PEMAKNAAN DAN PEMAHAMAN KALĀLAH DALAM HISTORISITAS HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh: Juandi
Abstrak
Perdebatan tentang kalālah dalam
sejarah pembentukan hukum waris Islam adalah perdebatan panjang tentang pemaknaan dan
pemahaman, yaitu antara teks, pembaca dan konteks. Dalam realitas seperti
inilah hukum waris Islam terbentuk, yaitu penyatuan antara hukum yang telah
lama ada dalam suatu komunitas dengan aturan al-Qur’an yang baru muncul ke
tengah-tengah masyarakat. Munculnya ijtihad dalam masalah ini tentunya tidak
terlepas dari pemahaman yang sangat awal tentang realitas masyarakat yang
memiliki sistem kekeluargaan bercorak patriarkhal. Dengan demikian, formulasi
aturan-aturan waris cenderung mengedepankan kepentingan laki-laki. Dalam aturan
kalālah, justru terjadi pertentangan yang sangat mendalam mengingat aturannya
pada ayat 12 an-Nisa’ itu menyamakan
bagian saudara laki-laki dan perempuan, padahal yang prinsip dalam pembagian
waris, menurut pendapat awal, adalah li aż-żakari miṡlu haẓẓil unṡayain. Sehingga pembacaan yang paling memungkinkan
adalah membuat tipologi saudara. Tentunya kesulitan pemahaman ini tidak sampai
di sini karena ayat kalālah pertama itu begitu problematis dari sisi pemaknaan
dan struktur kalimat yang begitu rumit. Ditambah lagi adanya ayat kalālah kedua (an-Nisa’ ayat 176) yang memberi
bagian waris yang tidak seimbang antara saudara laki-laki dan perempuan. Tulisan ini mencoba mereinterpretasi makna kalalah
dalam kajian hukum waris Islam dari segi pemahaman dan pemaknaan untuk mengikis
kerancuan pemahaman yang ada.
Kalālah in the history of the debate about the
formation of Islamic inheritance law is a long debate about the meaning and
understanding, between text, reader and context. In reality this kind of
Islamic inheritance law is formed, which is the union between the laws that
have long existed in a community with the rules of al-Qur’an to the emerging
society. The emergence of ijtihad on this issue must not be separated from the
very beginning of understanding about the reality of a society that has a
patterned patriarchal family system. Thus, the formulation of the rules of
inheritance tend to promote the interests of men. In kalālah rule, it happens
very profound contradiction considering the rules in an-Nisa’ verse 12 that
equate parts brother and sister, but the principle of the division of
inheritance, according to a preliminary opinion, is li-Zakari miṡlu haẓẓil unṡayain.
So that reading is the most likely to make typology of brother and sister.
Surely it was not until the difficulty of understanding here because the first
verse of kalālah was so problematic in terms of meaning and sentence structure
is so complicated. And then the second verse of kalālah (an-Nisa’ verse 176)
which gives the inheritance that is not balanced between the brothers and the
sisters. This paper attempts to understand the meaning of kalalah in the study
of Islamic inheritance law in terms of understanding and comprehension of meaning
to erode the confusion that arises.
Keyword: kalālah, kewarisan, saudara
A.
Pendahuluan
David S. Power, sarjana orientalis Pricenton
University (1979) dalam satu karyanya membuat satu kesimpulan tentang kalālah,
yaitu female in-law (menantu perempuan).[1]
Kesimpulan ini bertentangan dengan pendapat-pendapat tentang kalālah
yang berkembang dalam pemikiran hukum Islam. Misalnya, aṭ-Ṭabari,[2]
al-Qurṭubi,[3]
dan beberap mufasir lainnya[4]
menyebutkan makna kalālah sebagai orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan bapak. Dalam tafsir al-Maraghi ditemukan juga makna kalālah
dengan pengertian kerabat selain anak dan bapak dan dikatakan juga saudara-saudara
laki-laki dari ibu.[5]
Di luar pendapat di atas, ditemukan juga pendapat-pendapat yang beragam dalam
memaknai kalālah ini.[6]
Hal ini mencerminkan bahwa persoalan kalālah merupakan persoalan yang
sangat debatable dalam sejarah hukum waris Islam.
Perdebatan tentang kalālah tersebut tidak hanya
sebatas perdebatan tentang maknanya, tetapi juga perdebatan tentang pemahaman
ayat kalālah yang dalam al-Qur’an hanya dibicarakan dalam dua tempat,
yaitu an-Nisa’ (4): 12 (kalālah pertama) dan an-Nisa’ (4): 176 (kalālah
kedua). Setidaknya ada beberapa persoalan yang muncul, yaitu pemaknaan kalālah,
pemaknaan saudara dan saudari yang disebutkan dalam dua ayat tersebut,
pemahaman struktur kalimat, relasi antara ayat dan sebagainya. Misalnya,
ketika membedakan dua ayat tersebut para ulama sepakat untuk membedakannya dari
pengertian saudara dan saudarai yang dituju ayat tersebut. Mereka menyebutkan
bahwa saudara dan saudari pada kalālah pertama adalah saudara seibu dan
pada kalālah kedua adalah saudara sekandung atau seayah.[7]
Di sisi lain, pembacaan yang dilakukan Power melalui ayat kalālah ini
memunculkan teori baru dalam pembacaan ayat-ayat waris dan wasiat, yaitu hukum
purwa Islam (proto Islamic law).[8]
Kesulitan-kesulitan pemaknaan dan pemahaman ayat kalālah,
dalam tradisi Islam, telah dikemukakan sedemikian rupa oleh Umar bin
Khattab. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Umar bin Khattab merasakan
kegelisahan yang luar biasa. Pertama, diriwayatkan Umar bin Khatab
pernah berkata “bahwa apa yang aku ingin ketahui tentang kata kalālah
adalah lebih aku sukai daripada memiliki padanan pajak benteng-benteng
Bizantiunm”.[9]
Kedua, dalam riwayat yang berbeda Umar berkata “ hai orang-orang, ada
tiga hal yang aku suka bila Rasulullah saw. tidak meninggalkan kita kecuali
telah membuat keputusan final, yaitu tentang kakek, al-kalālah dan
pintu-pintu riba”.[10]
Ketiga, dalam riwayat yang lain Umar berkata “tidak ada sesuatu yang aku
tanyakan kepada Rasulullah sesering al-kalālah, sampai-sampai beliau
menyodok dada(ku) dan berkata: ayat musim panas yang ada di akhir suat an-Nisa’
sudah cukup bagimu”.[11]
Setidaknya dari ketiga riwayat ini menunjukan bahwa kata kalālah memang
sejak semula telah memancing polemik dikalangan sahabat hingga para mufasir.
Para mufasir telah membicarakan kesulitan
pemaknaan dan pemahaman berdasarkan riwayat dari Umar bin Khattab. Pembacaan
yang ada, tentunya, bersumber juga dari kerumitan susunan kalimat yang
mengitarinya, sehingga hal ini menimbulkan kerancun dalam pemahamannya. Ayat 12
surat an-Nisa’ yang menjadi fokus ini berbunyi:
....و ان كان رجلٌ يورَث كللةً
أو امراةٌ وله أخ أو أخت فلكل وحد منهما السدس فان كانوا أكثر من ذلك فهم شركاء في
الثلث من بعد وصية يوصي بها أو دين غير مضار وصية من الله و الله عليم حليم
Frase
yang didikusikan adalah rajulun yuraṡu
kalalatan au imr’atun yang memerlukan kejelian
tinggai. Kata rajulun …..imra’tun kemudian dipotong oleh kalimat yuraṡu
kalalatan. Ditambah lagi dengan penjelasan tentang kalālah
pada akhir surat an-Nisa’ (ayat 176) yang berbunyi:
يستفتونك
قل الله يفتيكم في الكللة ان امرؤا هلك ليس له ولد و له أخت فلها نصف ما ترك و هو يرثها
ان لم يكن لها ولد فان كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك وان كانوا اخوة رجالا و
نساء فللذكر مثل حظ الأنثيين يبين الله لكم
أن تضلوا والله بكل شيء عليم
Dalam hal ini baik kalangan mufasirīn maupun fuqaha
berkepentingan untuk menjelaskan kata-kata lahu dalam ayat kalālah pertama
harus dikembalikan pada subjek yang mana. Hal ini disebabkan mereka meyakini
adanya dua subjek yang muncul, yaitu rajulun aw imra’atun. Sedangkan
pembacaan yang dilakukan Power, misalnya, menganggap tidak ada persoalan dengan
kata ganti lahu karena ia menganggap bahwa subjek dalam ayat itu
hanyalah rajulun, sedangkan imra’atun parallel dengan kalālah.
Pembacaan ini jelas bertentangan dengan keyakinan umat Islam.
Sekalipun Power merujuk pada ayat yang disebutkan
terakhir, ia tidak mencermati kata posesive “lahu” yang dikembalikan
kepada kalālah.[12]
Artinya lafaz kalālah masih diragukan apakah perempuan (mu’anas)
sebagaimana yang diduga Power, sekalipun secara lafziyah berbentuk mu’anas.
Kemudian ia juga tidak melihat kontek pembicaraan pada ayat 176 tersebut yang
dengan mudah dipahami bahwa ia berbicara tentang kewarisan saudara. Alhasil,
pendapat Power ini masih mengalami problem sama seperti pendapat ulama yang
sudah ada sebelumnya. Namun, problem pembacaan ulama muslim tidak hanya seputar
kalālah tetapi pembacan ayat-ayat waris secara keseluruhan.
Mayoritas ulama bersepakat untuk memaknai kalālah
sebagai orang yang meninggal dan tidak meninggalkan ahli waris dari golongan
bapak dan anak. Namun, pemahaman ini sejak awal telah mengalami perdebatan
panjang yang diakhiri dengan pengakuan terhadap pendapat Abu Bakar. Ijtihad Abu
Bakar inilah, kemudian, diakui oleh mayoritas ulama sehingga membentuk ijma’.[13] Tidak berlebihan
kiranya untuk mengatakan bahwa ijma’ dalam kasus kalālah ini adalah
pembenaran terhadap satu ijtihad. Dalam tulisan
ini, penulis menelusuri beberapa perdebatan tentang
pemaknaan dan pemahaman baik term kalālah itu sendiri maupun ayat kalālah
secara keseluruhan. Ada tiga hal, setidak-tidaknya, yang harus dikemukakan
untuk mendapatkan pemahaman tentang kalālah, yaitu melihat dari aspek perdebatan
istilah kalālah itu sendiri yang sejak semula sudah kontroversial, ulasan
tentang struktur kalimat yang merupakan sumber penentu bagi pemaknaannya, dan
aspek historisitas.
B.
Perdebatan Seputar Pemaknaan dan Pemahaman Kalālah
Arti kalālah secara pasti menjadi bahan perdebatan
panjang para mufasir. Perdebatan masalah kalālah berkisar seputar
makna kalālah. Apakah kalālah dimaknai sebagai ahli waris atau
dimaknai sebagai pewaris itu sendiri. Aṭ-Ṭabari
sendiri mencatat tidak kurang dari dua puluh tujuh pendapat yang terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu pendapat yang meyakini makna kalālah adalah
ahli waris, pendapat yang memaknai kalālah pewaris itu sendiri (orang
yang meninggal), dan pendapat yang meyakini kedua makna tersebut.[14]
Ketiga pendapat tersebut berawal dari pemaknaan kata kalālah
yang beragam. Kata kalālah sendiri berasal dari kata kalla ( كلّ) dengan bentuk masdarnya kallān,
killatan, kalālan, kulūlan, kalālatan, kulūlatan ( كلا, كِلّة, كلالاً, كُلولا,
كلالة, كُلولة ) berarti ta’iba wa a’ya (letih dan lelah). Dikatakan kālla
as-saif wa ghairuhu memiliki makna lam yaqta’ (tumpul). Dan
jika dikatakan kalla al-lisanu aw al-baṣaru berarti lam
yuhaqqiq al-mantuq aw al-manzur. Jika
dikatakan ṣāra kallan artinya la walad lahu
wa la wālid.[15] Bila dilihat dalam
berbagai bentuk derivatifnya akan menghasilkan makna yang berbeda. Misalnya al-killatu
dimaknai as-sitr ar-raqiq (tabir/tirai tipis) bisa juga diartikan al-mannāmūsiyyatu
(kelambu). Jika kata al-killatu diartikan sama dengan al-kalalu
maka diartikan al-hālatu (keadaan). Bentuk derivatif maṣdar berupa al-kallatu
bermakna al-marratu min kalla. Jika dikatakan asy-syafratu al-kāllatu
maka berarti parang yang tumpul. Bentuk derivatif maṣdar lainnya al-kalālatu
memiliki pengertian al-i’yāu
(keletihan, kelesuhan, kelelahan). Dalam makna yang lain dikatakan man la
walada lahu wa la wālida (orang yang tidak punya anak dan ayah) atau
diartikan juga min al-qarābati (selain anak dan ayah). Bentuk derivatif
lainnya berupa al-kalīlu dengan bentuk jama’ kilālun dimaknai
dengan al-kāllu (yang tumpul, lesuh, letih). Kemudian dikatakan saifu
kalīl berarti pedang yang tumpul atau dikatakan baṣarun kalīl yang
berarti penglihatan yang lemah atau suram.[16] Sedangkan kata kalālatan
dengan asal kata kalālun dimakanai dengan dua arti saja, yaitu ta’aba
dan da’fun (kelelahan/keletihan dan kelemahan/kesuraman).[17]
Secara keseluruhan, makana kalālah
cenderung diartikan lemah, lesuh, dan tumpul.[18] Jika dikaitkan
dengan keturunan dimaksudkan seseorang tersebut merasa lesuh karena tidak ada
keturunan. Dari pengertian ini menunjukan ketidakoptimisan dalam hidup,
sehingga pedang yang tumpul disebut “kalla aṣ-ṣaif” dan orang yang tidak mempunyai anak disebut kalla
ar-rajul. Dari sini kalālah diartikan “punah”.[19]
Kata kalālah ini juga digunakan untuk menunjukan sesuatu
yang melingkari, yang tidak berujung ke atas dan ke bawah. Misalnya iklil
(mahkota), karena melingkari kepala. Seseorang disebut kalālah apabila
tidak mempunyai keturunan dan leluhur; kerabat garis sisi disebut kalālah
dari seseorang karena berada di sekeliling, bukan di atas dan bukan di bawah.[20]
Ibn Hazm menjelaskan makna kalālah bi al-ijmā’ sebagai orang yang
diwarisi oleh saudara laki-laki atau dua orang saudara laki-laki atau seorang
saudara laki-laki, baik sekandung, sebapak, seibu, dan ia tidak mempunyai anak,
anak perempuan, cucu laki-laki seterusnya ke bawah, tidak diwariskan bapak,
kakek garis bapak hingga seterusnya ke atas, maka ia dinamakan kalālah, kewarisan
kalālah.[21]
Namun, agak berbeda dengan riwayat yang dikemukakan Abu Hātim dan al-Aṡram dari Abī ‘Ubaidah yang mengatakan bahwa kalālah
itu adalah orang yang tidak diwarisi oleh bapak, anak atau saudara laki-laki.
Dalam tradisi Arab, ia disebut kalālah.[22] Lebih jauh lagi,
bahkan, Ibn al-A’rabī menyebutkan kalālah sebagai anak-anak paman yang paling
dekat.[23]
Kamus Lisan al-Arab menyebutkan al-kallu
sebagai al-muṣibatu takdis. Kata tersebut asalnya dari kalla anhu yang
artinya nabaun dan da’fun. Al-kalālatu berarti ar-rijalu
allażi la walada lahu wa la wālida.[24] Dalam berbagai
kutipannya Ibn Manzur memperlihatkan makna yang beragam. Misalnya al-Laiṡ berpendapat bahwa al-kallu ar-rijalu allażi la walada
lahu wa la wālid, kalla ar-rijalu yakillu kalālatan. Dikatakan bahwa
mā lam yakun min an-nasabi lahhan fahua kalālatun. Sebagian ada yang
mengatakan bahwa ia adalah ibn ‘ami al-kalālati, wa ibn ‘ami kalālatin wa
kalālatun, wa ibn ‘amī kalālatan. Ada yang mengatakan al-kalālatu adalah
man takallalu nasabuhu bi nasabika ka ibn al-‘am wa min asybahihi. Pendapat
yang lain mengatakan saudara seibu dan dia al-musta’malu. Al-Hayani
berpendapat bahwa al-kalalālatu min al-‘uṣbati man wariṡṡa ma’ahu al-ikhwatu min al-ummi,
sedangkan al-‘Arab mengatakan lam yariṡuhu kalalātan
artinya lam yariṡu ‘an
‘uruḍi bal ‘an qarbi wa istihaqāqi.[25]
Beragam pendapat di atas, jika dilihat lebih teliti,
ternyata hanya dalam kamus Lisan al-Arab yang menjelaskan lebih detail
bahawa kata kalālah ditujukan kepada laki-laki dan tidak untuk perempuan
sekalipun secara lafziyyah kata tersebut berbentuk mu’anas. Sedangkan
keterangan lain hanya menyebutkan secara tidak jelas, yaitu orang (dengan
maksud siapa saja) sekalipun ada indikasi kata lahu yang merupakan ḑomir muttasil bagi
jenis laki-laki.
Dalam berbagai riwayat, pemaknaan kalālah ini didasarkan
pada beberapa pendapat. Pertama, penafsiran yang dikemukakan oleh Abu
Bakar ra. Abu Bakar mendifinisikan kalālah:
“Seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak dan ayah”.[26]
Pendapat ini kemudian dianut secara luas oleh tafsir berikutnya, seperti Ibn
Arabi (w. 543 H/1149 M)[27] (mufasir
dari mazhab Maliki), Muhammad Husain Ṭabaṭba’i[28] (mufasir
Syi’ah), dan Fakhrurrazi[29]sehingga menjadi
pendapat jumhur ulama. Alasan yang dikemukakan jumhur adalah hadis yang
diriwayatkan dari Jābir bin Abdullah. Jābir bertanya kepada rasulullah Saw.
“wahai rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah.
Lalu bagaiman dengan harta peninggalan saya?”[30]
Dalam hadis ini setting yang ditampilkan adalah bahwa
bapak Jābir bin Abdullah meninggal pada hari Ahad dan ayat tentang kalalah
(an-Nisa’: 176) turun setelah itu. Selang beberapa lama kemudian diceritakan
bahwa Jābir sendiri jatuh sakit. Ia yang sudah ditinggal mati oleh bapaknya
tidak mempunyai anak dan hanya mempunyai saudara perempuan.[31]
Dari riwayat ini kemudian disimpulkan bahwa kalālah merujuk pada orang
yang tidak mempunyai anak dan bapak.
Kedua, pendapat Umar
bin Kattab yang mengatakan bahwah kalālah adalah orang yang tidak
mempunyai anak. Pendapat ini bertahan sampai beliau kena tikaman. Pada saat
penikaman terhadap dirinya, ia meralat sendiri dengan mengatakan bahwa makana kalālah
adalah sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Abu Bakar.[32]
Namun, tidak ada riwayat yang menjelaskan mengapa pada akhir kehidupannya, ia
berubah pikiran dan meralat pendapatnya sendiri. Satu-satu alasan yang
dikemukakan Umar sendiri adalah perasaan malu karena berbeda pendapat dengan
Abu Bakar. Hal ini sebagaimana riwayat yang yang mengatakan bahwa: “Abu Bakar
pernah berkata: ‘kalālah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak.
Sedangkan Umar berkata: ‘kalālah adalah orang yang tidak mempunyai anak.
Tetapi beliau berkata ketika terkena tikaman yang menyebabkan beliau meninggal:
“saya malu kepada Allah karena saya telah berbeda pendapat dengan Abu Bakar,
sedangkan sekarang saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kalālah
adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak.”[33]
Pernyataan yang menguatkan riwayat ini adalah adanya riwayat yang mengatakan: “telah
datang kepadaku suatu masa dimana saya tidak tahu makna kalālah, dan
ternyata kalālah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan anak. Perbedaan
pendapat Umar dengan Abu Bakar hanya terletak pada ada dan tidak adanya ayah.
Ada beberapa riwayat lain yang secara substansial sama
menceritakan pendapat Umar, yaitu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas. Ibn
Abbas pernah berkata: “saya adalah sahabat termuda pada masa Umar. Beliau
(Umar) pernah berkata sebagaimana yang saya katakan tadi.” Ibn Abbas berkata
lagi: “yang saya katakan adalah Umar pernah berkata: kalālah adalah
orang yang tidak mempunyai anak.” Menurut perkiraan kami. Bahwa Umar juga
berkata: “dan yang tidak mempunyai ayah”. Qal’ahji menilai bahwa ada
keragu-raguan Ibn Abbas dalam menceritkan pendapat Umar tentang kalālah.
Kemudian untuk menghilangkan keragu-raguan ini, ia mengembalikan riwayat
belakangan kepada riwayat sebelumnya.[34] Baik Abu Bakar
maupun Umar keduanya sama-sama memahami kata kalālah sebagai pewaris itu
sendiri.
Menurut al-Ḥarrāsi, pernyataan Umar tentang kalālah mengisyaratkan
bahwa arti kalālah itu bukan arti lughawiyyah-nya. Karena,
menurutnya, Umar pasti mengetahui arti lughawi-nya karena ia seorang
ahli bahasa. Di sisi lain, Rasullulah tidak menjawab pertanyaan Umar tentang kalālah
mengindikasikan bahwa istilah-istilah al-Qur’an boleh di-istinbaṭ-kan.[35] Mungkin pernyataan
ini benar, tetapi mungkin saja ada keresahan lain yang sebenarnya tersimpan
dari beberapa aturan hukum kewarisan Islam yang melakukan sejumlah terobosan
baru.
Beberapa riwayat yang disandarkan kepada Umar bin Khattab
menunjukan bahwa permasalahan kalālah benar-benar menyita perhatiannya.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Umar tidak pernah mengetahui makan kalālah?
Jawaban yang dapat kita ajukan adalah bahwa Umar telah disebutkan Nabi tidak
akan pernah mengetahu makna kalālah selama-lamanya. Kemudian Umar
membenarkan pernyataan tersebut bahwa ia tidak akan pernah mengetahuinya,
karena Rasulullah telah bersabda demikian.[36] Namun, tidak ada
penjelasan tentang alasan mengapa Rasulullah bersabda demikian kepada Umar. Alasan
yang paling memungkinkan adalah karena Umar terlalu sering menanyakan persoalan
ini dan Nabi tidak pernah menjawab selain dengan pernyataan singkat, yaitu
cukup bagimu ayat musim panas yang terdapat pada akhir surat an-Nisa’. Demikian
setidaknya gambaran tentang pendapat Umar dalam persolan kalālah ini.
Pendapat lain, sebagaimana yang dikemukakan aṭ-Ṭabari, setidak-tidaknya
ada tiga riwayat yang mengindikasikan bahwa kalālah adalah pewaris atau
ahli waris. Salah satu riwayat yang dikemukakan adalah “Ya’qub bin Ibrahim
telah menceritakan kepadaku bahwa ia Ibn ‘Ulayya telah menginformasikan kepada
kami dari Ibn ‘Aun dari Umar bin Sa’id. Ia berkata kami sedang bersama Hamid
bin Abd ar-Rahman di pasar budak, kemudian ia beranjak dari kami dan kembali
lagi. Ia berkata ini adalah tiga hadis terakhir dari Bani Sa’ad, mereka berkata
Sa’ad sakit keras di Mekkah. Sa’ad berkata Rasulullah Saw. datang atas
undangannya kemudian ia berkata: “ya Rasulullah saya mempunyai harta yang
banyak dan saya tidak mempunyai ahli waris kecuali kalālah maka bolehkah
saya mewasiatkan semua harta kepadanya.” Nabi menjawab “tidak”.[37] Riwayat ini, jika diyakini benar, menjadi salah
satu alasan untuk memaknai kalālah sebagai ahli waris itu sendiri. Sehingga
ia dapat menolak pendapat Abu Bakar maupun pendapat Umar bin Khatab.
Ṣahib al-Kasysyaf membagi kalālah menjadi tiga
katagori, yaitu merujuk pada orang yang tidak meninggalkan anak dan bapak,
merujuk pada orang yang tidak dengan anak
dan bapak dari orang yang ditinggalkan, dan merujuk pada kerabat yang selain
dari golongan anak dan bapak.[38]
Di luar pendapat di atas, pendapat yang memaknai kalālah
dengan tidak merujuk pada dua kemungkinan di atas. Pertama, dikemukakan
oleh ‘Aṭā’. Ia memaknai kalālah sebagai al-māl.[39]
Kedua, dikemukakan David S.Power. Menurut Power kata kalālah
muncul dalam sejumlah bahasa semitis, selain bahasa Arab, termasuk bahasa
Akkad, Aram, Syiria, dan Ibrani. Dari semua bahasa, kata yang cocok untuk
bahasa Arab kalālah berfungsi sebagai istilah untuk kerabat perempuan.
Dalam bahasa Akkad kallātu yang muncul dalam sejumlah prasasti hukum
berarti seorang perempuan muda yang didapatkan oleh kepala sebuah rumah tangga
sebagai istri untuk anak laki-laki yang hidup di dalam rumah tangga itu. Dengan
demikian ia dimaknai sebagai “menantu perempuan”. Dalam kondisi tertentu ia
bisa juga dimaknai “ipar perempuan.” Sementara dalam bahasa Aram dan Syiria kalltā
dan bahasa Ibrani kallāh berarti “menantu perempuan” juga berarti “pengantin
perempuan.”[40]
Berdasarkan adanya kemiripan dengan bahasa selain Arab, kalālah kemudian
diyakini untuk dibaca “menantu perempuan.” Untuk memperkuat pendapat ini Power
menunjukan riwayat dimana Umar bin Khatab merasa asing dengan kata kalālah
sehingga ia tidak dapat memahaminya. Dengan demikian, kalālah dipahami
sebagai ahli waris. Pendapat ini menimbulkan beberapa hal penting yang perlu
dikritisi. Pertama, sekalipun kalālah diduga secara kuat diambil
dari istilah di luar bahasa Arab, ia tidak tunduk dengan pengertian yang telah
mapan. Karena al-Qur’an membawa pandangannya sendiri.[41]
Artinya sekalipun istilahnya sama tetapi memiliki pergeseran makna secara
signifikan. Kedua, secara leksikal, sekalipun kalālah berbentuk mu’annas
(menunjukan jenis perempuan), ia tidak secara pasti harus dimaknai perempuan
karena dalam ayat 12 ada kata ganti kepemilikan yang mengindikasikan laki-laki
(lahu). Sekalipun ini menjadi perdebatan ulama yang menyebutkan ḍamir itu dikembalikan
pada rijalun au imra’atun, pada ayat yang lain (an-Nisa’ (4): 176 secara
jelas mengindikasikan bahwa kalālah adalah laki-laki karena ayat ini
tidak banyak diperselisihkan secara grametikal. Ketiga, dalam pembacaan
secara keseluruhan, terdapat pendistorsian dan pemaksaan pembacaan ayat 12
surat an-Nisa’. Power mencoba “mengoreksi” al-Qur’an dengan menerjemahkan
“apabila ada seorang laki-laki menunjuk ahli waris, yaitu menantu perempuan dan
istri....”.[42]
bacaan imra’atun dalam pembacaan konvensional dikoreksi menjadi imraatan,
untuk menyamakan kedudukannya dengan kalālatan. Hal ini menunjukan
bahwa, menurut Power, ada kesalahan dalam pembacaan al-Qur’an selama ini dan
hal ini, tentunya, bertentangan dengan keyakinan umat Islam bahwa al-Qur’an itu
tidak mungkin salah. Keempat, berdasarkan penelusuran dari kamus-kamus
berbahasa Arab, tidak satu pun yang menunjukan makna kalālah sebagai menantu
perempuan, ipar perempuan, atau mertua perempuan.[43]
Kelima, jika dikatakan bahwa Umar tidak mengetahui makna kalālah
karena ia merasa asing, maka pernyataan ini tentu tidak benar. Hal ini didasari
bahwa Jabir telah menggunakan kata-kata kalālah untuk bertanya kepda Rasulullah
tentang kewarisannya. Setidaknya dengan kelima alasan tersebut kita menolak
pendapat Power.
Berbagai pendapat tentang kalālah tersebut selalu
menjadi perdebatan dan apapun pendapat yang dimunculkan tetap menjadi satu
ijtihad yang tidak sakral. Karena pada dasarnya tidak ada penjelasan dari nabi
tentang makna kalālah itu sendiri. Melihat berbagai pendapat di atas,
pemaknaan terhadap term kalālah seharusnya tidak hanya melihat pada ayat
12 surat an-Nisa’ tetapi juga merujuk pada ayat 176. Hal ini sebagaimana yang
telah ditunjuk oleh Nabi kepada Umar bin Khattab bahwa bunyi ayat 176 surat
an-Nisa’ sudah memadai.[44] Dari petunjuk ini
kita memahami bahwa untuk memahami makna kalālah harus dikroscek; ada
perbandingan antara ayat 12 dan 176 surat an-Nisa’.
Kalālah pada
awal suarat an-Nisa’ harus dibaca runtut dengan ayat sebelumnya sehingga tidak
menimbulkan keterputusan makna.[45] Sedangkan
pemaknaan kalālah, seperti telah disinggung, harus diintegrasikan dengan
ayat terakhir surat an-Nisa’. Ayat kalālah ini menegaskan beberapa hal: pertama,
setelah Allah menetapkan bagian warisan pada anak, ditetapkan pula warisan bagi
kedua orang tua. Ketika menyinggung bagian warisan orang yang tidak mempunyai
anak, ibu mendapat seperenam jika ada saudara almarhum. Warisan ayah dalam
keadaan ini tidak dinyatakan secara jelas. Kemudian Allah menetapkan bagian
untuk pasangan dan ditutup dengan bagian warisan untuk saudara. Artinya secara
jelas bahwa ayat ini berbicara tentang bagian saudara baik ada orang tua atau
pasangan. Kedua, ayat kalālah pada akhir surat an-Nisa’
benar-benar independen dan tidak berhubungan dengan ahli waris lain. Artinya
sekalipun dalam tema pembagian warisan, ayat tersebut tidak bisa dipaksakan
untuk ditarik pada ayat waris lainnya. Hal ini mungkin diindikasi dengan adanya
pemisahan ayat kalālah 176 diakhir surat an-Nisa’. Ketiga, ayat kalālah
ini menjadi perdebatan yang panjang karena adanya pembagaian yang sama antara
laki-laki dan perempuan (dalam ayat kalālah pertama), sementara itu
ulama’ berpegang pada prinsip waris li ażakari miṡlu haẓil unṡayain. Dengan demikian, jelaslah bahwa prinsip waris yang
disebutkan dalam persoalan kalālah menjadi sesuatu yang tidak disepakati
sehingga harus ditafsirkan sebagai pembagian waris untuk saudara-saudara seibu.
Keempat, sekalipun kedua ayat kalālah ini terpisah, yang tentunya
memberikan pengertian yang berbeda, namun keduanya dapat saling menjelaskan
dalam proses pemaknaan. Ulama’ terdahulu mencoba memahami ayat kalālah pertama dengan
mengambil petunjuk dari hadis nabi. Nabi pernah menunjukan bahwa untuk
memahamai kalālah pada ayat 12 an-Nisa’ cukup merujuk pada ayat yang
turun pada musim panas (maksudnya kalālah pada ayat 176).
Melihat kenyataan di atas, kalālah dalam ayat
pertama harus diartikan sesuai dengan keterangan yang Allah berikan pada
kalālah kedua, diakhir surat an-Nisa’. Pada kalālah kedua disebutkan
bahwa yang dinamakan kalālah jika seseorang meninggal dunia dan dia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan. Kemudian ayat ini
menjelaskan bagian warisan untuk saudara perempuan yang ada, dan kalālah itu
menjadi ahli waris jika saudara perempuan tidak mempunyai anak. Anak yang
dikemukakan dalam al-Qur’an ini sesungguhnya tidak dibedakan antara laki-laki
dan perempuan.[46]
Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa kalālah pada ayat
tersebut menunjukan saudara laki-laki. Kenyataan ini dapat dilihat: pertama,
ayat ini mengandung pernyataan yang timbal balik, yaitu apabila saudara
laki-laki meninggal maka yang menjadi ahli warisnya adalah saudara perempuan,
begitu juga sebaliknya jika saudara perempuan meninggal maka saudara laki-laki
menjadi ahli warisnya. Hubungan timbal balik ini memperkuat pendapat kita bahwa
kalālah adalah saudara laki-laki baik ia sebagai pewaris maupun sebagai
ahli waris. Sedangkan istilah untuk saudara perempuan tidak ada. Kedua, kata
ganti orang ketiga tunggal merujuk pada term kalālah. Dalam hal ini
tidak dapat ditolak bahwa redaksi ini cukup memadai untuk dipahami. Ketiga,
kalālah dalam banyak pengertian diartikan kerabat garis sisi. Kerabat
yang paling dekat dan berhak untuk mewarisi ketika tidak ada anak adalah
saudara baik laki-laki maupun perempuan. Namun, kerabat yang dimaksud dalam
istlah kalālah adalah saudara laki-laki bukan saudara perempuan. Keempat,
kalālah pada ayat 176 tersebut mengindikasikan bahwa ia adalah pewaris
bagi saudara perempuannya dan sekaligus ahli waris jika saudara perempuannya
meninggal.
Berdasarkan penjelasan di atas, kalālah adalah saudara
laki-laki baik ia sebagai pewaris (orang yang meninggal) yang ia hanya diwarisi
oleh saudara atau saudari lainnya maupun sebagai ahli waris yang mana ia
mendapat harta warisan dari saudaranya baik laki-laki maupun perempuan karena saudara
atau saudarinya tersebut tidak mempunyai anak sebagai ahli warisnya. Pembacaan
terhadap ayat kalālah kedua ini cukup menjelaskan bahwa ketentuan yang
Allah berikan bagi orang yang meninggal dan tidak mempunyai anak, maka
saudaralah yang paling berhak menjadi ahli warisnya. Pemahaman seperti ini
sebenarnya sama dengan pemahaman yang dikemukakan ulama terdahulu yang
menjelaskan makna ayat dimusim panas ini. Hanya saja, para ulama tidak
menegaskan saudara yang mana kalālah tersebut.
Pengertian kalālah kedua di atas jika diterapkan
dalam pemahaman kalālah pertama akan membentuk pemahaman bahwa jika
seorang laki-laki atau perempuan diwariskan oleh kalālah (saudara
laki-laki) dan saudara laki-laki itu memiliki saudara laki-laki lain atau saudari
perempuan, maka bagi masing-masing keduanya (saudara laki-laki dan saudara
laki-laki lainnya atau saudara laki-laki dan saudara perempuannya) mendapatkan
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara itu lebih dari yang demikian, maka
mereka bersekutu dalam sepertiga harta. Dengan demikian, ayat ini menunjukan
adanya dua orang saudara yang mewarisi baik laki-laki dan laki-laki maupun
laki-laki dan perempuan yang kedua dari mereka masing-masing mendapat bagian
seperenam. Kemudian jumlah selanjutnya adalah banyak dengan bagiannya adalah
sama-sama berbagi dalam sepertiga. Dalam ayat tersebut tidak menyebutkan
pembagain untuk saudara jika hanya berjumlah satu orang. Mengapa Allah
menjelaskan dengan perbandingan dua saudara? Karena pada ayat waris yang
menjelaskan bagian anak, Allah menggunakan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian selalu ada perbandingan antara laki-laki dan
perempuan jika ahli waris tersebut memungkinkan untuk berjumlah banyak sesuai
dengan posisinya. Misalnya, anak dan saudara bisa berjumlah lebih dari dua
orang (banyak).
Perbedaan pemahaman kalālah pertama dan kedua
adalah pada situasi dimana ada orang lain selain saudara yang menjadi ahli
warisnya. Kalālah pertama melibatkan ahli waris lain yang ditinggalkan
pewaris selain saudara itu sendiri, yaitu istri, ibu atau bapak. Pendapat ini
didasari pada hal-hal sebagai berikut: pertama, ayat waris yang
sedemikian panjang harus dibaca runtut sesuai dengan alurnya. Tidak bisa
kemudian ia dipotong-potong menjadi beberapa bagian, karena akan menghilangkan keterkaitan
antara yang satu dengan yang lain. Mungkin metode
pembacaan ini lebih tepat disebut dengan metode munasabah[47] antar ayat
dengan ayat, yaitu ayat 11 dan 12 surat an-Nisa’ yang berbicara waris. Kedua,
ayat kalālah kedua tidak menghapus kalālah pertama karena memang
keduanya diyakini oleh ulama memiliki konteks pembicaraan yang berbeda. Dengan
demikian, kita dapat memaklumi mengapa ulama terdahulu harus menjelaskan bahwa kalālah
pertama ditempatkan dalam konteks saudara seibu[48]
sedangkan kalālah kedua ditempatkan dalam kondisi saudara sekandung atau
seayah. Rasid Riḍo[49] menjelaskan bahwa ayat 12 yang turun pada musim dingin
bersifat zahir karena ahli waris disebutkan secara jelas, yakni saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu dengan saham yang pasti. Ayat 176 turun
dimusim panas yang bersifat bayan, yakni ahli waris yang disebut alam
ayat hanya saudara perempuan sekandung, sementara saudara laki-laki disebutkan aṣabah.[50] Karena itu
saudara perempuan dan saudara laki-laki seayah termasuk dalam pengertian ayat
ini. Ketiga, perbedaan yang
memungkinkan antara kedua ayat kalālah tersebut adalah bahwa kalālah
pertama berposisi sebagai ahli waris, ia mewarisi harta saudaranya sementara ia
sendiri memiliki saudara lainnya. Sedangkan kalālah kedua berposisi
sebagai pewaris itu sendiri, dimana ia sendiri yang meninggal dunia dan
mewariskan hartanya kepada saudaranya. Keempat, kalālah kedua
menujukan bagian saudara dalam jumlah satu, dua, dan banyak sedangkan kalālah
pertama hanya menunjukan dua orang dan banyak.
Pendapat berbeda tentang relasi kedua ayat ini
dikemukakan oleh Quraish Shihab. Ia menyatakan bahwa jika kalālah pertama
menjelaskan ketentuan seorang laki-laki yang meninggal dan tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, maka kalālah kedua menjelaskan
ketetapan seorang wanita yang meninggal dunia dan ia dalam keadaan tidak
mempunyai anak dan bapak.[51] Sayangnya pendapat
ini tidak mengemukakan hubungan redaksi antara rajulun....au imra’atun
yang harus diartikan paralel atau seperti apa. Padahal para mufasir melihat
di sini ada dua subjek. Lebih lanjut persoalan ini akan dibahas pada bagian
selanjutnya. Dengan demikian, pendapat ini kita tolak.
