yang notabene-nya meminta “jatah (quota)”,
dalam geo perpolitikan saat itu, dari pemeritahan, bersifat lebih moderat,
karena itu ia berusaha untuk melakukan kolaborasi antara dua pola pikir
tersebut dengan menawarkan metode qiyas sebagai cara penggalian hukum.
Analisa ini disampaikan pada promosi doctor Ilyas Supena tanggal 12 Mei 2007 tentang
Rekonstruksi Epistemology Ilmu-ilmu KeIslaman Menurut Fazlur Rahman, sebagai
tanggapan dan keberatan terhadap penyampaian promovendus.
[80] Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 187
[81] Ibid, hlm. 186
[82] Agar fokus pembahasan ini, di sini sengaja tidak ditampilkan
biografi dan perjalanan Hidup Fazlur Rahman. Secara lengkap untuk perjalan
hidup dan karir silahkan baca: Fazlur Rahman, “Catatan Otobiografis: Usaha
Membangkitkan Kembali Visi al-Qur’an,” dalam Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam,
Sufyanto dan Imam Musbikin (ed. dan penerjemah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), hlm. 3-14. Diterjemahkan dari artikel Fazlur Rahman “An
Authobiographical Note”
[83] Seiring dengan kekuatan massif ulama konservatif yang cenderung
merontokan intelektualisme, munculah intelektual yang cenderung bermain dengan
beradvokasi dan sebagaian melakukan pendekatan modernisme. Fazlur Rahaman
mengklasifikasi metode tersebut menjadi enam yaitu: cenderung diam, sikap
bermuka-Janus yang berbicara dan menulis dengan muka-ganda, ada yang melakukan
pembaharuan lewat tradisi, ada juga yang
melakukan pendekatan parsial dan keterkaitan, ada juga yang melakukan
penafsiran sistematis yang mungkin lebih memuaskan dan layak digunakan, serta
melakukan skulerisasi akibat ketidak puasan terhadap konservatisme Islam. Baca:
Fazlur Rahman, “Islamic Modernisme: Its Scope, Method and Alternatives”, dalam International
Journal of Middle Eastern Studies, Vol.I, (1970), 317-33
[84] Fazlur Rahman, Islam and Modernity…, hlm. 6
[85] Ibid, hlm. 7
[86] Dalam pemikiran Rahman berpikir induktif ini adalah gerak pertama
dari dua gerak pemikiran yuristik, yaitu berfikir dari yang khusus (particular)
kepada yang umum (general) yang melibatkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip
al-Qur’an yang di dalamnya sunnah merupakan bagaian organisnya. Sedangkan
gerakan kedua yaitu dari yang umum kepada yang khusus yang terjadi akibat
diperolehnya kesimpulan prinsip-prinsip al-Qur’an melalui pemikiran induktif di
atas kemudian harus diterapkan terhadap masyarakat muslim dewasa ini. Gerakan
kedua ini adalah berfikir deduktif. Lihat: Fazlur Rahman, “Ke Arah Perumusan
Metodologi Hukum Islam Syaikh Yamani Tentang ‘Kepentingan Umum’ dalam Hukum
Islam,” dalam Tufik Adnan Amal (penyunting dan penerjemah), Metode dan
Alternative Neomodernisme Islam…,50-1. Diterjemahkan dari artikel Rahman “
Towards Reformulating the Methodology of Islamic Law: Syaikh Yamani on ‘Publik
Interest’ in Islamic Law.”
[87] Pengungkapan ‘illat hukum yang bersifat zhaniyyah
lihat: Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence…, 232.
[88] Seperti yang dikeritik Muhammad Syahrur bahwa tradisi qiyas
dalam fikih menganalogikan hal-hal yang terjadi sekarang dengan peristiwa yang
terjadi pada masa lalu adalah prinsip yang keliru dan tidak adil. Menurutnya qiyas
yang valid adalah qiyas yang mengukur sesuatau atau pihak yang hadir
saat sekarang dengan sesuatu yang lain yang juga hadir pada saat sekarang dalam
lingkup batas-batas hukum Tuhan. Syahrūr, Al-Kitāb wa Al-Qur’ān…,581
[89] Bagian hukum yang diakui sebagai wahyu Allah harus diakui sebagai
jawaban terhadap masalah masyarakat yang segera diaplikasikan. Karena itu nilai
moral yang ada dalam aturan hukum, harus dibedakan sesuai dengan konteks, agar
muatan yang ada dalam aturan hukum tetap dapat diaplikasikan kalau ada
perubahan. Fazlur Rahman, “Kontroversi tentang Hubungan Perempuan dan
Laki-laki,” dalam Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman tentang Wanita
(Yogyakarta: Tazzfa dan Academia, 2002), hlm. 169
[90] Al-Ghazali, Al-Mustasfa…, II: 260.
[91] Rahman, Islam…, hlm. 36. Dalam kesempatan lain ia mengatakan
bahwa “the basic ĕlan of the Qur’an –the stress on socioeconomic justice and
essensial human egalitarianisme- is quit clear from its very erly passages.
Lihar: Rahman, Islam and Modernity…, hlm. 19. Sementara itu Rahman
menyatakan bahwa membicarakan kemaslahatan umum tanpa menyusun suatu metodologi
yang tepat mengenai penilaian dan aplikasinya, merupakan kesewenang-wenangan
dimana ijma’ maupun qiyas (penalaran yang belum sitematis) tidak
dapat dijadikan pedoman yang memadai.
Rahman, “Ke Arah Perumusan Metodologi…, hlm. 52
[92] Menurut Hallaq kelemahan teori Rahman karena tidak disandarkan pada
semua mekanisme gerak kedua, yakni pengaplikasian prinsip-prinsip sistematis,
yang didapat dari teks dan konteksnya, pada situasi baru. Bagaimana orang-orang
moderen mengeyelesaikan permasalahan fundamental yang dihadapi masyarakat
ketika tidak ditemukan dalam teks al-Qur’an atau Sunnah? Rahman tdak menjawa
pertanyaan ini. Kemudian elaborasi metodologinya lebih terbatas pada pemahaman
teks al-Qur’an daripada mengelaborasi suatu metodologi kesempurnaan hukum.
Hallaq, A History of Islamic…, hlm. 245
[93] Fazlur Rahaman, Menafsirkan al-Qur’an…, 62
[94] Ringkasan tesis asy-Syatibi
ini dikemukakan oleh Louay Safi, The Foundation of
Knowlage: A Comparative Study in Islamic and Western Methos of Inqury, (Slangor: International Islamic University Malaysia Press dan
International Instritute of Islamic Thought, 1996), hlm. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar