Selasa, 10 November 2015

pemaknaan dan pemahaman kalalah dalam historitas hukum waris Islam



PEMAKNAAN DAN PEMAHAMAN KALĀLAH  DALAM HISTORISITAS  HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh: Juandi
Abstrak
Perdebatan tentang kalālah dalam sejarah pembentukan hukum waris Islam adalah perdebatan panjang tentang pemaknaan dan pemahaman, yaitu antara teks, pembaca dan konteks. Dalam realitas seperti inilah hukum waris Islam terbentuk, yaitu penyatuan antara hukum yang telah lama ada dalam suatu komunitas dengan aturan al-Qur’an yang baru muncul ke tengah-tengah masyarakat. Munculnya ijtihad dalam masalah ini tentunya tidak terlepas dari pemahaman yang sangat awal tentang realitas masyarakat yang memiliki sistem kekeluargaan bercorak patriarkhal. Dengan demikian, formulasi aturan-aturan waris cenderung mengedepankan kepentingan laki-laki. Dalam aturan kalālah, justru terjadi pertentangan yang sangat mendalam mengingat aturannya pada ayat 12 an-Nisa’ itu  menyamakan bagian saudara laki-laki dan perempuan, padahal yang prinsip dalam pembagian waris, menurut pendapat awal, adalah li aż-żakari milu haẓẓil unayain. Sehingga pembacaan yang paling memungkinkan adalah membuat tipologi saudara. Tentunya kesulitan pemahaman ini tidak sampai di sini karena ayat kalālah pertama itu begitu problematis dari sisi pemaknaan dan struktur kalimat yang begitu rumit. Ditambah lagi adanya ayat kalālah kedua (an-Nisa’ ayat 176) yang memberi bagian waris yang tidak seimbang antara saudara laki-laki dan perempuan. Tulisan ini mencoba mereinterpretasi makna kalalah dalam kajian hukum waris Islam dari segi pemahaman dan pemaknaan untuk mengikis kerancuan pemahaman yang ada.

Kalālah in the history of the debate about the formation of Islamic inheritance law is a long debate about the meaning and understanding, between text, reader and context. In reality this kind of Islamic inheritance law is formed, which is the union between the laws that have long existed in a community with the rules of al-Qur’an to the emerging society. The emergence of ijtihad on this issue must not be separated from the very beginning of understanding about the reality of a society that has a patterned patriarchal family system. Thus, the formulation of the rules of inheritance tend to promote the interests of men. In kalālah rule, it happens very profound contradiction considering the rules in an-Nisa’ verse 12 that equate parts brother and sister, but the principle of the division of inheritance, according to a preliminary opinion, is li-Zakari miṡlu haẓẓil unṡayain. So that reading is the most likely to make typology of brother and sister. Surely it was not until the difficulty of understanding here because the first verse of kalālah was so problematic in terms of meaning and sentence structure is so complicated. And then the second verse of kalālah (an-Nisa’ verse 176) which gives the inheritance that is not balanced between the brothers and the sisters. This paper attempts to understand the meaning of kalalah in the study of Islamic inheritance law in terms of understanding and comprehension of meaning to erode the confusion that arises.
Keyword: kalālah, kewarisan, saudara


A.    Pendahuluan
David S. Power, sarjana orientalis Pricenton University (1979) dalam satu karyanya membuat satu kesimpulan tentang kalālah, yaitu female in-law (menantu perempuan).[1] Kesimpulan ini bertentangan dengan pendapat-pendapat tentang kalālah yang berkembang dalam pemikiran hukum Islam. Misalnya, a-abari,[2] al-Qurubi,[3] dan beberap mufasir lainnya[4] menyebutkan makna kalālah sebagai orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan bapak. Dalam tafsir al-Maraghi ditemukan juga makna kalālah dengan pengertian kerabat selain anak dan bapak dan dikatakan juga saudara-saudara laki-laki dari ibu.[5] Di luar pendapat di atas, ditemukan juga pendapat-pendapat yang beragam dalam memaknai kalālah ini.[6] Hal ini mencerminkan bahwa persoalan kalālah merupakan persoalan yang sangat debatable dalam sejarah hukum waris Islam.
Perdebatan tentang kalālah tersebut tidak hanya sebatas perdebatan tentang maknanya, tetapi juga perdebatan tentang pemahaman ayat kalālah yang dalam al-Qur’an hanya dibicarakan dalam dua tempat, yaitu an-Nisa’ (4): 12 (kalālah pertama) dan an-Nisa’ (4): 176 (kalālah kedua). Setidaknya ada beberapa persoalan yang muncul, yaitu pemaknaan kalālah, pemaknaan saudara dan saudari yang disebutkan dalam dua ayat tersebut, pemahaman struktur kalimat, relasi antara ayat dan sebagainya. Misalnya, ketika membedakan dua ayat tersebut para ulama sepakat untuk membedakannya dari pengertian saudara dan saudarai yang dituju ayat tersebut. Mereka menyebutkan bahwa saudara dan saudari pada kalālah pertama adalah saudara seibu dan pada kalālah kedua adalah saudara sekandung atau seayah.[7] Di sisi lain, pembacaan yang dilakukan Power melalui ayat kalālah ini memunculkan teori baru dalam pembacaan ayat-ayat waris dan wasiat, yaitu hukum purwa Islam (proto Islamic law).[8]
Kesulitan-kesulitan pemaknaan dan pemahaman ayat kalālah, dalam tradisi Islam, telah dikemukakan sedemikian rupa oleh Umar bin Khattab. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Umar bin Khattab merasakan kegelisahan yang luar biasa. Pertama, diriwayatkan Umar bin Khatab pernah berkata “bahwa apa yang aku ingin ketahui tentang kata kalālah adalah lebih aku sukai daripada memiliki padanan pajak benteng-benteng Bizantiunm”.[9] Kedua, dalam riwayat yang berbeda Umar berkata “ hai orang-orang, ada tiga hal yang aku suka bila Rasulullah saw. tidak meninggalkan kita kecuali telah membuat keputusan final, yaitu tentang kakek, al-kalālah dan pintu-pintu riba”.[10] Ketiga, dalam riwayat yang lain Umar berkata “tidak ada sesuatu yang aku tanyakan kepada Rasulullah sesering al-kalālah, sampai-sampai beliau menyodok dada(ku) dan berkata: ayat musim panas yang ada di akhir suat an-Nisa’ sudah cukup bagimu”.[11] Setidaknya dari ketiga riwayat ini menunjukan bahwa kata kalālah memang sejak semula telah memancing polemik dikalangan sahabat hingga para mufasir.
Para mufasir telah membicarakan kesulitan pemaknaan dan pemahaman berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab. Pembacaan yang ada, tentunya, bersumber juga dari kerumitan susunan kalimat yang mengitarinya, sehingga hal ini menimbulkan kerancun dalam pemahamannya. Ayat 12 surat an-Nisa’ yang menjadi fokus ini berbunyi:
....و ان كان رجلٌ يورَث كللةً أو امراةٌ وله أخ أو أخت فلكل وحد منهما السدس فان كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في الثلث من بعد وصية يوصي بها أو دين غير مضار وصية من الله و الله عليم حليم
Frase yang didikusikan adalah rajulun yurau kalalatan au imr’atun yang memerlukan kejelian tinggai. Kata rajulun …..imra’tun kemudian dipotong oleh kalimat yurau kalalatan. Ditambah lagi dengan penjelasan tentang kalālah pada akhir surat an-Nisa’ (ayat 176) yang berbunyi:
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكللة ان امرؤا هلك ليس له ولد و له أخت فلها نصف ما ترك و هو يرثها ان لم يكن لها ولد فان كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك وان كانوا اخوة رجالا و نساء فللذكر مثل حظ الأنثيين  يبين الله لكم أن تضلوا والله بكل شيء عليم
Dalam hal ini baik kalangan mufasirīn maupun fuqaha berkepentingan untuk menjelaskan kata-kata lahu dalam ayat kalālah pertama harus dikembalikan pada subjek yang mana. Hal ini disebabkan mereka meyakini adanya dua subjek yang muncul, yaitu rajulun aw imra’atun. Sedangkan pembacaan yang dilakukan Power, misalnya, menganggap tidak ada persoalan dengan kata ganti lahu karena ia menganggap bahwa subjek dalam ayat itu hanyalah rajulun, sedangkan imra’atun parallel dengan kalālah. Pembacaan ini jelas bertentangan dengan keyakinan umat Islam.
Sekalipun Power merujuk pada ayat yang disebutkan terakhir, ia tidak mencermati kata posesive “lahu” yang dikembalikan kepada kalālah.[12] Artinya lafaz kalālah masih diragukan apakah perempuan (mu’anas) sebagaimana yang diduga Power, sekalipun secara lafziyah berbentuk mu’anas. Kemudian ia juga tidak melihat kontek pembicaraan pada ayat 176 tersebut yang dengan mudah dipahami bahwa ia berbicara tentang kewarisan saudara. Alhasil, pendapat Power ini masih mengalami problem sama seperti pendapat ulama yang sudah ada sebelumnya. Namun, problem pembacaan ulama muslim tidak hanya seputar kalālah tetapi pembacan ayat-ayat waris secara keseluruhan.
Mayoritas ulama bersepakat untuk memaknai kalālah sebagai orang yang meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris dari golongan bapak dan anak. Namun, pemahaman ini sejak awal telah mengalami perdebatan panjang yang diakhiri dengan pengakuan terhadap pendapat Abu Bakar. Ijtihad Abu Bakar inilah, kemudian, diakui oleh mayoritas ulama sehingga membentuk ijma’.[13] Tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa ijma’ dalam kasus kalālah ini adalah pembenaran terhadap satu ijtihad. Dalam tulisan ini, penulis menelusuri beberapa perdebatan tentang pemaknaan dan pemahaman baik term kalālah itu sendiri maupun ayat kalālah secara keseluruhan. Ada tiga hal, setidak-tidaknya, yang harus dikemukakan untuk mendapatkan pemahaman tentang kalālah, yaitu melihat dari aspek perdebatan istilah kalālah itu sendiri yang sejak semula sudah kontroversial, ulasan tentang struktur kalimat yang merupakan sumber penentu bagi pemaknaannya, dan aspek historisitas.
B.     Perdebatan Seputar Pemaknaan dan Pemahaman Kalālah
Arti kalālah secara pasti menjadi bahan perdebatan panjang para mufasir. Perdebatan masalah kalālah berkisar seputar makna kalālah. Apakah kalālah dimaknai sebagai ahli waris atau dimaknai sebagai pewaris itu sendiri. A-abari sendiri mencatat tidak kurang dari dua puluh tujuh pendapat yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu pendapat yang meyakini makna kalālah adalah ahli waris, pendapat yang memaknai kalālah pewaris itu sendiri (orang yang meninggal), dan pendapat yang meyakini kedua makna tersebut.[14]
Ketiga pendapat tersebut berawal dari pemaknaan kata kalālah yang beragam. Kata kalālah sendiri berasal dari kata kalla ( كلّ) dengan bentuk masdarnya kallān, killatan, kalālan, kulūlan, kalālatan, kulūlatan ( كلا, كِلّة, كلالاً, كُلولا, كلالة, كُلولة ) berarti ta’iba wa a’ya (letih dan lelah). Dikatakan kālla as-saif wa ghairuhu memiliki makna lam yaqta’ (tumpul). Dan jika dikatakan kalla al-lisanu aw al-baaru berarti lam yuhaqqiq al-mantuq aw al-manzur. Jika dikatakan āra kallan artinya la walad lahu wa la wālid.[15] Bila dilihat dalam berbagai bentuk derivatifnya akan menghasilkan makna yang berbeda. Misalnya al-killatu dimaknai as-sitr ar-raqiq (tabir/tirai tipis) bisa juga diartikan al-mannāmūsiyyatu (kelambu). Jika kata al-killatu diartikan sama dengan al-kalalu maka diartikan al-hālatu (keadaan). Bentuk derivatif madar berupa al-kallatu bermakna al-marratu min kalla. Jika dikatakan asy-syafratu al-kāllatu maka berarti parang yang tumpul. Bentuk derivatif madar lainnya al-kalālatu memiliki pengertian  al-i’yāu (keletihan, kelesuhan, kelelahan). Dalam makna yang lain dikatakan man la walada lahu wa la wālida (orang yang tidak punya anak dan ayah) atau diartikan juga min al-qarābati (selain anak dan ayah). Bentuk derivatif lainnya berupa al-kalīlu dengan bentuk jama’ kilālun dimaknai dengan al-kāllu (yang tumpul, lesuh, letih). Kemudian dikatakan saifu kalīl berarti pedang yang tumpul atau dikatakan baarun kalīl yang berarti penglihatan yang lemah atau suram.[16] Sedangkan kata kalālatan dengan asal kata kalālun dimakanai dengan dua arti saja, yaitu ta’aba dan da’fun (kelelahan/keletihan dan kelemahan/kesuraman).[17]  Secara keseluruhan, makana kalālah cenderung diartikan lemah, lesuh, dan tumpul.[18] Jika dikaitkan dengan keturunan dimaksudkan seseorang tersebut merasa lesuh karena tidak ada keturunan. Dari pengertian ini menunjukan ketidakoptimisan dalam hidup, sehingga pedang yang tumpul disebut “kalla a-aif” dan orang yang tidak mempunyai anak disebut kalla ar-rajul. Dari sini kalālah diartikan “punah”.[19]
Kata kalālah ini juga digunakan untuk menunjukan sesuatu yang melingkari, yang tidak berujung ke atas dan ke bawah. Misalnya iklil (mahkota), karena melingkari kepala. Seseorang disebut kalālah apabila tidak mempunyai keturunan dan leluhur; kerabat garis sisi disebut kalālah dari seseorang karena berada di sekeliling, bukan di atas dan bukan di bawah.[20] Ibn Hazm menjelaskan makna kalālah bi al-ijmā’ sebagai orang yang diwarisi oleh saudara laki-laki atau dua orang saudara laki-laki atau seorang saudara laki-laki, baik sekandung, sebapak, seibu, dan ia tidak mempunyai anak, anak perempuan, cucu laki-laki seterusnya ke bawah, tidak diwariskan bapak, kakek garis bapak hingga seterusnya ke atas, maka ia dinamakan kalālah, kewarisan kalālah.[21] Namun, agak berbeda dengan riwayat yang dikemukakan Abu Hātim dan al-Aram dari Abī ‘Ubaidah yang mengatakan bahwa kalālah itu adalah orang yang tidak diwarisi oleh bapak, anak atau saudara laki-laki. Dalam tradisi Arab, ia disebut kalālah.[22] Lebih jauh lagi, bahkan, Ibn al-A’rabī menyebutkan kalālah sebagai anak-anak paman yang paling dekat.[23]
Kamus Lisan al-Arab menyebutkan al-kallu sebagai al-muibatu takdis. Kata tersebut asalnya dari kalla anhu yang artinya nabaun dan da’fun. Al-kalālatu berarti ar-rijalu allażi la walada lahu wa la wālida.[24] Dalam berbagai kutipannya Ibn Manzur memperlihatkan makna yang beragam. Misalnya al-Lai berpendapat bahwa al-kallu ar-rijalu allażi la walada lahu wa la wālid, kalla ar-rijalu yakillu kalālatan. Dikatakan bahwa mā lam yakun min an-nasabi lahhan fahua kalālatun. Sebagian ada yang mengatakan bahwa ia adalah ibn ‘ami al-kalālati, wa ibn ‘ami kalālatin wa kalālatun, wa ibn ‘amī kalālatan. Ada yang mengatakan al-kalālatu adalah man takallalu nasabuhu bi nasabika ka ibn al-‘am wa min asybahihi. Pendapat yang lain mengatakan saudara seibu dan dia al-musta’malu. Al-Hayani berpendapat bahwa al-kalalālatu min al-‘ubati man wariṡṡa ma’ahu al-ikhwatu min al-ummi, sedangkan al-‘Arab mengatakan lam yariuhu kalalātan artinya lam yariu ‘an ‘urui bal ‘an qarbi wa istihaqāqi.[25]
Beragam pendapat di atas, jika dilihat lebih teliti, ternyata hanya dalam kamus Lisan al-Arab yang menjelaskan lebih detail bahawa kata kalālah ditujukan kepada laki-laki dan tidak untuk perempuan sekalipun secara lafziyyah kata tersebut berbentuk mu’anas. Sedangkan keterangan lain hanya menyebutkan secara tidak jelas, yaitu orang (dengan maksud siapa saja) sekalipun ada indikasi kata lahu yang merupakan omir muttasil bagi jenis laki-laki.
Dalam berbagai riwayat, pemaknaan kalālah ini didasarkan pada beberapa pendapat. Pertama, penafsiran yang dikemukakan oleh Abu Bakar ra. Abu Bakar mendifinisikan kalālah: “Seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak dan ayah”.[26] Pendapat ini kemudian dianut secara luas oleh tafsir berikutnya, seperti Ibn Arabi (w. 543 H/1149 M)[27] (mufasir dari mazhab Maliki), Muhammad Husain ababa’i[28] (mufasir Syi’ah), dan Fakhrurrazi[29]sehingga menjadi pendapat jumhur ulama. Alasan yang dikemukakan jumhur adalah hadis yang diriwayatkan dari Jābir bin Abdullah. Jābir bertanya kepada rasulullah Saw.
“wahai rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah. Lalu bagaiman dengan harta peninggalan saya?”[30]

Dalam hadis ini setting yang ditampilkan adalah bahwa bapak Jābir bin Abdullah meninggal pada hari Ahad dan ayat tentang kalalah (an-Nisa’: 176) turun setelah itu. Selang beberapa lama kemudian diceritakan bahwa Jābir sendiri jatuh sakit. Ia yang sudah ditinggal mati oleh bapaknya tidak mempunyai anak dan hanya mempunyai saudara perempuan.[31] Dari riwayat ini kemudian disimpulkan bahwa kalālah merujuk pada orang yang tidak mempunyai anak dan bapak.
Kedua, pendapat Umar bin Kattab yang mengatakan bahwah kalālah adalah orang yang tidak mempunyai anak. Pendapat ini bertahan sampai beliau kena tikaman. Pada saat penikaman terhadap dirinya, ia meralat sendiri dengan mengatakan bahwa makana kalālah adalah sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Abu Bakar.[32] Namun, tidak ada riwayat yang menjelaskan mengapa pada akhir kehidupannya, ia berubah pikiran dan meralat pendapatnya sendiri. Satu-satu alasan yang dikemukakan Umar sendiri adalah perasaan malu karena berbeda pendapat dengan Abu Bakar. Hal ini sebagaimana riwayat yang yang mengatakan bahwa: “Abu Bakar pernah berkata: ‘kalālah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak. Sedangkan Umar berkata: ‘kalālah adalah orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi beliau berkata ketika terkena tikaman yang menyebabkan beliau meninggal: “saya malu kepada Allah karena saya telah berbeda pendapat dengan Abu Bakar, sedangkan sekarang saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalālah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak.”[33] Pernyataan yang menguatkan riwayat ini adalah adanya riwayat yang mengatakan: “telah datang kepadaku suatu masa dimana saya tidak tahu makna kalālah, dan ternyata kalālah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak. Perbedaan pendapat Umar dengan Abu Bakar hanya terletak pada ada dan tidak adanya ayah.
Ada beberapa riwayat lain yang secara substansial sama menceritakan pendapat Umar, yaitu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas. Ibn Abbas pernah berkata: “saya adalah sahabat termuda pada masa Umar. Beliau (Umar) pernah berkata sebagaimana yang saya katakan tadi.” Ibn Abbas berkata lagi: “yang saya katakan adalah Umar pernah berkata: kalālah adalah orang yang tidak mempunyai anak.” Menurut perkiraan kami. Bahwa Umar juga berkata: “dan yang tidak mempunyai ayah”. Qal’ahji menilai bahwa ada keragu-raguan Ibn Abbas dalam menceritkan pendapat Umar tentang kalālah. Kemudian untuk menghilangkan keragu-raguan ini, ia mengembalikan riwayat belakangan kepada riwayat sebelumnya.[34] Baik Abu Bakar maupun Umar keduanya sama-sama memahami kata kalālah sebagai pewaris itu sendiri.
Menurut al-arrāsi, pernyataan Umar tentang kalālah mengisyaratkan bahwa arti kalālah itu bukan arti lughawiyyah-nya. Karena, menurutnya, Umar pasti mengetahui arti lughawi-nya karena ia seorang ahli bahasa. Di sisi lain, Rasullulah tidak menjawab pertanyaan Umar tentang kalālah mengindikasikan bahwa istilah-istilah al-Qur’an boleh di-istinba-kan.[35] Mungkin pernyataan ini benar, tetapi mungkin saja ada keresahan lain yang sebenarnya tersimpan dari beberapa aturan hukum kewarisan Islam yang melakukan sejumlah terobosan baru.
Beberapa riwayat yang disandarkan kepada Umar bin Khattab menunjukan bahwa permasalahan kalālah benar-benar menyita perhatiannya. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Umar tidak pernah mengetahui makan kalālah? Jawaban yang dapat kita ajukan adalah bahwa Umar telah disebutkan Nabi tidak akan pernah mengetahu makna kalālah selama-lamanya. Kemudian Umar membenarkan pernyataan tersebut bahwa ia tidak akan pernah mengetahuinya, karena Rasulullah telah bersabda demikian.[36] Namun, tidak ada penjelasan tentang alasan mengapa Rasulullah bersabda demikian kepada Umar. Alasan yang paling memungkinkan adalah karena Umar terlalu sering menanyakan persoalan ini dan Nabi tidak pernah menjawab selain dengan pernyataan singkat, yaitu cukup bagimu ayat musim panas yang terdapat pada akhir surat an-Nisa’. Demikian setidaknya gambaran tentang pendapat Umar dalam persolan kalālah ini.
Pendapat lain, sebagaimana yang dikemukakan a-abari, setidak-tidaknya ada tiga riwayat yang mengindikasikan bahwa kalālah adalah pewaris atau ahli waris. Salah satu riwayat yang dikemukakan adalah “Ya’qub bin Ibrahim telah menceritakan kepadaku bahwa ia Ibn ‘Ulayya telah menginformasikan kepada kami dari Ibn ‘Aun dari Umar bin Sa’id. Ia berkata kami sedang bersama Hamid bin Abd ar-Rahman di pasar budak, kemudian ia beranjak dari kami dan kembali lagi. Ia berkata ini adalah tiga hadis terakhir dari Bani Sa’ad, mereka berkata Sa’ad sakit keras di Mekkah. Sa’ad berkata Rasulullah Saw. datang atas undangannya kemudian ia berkata: “ya Rasulullah saya mempunyai harta yang banyak dan saya tidak mempunyai ahli waris kecuali kalālah maka bolehkah saya mewasiatkan semua harta kepadanya.” Nabi menjawab “tidak”.[37]  Riwayat ini, jika diyakini benar, menjadi salah satu alasan untuk memaknai kalālah sebagai ahli waris itu sendiri. Sehingga ia dapat menolak pendapat Abu Bakar maupun pendapat Umar bin Khatab.
ahib al-Kasysyaf membagi kalālah menjadi tiga katagori, yaitu merujuk pada orang yang tidak meninggalkan anak dan bapak, merujuk pada orang yang tidak  dengan anak dan bapak dari orang yang ditinggalkan, dan merujuk pada kerabat yang selain dari golongan anak dan bapak.[38]
Di luar pendapat di atas, pendapat yang memaknai kalālah dengan tidak merujuk pada dua kemungkinan di atas. Pertama, dikemukakan oleh ‘Aā’. Ia memaknai kalālah sebagai al-māl.[39] Kedua, dikemukakan David S.Power. Menurut Power kata kalālah muncul dalam sejumlah bahasa semitis, selain bahasa Arab, termasuk bahasa Akkad, Aram, Syiria, dan Ibrani. Dari semua bahasa, kata yang cocok untuk bahasa Arab kalālah berfungsi sebagai istilah untuk kerabat perempuan. Dalam bahasa Akkad kallātu yang muncul dalam sejumlah prasasti hukum berarti seorang perempuan muda yang didapatkan oleh kepala sebuah rumah tangga sebagai istri untuk anak laki-laki yang hidup di dalam rumah tangga itu. Dengan demikian ia dimaknai sebagai “menantu perempuan”. Dalam kondisi tertentu ia bisa juga dimaknai “ipar perempuan.” Sementara dalam bahasa Aram dan Syiria kalltā dan bahasa Ibrani kallāh berarti “menantu perempuan” juga berarti “pengantin perempuan.”[40] Berdasarkan adanya kemiripan dengan bahasa selain Arab, kalālah kemudian diyakini untuk dibaca “menantu perempuan.” Untuk memperkuat pendapat ini Power menunjukan riwayat dimana Umar bin Khatab merasa asing dengan kata kalālah sehingga ia tidak dapat memahaminya. Dengan demikian, kalālah dipahami sebagai ahli waris. Pendapat ini menimbulkan beberapa hal penting yang perlu dikritisi. Pertama, sekalipun kalālah diduga secara kuat diambil dari istilah di luar bahasa Arab, ia tidak tunduk dengan pengertian yang telah mapan. Karena al-Qur’an membawa pandangannya sendiri.[41] Artinya sekalipun istilahnya sama tetapi memiliki pergeseran makna secara signifikan. Kedua, secara leksikal, sekalipun kalālah berbentuk mu’annas (menunjukan jenis perempuan), ia tidak secara pasti harus dimaknai perempuan karena dalam ayat 12 ada kata ganti kepemilikan yang mengindikasikan laki-laki (lahu). Sekalipun ini menjadi perdebatan ulama yang menyebutkan amir itu dikembalikan pada rijalun au imra’atun, pada ayat yang lain (an-Nisa’ (4): 176 secara jelas mengindikasikan bahwa kalālah adalah laki-laki karena ayat ini tidak banyak diperselisihkan secara grametikal. Ketiga, dalam pembacaan secara keseluruhan, terdapat pendistorsian dan pemaksaan pembacaan ayat 12 surat an-Nisa’. Power mencoba “mengoreksi” al-Qur’an dengan menerjemahkan “apabila ada seorang laki-laki menunjuk ahli waris, yaitu menantu perempuan dan istri....”.[42] bacaan imra’atun dalam pembacaan konvensional dikoreksi menjadi imraatan, untuk menyamakan kedudukannya dengan kalālatan. Hal ini menunjukan bahwa, menurut Power, ada kesalahan dalam pembacaan al-Qur’an selama ini dan hal ini, tentunya, bertentangan dengan keyakinan umat Islam bahwa al-Qur’an itu tidak mungkin salah. Keempat, berdasarkan penelusuran dari kamus-kamus berbahasa Arab, tidak satu pun yang menunjukan makna kalālah sebagai menantu perempuan, ipar perempuan, atau mertua perempuan.[43] Kelima, jika dikatakan bahwa Umar tidak mengetahui makna kalālah karena ia merasa asing, maka pernyataan ini tentu tidak benar. Hal ini didasari bahwa Jabir telah menggunakan kata-kata kalālah untuk bertanya kepda Rasulullah tentang kewarisannya. Setidaknya dengan kelima alasan tersebut kita menolak pendapat Power.
Berbagai pendapat tentang kalālah tersebut selalu menjadi perdebatan dan apapun pendapat yang dimunculkan tetap menjadi satu ijtihad yang tidak sakral. Karena pada dasarnya tidak ada penjelasan dari nabi tentang makna kalālah itu sendiri. Melihat berbagai pendapat di atas, pemaknaan terhadap term kalālah seharusnya tidak hanya melihat pada ayat 12 surat an-Nisa’ tetapi juga merujuk pada ayat 176. Hal ini sebagaimana yang telah ditunjuk oleh Nabi kepada Umar bin Khattab bahwa bunyi ayat 176 surat an-Nisa’ sudah memadai.[44] Dari petunjuk ini kita memahami bahwa untuk memahami makna kalālah harus dikroscek; ada perbandingan antara ayat 12 dan 176 surat an-Nisa’.
Kalālah pada awal suarat an-Nisa’ harus dibaca runtut dengan ayat sebelumnya sehingga tidak menimbulkan keterputusan makna.[45] Sedangkan pemaknaan kalālah, seperti telah disinggung, harus diintegrasikan dengan ayat terakhir surat an-Nisa’. Ayat kalālah ini menegaskan beberapa hal: pertama, setelah Allah menetapkan bagian warisan pada anak, ditetapkan pula warisan bagi kedua orang tua. Ketika menyinggung bagian warisan orang yang tidak mempunyai anak, ibu mendapat seperenam jika ada saudara almarhum. Warisan ayah dalam keadaan ini tidak dinyatakan secara jelas. Kemudian Allah menetapkan bagian untuk pasangan dan ditutup dengan bagian warisan untuk saudara. Artinya secara jelas bahwa ayat ini berbicara tentang bagian saudara baik ada orang tua atau pasangan. Kedua, ayat kalālah pada akhir surat an-Nisa’ benar-benar independen dan tidak berhubungan dengan ahli waris lain. Artinya sekalipun dalam tema pembagian warisan, ayat tersebut tidak bisa dipaksakan untuk ditarik pada ayat waris lainnya. Hal ini mungkin diindikasi dengan adanya pemisahan ayat kalālah 176 diakhir surat an-Nisa’. Ketiga, ayat kalālah ini menjadi perdebatan yang panjang karena adanya pembagaian yang sama antara laki-laki dan perempuan (dalam ayat kalālah pertama), sementara itu ulama’ berpegang pada prinsip waris li ażakari milu hail unayain. Dengan demikian, jelaslah bahwa prinsip waris yang disebutkan dalam persoalan kalālah menjadi sesuatu yang tidak disepakati sehingga harus ditafsirkan sebagai pembagian waris untuk saudara-saudara seibu. Keempat, sekalipun kedua ayat kalālah ini terpisah, yang tentunya memberikan pengertian yang berbeda, namun keduanya dapat saling menjelaskan dalam proses pemaknaan. Ulama’ terdahulu  mencoba memahami ayat kalālah pertama dengan mengambil petunjuk dari hadis nabi. Nabi pernah menunjukan bahwa untuk memahamai kalālah pada ayat 12 an-Nisa’ cukup merujuk pada ayat yang turun pada musim panas (maksudnya kalālah pada ayat 176).
Melihat kenyataan di atas, kalālah dalam ayat pertama harus diartikan sesuai dengan keterangan yang Allah berikan pada kalālah kedua, diakhir surat an-Nisa’. Pada kalālah kedua disebutkan bahwa yang dinamakan kalālah jika seseorang meninggal dunia dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Kemudian ayat ini menjelaskan bagian warisan untuk saudara perempuan yang ada, dan kalālah itu menjadi ahli waris jika saudara perempuan tidak mempunyai anak. Anak yang dikemukakan dalam al-Qur’an ini sesungguhnya tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan.[46] Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kalālah pada ayat tersebut menunjukan saudara laki-laki. Kenyataan ini dapat dilihat: pertama, ayat ini mengandung pernyataan yang timbal balik, yaitu apabila saudara laki-laki meninggal maka yang menjadi ahli warisnya adalah saudara perempuan, begitu juga sebaliknya jika saudara perempuan meninggal maka saudara laki-laki menjadi ahli warisnya. Hubungan timbal balik ini memperkuat pendapat kita bahwa kalālah adalah saudara laki-laki baik ia sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Sedangkan istilah untuk saudara perempuan tidak ada. Kedua, kata ganti orang ketiga tunggal merujuk pada term kalālah. Dalam hal ini tidak dapat ditolak bahwa redaksi ini cukup memadai untuk dipahami. Ketiga, kalālah dalam banyak pengertian diartikan kerabat garis sisi. Kerabat yang paling dekat dan berhak untuk mewarisi ketika tidak ada anak adalah saudara baik laki-laki maupun perempuan. Namun, kerabat yang dimaksud dalam istlah kalālah adalah saudara laki-laki bukan saudara perempuan. Keempat, kalālah pada ayat 176 tersebut mengindikasikan bahwa ia adalah pewaris bagi saudara perempuannya dan sekaligus ahli waris jika saudara perempuannya meninggal.
Berdasarkan penjelasan di atas, kalālah adalah saudara laki-laki baik ia sebagai pewaris (orang yang meninggal) yang ia hanya diwarisi oleh saudara atau saudari lainnya maupun sebagai ahli waris yang mana ia mendapat harta warisan dari saudaranya baik laki-laki maupun perempuan karena saudara atau saudarinya tersebut tidak mempunyai anak sebagai ahli warisnya. Pembacaan terhadap ayat kalālah kedua ini cukup menjelaskan bahwa ketentuan yang Allah berikan bagi orang yang meninggal dan tidak mempunyai anak, maka saudaralah yang paling berhak menjadi ahli warisnya. Pemahaman seperti ini sebenarnya sama dengan pemahaman yang dikemukakan ulama terdahulu yang menjelaskan makna ayat dimusim panas ini. Hanya saja, para ulama tidak menegaskan saudara yang mana kalālah tersebut.
Pengertian kalālah kedua di atas jika diterapkan dalam pemahaman kalālah pertama akan membentuk pemahaman bahwa jika seorang laki-laki atau perempuan diwariskan oleh kalālah (saudara laki-laki) dan saudara laki-laki itu memiliki saudara laki-laki lain atau saudari perempuan, maka bagi masing-masing keduanya (saudara laki-laki dan saudara laki-laki lainnya atau saudara laki-laki dan saudara perempuannya) mendapatkan seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari yang demikian, maka mereka bersekutu dalam sepertiga harta. Dengan demikian, ayat ini menunjukan adanya dua orang saudara yang mewarisi baik laki-laki dan laki-laki maupun laki-laki dan perempuan yang kedua dari mereka masing-masing mendapat bagian seperenam. Kemudian jumlah selanjutnya adalah banyak dengan bagiannya adalah sama-sama berbagi dalam sepertiga. Dalam ayat tersebut tidak menyebutkan pembagain untuk saudara jika hanya berjumlah satu orang. Mengapa Allah menjelaskan dengan perbandingan dua saudara? Karena pada ayat waris yang menjelaskan bagian anak, Allah menggunakan perbandingan anak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian selalu ada perbandingan antara laki-laki dan perempuan jika ahli waris tersebut memungkinkan untuk berjumlah banyak sesuai dengan posisinya. Misalnya, anak dan saudara bisa berjumlah lebih dari dua orang (banyak).
Perbedaan pemahaman kalālah pertama dan kedua adalah pada situasi dimana ada orang lain selain saudara yang menjadi ahli warisnya. Kalālah pertama melibatkan ahli waris lain yang ditinggalkan pewaris selain saudara itu sendiri, yaitu istri, ibu atau bapak. Pendapat ini didasari pada hal-hal sebagai berikut: pertama, ayat waris yang sedemikian panjang harus dibaca runtut sesuai dengan alurnya. Tidak bisa kemudian ia dipotong-potong menjadi beberapa bagian, karena akan menghilangkan keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Mungkin metode pembacaan ini lebih tepat disebut dengan metode munasabah[47] antar ayat dengan ayat, yaitu ayat 11 dan 12 surat an-Nisa’ yang berbicara waris. Kedua, ayat kalālah kedua tidak menghapus kalālah pertama karena memang keduanya diyakini oleh ulama memiliki konteks pembicaraan yang berbeda. Dengan demikian, kita dapat memaklumi mengapa ulama terdahulu harus menjelaskan bahwa kalālah pertama ditempatkan dalam konteks saudara seibu[48] sedangkan kalālah kedua ditempatkan dalam kondisi saudara sekandung atau seayah. Rasid Rio[49] menjelaskan bahwa ayat 12 yang turun pada musim dingin bersifat zahir karena ahli waris disebutkan secara jelas, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu dengan saham yang pasti. Ayat 176 turun dimusim panas yang bersifat bayan, yakni ahli waris yang disebut alam ayat hanya saudara perempuan sekandung, sementara saudara laki-laki disebutkan aabah.[50] Karena itu saudara perempuan dan saudara laki-laki seayah termasuk dalam pengertian ayat ini. Ketiga, perbedaan yang memungkinkan antara kedua ayat kalālah tersebut adalah bahwa kalālah pertama berposisi sebagai ahli waris, ia mewarisi harta saudaranya sementara ia sendiri memiliki saudara lainnya. Sedangkan kalālah kedua berposisi sebagai pewaris itu sendiri, dimana ia sendiri yang meninggal dunia dan mewariskan hartanya kepada saudaranya. Keempat, kalālah kedua menujukan bagian saudara dalam jumlah satu, dua, dan banyak sedangkan kalālah pertama hanya menunjukan dua orang dan banyak.
Pendapat berbeda tentang relasi kedua ayat ini dikemukakan oleh Quraish Shihab. Ia menyatakan bahwa jika kalālah pertama menjelaskan ketentuan seorang laki-laki yang meninggal dan tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, maka kalālah kedua menjelaskan ketetapan seorang wanita yang meninggal dunia dan ia dalam keadaan tidak mempunyai anak dan bapak.[51] Sayangnya pendapat ini tidak mengemukakan hubungan redaksi antara rajulun....au imra’atun yang harus diartikan paralel atau seperti apa. Padahal para mufasir melihat di sini ada dua subjek. Lebih lanjut persoalan ini akan dibahas pada bagian selanjutnya. Dengan demikian, pendapat ini kita tolak.
Lebih lanjut, kita lihat konsep kalālah pada ayat 12 an-Nisa’ dalam ruang lingkup yang lebih luas dari konsep kalālah ayat 176 an-Niasa’. Dalam aturan-aturan praktis waris yang terdapat dalam ayat 11 dan 12 surat an-Nisa’ dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama, Allah memulai aturan pembagaian waris dengan menetapkan ketentuan pada ahli waris yang paling berhak, yaitu anak baik laki-laki maupun perempuan. Aturan praktis tersebut diawali dengan li aż-żakari milu haẓẓil unayain. Kemudian aturan ini dianggap sebagai dasar dan prinsip dalam pembagian waris Islam oleh kalangan ulama hingga sekarang. Bagian warisan untuk anak perempuan dijelaskan: dan jika anak itu perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu satu orang maka ia memperoleh separoh harta. Penjelasan bagian warisan anak perempuan diklasifikasikan dengan tiga katagori, yaitu berjumlah satu, dua atau lebih dari dua. Kedua, Allah menentukan bagian kedua orang tua yang aturannya dapat ditemukan dalam dua katagori, yaitu mendapat bagian yang sama jika yang meninggal tersebut memiliki anak, dan mendapat bagian yang tidak sama jika pewaris tidak meninggalkan keturunan, yaitu bagian Ibu 1/3 dan bagian ayah tidak ditentukan. Seandainya hendak ditentukan berdasarkan ayat tersebut yang mengatakan bahwa jika tidak mempunyai anak dan ia diwarisi ibu bapaknya, maka bagian bapak tentunya 2/3. Namun, kedua bagian tersebut berubah ketika yang meninggal memiliki saudara. Dengan demikian, saudara mendapatkan harta warisan sekalipun masih ada bapak dan ibu. Allah menetapkan bagian ibu 1/6 sedangkan bagian bapak tidak ditentukan dan bagian saudara belum dijelaskan. Ketiga, sebelum Allah menetapkan bagian saudara pewaris, ditetapkanlah bagian pasangan yang dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu mendapat ½ untuk suami dan ¼ untuk istri jika pewaris tidak memiliki anak, dan pasangan akan mendaptkan ¼ dan 1/8 , secara berurutan, jika pewaris memiliki anak. Sampai di sini secara jelas kita dapat mengetahui bahwa ketika ada anak dari pewaris golongan yang mendapat harta warisan adalah kedua orang tua dan suami atau istri. Keempat, Allah menerangkan ketentuan warisan untuk saudara dengan dua katagori, yaitu mendapatkan bagian yang sama 1/6, dan berbagi dalam bagian yang 1/3 jika berjumlah banyak. Aturan keempat ini memiliki keterkaitan dengan aturan sebelumnya dimana dijelaskan bagian pasangan, ibu dan bapak. Indikasinya adalah awal redaksi ketentuan kalālah  menggunakan huruf ‘aaf (wa). Penguraian hukum dengan menggunakan huruf wa untuk menunjukan betapa eratnya hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya.[52]
Dengan berlandaskan pada keterangan di atas, kalālah pertama menunjukan rentetan pembagian waris yang paling akhir ketika ditemukan adanya ahli waris lain.[53] Dalam istilah lain disebutkan ahli waris skunder. Jika merujuk ayat waris 11 dan 12 an-Nisa’, ahli waris primer dan sekunder disebutkan berurutan.[54] Ketika seorang pewaris meninggal dan ia memiliki anak, anak menjadi ahli waris primer sedangkan kedua orang tua menjadi ahli waris sekunder. Jika anak tidak ada, kedua orang tua menjadi ahli waris primer dan saudara-saudara pewaris menjadi ahli waris sekunder. Sedangkan pasangan (suami atau istri) tidak diposisikan sebagai ahli waris primer maupun sekunder karena ia merupakan ahli waris sababiyyah.
Berbeda halnya dengan kalālah kedua. Saudara pewaris diposisikan sebagai ahli waris primer karena memang tidak ada lagi ahli waris lain yang lebih berhak selain saudara. Dengan demikian, kalālah kedua memiliki cakupan lebih sempit dengan bagian warisannya lebih banyak. Katagori ahli waris primer dan sekunder sangat jelas diindikasikan dengan bagian-bagian yang harus diterima. Pada posisi ahli waris primer, jumlah warisan yang diterima akan tidak berimbang. Sedangkan untuk ahli waris sekundernya akan mendapat bagian yang berimbang. Sejumlah ahli waris dalam posisi sekunder dalam keadaan tertentu, ketika ahli waris primer tidak ada, akan menjadi ahli waris primer.
Pemahaman ayat kalālah tersebut, terutama ayat 12 an-Nisa’, sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, sesulit pembacaan stuktur kalimat yang dibangun dalam ayat tersebut. Kontroversi pemaknaan dan pemahaman di atas berkaitan langsung dalam perdebatan kedudukan kalālah dalam kedua ayat yang mengatur kalālah.


C.     Problem Struktur Kalimat
Kesulitan pembacaan dan pemaknaan ayat kalālah secara keseluruhan menjadi bahan perdebatan ulama sejak awal. Perdebatan tentang pemaknaan kalālah sesungguhnya adalah imbas dari kesulitan pembacaan ayat kalālah. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan kata-kata kalālah dalam ayat 12 surat as-Nisa’. Perhatian mereka lebih tertuju pada susunan kalimat yang ambigu. Dalam perdebatan tentang stuktur kalimat ayat kalālah ini, fokus perdebatannya hanya terjadi pada ayat 12 ini, sedangkan kalālah kedua tidak dijadikan perdebatan. Setidaknya ada 3 persoalan yang dibahas.
Persoalan pertama adalah adanya dua subjek yang terpisah, yaitu rajulun……au imra’atun. Dua subjek ini dipisah oleh satu frase yurau kalālatan. Kontras dengan redaksi ayat selanjutnya yang menyandingkan dua subjek secara langsung akhun au uktun. Ulama semisal a-abari mengakui kejanggalan susunan kalimat seperti ini, sehingga ia menyelesaikannya dengan menyatukan dua subjek yang ada (rajulun au imra’atun yurau kalālatan).[55] Model pembacaan ini diikuti oleh kebanyakan para mufasir berikutnya bahkan dalam al-Qur’an edisi terjemah mengikuti model penafsiran ini.[56]
Persoalan kedua adalah kedudukan kata kalālah. Setidaknya ada tiga pendapat yang muncul dalam menganalisa kedudukan kata kalālah. Pertama, kalālah berkedudukan sebagai hāl pengganti fāil yuriu dengan membuang muof, Dengan demikian, potongan kalālah dibaca apabila ada laki-laki mewariskan dalam keadaan mempunyai kalālah, yaitu kerabat selain bapak dan anak. Kedua, kalālah berkedudukan sebagai maf’ul lah. Dengan demikian ia dibaca apabila seorang laki-laki mewariskan dengan sebab kalālah artinya kerabat. Ketiga, kalālah diperkirakan kedudukannya sebagai khabar kāna dan yuriu adalah sifat bagi rajul. Dengan demikian ia dibaca apabila ada laki-laki mewariskan kalālah yang bukan orang tua dan bukan pula anak.[57] A-abari mencatat tiga pendapat dan pendapat terakhir adalah pendapatnya sendiri. Pertama, beberapa para ahli nahw Basrah memandang bentuk pasif yurau sebagai sifat dari kata benda sebelumnya, rajulun. Kata benda kalālah dilihat sebagai predikat (khabar) dari kata kerja kāna. Kedua, ahli nahwu Basrah lainnya memandang frase yurau kalālatan berkedudukan sebagai hal (keadaan). Dengan demikian frase ini menunjukan bahwa kondisi seseorang yang dalam keadaan kalālah (dalam pengertian tradisional dimaksudkan bahwa pewaris tersebut dalam kondisi tidak mempunyai anak dan bapak). Ketiga, pendapat a-abari sendiri yang menyatakan bahwa bentuk frase tersebut merupakaan penyingkatan dari frase yang lebih panjang. Dalam perkiraannya ia menyebutkan wa in kāna rajulun yūrau (mutakalillahu an-nasbi) kalālatan. Dalam keterangan ini, bentuk aktif kata kerja yūriu dalam frase “lengkap” diubah menjadi bentuk pasif yūrau dengan cara membung dua tanda kurung dan dengan membiarkan kata kalālah dalam posisi akusatif[58] (objek penderita).
Pendapat lain yang mencoba menganalisa ayat ini mengatakan bahwa kalimat yuriu kalālah dengan pembacaan yuriu (dengan meng-kasrah-kan ra), sebagaimana pendapat ulama Kufa (misalnya al-Hasan dan Ayūb), menempatkan kalālah sebagai kerabat. Pembacaan lain dengan mem-fata-kan huruf ra (yurau), dan ini adalah pendapat jumhur, mengandung pengertian kalālah orang yang meninggal dan mengandung pengertian kerabat.[59] Pembacaan kedua ini digunakan kebanyakan ahl qirā’at, termasuk versi permanent di dalam penulisan al-Qur’an sekarang. Sedangkan pembacaan pertama menurut kesimpulan yang diperoleh dari penjelasan a-abari. Pembacaan kedua ini lebih tegas menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan.[60]
Persoalan ketiga adalah bentuk kata ganti lahu yang harus merujuk pada siapa. Kata ganti ini merujuk pada orang ketiga tunggal (laki-laki) padahal dalam ayat tersebut diyakini ada dua subjek. Biasanya, orang menggunakan kata ganti orang ketiga ganda (tidak ada padanan dalam bahsa Indonesia), yaitu lahuma. Kata ganti ini juga ditunjukan secara jelas dalam ayat tersebut ketika menunjuk akhun aw uktun. a-abari menegaskan bahwa kata ganti untuk dua subjek boleh merujuk langsung pada keduanya atau salah satu diantaranya. Sebagai pendukung, ia mengajukan bukti dengan mengutip kalimat: man kāna ‘indahu ghulāmun au jāriyatun fa al-yusin ilaihi (barang siapa yang mempunyai budak pria atau wanita maka ia harus memperlakukannya dengan baik).[61] Jadi, kata ganti wa lahu dalam ayat kalālah pertama dengan merujuk pada dua subjek bukanlah sesuatu yang mustahil.
Menyikapi kesulitan susunan kalimat di atas, kita tetap berpegang pada petunjuk yang dikemukanan a-abari bahwa ayat tersebut mengandung dua subjek, yaitu rajalun au imra’atun. Dengan demikian, mendudukan pada posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan penghubung au (atau). Hanya saja ketika harus meunjukan siapa yang dimaksud dengan kata ganti lahu, kita harus melihat beberapa hal. Pertama, Allah telah menyebutkan dua subjek yang jelas sekalipun keduanya terpisah oleh frase tertentu. Namun, seperti kelanjutan ayat tersebut kata ganti lahuma lebih tepat digunakan. Dengan demikian, kita tidak harus merujuk pada dua subjek tersebut. Kedua, kalālah harus ditempatkan sebagai objek (maf’ul lahu) dengan arti saudara laki-laki sebagaima yang telah dijelaskan. Dengan demikian, ia dibaca apabila lakai-laki diwarisi kalālah, yaitu saudara laki-laki. Ketiga, dengan merujuk pada ayat 176 surat an-Nisa’ yang memungkinkan bagi kita untuk mengartikan kalālah sebagai saudara laki-laki orang yang meninggal, kata ganti lahu tidak mustahil merujuk pada objek ini. Sehingga lahu yang dimaksud adalah kalālah itu sendiri. Adapun kata kalālah yang berbetuk mu’anas (jenis perempuan) tidak menjadi persoalan karena ia mengandung arti laki-laki secara alamiah.
Dengan berdasarkan pada kenyataan tersebut, kita dapat mengartikan ayat tersebut: dan jika ada laki-laki atau perempuan yang diwariskan oleh kalālah (saudara laki-laki) dan dia (saudara laki-laki) memiliki saudara laki-laki (lain) atau saudara perempuan maka masing-masing keduanya (saudara laki-laki dan saudara laki-laki atau saudara laki-laki dan saudara perempuan) mendapat 1/6 harta. Dan apabila mereka berjumlah lebih dari itu (lebih dari dua orang), maka mereka bersekutu dalam sepertiga…. Berdasarkan pemahaman ini kita dapat melihat karakter ayat waris yang Allah turunkan untuk menjelaskan kalālah. Tidak ada pembedaan dari jenis kelamin jika saudara mewariskan dalam kondisi sebagai ahli waris sekunder. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kalālah pertama ini diyakini menempatkan posisi saudara sebagai ahli waris sekunder. Kemudian, Allah selalu menjelaskan pembagian waris dalam proporsi dua orang atau lebih.
Adapaun kalālah kedua (ayat 176) tidak memunculkan perdebatan dari struktur kalimat. Oleh karena itu, kita hanya menfokuskan pada perdebatan tentang strukrur ayat kalālah pertama saja. Demikian juga maslah pembagaian, ayat kalālah kedua ini menempatkan posisi saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris primer. Sehingga bagian yang menjadi haknya tidak berimbang.
Kesulitan struktur kalimat dalam pembahasan di atas yang berujung pada kontroversi pemaknaan dan pemahaman menimbulkan berbagai pertanyaan mengapa kontroversi tentang kalālah begitu meruncing dan tidak kuncung terselesaikan. Oleh karena itu, penting untuk menelisik lebih jauh aspek historis dari aturan kalālah dalam al-Qur’an maupun hukum kewarisan yang lebih umum. Pembacaan aspek historis hukum waris bukanlah pertama kali dilakukan. Banyak tulisan baik sekedar ulasan maupun penelitian mendalam mengupas aspek historisitas ini. Namun, bagaimanapun, untuk melihat tujuan-tujuan mendasar hukum kewarisan penulis memandang perlu melihat kembali aspek historisitas ini.
D.    Asbāb an-Nuzūl dan Aspek Historis
Hukum Islam kebanyakan terjadi karena suatu kejadian yang kemudian para sahabat meminta petunjuk hukumnya kepada Rasulullah s.a.w., kemudian ayat turun untuk membawa hukumnya.[62] Seperti yang diriwayatkan bahwa ada seorang dari suku Ghatfan yang memegang harta keponakannya yang telah ditinggal ayahnya dalam jumlah yang besar, para sahabat kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah yang kemudian turun ayat:
“dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka…”[63]
Dalam kasus kalālah ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang asbab an-nuzul-nya. Riwayat yang paling terkenal adalah berkenaan dengan Jabir. Dikemukakan bahwa ketika Rasulullah menjenguk Jabir sedang sakit, berkatalah Jabir: “ya Rasulullah! Bolehkah saya berwasiat memberikan sepertiga hartaku untuk saudara-saudaraku yang perempuan.“ Rasulullah bersabda “baik.” Ia berkata lagi: “kalau setengahnya?” beliau menjawab; “baik pula.” Kemudian Rasulullah pulang. Dan tidak lama kemudian, beliau datang lagi ke rumah Jabir seraya berkata: “Aku kira kamu tidak akan mati karena penyakitmu ini. Dan Allah telah menurunkan ayat kepadaku, yang menjelaskan pembagian waris bagi saudara-saudara perempuan, yaitu sebesar 2/3 (uluain).
Riwayat lain seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Dari Jabir bin Abdullah yang bertanya kepada Rasulullah: “wahai rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah. Lalu bagaiman dengan harta peninggalan saya?”[64] maka turunlah ayat tentang waris. Ayat waris yang dimaksud adalah ayat 176 surat an-Nisa’
Selain riwayat di atas, masih banyak lagi riwayat yang berkaitan dengan persoalan ini yang dapat ditemukan. Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa turunnya ayat kalālah pada akhir surat an-Nisa’ disebabkan Umar yang bertanya kepada Rasulullah tentang kejelasan makna kalālah. Sedangkan riwayat yang dikemukakan dari Jabir adalah penyebab turunnya ayat kalālah di awal suarat an-Nisa’.
Turnnya ayat kalālah yang diyakini karena peristiwa Jabir ataupun Umar sesungguhnya bukanlah pijakan dasar untuk menentukan maksud dari suatu ayat al-Qur’an. Dalam contoh lain yang terkenal adalah riwayat yang menyebabkan turunnya ayat-ayat waris, yaitu berhubungan dengan seorang wanita, Ummu Kuḥḥa yang datang kepada Nabi untuk melaporkan suatu kejadian dimana paman anak-anaknya telah mengambil harta peninggalan suaminya tanpa memberikan harta itu sedikitpun kepada anak-anaknya.[65] Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa anak-anak tersebut semuanya perempuan berjumlah 3 orang. Ataupun peristiwa istri Sa’ad yang datang dengan kedua anak perempuannya menghadap nabi untuk melaporkan bahwa saudara laki-laki Sa’ad telah mengambil seluruh harta kekayaan Sa’ad tanpa meninggalkan sedikitpun kepadanya dan kedua orang anaknya. Sekalipun mungkin benar bahwa ayat-ayat waris turun karena peristiwa Ummu Kuḥḥa, istri Saad atau peristiwa Jabīr, namun peristiwa itu sesungguhnya hanyalah peristiwa yang tepat untuk menjelaskan aturan waris yang tidak adil dalam masyarakat Arab. Dengan demikian, peristiwa-peristwa yang diyakini menjadi asbab an-nuzul suatu ayat merupakan asbab an-nuzul mikro saja, karena sebenarnya ada asbab an-nuzul makro yang menjadi motivasi al-Qur’an untuk menurunkan aturan-aturan hukum. Dengan kata lain, jika “sebab” turunnya ayat merupakan suatu kejadian yang spesifik, maka sifat universal “ekstra historis” al-Qur’an jadi bergeser.[66]
Adalah penting untuk memahami asbab an-nuzul makro dalam konteks turunnya suatu ayat hukum. Bila kita perhatikan, sebagain ulama terdahulu memaknai kalālah dengan mengacu pada peristiwa Jabīr akan berkesimpulan bahwa yang dimaksud al-Qur’an dengan kalālah adalah orang yang tidak memiliki anak dan ayah. Hal ini dilandasi bahwa bapak Jābir bin Abdullah meninggal pada hari Ahad dan ayat tentang kalalah (an-Nisa’: 176) turun setelah itu. Selang beberapa lama kemudian diceritakan bahwa Jābir sendiri jatuh sakit. Ia yang sudah ditinggal mati oleh bapaknya tidak mempunyai anak dan hanya mempunyai saudara perempuan.[67] Dari riwayat ini kemudian disimpulkan bahwa kalālah merujuk pada orang yang tidak mempunyai anak dan bapak. Namun, pengambilan kesimpulan hukum dari sutau peristiwa ini terlalu berlebihan. Pertanyaannya adalah bagaimana seandainya bapak Jābir belum meninggal dan ayat itu turun? Ulama mungkin akan berkesimpulan bahwa kalālah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai anak.
Ahmad Amin menyebutkan bahwa salah satu ayat yang, sebenarnya, merupakan peristiwa kecil tetapi ayat yang turun untuk menjelaskan hukumnya lengkap adalah ayat tentang kalālah ini.[68] Namun, pernyataan seperti ini nampaknya mengecilkan arti penting aturan yang Allah turunkan. Karena aturan kalālah dan aturan waris secara umum adalah peristiwa besar bagi masyarakat Arab.
Untuk melihat lebih jauh, penjelasan berikut menggambarkan konteks makro aturan waris Islam. Masyarakat Arab pra-Islam hanya memberikan warisan kepada anak laki-laki yang sudah dewasa sedangkan wanita dan anak-anak tidak mendapatkan sama sekali.[69] Suksesi semata-mata karena kesukuan dan laki-laki dewasa, yaitu ahli waris yang secara normal adalah kerabat laki-laki yang paling dekat.[70] Prinsip pembagian waris ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan orang-orang Arab pra-Islam bahwa: “Kami tidak akan mewarisi harta kami kepada orang yang tidak menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah, mengusir musuh, dan menjaga keselamatan suku.”[71] Kuatnya prinsip yang berlaku di masyarakat tentang kewarisan ini secara langsung maupun tidak disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat dilihat dari karekater masyarakatnya.
Karakter masyarakat Arab pra-Islam adalah kehidupan yang berkelompok-kelompok dalm berbagai suku (tribe). Suatu suku terdiri dari sejumlah keluarga yang perekat kehidupan bersamanya adalah hubungan darah (qarābah) ataupun perjanjian untuk selalu hidup bersama (walā). Suku-suku tersebut hidup secara terpisah serta membentuk komunitas dan sistem sosial sendiri-sendiri. Umumnya, anggota-anggota setiap suku terikat oleh solidaritas internal yang kuat, yaitu tanggung jawab untuk selalu mempertahankan keberlangsungan kehidupan dan kehormatan suku. Kehidupan mereka hanya bergantung dengan alam yang terbatas yang mengakibatkan hubungan rasa keterikatan kelompok menjadi sangat kuat. Sehingga konflik dan perang suku merupakan fenomena yang sering ditemukan. Suasana yang penuh konflik ini kemudian memunculkan kesepakatan hukum yang diistilahkan dengan “hukum balas dendam setimpal”, yaitu, misalnya, nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan setersunya.[72] Biasanya, keluarga meminta bantuan kelompok lain yang lebih kuat untuk menuntut balas atas kematian keluarganya dan akan merasa puas jika pelakunya telah dibalas. Atau, sebagai gantinya, mereka dapat meminta tebusan (diyat) kepada pelakunya berupa materi, misalnya sejumlah untah yang disepakati.[73]
Sistem sosial kesukuan di atas menjadikan masyarakat Arab pra-Islam rata-rata beragama animisme-paganistik yang karakeristik khasnya adalah corak kehidupannya bersifat patriarkal, struktur sosial bersifat patrilinial, dan interaksi sosial mereka yang feodal-monopolistik. Corak partiarkal ini berpusat pada eksistensi laki-laki. Kontribusi sosial hanya diberikan kepada laki-laki termasuk kehidupan agama, sosial, politik ekonomi, militer dan lebih jauh lagi,  kehidupan domestik pun didominasi oleh kalangan laki-laki. Banyaknya perang dan konflik yang terjadi dalam masyarakat Arab merupakan salah satu alasan yang menjadikan kalangan laki-laki lebih utama dibandingkan kalangan perempuan. Menurut N.J.Coulsen. dalam masyarakat komunal atau masyarakat primitif kepentingan individu melebur ke dalam dan harus tunduk kepada kepentingan komunitas, yang diperhitungkan bagi eksistensi seseorang adalah kemampuannya untuk berpartisipasi aktif dan memberikan kontribusi sosial dalam masyarakat, dan kemampuan itu, ketika itu, hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki. Jadi terciptalah satu sistem solidaritas sosial yang memposisikan laki-laki sebagai tulang punggung. Sementara orang-orang tidak produktif, yaitu golongan anak-anak, perempuan dan orang-orang jompo, hanya dianggap sebagai masyarakat kelas dua yang tidak memiliki eksistensi apapun dalam kehidupan sosial.[74] Dengan kata lain, hukum waris lokal yang digunakan dalam kewarisan Arab pra-Islam dirancang untuk menjaga kekayaan dalam lingkup kesukuan.[75]
Pengecualian ini hanya berlaku bagi Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Rasulullah, dan Hindun yang termsuk berasal dari saudagar terkemukan di Mekkah. Kiprah mereka baik sebagai pedagang maupun istri bangsawan oleh sebagain orang dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa kaum perempuan di Mekkah relatif menikmati kebebasan dalam kehidupan sehari-hari. Setidanya ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan. Pertama, menurut W. Marais orang-orang Mekkah sekalipun mereka hidup nomadis tetapi memiliki level organisasi yang berbeda dengan masyarakat Madinah. Relasi sosial di Mekkah cenderung egaliter sehingga memungkinkan para wanita untuk memiliki dan mewariskan kekayaan. Sedangkan di Madinah, karena masyarakat petani dan bercocok tanam, cendrung memiliki relasi sosial yang lebih rendah dan oleh karena itu, dalam banyak hal, Nabi Muhammad mengambil model kewarisan Mekkah untuk diterapkan di Madinah yang cenderung male-oriented.[76] Penegasan ini juga dikemukakan Robertso Smith.[77] Ia melihat bahwa di Mekkah pengaruh kebudayaan yang sudah tinggi lebih terasa, sehingga kemungkinan bagi wanita Madinah untuk mendapatkan hak-haknya.
Analisa kedua menyebutkan bahwa fenomena Khadijah adalah kasus pengecualian yang sama sekali tidak merefleksi kondisi umum kaum perempuan pada masa itu. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa Khadijah merupakan kalangan bangsawan, merupakaan status sosial paling tinggi yang memiliki kebebasan bertindak yang luas dibandingkan strata sosial di bawahnya. Dengan status sosial ini, tentunya, Khadijah memiliki hak dan kebebasan yang lebih luas untuk mendirikan usaha bisnis yang menyebabkannya menjadi salah seorang konglomerat Mekkah.[78]
Analisa lain menarik untuk dicermati adalah dikemukakan oleh Nawal El Saadawi. Ia menggambarkan kondisi perempuan Arab dengan dua tokoh perempuan yang terkenal, yaitu fenomena Hindun binti Rabi’ah dan Khadijah. Hindun menggambarkan sosok wanita Arab Mekkah yang bebas, berani dan memiliki analogi yang kuat. Dia sangat terkenal dalam sejarah Islam sebagai wanita yang berani melawan Nabi Muhammad. Sedangkan Khadijah menggambarkan sosok wanita mandiri dan memiliki kepribadian dalam bidang ekonomi maupun dalam hal kemasyarakatan. Di samping kedua wanita tersebut, menurut Nawal, banyak dari kalangan kabilah Arab yang bermukin di padang pasir menasabkan anaknya pada ibunya sepeprti kabilah Khanda dan Gadila. Beberapa raja Arab juga dinasabkan pada ibunya seperti Umar bin Hindun. Dengan demikian, pada dasarnya sistem kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam adalah patriarkal dan matriarkal. Namun, sistem matriarkal berangsur-angsur hilang bersamaan dengan munculnya sistem ekonomi dan keagamaan.[79] Bukti lain tentang kedudukan perempuan dapat digambarkan dengan adanya pengakuan terhadap tuhan-tuhan feminim dan maskulin. Latta dan Uzza adalah tuhan feminim yang dibawa Abu Sufyan dan istrinya, Hindun, dalam memerangi nabi Muhammad. Hal ini menunjukan kedudukan perempuan dan cermin dari sistem kekeluargaan yang matriarkal pada saat itu.[80]
Tiga analisa di atas berusaha untuk menggambarkan kondisi perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dengan mengambil petunjuk dari riwayat yang menceritakan tentang kehidupan Khadijah dan Hindun (analisa ketiga) nampaknya tidak memberikan gambaran yang sempurna tentang kondisi perempuan dalam masyarakat Arab sesungguhnya. Analisa pertama tentang relasi sosial tidak didukung dengan fakta bahwa ada kasus-kasus dimana orang tua menguburkan bayi-bayi perempuannya hidup-hidup[81] hanya khawatir akan mencemarkan nama baik keluarga dan beban ekonomi. Analisa kedua mungkin dapat dipertimbangkan untuk dapat diterima. Kasus Khadijah merupakan pengecualian yang tidak dapat merepresentasikan kondisi perempuan di Mekkah. Begitu juga fenomena Hindun masuk dalam katogori perempuan dari kalangan bagsawan. Hanya saja beberapa bukti yang dikemukakan Saadawi menunjukan bahwa perempuan Arab (khususnya Mekkah) relatif memiliki kedudukan tinggi sekalipun dalam perkembangannya kedudukan ini terkikis karena dominasi laki-laki dalam bidang ekonomi, politik dan keagamaan, kepemimpinan dengan model mempertahankan dengan kekuatan fisik serta konsep-konsep perlindungan keluarga. Inilah ciri msyarakat Arab yang belakangan ketika Islam datang sudah mengambil bentuk patriarkhal.
Ciri kedua dari masyarakat Arab pra Islam adalah struktur sosial yang bersifat patrilineal. Masyarakat patrilineal ini menimbulkan kesatuan-kesatuan keluarga yang besar-besar, seperti klan, marga, dimana setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya.[82] Konsekuensinya, eksistensi kaum perempuan pun melebur ke dalam garis tersebut.
Ciri ketiga masyarakat pra-Islam adalah interaksi sosial yang bersifat feodal-monopolistik. Ciri ini dapat dilihat dari kuatnya dominasi kalangan bangsawa dan konglomerat dalam kehidupannya. Monopoli dan penindasan ekonomi adalah senjata utama dan kebiasaan sehari-hari.[83] Watak feodalisme masyarakat arab pra-Islam ini dapat dilihat dari sejarah perbudakan yang berlangsung cukup lama. Mereka memperjualbelikan budak serta memperlakukan budak-budak sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai akibat dari semua ini, kaum miskin dan lemah semangkin tertindas.[84] Perbudakan dalam masyarakat Arab pra-Islam ini begitu mengakar sehingga ketika Islam datang pun tidak secara langsung menghapus watak masyarakat yang feodal ini.
Dengan beberapa karakter masyarakat Arab pra-Islam di atas memiliki pengaruh yang kuat terhadap sistem kewarisan yang berlaku. Perpindahan harta hanya berlaku untuk kepentingan-kepentingan yang mendukung kebertahanan pola hidup mereka. Dengan kata lain, objek dan tujuan kewarisan pada masyarakat Arab adalah menjaga harta dalam keluarga.[85] Dalam banyak catatan disebutkan bahwa setidaknya ada tiga bentuk dan cara pewarisan yang berlaku pada masyarakat Arab pra-Islam,[86] yaitu, pertama, pewarisan menurut hubungan darah (nasab),  dimana hanya laki-laki dewasa dan produktif saja yang diberikan hak untuk mewarisi. Kedua, pewarisan kepada seseorang melalui lembaga adopsi (tabannī), dimana anak angkat diberi hak dan diperlakukan sama dengan anak kandung. Ketiga, pewarisan melalui ikatan perjanjian (alf wa ahd),[87] yaitu perjanjian antara dua orang laki-laki atau lebih untuk saling melindungi dan mewariskan kekayaannya. Namun, ketiga model pewarisan ini tetap tunduk pada prinsip senioritas, produktivitas dan partisipasi militer, dimana hanya kaum laki-laki yang dewasa saja yang diperkenankan untuk mewarisi karena memiliki akses produktivitas dalam kehidupan sosial. Salah satu standar produktivitas tersebut adalah kemampuan berperang.[88]
Dengan melihat kondisi aturan adat yang berlaku pada masa Arab pra-Islam, tentunya, kalangan wanita sangat dirugikan. Selama hidupnya, mereka tidak pernah mendapatkan peluang untuk mewarisi sedangkan laki-laki hanya tidak mendapat warisan ketika mereka belum produktif saja. Tidak hanya sekedar tidak mendapat warisan, bahkan, perempuan pada masa itu dijadikan objek warisan setelah suaminya meninggal. Contoh yang sering diajukan adalah peristiwa Miham bin Abu Qais al-Aslat yang meninggal dunia dengan meninggalkan istrinya, Kubaisyah. Selanjutnya datanglah anak Abu Qais dari istri lain kemudian menyelubungkan kainnya pada ibu tirinya, dengan demikian ia mewarisi nikah ayahnya. Tetapi kemudian ibu tirinya itu ditinggalkannya, tidak didekati atau diberi nafkah, maksudnya hendak mempersempit agar ibu tirinya itu menebus dirinya dengan harta yang diwarisi dari ayahnya.[89]
Kondisi perempuan pada masa Jahiliyyah diperparah oleh mitos tentang simbol kenistaan (embodiment of sin) yang melekat pada mereka, penyebab godaan seksual (sexual temptation)[90] dan beban berat (heavy burden) keluarga semata.[91] Oleh sebab inilah, kaum laki-laki Arab pra-Islam sangat malu ketika mengetahui bahwa anak meraka yang baru lahir berkelamin perempuan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi mereka untuk memberikan keistimewaan pada perempuan. Berdasarkan berbagai fakta tersebut sampailah pada kesimpulan bahwa perempuan pada masa itu dikalsifikasikan bukan sebagai manusia tetapi sebagai barang.[92] Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga Islam datang dengan misi pembebasan dan emansipatorisnya.
Reformasi fundamental yang dibawa Islam melalui ajaran al-Qur’an, dalam kewarisan, adalah memberikan bagian-bagian yang tetap untuk kerabat perempuan,[93] merubah paradigma perpindahan harta, dan mendudukan harkat manusia pada posisi yang sebenarnya. Hukum kewarisan Islam bertujuan menyebarluaskan kekayaan di kalangan anggota keluarga dari orang yang meninggal; dalam waktu yang sama hukum ini juga diarahkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi pribadi dan penumpukan kekayaan serta perselisihan dalam kesatuan keluarga. Pada pokoknya, jaringan keluarga dan masyarakat lebih didahulukan daripada keinginan emosional dari yang meninggal.[94] Kedatangan Islam dengan aturan waris yang bergerak jauh melampaui pemikiran masyarakat pada masanya, menimbulkan protes sebagian masyarakat Arab sebagai bentuk penerimaan dengan perasaan berat. Ibn Abbas meriwayatkan bahwa: “waktu diturunkan hukum waris yang telah ditetapkan oleh Allah bagi anak-anak laki-laki atau perempuan dan bagian kedua orang tua, maka orang Arab merasa tidak enak, mereka berkata: seorang wanita diberi ¼ dan 1/8? Dan anak perempuan diberi ½ dan anak laki-laki yang masih kecil diberi juga padahal dari mereka tidak ada yang pergi berperang dengan golongan lain dan tidak pernah mendapat harta rampasan.” Oleh sebab itu, Qur’an menegaskan tentang pembagian warisan perempuan berulang-ulang.[95] Dengan pembagian yang tidak berimbang saja masyarakat Arab berat untuk menerimanya, bandingkan dengan aturan kalalah pertama (ayat 12 an-Nisa’) yang memberikan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tentunya, hal ini menimbulkan kegelisahan yang luar biasa.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Umar secara berulang-ulang menanyakan pengertian kalālah ini kepada Nabi. Apakah murni Umar tidak memahami maknanya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ia adalah seoarang ahli bahasa, atau memang dengan bagian yang sama dalam aturan kalālah ini menjadikan kegelisahan luar biasa bagi Umar. Yang agak mengherankan adalah pertanyaan Umar ini kemudian dijawab Nabi dengan menunjukan ayat 176 surat an-Nisa’, sementara sebagian riwayat menyebutkan bahwa turunnya ayat 176 itu disebabkan Umar yang beberapa kali bertanya kepada Nabi tentang kalālah itu sendiri. Jika diyakini oleh ulama’ bahwa ayat kalālah turun karena peristiwa Jābir, mengapa ketika terjadi perdebatan tentang kalālah tidak ada satupun dari kalangan sahabat yang bertanya pada Jabir tentang maksud ucapannya bahwa ia hanya diwarisi kalālah. Bukankah kebingungan Umar terjadi ketika Nabi masih hidup dan kalālah terakhir juga disinyalir turun karena peristiwa kegelisahaan Umar. Atau mungkin saja kata-kata kalālah sudah dipakai dalam masyarakat Arab, dengan bukti Jabir menggunakannya, tetapi ketika turun ayat kalālah yang secara tegas memberikan bagian yang sama pada laki-laki dan perempuan menimbulkan kersesahan dalam masyarakat. Setidaknya dalam keyakinan ulama’ dahulu adalah pembagian waris untuk saudara seibu.[96] Sehingga pertanyaan tentang kalālah selalu diulang-ulang oleh Umar bin Khatab yang dalam banyak riwayat selalu mengambil keputusan hukum dengan memperhatikan kondisi sosial.[97]
Nampaknya, pertanyaan Umar tentang makna kalālah bukan sekedar kebingungan maknanya tetapi juga kegelisahan dengan bagian warisan yang menyamakan bagian laki-laki dan perempuan. Sedangkan ketentuan waris yang dianggap paling prinsip adalah li aż-żakari milu hail unayain. Bukti yang dapat diajukan adalah Umar merubah keputusannya tentang makna kalālah dengan menambahkan adanya bapak pada pewaris yang tidak mempunyai anak. Sedangkan bapak dalam beberapa pendapat ulama fikih dapat meghijab saudara dari hak kewarisan.[98] Dalam kasus-kasus kusus lain dapat ditunjukan beberapa kebijakan Umar yang demi mempertahankan prinsip li aż-żakari milu hail unayain, “meninggalkan” bagian yang Allah tetapkan kepada perempuan. mislanya, kasus Gharrawain, Ummariyatān.[99]
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah –ayat waris—kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan, mereka sangat berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dihapuskan. Karena memberikan warisan kepada wanita dan anak-anaak sangat bertentangan dengan hukum waris yang sudah berlaku dalam masyarakat.[100] Tentunya, banyak sedikit, perasaan ini juga menghinggapi beberapa kalangan sahabat. Walaupun pada akhirnya aturan waris diterima oleh masyarakat Islam, dalam perkembangannya masuk unsur-unsur adat Arab yang masih dipegang untuk membentuk hukum kewarisan Islam, seperti aturan ‘asobah. Struktur keluarga dan idiologi patriarki, menurut Lapidus, merupakan dua hal yang merupakan kontinunitas budaya pra-Islam.[101] Hal ini adalah fakta yang menjukan bahwa misi al-Qur’an tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Hal inilah yang bagi sebagain peneliti hukum waris menunjukan bahwa hukum waris Islam tidak memperkenal secara komplit seperangkat aturan kewarisan yang baru, tetapi hanya memodifikasi sistem waris yang sudah ada.[102]
Sebagai bukti untuk pernyataan di atas adalah bahwa sistem kewarisan Islam yang berkembang atau yang dikembangkan oleh kalangan sahabat dan  seterusnya mengandung dua unsur, yaitu pertama, hukum adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan suku-suku Arab sebelum Islam yang tidak dirubah dengan tegas oleh mereka sesuai dengan peraturan-peraturn yang ditetapkan di dalam al-Qur’an. Kedua, peraturan-peraturan dalam al-Qur’an yang membawa perubahan yang tegas kepada adat masyarakat Arab Jahiliyyah.[103] Dengan demikian, dalam pembentukan suatu hal selalu menghasilkan hal positif dan negatif yang dalam perkembangannya boleh jadi nuansa negatif lebih ditonjolkan atau sebaliknya.