Lebih lanjut, kita lihat konsep kalālah pada ayat
12 an-Nisa’ dalam ruang lingkup yang lebih luas dari konsep kalālah ayat
176 an-Niasa’. Dalam aturan-aturan praktis waris yang terdapat dalam ayat 11
dan 12 surat an-Nisa’ dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: pertama,
Allah memulai aturan pembagaian waris dengan menetapkan ketentuan pada ahli
waris yang paling berhak, yaitu anak baik laki-laki maupun perempuan. Aturan praktis
tersebut diawali dengan li aż-żakari miṡlu haẓẓil unṡayain. Kemudian aturan ini dianggap sebagai dasar dan prinsip
dalam pembagian waris Islam oleh kalangan ulama hingga sekarang. Bagian warisan
untuk anak perempuan dijelaskan: dan jika anak itu
perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan, jika anak perempuan itu satu orang maka ia memperoleh separoh
harta. Penjelasan bagian warisan anak
perempuan diklasifikasikan dengan tiga katagori, yaitu berjumlah satu, dua atau
lebih dari dua. Kedua, Allah menentukan bagian kedua orang tua yang
aturannya dapat ditemukan dalam dua katagori, yaitu mendapat bagian yang sama
jika yang meninggal tersebut memiliki anak, dan mendapat bagian yang tidak sama
jika pewaris tidak meninggalkan keturunan, yaitu bagian Ibu 1/3 dan bagian ayah
tidak ditentukan. Seandainya hendak ditentukan berdasarkan ayat tersebut yang
mengatakan bahwa jika tidak mempunyai anak dan ia diwarisi ibu bapaknya,
maka bagian bapak tentunya 2/3. Namun, kedua bagian tersebut berubah ketika yang
meninggal memiliki saudara. Dengan demikian, saudara mendapatkan harta warisan
sekalipun masih ada bapak dan ibu. Allah menetapkan bagian ibu 1/6 sedangkan
bagian bapak tidak ditentukan dan bagian saudara belum dijelaskan. Ketiga,
sebelum Allah menetapkan bagian saudara pewaris, ditetapkanlah bagian pasangan
yang dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu mendapat ½ untuk suami dan ¼
untuk istri jika pewaris tidak memiliki anak, dan pasangan akan mendaptkan ¼
dan 1/8 , secara berurutan, jika pewaris memiliki anak. Sampai di sini secara
jelas kita dapat mengetahui bahwa ketika ada anak dari pewaris golongan yang
mendapat harta warisan adalah kedua orang tua dan suami atau istri. Keempat,
Allah menerangkan ketentuan warisan untuk saudara dengan dua katagori, yaitu
mendapatkan bagian yang sama 1/6, dan berbagi dalam bagian yang 1/3 jika
berjumlah banyak. Aturan keempat ini memiliki keterkaitan dengan aturan
sebelumnya dimana dijelaskan bagian pasangan, ibu dan bapak. Indikasinya adalah
awal redaksi ketentuan kalālah menggunakan huruf ‘aṭaf (wa). Penguraian hukum dengan menggunakan huruf wa untuk
menunjukan betapa eratnya hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya.[52]
Dengan berlandaskan pada keterangan di atas, kalālah pertama
menunjukan rentetan pembagian waris yang paling akhir ketika ditemukan adanya
ahli waris lain.[53]
Dalam istilah lain disebutkan ahli waris skunder. Jika merujuk ayat waris 11
dan 12 an-Nisa’, ahli waris primer dan sekunder disebutkan berurutan.[54]
Ketika seorang pewaris meninggal dan ia memiliki anak, anak menjadi ahli waris
primer sedangkan kedua orang tua menjadi ahli waris sekunder. Jika anak tidak
ada, kedua orang tua menjadi ahli waris primer dan saudara-saudara pewaris menjadi
ahli waris sekunder. Sedangkan pasangan (suami atau istri) tidak diposisikan
sebagai ahli waris primer maupun sekunder karena ia merupakan ahli waris sababiyyah.
Berbeda halnya dengan kalālah kedua. Saudara
pewaris diposisikan sebagai ahli waris primer karena memang tidak ada lagi ahli
waris lain yang lebih berhak selain saudara. Dengan demikian, kalālah kedua
memiliki cakupan lebih sempit dengan bagian warisannya lebih banyak. Katagori
ahli waris primer dan sekunder sangat jelas diindikasikan dengan bagian-bagian
yang harus diterima. Pada posisi ahli waris primer, jumlah warisan yang
diterima akan tidak berimbang. Sedangkan untuk ahli waris sekundernya akan
mendapat bagian yang berimbang. Sejumlah ahli waris dalam posisi sekunder dalam
keadaan tertentu, ketika ahli waris primer tidak ada, akan menjadi ahli waris
primer.
Pemahaman ayat kalālah tersebut, terutama ayat 12
an-Nisa’, sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, sesulit pembacaan
stuktur kalimat yang dibangun dalam ayat tersebut. Kontroversi pemaknaan dan
pemahaman di atas berkaitan langsung dalam perdebatan kedudukan kalālah dalam
kedua ayat yang mengatur kalālah.
C.
Problem Struktur
Kalimat
Kesulitan pembacaan dan pemaknaan
ayat kalālah secara keseluruhan menjadi bahan perdebatan ulama sejak
awal. Perdebatan tentang pemaknaan kalālah sesungguhnya adalah imbas
dari kesulitan pembacaan ayat kalālah. Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan kata-kata
kalālah dalam ayat 12 surat as-Nisa’. Perhatian mereka lebih tertuju
pada susunan kalimat yang ambigu. Dalam perdebatan tentang stuktur kalimat ayat
kalālah ini, fokus perdebatannya hanya terjadi pada ayat 12 ini,
sedangkan kalālah kedua tidak dijadikan perdebatan. Setidaknya ada 3 persoalan yang dibahas.
Persoalan pertama adalah adanya dua subjek yang terpisah,
yaitu rajulun……au imra’atun. Dua subjek ini dipisah oleh satu frase yuraṡu kalālatan.
Kontras dengan redaksi ayat selanjutnya yang menyandingkan dua subjek secara
langsung akhun au uktun. Ulama semisal aṭ-Ṭabari
mengakui kejanggalan susunan kalimat seperti ini, sehingga ia menyelesaikannya
dengan menyatukan dua subjek yang ada (rajulun au imra’atun yuraṡu kalālatan).[55] Model pembacaan
ini diikuti oleh kebanyakan para mufasir berikutnya bahkan dalam al-Qur’an
edisi terjemah mengikuti model penafsiran ini.[56]
Persoalan kedua adalah kedudukan kata kalālah. Setidaknya
ada tiga pendapat yang muncul dalam menganalisa kedudukan kata kalālah. Pertama,
kalālah berkedudukan sebagai hāl pengganti fāil yuriṡu
dengan membuang muḍof, Dengan
demikian, potongan kalālah dibaca apabila ada laki-laki mewariskan dalam
keadaan mempunyai kalālah, yaitu kerabat selain bapak dan anak. Kedua,
kalālah berkedudukan sebagai maf’ul lah. Dengan demikian ia
dibaca apabila seorang laki-laki mewariskan dengan sebab kalālah artinya
kerabat. Ketiga, kalālah diperkirakan kedudukannya sebagai khabar
kāna dan yuriṡu adalah
sifat bagi rajul. Dengan demikian ia dibaca apabila ada laki-laki
mewariskan kalālah yang bukan orang tua dan bukan pula anak.[57] Aṭ-Ṭabari
mencatat tiga pendapat dan pendapat terakhir adalah pendapatnya sendiri. Pertama,
beberapa para ahli nahw Basrah memandang bentuk pasif yuraṡu
sebagai sifat dari kata benda sebelumnya, rajulun. Kata benda kalālah
dilihat sebagai predikat (khabar) dari kata kerja kāna. Kedua,
ahli nahwu Basrah lainnya memandang frase yuraṡu kalālatan
berkedudukan sebagai hal (keadaan). Dengan demikian frase ini menunjukan
bahwa kondisi seseorang yang dalam keadaan kalālah (dalam pengertian
tradisional dimaksudkan bahwa pewaris tersebut dalam kondisi tidak mempunyai
anak dan bapak). Ketiga, pendapat aṭ-Ṭabari
sendiri yang menyatakan bahwa bentuk frase tersebut merupakaan penyingkatan
dari frase yang lebih panjang. Dalam perkiraannya ia menyebutkan wa in kāna rajulun
yūraṡu
(mutakalillahu an-nasbi) kalālatan.
Dalam keterangan ini, bentuk aktif kata kerja yūriṡu dalam
frase “lengkap” diubah menjadi bentuk pasif yūraṡu
dengan cara membung dua tanda kurung dan dengan membiarkan kata kalālah dalam
posisi akusatif[58] (objek penderita).
Pendapat lain yang mencoba menganalisa ayat ini
mengatakan bahwa kalimat yuriṡu kalālah dengan
pembacaan yuriṡu
(dengan meng-kasrah-kan ra), sebagaimana pendapat ulama Kufa (misalnya
al-Hasan dan Ayūb), menempatkan kalālah sebagai kerabat. Pembacaan lain
dengan mem-fatḥaḥ-kan huruf ra (yuraṡu),
dan ini adalah pendapat jumhur, mengandung pengertian kalālah orang yang
meninggal dan mengandung pengertian kerabat.[59] Pembacaan kedua
ini digunakan kebanyakan ahl qirā’at, termasuk versi permanent di
dalam penulisan al-Qur’an sekarang. Sedangkan pembacaan pertama menurut
kesimpulan yang diperoleh dari penjelasan aṭ-Ṭabari.
Pembacaan kedua ini lebih tegas menyamakan hak-hak laki-laki dan perempuan.[60]
Persoalan ketiga adalah bentuk kata ganti lahu
yang harus merujuk pada siapa. Kata ganti ini merujuk pada orang ketiga tunggal
(laki-laki) padahal dalam ayat tersebut diyakini ada dua subjek. Biasanya,
orang menggunakan kata ganti orang ketiga ganda (tidak ada padanan dalam bahsa
Indonesia), yaitu lahuma. Kata ganti ini juga ditunjukan secara jelas
dalam ayat tersebut ketika menunjuk akhun aw uktun. aṭ-Ṭabari
menegaskan bahwa kata ganti untuk dua subjek boleh merujuk langsung pada keduanya
atau salah satu diantaranya. Sebagai pendukung, ia mengajukan bukti dengan
mengutip kalimat: man kāna ‘indahu ghulāmun au jāriyatun fa al-yuḥsin ilaihi (barang
siapa yang mempunyai budak pria atau wanita maka ia harus memperlakukannya
dengan baik).[61] Jadi, kata ganti wa lahu dalam ayat kalālah pertama
dengan merujuk pada dua subjek bukanlah sesuatu yang mustahil.
Menyikapi kesulitan susunan kalimat di atas, kita tetap
berpegang pada petunjuk yang dikemukanan aṭ-Ṭabari
bahwa ayat tersebut mengandung dua subjek, yaitu rajalun au imra’atun. Dengan
demikian, mendudukan pada posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan
penghubung au (atau). Hanya saja ketika harus meunjukan siapa yang
dimaksud dengan kata ganti lahu, kita harus melihat beberapa hal. Pertama,
Allah telah menyebutkan dua subjek yang jelas sekalipun keduanya terpisah oleh
frase tertentu. Namun, seperti kelanjutan ayat tersebut kata ganti lahuma
lebih tepat digunakan. Dengan demikian, kita tidak harus merujuk pada dua
subjek tersebut. Kedua, kalālah harus ditempatkan sebagai objek (maf’ul
lahu) dengan arti saudara laki-laki sebagaima yang telah dijelaskan. Dengan
demikian, ia dibaca apabila lakai-laki diwarisi kalālah, yaitu saudara
laki-laki. Ketiga, dengan merujuk pada ayat 176 surat an-Nisa’ yang
memungkinkan bagi kita untuk mengartikan kalālah sebagai saudara
laki-laki orang yang meninggal, kata ganti lahu tidak mustahil merujuk
pada objek ini. Sehingga lahu yang dimaksud adalah kalālah itu
sendiri. Adapun kata kalālah yang berbetuk mu’anas (jenis
perempuan) tidak menjadi persoalan karena ia mengandung arti laki-laki secara
alamiah.
Dengan berdasarkan pada kenyataan tersebut, kita dapat
mengartikan ayat tersebut: dan jika ada laki-laki atau perempuan yang
diwariskan oleh kalālah (saudara laki-laki) dan dia (saudara laki-laki)
memiliki saudara laki-laki (lain) atau saudara perempuan maka masing-masing
keduanya (saudara laki-laki dan saudara laki-laki atau saudara laki-laki dan
saudara perempuan) mendapat 1/6 harta. Dan apabila mereka berjumlah lebih dari
itu (lebih dari dua orang), maka mereka bersekutu dalam sepertiga…. Berdasarkan
pemahaman ini kita dapat melihat karakter ayat waris yang Allah turunkan untuk
menjelaskan kalālah. Tidak ada pembedaan dari jenis kelamin jika saudara
mewariskan dalam kondisi sebagai ahli waris sekunder. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa kalālah pertama ini diyakini menempatkan posisi saudara
sebagai ahli waris sekunder. Kemudian, Allah selalu menjelaskan pembagian waris
dalam proporsi dua orang atau lebih.
Adapaun kalālah kedua (ayat 176) tidak memunculkan
perdebatan dari struktur kalimat. Oleh karena itu, kita hanya menfokuskan pada
perdebatan tentang strukrur ayat kalālah pertama saja. Demikian juga
maslah pembagaian, ayat kalālah kedua ini menempatkan posisi saudara
baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris primer. Sehingga bagian yang
menjadi haknya tidak berimbang.
Kesulitan struktur kalimat dalam pembahasan di atas yang
berujung pada kontroversi pemaknaan dan pemahaman menimbulkan berbagai
pertanyaan mengapa kontroversi tentang kalālah
begitu meruncing dan tidak kuncung terselesaikan. Oleh
karena itu, penting untuk menelisik lebih jauh aspek historis dari aturan kalālah
dalam al-Qur’an maupun hukum kewarisan yang lebih umum. Pembacaan aspek
historis hukum waris bukanlah pertama kali dilakukan. Banyak tulisan baik
sekedar ulasan maupun penelitian mendalam mengupas aspek historisitas ini.
Namun, bagaimanapun, untuk melihat tujuan-tujuan mendasar hukum kewarisan penulis
memandang perlu melihat kembali aspek historisitas ini.
D.
Asbāb
an-Nuzūl dan Aspek Historis
Hukum Islam kebanyakan terjadi karena suatu kejadian
yang kemudian para sahabat meminta petunjuk hukumnya kepada Rasulullah s.a.w.,
kemudian ayat turun untuk membawa hukumnya.[62]
Seperti yang diriwayatkan bahwa ada seorang dari suku Ghatfan yang memegang
harta keponakannya yang telah ditinggal ayahnya dalam jumlah yang besar, para
sahabat kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah yang kemudian turun ayat:
“dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
baligh) harta mereka…”[63]
Dalam kasus kalālah ada beberapa riwayat yang
menjelaskan tentang asbab an-nuzul-nya. Riwayat yang paling terkenal
adalah berkenaan dengan Jabir. Dikemukakan bahwa ketika Rasulullah menjenguk
Jabir sedang sakit, berkatalah Jabir: “ya Rasulullah! Bolehkah saya berwasiat
memberikan sepertiga hartaku untuk saudara-saudaraku yang perempuan.“
Rasulullah bersabda “baik.” Ia berkata lagi: “kalau setengahnya?” beliau
menjawab; “baik pula.” Kemudian Rasulullah pulang. Dan tidak lama kemudian,
beliau datang lagi ke rumah Jabir seraya berkata: “Aku kira kamu tidak akan
mati karena penyakitmu ini. Dan Allah telah menurunkan ayat kepadaku, yang
menjelaskan pembagian waris bagi saudara-saudara perempuan, yaitu sebesar 2/3 (ṡuluṡain).
Riwayat lain seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.
Dari Jabir bin Abdullah yang bertanya kepada Rasulullah: “wahai rasululullah! Sesungguhnya saya mewariskan kalālah.
Lalu bagaiman dengan harta peninggalan saya?”[64] maka turunlah ayat
tentang waris. Ayat waris yang dimaksud adalah ayat 176 surat an-Nisa’
Selain riwayat di atas, masih banyak lagi riwayat yang
berkaitan dengan persoalan ini yang dapat ditemukan. Dalam riwayat lain
menyebutkan bahwa turunnya ayat kalālah pada akhir surat an-Nisa’
disebabkan Umar yang bertanya kepada Rasulullah tentang kejelasan makna kalālah.
Sedangkan riwayat yang dikemukakan dari Jabir adalah penyebab turunnya ayat kalālah
di awal suarat an-Nisa’.
Turnnya ayat kalālah yang diyakini karena
peristiwa Jabir ataupun Umar sesungguhnya bukanlah pijakan dasar untuk
menentukan maksud dari suatu ayat al-Qur’an. Dalam contoh lain yang terkenal
adalah riwayat yang menyebabkan turunnya ayat-ayat waris, yaitu berhubungan
dengan seorang wanita, Ummu Kuḥḥa yang datang
kepada Nabi untuk melaporkan suatu kejadian dimana paman anak-anaknya telah
mengambil harta peninggalan suaminya tanpa memberikan harta itu sedikitpun
kepada anak-anaknya.[65] Dalam riwayat
tersebut dijelaskan bahwa anak-anak tersebut semuanya perempuan berjumlah 3
orang. Ataupun peristiwa istri Sa’ad yang datang dengan kedua anak perempuannya
menghadap nabi untuk melaporkan bahwa saudara laki-laki Sa’ad telah mengambil
seluruh harta kekayaan Sa’ad tanpa meninggalkan sedikitpun kepadanya dan kedua
orang anaknya. Sekalipun mungkin benar bahwa ayat-ayat waris turun karena
peristiwa Ummu Kuḥḥa, istri Sa’ad atau peristiwa Jabīr, namun peristiwa itu sesungguhnya
hanyalah peristiwa yang tepat untuk menjelaskan aturan waris yang tidak adil
dalam masyarakat Arab. Dengan demikian, peristiwa-peristwa yang diyakini
menjadi asbab an-nuzul suatu ayat merupakan asbab an-nuzul mikro
saja, karena sebenarnya ada asbab an-nuzul makro yang menjadi motivasi
al-Qur’an untuk menurunkan aturan-aturan hukum. Dengan kata lain, jika “sebab”
turunnya ayat merupakan suatu kejadian yang spesifik, maka sifat universal
“ekstra historis” al-Qur’an jadi bergeser.[66]
Adalah penting untuk memahami asbab an-nuzul makro
dalam konteks turunnya suatu ayat hukum. Bila kita perhatikan, sebagain ulama
terdahulu memaknai kalālah dengan mengacu pada peristiwa Jabīr akan
berkesimpulan bahwa yang dimaksud al-Qur’an dengan kalālah adalah orang
yang tidak memiliki anak dan ayah. Hal ini dilandasi bahwa bapak Jābir bin
Abdullah meninggal pada hari Ahad dan ayat tentang kalalah (an-Nisa’:
176) turun setelah itu. Selang beberapa lama kemudian diceritakan bahwa Jābir
sendiri jatuh sakit. Ia yang sudah ditinggal mati oleh bapaknya tidak mempunyai
anak dan hanya mempunyai saudara perempuan.[67] Dari riwayat ini
kemudian disimpulkan bahwa kalālah merujuk pada orang yang tidak
mempunyai anak dan bapak. Namun, pengambilan kesimpulan hukum dari sutau
peristiwa ini terlalu berlebihan. Pertanyaannya adalah bagaimana seandainya bapak
Jābir belum meninggal dan ayat itu turun? Ulama mungkin akan berkesimpulan
bahwa kalālah adalah orang yang meninggal tidak mempunyai anak.
Ahmad Amin menyebutkan bahwa salah satu ayat yang,
sebenarnya, merupakan peristiwa kecil tetapi ayat yang turun untuk menjelaskan
hukumnya lengkap adalah ayat tentang kalālah ini.[68]
Namun, pernyataan seperti ini nampaknya mengecilkan arti penting aturan yang
Allah turunkan. Karena aturan kalālah dan aturan waris secara umum
adalah peristiwa besar bagi masyarakat Arab.
Untuk melihat lebih jauh, penjelasan berikut
menggambarkan konteks makro aturan waris Islam. Masyarakat Arab pra-Islam hanya
memberikan warisan kepada anak laki-laki yang sudah dewasa sedangkan wanita dan
anak-anak tidak mendapatkan sama sekali.[69] Suksesi
semata-mata karena kesukuan dan laki-laki dewasa, yaitu ahli waris yang secara
normal adalah kerabat laki-laki yang paling dekat.[70]
Prinsip pembagian waris ini tercermin dalam pernyataan-pernyataan orang-orang
Arab pra-Islam bahwa: “Kami tidak akan mewarisi harta kami kepada orang yang
tidak menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah, mengusir musuh,
dan menjaga keselamatan suku.”[71] Kuatnya prinsip
yang berlaku di masyarakat tentang kewarisan ini secara langsung maupun tidak
disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat dilihat dari karekater
masyarakatnya.