Kemudian, dua pendapat tentang apakah hukum kewarisan yang dibangun al-Qur’an merupakan sistem kewarisan yang merupakan pelapisan terhadap sistem kewarisan sebelum Islam atau merupakan sistem kewarisan independen yang tidak terkait dengan sistem sebelumnya, merupakan penentuan terhadap modifikasi visi misi al-Qur’an dalam bidang kewarisan. Dalam kasus kalālah nampaknya, secara historis, riwayat yang dikemukakan dari Jabir tentang kasus dirinya menunjukan bahwa kewarisan Islam membawa sistem baru. Buktinya tidak satupun dari kalangan sahabat mempertanyakan maksud Jabir tentang kalālah itu sendiri, sementara sahabat seperti Abu Bakar maupun Umar bin Khattab mencoba untuk beijtihad dalam masalah ini. Dengan demikian, kita berkesimpulan bahwa hukum kewarisan yang dibawa Islam pada dasarnya membawa ajaran yang baru dengan mengakomodir beberapa bagaian tradisi yang berlaku. Sebagaimana al-Qur’an tidak menetapkan bagian bapak secara jelas ketika tidak ada anak.
Berdasaarkan aspek historis di atas, hukum waris Islam pada dasarnya membawa misi keadilan dan emasipatoris untuk membebaskan masyarakat Islam dari ketidakadilan dalam mendistribusikan harta kepada anak, orang tua dan kerabat. Terlebih lagi dalam aturan kalālah, hukum waris Islam secara lahiriah memberikan bagian yang seimbang antara saudara laki-laki dan perempuan. Tentunya, aturan ini memberikan argumentasi bahwa aturan hukum waris Islam tidak hanya mengatur bagian yang tidak berimbang, tetapi juga dalam beberapa kasus memberikan bagian yang berimbang. Hal ini menunjukan bahwa aturan berimbang atau tidak berimbang dalam hukum waris Islam tetap mengacu pada konsep keadilan yang kemudian disesuaikan antara hak dan kewajiaban. Keadilan dalam wilayah tertentu dan pada masa tertentu akan mengalami pergeseran-pergeseran sesuai dengan tuntutan. Adapun keadilan itu dapat dilihat dengan tiga perspektif, yaitu keadilan distributif, prosedural dan komperatif. Dan keadilan yang dibentuk sesuai dengan konteksnya, pada perkembangannya, dapat dipandang sebagai sesuatu yang tidak kontekstual.
Terlepas dari itu, pertanyaan yang muncul secara normatif adalah apa perinsip umum yang ingin dikemukakan al-Qur’an dalam aturan kewarisan Islam. Pertanyaan ini muncul dari aturan pembagian yang ada dalam hukum waris sangat praktis. Dalam aturan praktis selalu membawa aturan yang lebih umum yang dapat dijadikan landasan-landasan bergeraknya hukum secara fleksibel. Sedangkan aspek historis di atas menunjukan misi pembebasan hukum waris. Namun, setelah kita menemukan misi-misi tersebut dan melihat kemungkinan-kemungkinan dampak negatif dari interaksi budaya Arab dengan norma yang terdapat dalam al-Qur’an, kita tidak mungkin berhenti sampai di sini. Dengan demikian, kita perlu melampaui pembacaan historis dengan melihat aspek normatif secara lebih mendalam.
E.      Kesimpulan
Berdasarkan pembacaan ayat kalālah baik yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 12 maupun ayat 176, maka kalālah dimaknai sebagai saudara laki-laki, baik ia berkedudukan sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Hal ini didasari pada petunjuk Rasulullah untuk merujuk pada ayat 176 dalam memahami kalālah. Dalam ayat tersebut hal yang dapat diperhatikan adalah bahwa ia berbicara tentang kewarisan saudara secara timbal balik. Apabila saudara laki-laki meninggal maka saudara perempuan yang akan mewarisi, begitu juga sebaliknya jika saudara meninggal maka saudara laki-laki mewarisinya. Hanya satu kemungkinan arti kalālah dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki. Untuk memahami kedua ayat kalālah tersebut maka kita harus meletakan ayat tersebut sesuai konteksnya yang diindikasi dengan bagian-bagian warisan yang berbeda. Selain itu kita dapat menerapkan cara-cara munasabah antar ayat dalam satu surat. Ayat 12 dibicarakan dalam konteks yang sangat luas dimana ahli waris di sana bukan hanya saudara tetapi orang tua dan pasangan, sedangkan ayat 176 tidak mengindikasikan adanya ahli waris dari golongan orang tua. Dalam pemahamannya penulis berpendapat bahwa kedudukan saudara dalam ayat kalālah pertama adalah sebagai ahli waris sekunder dengan bagian yang sama, sedangkan ayat kalālah kedua menempatkan posisi saudara sebagai ahli waris primer dimana bagian-bagian waris mereka variatif. Dalam pembacaan ini tidak ada pembedaan antara saudara seibu, sebapak atau sekandung karena semua saudara adalah sama. Nampaknya, pembacaan semcam inilah yang belum diterima oleh masyarakat muslim awal meningat konteks budaya yang belum mendukung. Wallahu a’lam

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir al-Qur’ān al-Hakim a-ahir bi Tafsir al-Manar, cet. ke-2 (Bairut: Dār al-Ma’rifa, t.t)
Al-Fayyumi, al-Misbāh al-Munir (Beirut: Dār Fikr al-‘Arabi, t.t)
Ali, Abu Yusuf, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (Dār, al-Arabia, 1968)
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996)
Ali, Sayed Ameer, Muhammadan Law, vol 2 (New Delhi: Kitab Bhavana, 1986)
al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema risalah Press, tt.)
Amin, Ahmad, Fadjar Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
Arabi, Abī Bakr Muhammad bin Abdullah Ibn, Ahkām al-Qur’ān, tahqiq: Ali Muhammad al-Bajawī (ttp.: tnp., 1967)
As-Suyui, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp.: Dār al-Fikr, t.t)
Ai,amuddah Abd al-, The Family Stucture in Islam (Indiana: Islamic Book Service, 1977)
Azmeh, Aziz (ed.), Islamic Law: social and Historical Contexts (London dan New York: Routledge, 1988)
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Baihaqi, Abu Bakar Muhammad al-, Kitāb as-Sunnan as-Saghir (ttp.: Maktab al-Mukarram, t.t)
Baihaqī, Imām al-, Ma’arif Sunnan wa al-Aār an al-Imam asy-Syāfii, cet. Ke-1 (Beirut: Dār al-‘ilmiyyah, 1991)
Behbudi, Muhmmad Baqir and Colin Turner, The Qur’an New Interpretation (Inggris: Curzon Press, 1997)
Coulsen N.J., Konflik dalam Yuresprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001)
Coulsen N.J., Succession in the Family Law, (Cambrige: The Cambrige University Press, 1971)
Coulson, JND Succession in the Family Law, (Cambrige: The University Press, 1971)
Coulson, Noel J., A History of Islamic Law (Edimburgh: The University Press, 964)
Dahlan, Abdul Aziz, et.all., EnsiklopediHukum Islam, cet. Ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 2001)
Dārimi, Abu Muhammad ad-, Sunan ad-Dārimi (Bairut: Dār al-Fikr, t.t)
Eliade, Mircea, The Ensiclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mc Millan Publising Company, t.t.)
Eposito, John L. (ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa A.Rahman Zainuddin (Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
Espositpo, John L. and Natana J. Delong-Bas, Women in Muslim Family Law, second edition (Syracuse: Syracus University Press, 2001)
Fakhrurrazi, Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad Husain al-, At-Tafsīr al-Kabir li al-Imam al-Fakhrurrazi (ttp.: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t)
Fryzee, A.A.A., “The Fatimid Law of Inheritance, dalam dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982)
Fyzee, A.A.A., Outlines of Muhammadan Law, cet. ke4 (London: Oxford University Press, 1974)
Ghandur, Abdul ‘Azim Ma’ani dan Ahmad, Ahkām min al-Qur’ān wa ala Sunnah: Lughat, Ijtima’, Tasyri’ (ttp.: Dār al-Ma’rifat, 1967)
Hallaq, Wael B., A History of Islamic legal theories: am Introduction to Sunnī Uūl (Cambridge: Cambridge University Press, 1997)
arrāsi, Al-Kiya  al-, Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-kitāb al-‘ilmiyyah, 1983)
Hasan, Ahmad, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994)
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Tintamas, 1982)
Hussein, Freza (ed.), Muslim Women (London: Croom Helm, 1983)
Ibn Hazm, al-Muhalla  (ttp.:Dār al-Fikr, t.t)
Ibn Manzur, Lisan al-Arab al-Munkit (ttp.: tnp., 1389)
Irving, Washington, Life of Mohamet (London: J. M. Dent & Son Ltd., 1949)
Jaṣṣa, Abu Bakar al-, Ahkām al-Qur’an (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Arabi, t.t)
Jawad, Haifa A., The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach (London: Macmillan Press Ltd., 1998)
Karim, Khalil Abdul, Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafaurrasyidin, Alih Bahasa: Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Khalid Zaheer, “Kalalah in the Qur’anic Law of Inheritance”, dalam http://www.khalidzaheer.com/qa/61, akses 3 Maret 2008.
Khan, Mustafa Muhammad Ali, Islamic Law of Inheritance: A New Approach (New Delhi: Kitab Bhavana, 1989)
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies (Canbridge: Canbridge University Press, 1988)
Ma’luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut: Dār al-Masyriq, 1998)
Mahaly, Jalaludin Muhammad bin Ahmad al-dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyui, Tafsir al-Qur’ān Karim (ttp.: Dār al-Qalam, t.t)
Marāghī, Ahmad Musafa al-, Tafsir al-Marāghī (ttp.: Matba’ah Musafa al-Babīy al-Halabi, 1974)
Mudzar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)
_________, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach (Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003)
Mukhtar, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-, Awā’ al-Bayān fī Īāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān (ttp.: Maba al-Madanī, 1967), I: 275;
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: PPS.Krapiyak, tt.)
Nasafi, Abdullah bin Ahmad Abi al-Barkat an-, Tafsir an-Nasafi (ttp.: Dār Haya’ al-Kutub al-‘Arabi, tt)
Nisaburi, Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-, Asbāb an-Nuzul (Beirut: Dār al-Fikr, 1991)
Power, David S., “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q. 4:12B”, dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982)
_________, Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of inheritance (Barkeley: University of California Press, 1986)
Qal’ahji, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab, alih bahasa: M. Abdul Mujieb, dkk., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta)
Qāsimī, Jamāl ad-Dīn al-, Mahāsin at-Ta’wil, cet.II (Beirut: Dār al-Fikr, 1978)
Qurubi, Muhammad bin Ahmad Abi Abdullah al-Anori al-, Al-Jami’ li ahkām al-Qur’ān, cet. ke-1(ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1967)
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. 2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981)
Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (Bandung: Pustaka, 1995
Ria, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1999)
Sa’dī Abū Jayib, Al-Qāmūs al-Fiqhiyyah: Lughatan wa Itilahan (Sūriyah: Dār al-Fikr, 1998)
Sa’id awā, Al-Asās fī at-Tafsir, cet. ke-2 (ttp.: Dār as-Salām, 1989)
Saadawi, Nawal El, Wajah Telanjang Perempuan, alih bahasa: Azhariyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
adiq Hasan Khān, Fat al-Bayān fī Maqāid al-Qur’ān (ttp.: tnp., t.t)
Sajastānī, Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Aa as-, Sunan Abī Dāwūd, cet.I (Mesor: Musafā al-Bābī al-alabī, 1952)
ali, Bajat Abdul Waid, Al-‘Irab al-Mufaṣṣal li Kitabillah al-Murattal (‘Amman: Dār al-Fikr li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1998)
Scacht, Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950)
Shaban, M.A., Islamic History A.D.600-750: A New Interpretation (I), cet.IX (Canbridg: Canbridg University Press, 1971)
Shabuniy, Muhammad Ali ash-, Hukum Waris Islam, alih bahasa: Sarmin Sakur (Surabaya: al-Ikhlas, 1995)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.2 (Jakarta: Lentera Hari, 2002)
Smith, W. Robertson, Kinship and Marriage in Early Arabia (Netherlands: Anthropological publication, 1966)
Suyui, Abdurrahman Jalaluddin as-, Ad-Durr al-Manur fi at-Tafsir al-Maur (ttp.: Dār al-Fikr, 1983)
Syarūr, Muhammad, Tirani Islam: Geneologi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis, 2003)
Syaukānī, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-, Fat al-Qadīr al-Jāmi Bayna Fanniy ar-Riwayah wa ad-Dirasah min Ilm Tafsir, cet. ke-3 (ttp.: Dār al-Fikr, 1973)
abari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-, Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay al-Qur’ān (Bairut: Dār al-Fikr, t.t)
abātāī, Al-‘Alāmah as-sayid Muhammad Husain a-, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Bairut: Mu’assasah al-A’lamī li al-Mabū’āt, 1978)
Tirmiżī, Abū ‘Īsā muammad at-, al-Jāmi’ al-ai, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988)
Umar, Nasaruddin, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002)
__________, Argumen Kesetaraab Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999)
Wadud, Amina, Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (Oxford: Oxford University Press, 1999)
Waidī, Abu asan Alī al-, Asbāb an-Nuzūl (ttp.: Dār al-Fikr, t.t)
Watt, W. Montgomery, Islamic Political Thaought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990)
Wegner, Judith Romney, “ Islamic and Talmudic Jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law and Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal History, vol. XXVI (1982)
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. J Milton cowan,  Spoken Language Service, 1976
Zuhayli, Wahbah az-, at-Tafsir al-Munir: fī al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj (Bairut: Dār al-Fikr, 1991)


[1] David S. Power, Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of inheritance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 40; idem, “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q. 4:12B”, dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982), XXVIII: 83
[2] A-abari menulis begitu banyak riwayat yang berbeda pendapat tentang kalālah yang sebagaian diantaranya berpendapat ma khala al-walid wa walad. Lihat: Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-abari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay al-Qur’ān (Bairut: Dār al-Fikr, t.t), IV: 376 baris ke-15
[3] Muhammad bin Ahmad Abi Abdullah al-Anori al-Qurubi, Al-Jami’ li ahkām al-Qur’ān, cet. ke-1(ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1967) II: 1646
[4] Misalnya Jalaludin Muhammad bin Ahmad al-Mahaly dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyui, Tafsir al-Qur’ān Karim (ttp.: Dār al-Qalam, t.t), hlm. 83 baris 2-3 kemudian diulang lagi pada halaman 107 baris 16. Bandingkan dengan Abdurrahman Jalaluddin as-Suyui, Ad-Durr al-Manur fi at-Tafsir al-Ma’ur (ttp.: Dār al-Fikr, 1983), II: 448
[5] Ahmad Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi (ttp.: Mathba’ah Mustafa al-Babiy al-Halabi, 1974), VI: 39 baris 1-2.
[6] Pendapat di luar pemaknaan kalālah sebagai orang yang meninggal tidak mempunyai ayah dan anak (kalālah sebagai pewaris) atau ahli waris selain bapak dan anak, adalah pendapat yang memaknai kalālah dengan pengertian harta. Misalnya, apa yang dikemukakan oleh ‘Aā’. Lihat: Sadī Abū Jayib, Al-Qāmūs al-Fiqhiyyah: Lughatan wa Itilahan (Sūriyah: Dār al-Fikr, 1998), hlm. 324
[7] Dalam beberapa tafsir cenderung menggunakan pembedaan tersebut. Misalnya dalam tafsir Jalalain mendasarkan pada bacaan Ibn Mas’ud dengan memaknai saudara dalam ayat 12 surat an-Nisa’ saudara laki-laki dan perempuan seibu. Lihat: al-Mahaly dan as-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an…, hlm. 83 baris 3. Kemudian kalalah kedua dengan makna saudara perempuan sekandung atau sebapak. Ibid., hlm. 107, baris 16. Lihat juga: Abdullah bin Ahmad Abi al-Barkat an-Nasafi, Tafsir an-Nasafi (ttp.: Dār Haya’ al-Kutub al-‘Arabi, tt) I: 267 baris 17 dan halaman 212 baris 16.
[8] Hukum Purwa Islam ini mengemukakan dua model mekanisme perpindahan harta dalam Islam, yaitu kewarisan testamentair dan kewarisan ab intestato. Hukum purwa Islam memberikan kekuasaan testamentair penuh (kepada calon almarhum); dengan cara wasiat, seseorang dapat menunjukan ahli waris testamentair baik dari kalangan putra putrinya dan kerabat dekat, ia dapat juga menunjuk dari kalangan kerabat perkawinan, yaitu istri dan menantu. Dalam kasus terakhir, kerabat sedarah harus diberikan fardh warisan sebagai kopensasi pembatalan hak waris karena mereka semestinya mewarisi dalam keadaan ab intestato. Kemudian, hukum purwa Islam tidak memberlakukan ketentuan pembagian warisan dalam kapasitas hukum wajib, tetapi hanya berlaku apabila tidak ada pesan terakhir dan testatemen yang sah. Lihat: Power, Studies in Qur’an and Hadis…, hlm. 211.
[9] Diriwayatkan dari Abu Kuraib dari ‘Ustam dari al-A’masy. Al-‘Amasy menyebutkan bahwa ia mendengar dan ia memperkirakan bahwa Ibrahim ada diantara mereka. Lihat: at-abari, Jami’ al-Bayan…,  VI: 58
[10] Diriwayatkan dari Ya’kub bin Ibrahim dari ‘Ulayyah dari Abu Hayyan dari as-Sa’bi dari Ibn Umar. Ibn ‘Umar berkata bahwa ia telah mendengar Umar bin Khatab berkhutbah di mimbar Madinah dengan redaksi tersebut.  Ibid, 58-9
[11] Diriwayatkan dari Ya’kub dari Ibn ‘Ulayyah dari Sa’id bin abi ‘Aruabah dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah dari Umar bin Khatab. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula Ibrahim bin Sa’id al-Jauhiri dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan dari Umar. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula dari Muhammad bin Basysyar dari Ibn ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah. Riwayat ini bahwa ia mengetahui Umar bin Khatab berkhutbah pada hari jum’at yang menceritakan perihal dirinya tersebut. Ibid, hlm. 59
[12] Misalnya dalam kamus lisan al-Arab menyebutkan secara jelas bahwa kalālah adalah ar-rijal allażi la walad lahu wa la walid. Lihat: Ibn Manzur, Lisan al-Arab al-Munkit (ttp.: tnp., 1389), II: 288
[13] Uraian yang menarik dalam melihat keterkaitan antara ijtihad, ijma’ dan Sunnah telah dikemukakan Fazlur Rahman ketika mejelaskan kemunculan hadis. Lihat: Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (Bandung: Pustaka, 1995). Terutama bab I: Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma’ pada awal Sejarah Islam, hlm. 1-33
[14] a-abari, Jami’ al-Bayan..., hlm. 191-3
[15] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut: Dār al-Masyriq, 1998), hlm. 692
[16] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: PPS.Krapiyak, tt.), hlm. 1317
[17] Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), hlm. 1513
[18] Dalam versi Inggis disebutkan to be or become tired (menjadi lelah), fatigued (lelah), weary (capek), exhauted (lelah), weak (lemah); to be dim, dull, languid, expressionless (glance, eyes); to become blunt (sword). Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. J Milton cowan,  Spoken Language Service, 1976, hlm. 834
[19] Abdul Aziz Dahlan, et.all., EnsiklopediHukum Islam, cet. Ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 2001), hlm. 869
[20] Al-Fayyumi, al-Misbāh al-Munir (Beirut: Dār Fikr al-‘Arabi, t.t), hlm. 538
[21] Ibn Hazm, al-Muhalla  (ttp.:Dār al-Fikr, t.t), VI: 268; Sa’dī Abū Jayib, Al-Qāmūs al-Fiqhiyyah...., hlm. 324
[22] adiq Hasan Khān, Fat al-Bayān fī Maqāid al-Qur’ān (ttp.: tnp., t.t), II: 221. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-Syaukānī, Fat al-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanniy ar-Riwayah wa ad-Dirasah min ‘Ilm Tafsir, cet. ke-3 (ttp.: Dār al-Fikr, 1973),  I: 434; Abū Jayib, al-Qāmūs al-Fiqhiyyah..., hlm. 324
[23] al-Qurubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān..., hlm. 1647, Khān, Fat al-Bayān..., II: 221, asy-Syaukānī, Fat al-Qadīr..., I: 434
[24] Ibn Manzur, Lisan al-Arab al-Munkit..., hlm. 288
[25] Ibid., hlm. 288
[26] Beragam riwayat yang menyandarkan pendapat ini kepda Abu Bakar selengkapnya dapat dilihat dalam at-Tabari, Jami’ al-Bayan ..., hlm. 192; Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Awā’ al-Bayān fī Īāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān (ttp.: Maba al-Madanī, 1967), I: 275;
[27] Abī Bakr Muhammad bin Abdullah Ibn Arabi, Ahkām al-Qur’ān, tahqiq: Ali Muhammad al-Bajawī (ttp.: tnp., 1967), I: 347
[28] Al-‘Alāmah as-sayid Muhammad Husain a-abātāī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Bairut: Mu’assasah al-A’lamī li al-Mabū’āt, 1978), IV: 218
[29] Fakhrurrazi ketika membahas makna kalālah menyebutkan bahwa pendapat Abu Bakar tentang kalālah  adalah pendapat yang paling benar. Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad Husain al-Fakhrurrazi, At-Tafsīr al-Kabir li al-Imam al-Fakhrurrazi (ttp.: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), V: 221
[30] Hadis riwayat Baihaqi. Baihaqi mendapatkan berita tersebut dari Abū Abdillah al-āfi, ia juga mendapatkan cerita tersebut dari Abū Abbās Muhammad bin Yakūb, Ibrāhīm bin Marzūq, Wahab bin Jarīr, dan Syubah dari Muhammad bin al-Munkadar. Muhammad bin al-Munkadar berkata bahwa ia telah mendengar Jābir bin Abdullah berkata: Rasulullah datang kepadaku dan aku dalam keadaan sakit maka kemudian Rasulullah berwudu’ dan memercikan air wudu’nya kepadaku. Kemudia Jābir berkata: ....... kemudian turun ayat tentang waris. Lihat: Abu Bakar Muhammad al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir (ttp.: Maktab al-Mukarram, t.t), I: 564, Bāb fī al-Kalālah. Lihat pula: Abu Bakar al-Jaṣṣa, Ahkām al-Qur’an (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Arabi, t.t), II: 126. Dengan redaksi yang berbeda, hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad,  asy-Syaikhāni (Bukhari dan Muslim), ahāb as-sunan dan lainnya dari Jābir bin Abdullah. Lihat: Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’ān al-Hakim a-ahir bi Tafsir al-Manar, cet. ke-2 (Bairut: Dār al-Ma’rifa, t.t),VI: 103. Riwayat Bukhari lihat: Sa’id awā, Al-Asās fī at-Tafsir, cet. ke-2 (ttp.: Dār as-Salām, 1989), II: 1262.
[31] al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir..., hlm. 564
[32] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab, alih bahasa: M. Abdul Mujieb, dkk., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta), hlm. 330. Dalam banyak riwayat dikatakan bahwa Umar mengalami kegelisahan ketika memakanai kata kalālah. Beliau menanyakan hal ini kepada Rasulullah, namun tidak mendapatkan jawaban yang tegas. Menurut Rasulullah, redaksi dalam ayat 176 itu telah memadai. Lihat: al-Jaṣṣa, Ahkām al-Qur’an..., II:127-8
[33] Muhammad Rasyid Ria, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), IV: 345; dalam redaksi yang berbeda hadis ini terdapat dalam Abu Muhammad ad-Dārimi, Sunan ad-Dārimi (Bairut: Dār al-Fikr, t.t) II: 365-6
[34] Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar..., hlm. 330-1
[35] Al-Kiya  al-arrāsi, Ahkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-kitāb al-‘ilmiyyah, 1983), I: 360
[36] al-Jaṣṣa, Ahkām al-Qur’an..., II: 127
[37] a-abari, Jami’ al-Bayan…, hlm. 193
[38] asy-Syaukānī, Fat al-Qadīr..., hlm. 434
[39] Abū Jayib, al-Qāmūs al-Fiqhiyyah..., hlm. 324
[40] David S. Power, Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of Inhetitance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 39-40; idem, “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q. 4:12B”, dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982), XXVIII: 82 
[41] Dalam hal ini, penulis sepakat dengan argumentasi Ahmad Hasan yang menolak pendapat Joshep Schacht bahwa tradisi qiyas diadopsi dari tradisi Yahudi, hiqqish, dengan menggunakan analogi berdasarkan adanya sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus istilahnya yang disejajarkan. Lihat: Joseph Scacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950), hlm. 99. Model pemahaman orientalis seperti ini cenderung sering digunakan untuk menunjukan adanya kesinambungan antara tradisi Islam dan tradisi agama sebelumnya. Ada dua alasan penolakan yang diajukan oleh Hasan: pertama, metode filologi memiliki keterbatasan dan kekurangan dalam menyingkapi asal-usul dan sumber pranata fiqh. Kedua, secara sosiologis masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri menurut kebutuhan dan tidak selalu harus meminjam dari peradaban asing. Lihat: Ahmad Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), 96-7. Tidak hanya fikih, tentunya, al-Qur’an juga menciptakan pranata tersendiri dalam membangun pradaban Islam. Motode filologi ini banyak digunakan orientalis untuk melihat keseluruha pranata Islam. Misalnya Wegner melacak empat sumber dalam Islam yang semuanya dipengaruhi oleh Talmud. Term al-Qur’an memiliki persamaan dengan miqrā dalam tradisi Yahudi dan qeryānā dalam tradisi Kristen baik dari segi linguistik maupun konseptual; term sunnah dekat dengan makan mināh (an early codification of the rules of the Jewish oral law); ijma’ memilik kedekatan dengan makan the Hā-Kol Consensus of the Gemara; dan qiyas memiliki persamaan dengan Heqqẽṡ. Lihat: Judith Romney Wegner, “ Islamic and Talmudic Jurisprudence: the Four Roots of Islamic Law and Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal History, vol. XXVI (1982), hlm. 30-49.
[42] Dengan pengartian yang berbeda, cara penerjemahan yang dilakukan oleh Power ini juga penulis temukan dalam komentar Khalid Zaheer. Ia tidak sepakat dengan pengertian kalālah yang dikemukakan ulama selama ini. Dengan mengikuti cara terjemahan Javed Aham Ghamidi, ia cenderung menerjemahkan dengan ahli waris selain orang tua, anak, dan pasangan. Jadi, kalālah itu boleh jadi saudara, paman, bibi atau yang lain “yang ditunjuk” oleh pewaris sebagai ahli warisnya. Komentar ini terdapat pada: “Kalalah in the Qur’anic Law of Inheritance”, dalam http://www.khalidzaheer.com/qa/61, akses 3 Maret 2008.
[43] Dalam catatan kaki, Power menunjukan satu riwayat panjang yang menjelaskan bahwa ada kemungkinan penggunaan kalālah dengan makna menantu perempuan. Kitab al-Mughānī meneceritakan kisah cinta seorang penyair Qais bin arih dengan Lubna binti al-Hubab al-Kabiyah. Cinta keduanya ditentang oleh kedua orang tuanya walaupun pada akhirnya mereka menikah. Dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa Qais jatuh sakit padahal ia tidak memiliki anak. Dengan alasan kemandulan inilah ibu Qais berusaha mendepak Lubna dari keluarganya dan ia berkata pada suaminya “saya khwatir bahwa Qais akan meninggal tanpa keturnan, karena wanita ini mandul. Engkau adalah orang yang kaya sehingga (jika Qais mati) kekayaanmu akan berlih kepada kalālah....” menurut power seharusnya kalālah di sini merujuk pada Lubab karena tidak mungkin ia merujuk pada orang mati yang tidak meninggalkan bapak dan anak. Power, Studies in Qur’an and Hadis…, hlm. 41. Namun, argumentasi Power ini masih bias dibantah dengan kenyataan bahwa bisa saja yang dikhwatirkan adalah harta kekayaan orang tua Qais diwariskan oleh saudara laki-laki orang tuanya. Kemudian dalam cerita tersebut dijelaskan adanya peran al-Husein, cucu Rasulullah. Artinya terjadinya peristiwa itu jauh setelah terbentuknya makna kalālah yang dipahami oleh masyarakat Islam sehingga kemungkinan makna yang diinginkan oleh ibu Qais adalah kekhawatiran harta suaminya jatuh ketangan saudara-saudara suaminya sedangkan Qais tidak mempunyai anak sebagai pewaris pengganti.