Karakter masyarakat Arab pra-Islam adalah kehidupan yang
berkelompok-kelompok dalm berbagai suku (tribe). Suatu suku terdiri dari
sejumlah keluarga yang perekat kehidupan bersamanya adalah hubungan darah (qarābah)
ataupun perjanjian untuk selalu hidup bersama (walā). Suku-suku tersebut
hidup secara terpisah serta membentuk komunitas dan sistem sosial
sendiri-sendiri. Umumnya, anggota-anggota setiap suku terikat oleh solidaritas
internal yang kuat, yaitu tanggung jawab untuk selalu mempertahankan
keberlangsungan kehidupan dan kehormatan suku. Kehidupan mereka hanya
bergantung dengan alam yang terbatas yang mengakibatkan hubungan rasa
keterikatan kelompok menjadi sangat kuat. Sehingga konflik dan perang suku
merupakan fenomena yang sering ditemukan. Suasana yang penuh konflik ini
kemudian memunculkan kesepakatan hukum yang diistilahkan dengan “hukum balas
dendam setimpal”, yaitu, misalnya, nyawa dibalas nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung dan setersunya.[72] Biasanya, keluarga
meminta bantuan kelompok lain yang lebih kuat untuk menuntut balas atas
kematian keluarganya dan akan merasa puas jika pelakunya telah dibalas. Atau, sebagai
gantinya, mereka dapat meminta tebusan (diyat) kepada pelakunya berupa materi,
misalnya sejumlah untah yang disepakati.[73]
Sistem sosial kesukuan di atas menjadikan masyarakat Arab
pra-Islam rata-rata beragama animisme-paganistik yang karakeristik khasnya
adalah corak kehidupannya bersifat patriarkal, struktur sosial bersifat
patrilinial, dan interaksi sosial mereka yang feodal-monopolistik. Corak
partiarkal ini berpusat pada eksistensi laki-laki. Kontribusi sosial hanya
diberikan kepada laki-laki termasuk kehidupan agama, sosial, politik ekonomi,
militer dan lebih jauh lagi, kehidupan
domestik pun didominasi oleh kalangan laki-laki. Banyaknya perang dan konflik
yang terjadi dalam masyarakat Arab merupakan salah satu alasan yang menjadikan
kalangan laki-laki lebih utama dibandingkan kalangan perempuan. Menurut N.J.Coulsen.
dalam masyarakat komunal atau masyarakat primitif kepentingan individu melebur
ke dalam dan harus tunduk kepada kepentingan komunitas, yang diperhitungkan bagi
eksistensi seseorang adalah kemampuannya untuk berpartisipasi aktif dan
memberikan kontribusi sosial dalam masyarakat, dan kemampuan itu, ketika itu,
hanya dimiliki oleh kalangan laki-laki. Jadi terciptalah satu sistem
solidaritas sosial yang memposisikan laki-laki sebagai tulang punggung. Sementara
orang-orang tidak produktif, yaitu golongan anak-anak, perempuan dan
orang-orang jompo, hanya dianggap sebagai masyarakat kelas dua yang tidak
memiliki eksistensi apapun dalam kehidupan sosial.[74]
Dengan kata lain, hukum waris lokal yang digunakan dalam kewarisan Arab pra-Islam
dirancang untuk menjaga kekayaan dalam lingkup kesukuan.[75]
Pengecualian ini hanya berlaku bagi Khadijah binti
Khuwaylid, istri pertama Rasulullah, dan Hindun yang termsuk berasal dari
saudagar terkemukan di Mekkah. Kiprah mereka baik sebagai pedagang maupun istri
bangsawan oleh sebagain orang dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa kaum
perempuan di Mekkah relatif menikmati kebebasan dalam kehidupan sehari-hari.
Setidanya ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan. Pertama, menurut
W. Marḉais orang-orang Mekkah sekalipun mereka hidup nomadis
tetapi memiliki level organisasi yang berbeda dengan masyarakat Madinah. Relasi
sosial di Mekkah cenderung egaliter sehingga memungkinkan para wanita untuk
memiliki dan mewariskan kekayaan. Sedangkan di Madinah, karena masyarakat
petani dan bercocok tanam, cendrung memiliki relasi sosial yang lebih rendah
dan oleh karena itu, dalam banyak hal, Nabi Muhammad mengambil model kewarisan
Mekkah untuk diterapkan di Madinah yang cenderung male-oriented.[76]
Penegasan ini juga dikemukakan Robertso Smith.[77] Ia melihat bahwa
di Mekkah pengaruh kebudayaan yang sudah tinggi lebih terasa, sehingga
kemungkinan bagi wanita Madinah untuk mendapatkan hak-haknya.
Analisa kedua menyebutkan bahwa fenomena Khadijah
adalah kasus pengecualian yang sama sekali tidak merefleksi kondisi umum kaum
perempuan pada masa itu. Argumentasi yang diajukan adalah bahwa Khadijah
merupakan kalangan bangsawan, merupakaan status sosial paling tinggi yang
memiliki kebebasan bertindak yang luas dibandingkan strata sosial di bawahnya.
Dengan status sosial ini, tentunya, Khadijah memiliki hak dan kebebasan yang
lebih luas untuk mendirikan usaha bisnis yang menyebabkannya menjadi salah
seorang konglomerat Mekkah.[78]
Analisa lain menarik untuk dicermati adalah dikemukakan
oleh Nawal El Saadawi. Ia menggambarkan kondisi perempuan Arab dengan dua tokoh
perempuan yang terkenal, yaitu fenomena Hindun binti Rabi’ah dan Khadijah.
Hindun menggambarkan sosok wanita Arab Mekkah yang bebas, berani dan memiliki
analogi yang kuat. Dia sangat terkenal dalam sejarah Islam sebagai wanita yang
berani melawan Nabi Muhammad. Sedangkan Khadijah menggambarkan sosok wanita
mandiri dan memiliki kepribadian dalam bidang ekonomi maupun dalam hal
kemasyarakatan. Di samping kedua wanita tersebut, menurut Nawal, banyak dari
kalangan kabilah Arab yang bermukin di padang pasir menasabkan anaknya pada
ibunya sepeprti kabilah Khanda dan Gadila. Beberapa raja Arab juga dinasabkan
pada ibunya seperti Umar bin Hindun. Dengan demikian, pada dasarnya sistem
kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam adalah patriarkal
dan matriarkal. Namun, sistem matriarkal berangsur-angsur hilang bersamaan
dengan munculnya sistem ekonomi dan keagamaan.[79] Bukti lain tentang
kedudukan perempuan dapat digambarkan dengan adanya pengakuan terhadap
tuhan-tuhan feminim dan maskulin. Latta dan Uzza adalah tuhan feminim yang
dibawa Abu Sufyan dan istrinya, Hindun, dalam memerangi nabi Muhammad. Hal ini
menunjukan kedudukan perempuan dan cermin dari sistem kekeluargaan yang
matriarkal pada saat itu.[80]
Tiga analisa di atas berusaha untuk menggambarkan kondisi
perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dengan mengambil petunjuk dari
riwayat yang menceritakan tentang kehidupan Khadijah dan Hindun (analisa
ketiga) nampaknya tidak memberikan gambaran yang sempurna tentang kondisi
perempuan dalam masyarakat Arab sesungguhnya. Analisa pertama tentang relasi
sosial tidak didukung dengan fakta bahwa ada kasus-kasus dimana orang tua
menguburkan bayi-bayi perempuannya hidup-hidup[81] hanya khawatir
akan mencemarkan nama baik keluarga dan beban ekonomi. Analisa kedua mungkin
dapat dipertimbangkan untuk dapat diterima. Kasus Khadijah merupakan
pengecualian yang tidak dapat merepresentasikan kondisi perempuan di Mekkah.
Begitu juga fenomena Hindun masuk dalam katogori perempuan dari kalangan
bagsawan. Hanya saja beberapa bukti yang dikemukakan Saadawi menunjukan bahwa perempuan
Arab (khususnya Mekkah) relatif memiliki kedudukan tinggi sekalipun dalam
perkembangannya kedudukan ini terkikis karena dominasi laki-laki dalam bidang
ekonomi, politik dan keagamaan, kepemimpinan dengan model mempertahankan dengan
kekuatan fisik serta konsep-konsep perlindungan keluarga. Inilah ciri msyarakat
Arab yang belakangan ketika Islam datang sudah mengambil bentuk patriarkhal.
Ciri kedua dari masyarakat Arab pra Islam adalah struktur
sosial yang bersifat patrilineal. Masyarakat patrilineal ini menimbulkan
kesatuan-kesatuan keluarga yang besar-besar, seperti klan, marga, dimana setiap
orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya.[82] Konsekuensinya,
eksistensi kaum perempuan pun melebur ke dalam garis tersebut.
Ciri ketiga masyarakat pra-Islam adalah interaksi sosial
yang bersifat feodal-monopolistik. Ciri ini dapat dilihat dari kuatnya dominasi
kalangan bangsawa dan konglomerat dalam kehidupannya. Monopoli dan penindasan
ekonomi adalah senjata utama dan kebiasaan sehari-hari.[83]
Watak feodalisme masyarakat arab pra-Islam ini dapat dilihat dari sejarah
perbudakan yang berlangsung cukup lama. Mereka memperjualbelikan budak serta
memperlakukan budak-budak sesuai dengan keinginan mereka. Sebagai akibat dari
semua ini, kaum miskin dan lemah semangkin tertindas.[84]
Perbudakan dalam masyarakat Arab pra-Islam ini begitu mengakar sehingga ketika Islam
datang pun tidak secara langsung menghapus watak masyarakat yang feodal ini.
Dengan beberapa karakter masyarakat Arab pra-Islam di
atas memiliki pengaruh yang kuat terhadap sistem kewarisan yang berlaku.