[44] Riwayat yang dimaksud adalah riwayat Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang aku tanyakan kepada Rasulullah sesering al-kalālah, sampai-sampai beliau menyodok dada(ku) dan berkata: ayat musim panas yang ada di akhir suat an-Nisa’ sudah cukup bagimu”.  Hadis ini diriwayatkan dari Ya’kub dari Ibn ‘Ulayyah dari Sa’id bin abi ‘Aruabah dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah dari Umar bin Khatab. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula Ibrahim bin Sa’id al-Jauhiri dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan dari Umar. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula dari Muhammad bin Basysyar dari Ibn ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah. Riwayat ini bahwa ia mengetahui Umar bin Khatab berkhutbah pada hari jum’at yang menceritakan perihal dirinya tersebut. Lihat: a-abari, Jami’ al-Bayan..., IV: 59
[45] Sebagian ulama memahami ayat 12 surat an-Nisa’ secara terpisah. Bagian ayat yang berbicara tentang kalālah tidak dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang bagian pasangan. Hal ini juga dilakukan Power yang kemudian ia membagi ayat tersebut dengan dua katogori, yaitu 12a dan 12b. Power, Studies in Qur’an and Hadis:…, hlm. 22; idem, “The Islamic Law of Inheritance…, hlm. 61
[46] Imam asy-syafi’i, misalnya, menerjemahkan lafaz walad dalam ayat ini adalah anak laki-laki, bukan anak perempuan. lihat: Imām al-Baihaqī, Ma’arif Sunnan wa al-Aār an al-Imam asy-Syāfii, cet. Ke-1 (Beirut: Dār al-‘ilmiyyah, 1991), hlm. 58
[47] Munasabah secara bahasa berarti nusyakal dan muqaran. Artinya saling menyerupai atau mendekati, sedangkan secara istilahan berarti merujuk pada makana yang berkaitan antara baik ayat-ayat umum atau khusus, rasional, sensible, imajinatif dan dari macam-macam hubungan lainnya atau keterkaitan internal seperti sebab akibat, ‘illat dan ma’lil, dua hal yang sama, dua hal yang bertentangan dan sebagainya. As-Suyui, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp.: Dār al-Fikr, t.t) II: 108. Dalam beberapa pembagian munasabah, ditemukan bentuk munasabah yang sesuai untuk pembacaan ayat kalālah pertama, yaitu munasabah antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat, atau juga munasabah antar ayat dengan ayat dalam satu surat. Lebih lanjut tentang munasabah ini secara panjang diuraikan Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 192-8
[48] Pembacaan ini didasari pada qira’at Sa’ad. A-abari mencatat setidak-tidaknya ada enam riwayat yang dijadikan pijakan. Empat riwayat bersumber dari al-Qāsim bin Rabiah, Satu dari Qatādah, dan satu lagi dari as-Sadyu. a-abari, Jami’ al-Bayan…, III: 194
[49] Rasyid Ria, Tafsīr al-Qur’an..., IV: 346
[50] Ulama’ bersepakat bahwa ayat kalālah kedua berbicara tentang saudara sekandung atau sebapak. Sedangkan saudara seibu telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya pada kalālah pertama. Keterangan ini diperkuat oleh pendapat Abu Bakar dalam khutbahnya. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya ayat yang diturunkan Allah dalam surat an-Nisa’ tentang farai, pertama adalah ketentuan bagi anak dan orang tua, kedua ketentuan bagi suami atau istri dan saudara seibu. Dan ayat yang mengakhiri ketentuan waris dalam surat an-nisa’ diturunkan ketentuan bagian saudara dan saudari sekandung, atau sebapak. Dan ayat yang terakhir surat al-Anfal menetapkan ketentuan ulil arham. Wahbah az-Zuhayli, at-Tafsir al-Munir: fī al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj (Bairut: Dār al-Fikr, 1991), III: 56
[51] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.2 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), hlm. 655
[52]Ibid., hlm. 654-5
[53] Dengan rentetan terakhir dari pembicaraan al-Qur’an tentang ahli waris maka kita dapat melihat bentuk keluarga apa yang dinginkan al-Qur’an. Sebagaimana yang dikemukakan Isma’il Faruqi dan Lamya bahwa bentuk keluarga yang dikehendaki dalam Islam adalah extended family. Lihat: Ismail L. Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, alih bahasa: Ilyas Hasan, cet. Ke-3 (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 184. Namun, pendapat ini perlu dikaji ulang. Ada tiga bentuk keluarga sepanjang sejarah keluarga, yaitu keluarga bati (nucleur family) yang merupakan suatu satuan kekerabatan yang terdiri atas suami dan istri dan keturunan langsung, keluarga luas (extended family) yang merupakan suatu kelompok kekerabatan yang terdiri atas sejumlah kelompok keluarga bati yang membentuk satu keluarga yang merupakan satu kesatuan sosial, dan persekutuan kelompok keturunan (corporate descent group) yang merupakan ikatan kekerabatan yang diperluas menjadi persekutuan kelompok keturunan yang lebih besar. Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraab Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 124. Berdasarkan ketiga bentuk keluarga ini, maka dalam Islam yang memiliki hak untuk mewarisi secara langsung disebutkan al-Qur’an adalah anak, orang tua dan saudara jika tidak ada anak, merpakan bentuk keluarga inti yang diperluas atau lebih tepatnya bentuk keluarga inti terbuka, dimana ketika ada anak sebagai ahli waris semisal saudara tidak berhak mewarisi termasuk juga kakek dari pewaris. Sedangkan jika anak tidak ada maka sistem kekeluargaan menjadi terbuka karena saudara bisa mewarisi, bahkan dalam kondisi tidak ada bapak, kakek juga bisa mewarisi.
[54] Istilah ahli waris primer dan sekunder ini dipinjam dari N.J.Coulson dan ini akan dijadikan teori klasifikasi ahli waris. Lihat: Coulson, Succession in the Family Law, (Cambrige: The University Press, 1971), hlm. 38-9; Power, “The Islamic Law of Inheritance…, hlm. 98-101
[55] a-abari, Jami’ al-Bayan…, III: 191
[56] Lihat misalnya dalam versi Inodesia al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema risalah Press, tt.) atau dalam versi Inggris Abu Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (Dār, al-Arabia, 1968); Muhmmad Baqir Behbudi and Colin Turner, The Qur’an New Interpretation (Inggris: Curzon Press, 1997)
[57] al-Mukhtar, Awā’ al-Bayān..., I: 275-6; Tentang kedudukan lafaz kalālah ini juga ddapat dilihat dalam: Abī al-Baqā’ Abdullah bin al-usain al-Ukbarī, tahqiq: Muammad al-Bajāwī (ttp.: ‘Īsā al-bābī al-albī wa Syarakāt, t.t), hlm. 336; bandingkan dengan Bajat Abdul Waid ali, Al-‘Irab al-Mufaṣṣal li Kitabillah al-Murattal (‘Amman: Dār al-Fikr li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1998), II: 244
[58] a-abari, Jami’ al-Bayan…, III: 193; Power, “The Islamic Law of Inheritance…, hlm. 63-4; idem,  Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 23-4
[59] Khān, Fat al-Bayān..., II: 221
[60] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002), hlm. 44
[61] a-abari, Jami’ al-Bayan…, III: 193
[62] Ahmad Amin, Fadjar Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 295
[63] Q.S. an-Nisa’ (4): 2
[64] al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir...,  I: 564; al-Jaṣṣa, Ahkām al-Qur’ān..., II: 126. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an..., VI: 103; Sa’id awā, Al-Asās fī at-Tafsir...,, II: 1262.
[65] Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-Nisaburi, Asbāb an-Nuzul (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), hlm. 95-96; a-abari, Jami’ al-Bayan…,III: 185; Abdul ‘Azim Ma’ani dan Ahmad Ghandur, Ahkām min al-Qur’ān wa ala Sunnah: Lughat, Ijtima’, Tasyri’ (ttp.: Dār al-Ma’rifat, 1967), hlm. 132; Abū ‘Īsā muammad at-Tirmiżī, al-Jāmi’ al-ai, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), IV: 361; Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Aa as-Sajastānī, Sunan Abī Dāwūd, cet.I (Mesor: Musafā al-Bābī al-alabī, 1952), II: 109
[66] Amina Wadud, Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 30
[67] al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir..., hlm. 564
[68] Ahmad Amin, Fadjar Islam…, hlm. 296
[69] Sa’id awā, Al-Asās fī at-Tafsir...,, II:1002
[70] Mircea Eliade, The Ensiclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mc Millan Publising Company, t.t.), hlm. 450
[71] Jamāl ad-Dīn al-Qāsimī, Mahāsin at-Ta’wil, cet.II (Beirut: Dār al-Fikr, 1978), V: 42
[72] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Canbridge: Canbridge University Press, 1988), hlm. 13-4
[73] W. Montgomery Watt, Islamic Political Thaought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), hlm. 7-8
[74] Martha Mundy, “The Family, Inheritance and Islam: A Re-examination of the Sociology of Fara’id Law,” dalam Aziz Azmeh (ed.), Islamic Law: social and Historical Contexts (London dan New York: Routledge, 1988), hlm. 2. Karakter lain dikemukakan amuddah Abd al-Ai, The Family Stucture in Islam (Indiana: Islamic Book Service, 1977), hlm. 8-9
[75] John L. Espositpo and Natana J. Delong-Bas, Women in Muslim Family Law, second edition (Syracuse: Syracus University Press, 2001), hlm. 37
[76] Power, Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 15-6
[77] W. Robertson Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia (Netherlands: Anthropological publication, 1966) hlm. 120
[78] Barbara F.Stowasser, “The Status of Women in Early Islam”, dalam Freza Hussein (ed.), Muslim Women (London: Croom Helm, 1983), hlm. 14-5
[79] Nawal El Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, alih bahasa: Azhariyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.54-5. Tentang munculnya system patriarkhal yang beranjak dari sistem material secara positif dan beberapa faktor penyebabnya dibahas secara menarik dalam evolusi keluarga oleh Muhammad Syarūr dalam Tirani Islam: Geneologi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis, 2003), hlm. 21-44
[80] Saadawi, Wajah Telanjang…, hlm. 56
[81] Q.S. an-Nahl (16): 58-59
[82] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Tintamas, 1982), hlm. 11; Barakat, “The Arab Family…, hlm. 31. keluarga model inilah yang menjadi unsure utama munculnya identitas negara dan kepemimpinan nasional. Syarūr, Tirani Islam:…, hlm. 26
[83] M.A. Shaban, Islamic History A.D.600-750: A New Interpretation (I), cet.IX (Canbridg: Canbridg University Press, 1971), hlm. 8
[84] Washington Irving, Life of Mohamet (London: J. M. Dent & Son Ltd., 1949), hlm. 13-4
[85] Mustafa Muhammad Ali Khan, Islamic Law of Inheritance: A New Approach (New Delhi: Kitab Bhavana, 1989), hlm. 8; Sayed Ameer Ali, Muhammadan Law, vol 2 (New Delhi: Kitab Bhavana, 1986), hlm. 42
[86] Tiga cara ini pada dasarnya diklasifikasikan menjadi dua saja, yaitu nasab dan sabab, sebagaimana keteranga Abu Bakr ketika menjelaskan kewarisan pada masa Jahiliyyah. Lihat: al-Jaṣṣa, Ahkām al-Qur’ān..., hlm. 109
[87] Ahmad Musafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī (ttp.: Matba’ah Musafa al-Babīy al-Halabi, 1974), V: 39-40; Ali Khan, Islamic Law..., hlm. 8
[88] ‘Abd al-Ai, The Family Stucture…, hlm. 250-1; Noel J.Coulson, A History of Islamic Law (Edimburgh: The University Press, 964), hlm. 15-6
[89] Ahmad Amin, Fadjar Islam…,  hlm. 296; dalam riwayat lain, misalnya dialami  oleh Kubaysha bint Ma’n al-Anārī, Fākhita bint al-Aswad dan Malīka bint Khārija. Lihat: Abu asan Alī al-Waidī, Asbāb an-Nuzūl (ttp.: Dār al-Fikr, t.t), hlm. 97-8
[90] Sekalipun perempuan dianggap godaan seksual tetapi laki-laki Arab begitu menikmati peran seks kelas dua perempuan. Perlakuan laki-laki pra-Arab terhadap wanita dalam masalah seksual secara baik digambarkan oleh Khalil Abd al-Karim. Ia melacak dari sejumlah kata-kata yang digunakan masyarakat Arab untuk menunjukan peran laki-laki yang superior dalam hubungan seks, seperti rafas (senggama), lams (sentuhan), ityān (mendatangi), imtita’ (menunggangi), dan wat’i (menginjak). Karena bahasa merupakan wahana yang ideal untuk mengekspresikan keadaan sosial yang bergejolak dan yang muncul dari kehidupan masyarakat tersebut, maka bahasa tersebut merupakan refrensi dan penjelasan yang ampuh dan jelas daripada pakaian, bangunan, tempat tinggal dan lain sebagainnya. Khalil Abdul Karim, Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafaurrasyidin, Alih Bahasa: Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 15
[91] Haifa A. Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach (London: Macmillan Press Ltd., 1998), hlm. 1-2
[92] Ibid., hlm. 1
[93] Eliade, The Ensiclopedia…, hlm. 450
[94] John Thomas Cumming, dkk., “Islam dan Perubahan Ekonomi Moderen,” dalam John L.Eposito (ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa A.Rahman Zainuddin (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 67
[95] Ahmad Amin, Fadjar Islam…, hlm. 300
[96] A.A.A. Fryzee, “The Fatimid Law of Inheritance, dalam dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982), V: 65
[97] Masalah ijtihad umar yang banyak keluar dari penuturan teks dan cenderung melihat kondisi social dibahas secara baik oleh M. Atho Mudzar. Setidaknya ia mencatat ada lima kasus yang cukup terkenal dan kontroversial, yaitu masalah “al-muallafah qulūbuhum”, masalah tanah rampasan perang, masalah dera bagi peminum keras, masalah potong tangan bagi pencuri, dan masalah talak tiga. Lihat: Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 39-60
[98] Dahlan, et.all., Ensiklopedi…, hlm. 869
[99] Kasus lain yang diputuskan oleh sahabat dengan “mengabaikan pembagian waris” yang Allah tetapkan seperti bakhilah, kharqa’, akdariyah dan lain sebagainya. Penjelasan kasus-kasus ini dapat dilihat dalam Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. 2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm.526-60
[100] Muhammad Ali ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, alih bahasa: Sarmin Sakur (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), hlm. 30-1
[101] Lapidus, A History of Islamic…, hlm. 3
[102] Teori ini kemudian dikenal dengan teori pelapisan (The Superimposition Theory). Teori ini digagas oleh W.R.Smith dan dikembangkan W. Maris. Power, Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 14-17; Keyakinan seperti ini juga ditunjukan dalam Muhammad Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach (Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003), hlm. 170. teori ini sudah ditolak Power dengan teori hukum waris proto-Islam.
[103] A.A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, cet. ke4 (London: Oxford University Press, 1974), hlm. 381; N.J.Coulsen, Succession in the Family Law, (Cambrige: The Cambrige University Press, 1971), hlm. 30; idem, Konflik dalam Yuresprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm. 14; pendapat seperti inilah setidak-tidaknya sering disimpulkan oleh para peneliti hukum Islam. Mislanya Wael B. Hallaq menyebutkan bahwa selama beberapa dekakde sepeninggalan Nabi, ketika penguasaan kota-kota lain sedang dilakukan, dan ketika ibu kota masih di Madinah, ada dua perangkat prinsip dan hukum utama, yang oleh para pemimpin komunitas Muslim yang baru muncul diberlakukan dalam kehidupan mereka, yaitu, hukum adat Arab pra-Islam dan al-Qur’an. Lihat: A History of Islamic legal theories: am Introduction to Sunnī Uūl (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 7

1 komentar:

  1. Slot Review - Dr.MCD
    Read our review of a new slot from 파주 출장샵 Playtech, along with more details about the 김천 출장샵 game and 경상남도 출장샵 features, bonuses, software and 원주 출장샵 RTP. Rating: 영천 출장안마 3 · ‎Review by Dr.MCD

    BalasHapus