Perpindahan harta hanya berlaku untuk kepentingan-kepentingan yang mendukung kebertahanan
pola hidup mereka. Dengan kata lain, objek dan tujuan kewarisan pada masyarakat
Arab adalah menjaga harta dalam keluarga.[85] Dalam banyak
catatan disebutkan bahwa setidaknya ada tiga bentuk dan cara pewarisan yang
berlaku pada masyarakat Arab pra-Islam,[86] yaitu, pertama,
pewarisan menurut hubungan darah (nasab),
dimana hanya laki-laki dewasa dan produktif saja yang diberikan hak
untuk mewarisi. Kedua, pewarisan kepada seseorang melalui lembaga adopsi
(tabannī), dimana anak angkat diberi hak dan diperlakukan sama dengan
anak kandung. Ketiga, pewarisan melalui ikatan perjanjian (ḥalf wa ‘ahd),[87] yaitu perjanjian
antara dua orang laki-laki atau lebih untuk saling melindungi dan mewariskan
kekayaannya. Namun, ketiga model pewarisan ini tetap tunduk pada prinsip
senioritas, produktivitas dan partisipasi militer, dimana hanya kaum laki-laki
yang dewasa saja yang diperkenankan untuk mewarisi karena memiliki akses
produktivitas dalam kehidupan sosial. Salah satu standar produktivitas tersebut
adalah kemampuan berperang.[88]
Dengan melihat kondisi aturan adat yang berlaku pada masa
Arab pra-Islam, tentunya, kalangan wanita sangat dirugikan. Selama hidupnya,
mereka tidak pernah mendapatkan peluang untuk mewarisi sedangkan laki-laki
hanya tidak mendapat warisan ketika mereka belum produktif saja. Tidak hanya
sekedar tidak mendapat warisan, bahkan, perempuan pada masa itu dijadikan objek
warisan setelah suaminya meninggal. Contoh yang sering diajukan adalah
peristiwa Mihṣam bin Abu Qais al-Aslat yang meninggal dunia dengan
meninggalkan istrinya, Kubaisyah. Selanjutnya datanglah anak Abu Qais dari
istri lain kemudian menyelubungkan kainnya pada ibu tirinya, dengan demikian ia
mewarisi nikah ayahnya. Tetapi kemudian ibu tirinya itu ditinggalkannya, tidak
didekati atau diberi nafkah, maksudnya hendak mempersempit agar ibu tirinya itu
menebus dirinya dengan harta yang diwarisi dari ayahnya.[89]
Kondisi perempuan pada masa Jahiliyyah diperparah oleh
mitos tentang simbol kenistaan (embodiment of sin) yang melekat pada
mereka, penyebab godaan seksual (sexual temptation)[90]
dan beban berat (heavy burden) keluarga semata.[91]
Oleh sebab inilah, kaum laki-laki Arab pra-Islam sangat malu ketika mengetahui
bahwa anak meraka yang baru lahir berkelamin perempuan. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi mereka untuk memberikan keistimewaan pada perempuan. Berdasarkan
berbagai fakta tersebut sampailah pada kesimpulan bahwa perempuan pada masa itu
dikalsifikasikan bukan sebagai manusia tetapi sebagai barang.[92]
Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga Islam datang dengan misi
pembebasan dan emansipatorisnya.
Reformasi fundamental yang dibawa Islam melalui ajaran
al-Qur’an, dalam kewarisan, adalah memberikan bagian-bagian yang tetap untuk
kerabat perempuan,[93] merubah paradigma
perpindahan harta, dan mendudukan harkat manusia pada posisi yang sebenarnya. Hukum
kewarisan Islam bertujuan menyebarluaskan kekayaan di kalangan anggota keluarga
dari orang yang meninggal; dalam waktu yang sama hukum ini juga diarahkan untuk
mencegah terjadinya diskriminasi pribadi dan penumpukan kekayaan serta
perselisihan dalam kesatuan keluarga. Pada pokoknya, jaringan keluarga dan
masyarakat lebih didahulukan daripada keinginan emosional dari yang meninggal.[94]
Kedatangan Islam dengan aturan waris yang bergerak jauh melampaui pemikiran masyarakat
pada masanya, menimbulkan protes sebagian masyarakat Arab sebagai bentuk penerimaan
dengan perasaan berat. Ibn Abbas meriwayatkan bahwa: “waktu diturunkan hukum
waris yang telah ditetapkan oleh Allah bagi anak-anak laki-laki atau perempuan
dan bagian kedua orang tua, maka orang Arab merasa tidak enak, mereka berkata:
seorang wanita diberi ¼ dan 1/8? Dan anak perempuan diberi ½
dan anak laki-laki yang masih kecil diberi juga padahal
dari mereka tidak ada yang pergi berperang dengan golongan lain dan tidak
pernah mendapat harta rampasan.” Oleh sebab itu, Qur’an menegaskan tentang
pembagian warisan perempuan berulang-ulang.[95] Dengan pembagian
yang tidak berimbang saja masyarakat Arab berat untuk menerimanya, bandingkan
dengan aturan kalalah pertama (ayat 12 an-Nisa’) yang memberikan bagian
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tentunya, hal ini menimbulkan
kegelisahan yang luar biasa.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Umar secara
berulang-ulang menanyakan pengertian kalālah ini kepada Nabi. Apakah
murni Umar tidak memahami maknanya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa ia
adalah seoarang ahli bahasa, atau memang dengan bagian yang sama dalam aturan kalālah
ini menjadikan kegelisahan luar biasa bagi Umar. Yang agak mengherankan
adalah pertanyaan Umar ini kemudian dijawab Nabi dengan menunjukan ayat 176
surat an-Nisa’, sementara sebagian riwayat menyebutkan bahwa turunnya ayat 176
itu disebabkan Umar yang beberapa kali bertanya kepada Nabi tentang kalālah itu
sendiri. Jika diyakini oleh ulama’ bahwa ayat kalālah turun karena
peristiwa Jābir, mengapa ketika terjadi perdebatan tentang kalālah tidak
ada satupun dari kalangan sahabat yang bertanya pada Jabir tentang maksud ucapannya
bahwa ia hanya diwarisi kalālah. Bukankah kebingungan Umar terjadi
ketika Nabi masih hidup dan kalālah terakhir juga disinyalir turun
karena peristiwa kegelisahaan Umar. Atau mungkin saja kata-kata kalālah
sudah dipakai dalam masyarakat Arab, dengan bukti Jabir menggunakannya, tetapi
ketika turun ayat kalālah yang secara tegas memberikan bagian yang sama
pada laki-laki dan perempuan menimbulkan kersesahan dalam masyarakat. Setidaknya
dalam keyakinan ulama’ dahulu adalah pembagian waris untuk saudara seibu.[96]
Sehingga pertanyaan tentang kalālah selalu diulang-ulang oleh Umar bin
Khatab yang dalam banyak riwayat selalu mengambil keputusan hukum dengan
memperhatikan kondisi sosial.[97]
Nampaknya, pertanyaan Umar tentang makna kalālah bukan
sekedar kebingungan maknanya tetapi juga kegelisahan dengan bagian warisan yang
menyamakan bagian laki-laki dan perempuan. Sedangkan ketentuan waris yang
dianggap paling prinsip adalah li aż-żakari miṡlu haẓil unṡayain. Bukti yang dapat diajukan adalah Umar merubah
keputusannya tentang makna kalālah dengan menambahkan adanya bapak pada
pewaris yang tidak mempunyai anak. Sedangkan bapak dalam beberapa pendapat
ulama fikih dapat meghijab saudara dari hak kewarisan.[98]
Dalam kasus-kasus kusus lain dapat ditunjukan beberapa kebijakan Umar yang demi
mempertahankan prinsip li aż-żakari miṡlu haẓil unṡayain, “meninggalkan” bagian yang Allah tetapkan kepada
perempuan. mislanya, kasus Gharrawain, Ummariyatān.[99]
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah –ayat waris—kalangan
bangsa Arab pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan, mereka sangat
berharap kalau saja hukum yang tercantum dalam al-Qur’an dapat dihapuskan. Karena memberikan warisan kepada wanita dan anak-anaak
sangat bertentangan dengan hukum waris yang sudah berlaku dalam masyarakat.[100] Tentunya, banyak sedikit, perasaan ini juga menghinggapi
beberapa kalangan sahabat. Walaupun pada akhirnya aturan waris diterima oleh
masyarakat Islam, dalam perkembangannya masuk unsur-unsur adat Arab yang masih
dipegang untuk membentuk hukum kewarisan Islam, seperti aturan ‘asobah. Struktur
keluarga dan idiologi patriarki, menurut Lapidus, merupakan dua hal yang
merupakan kontinunitas budaya pra-Islam.[101] Hal ini adalah
fakta yang menjukan bahwa misi al-Qur’an tidak sepenuhnya berjalan sesuai
harapan. Hal inilah yang bagi sebagain peneliti hukum waris menunjukan bahwa
hukum waris Islam tidak memperkenal secara komplit seperangkat aturan kewarisan
yang baru, tetapi hanya memodifikasi sistem waris yang sudah ada.[102]
Sebagai bukti untuk pernyataan di atas adalah bahwa sistem
kewarisan Islam yang berkembang atau yang dikembangkan oleh kalangan sahabat dan
seterusnya mengandung dua unsur, yaitu pertama,
hukum adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan suku-suku Arab sebelum Islam
yang tidak dirubah dengan tegas oleh mereka sesuai dengan peraturan-peraturn
yang ditetapkan di dalam al-Qur’an. Kedua, peraturan-peraturan dalam
al-Qur’an yang membawa perubahan yang tegas kepada adat masyarakat Arab Jahiliyyah.[103]
Dengan demikian, dalam pembentukan suatu hal selalu menghasilkan hal positif
dan negatif yang dalam perkembangannya boleh jadi nuansa negatif lebih
ditonjolkan atau sebaliknya.
Kemudian, dua pendapat tentang apakah hukum kewarisan
yang dibangun al-Qur’an merupakan sistem kewarisan yang merupakan pelapisan
terhadap sistem kewarisan sebelum Islam atau merupakan sistem kewarisan
independen yang tidak terkait dengan sistem sebelumnya, merupakan penentuan terhadap
modifikasi visi misi al-Qur’an dalam bidang kewarisan. Dalam kasus kalālah
nampaknya, secara historis, riwayat yang dikemukakan dari Jabir tentang kasus
dirinya menunjukan bahwa kewarisan Islam membawa sistem baru. Buktinya tidak
satupun dari kalangan sahabat mempertanyakan maksud Jabir tentang kalālah itu
sendiri, sementara sahabat seperti Abu Bakar maupun Umar bin Khattab mencoba
untuk beijtihad dalam masalah ini. Dengan demikian, kita berkesimpulan bahwa
hukum kewarisan yang dibawa Islam pada dasarnya membawa ajaran yang baru dengan
mengakomodir beberapa bagaian tradisi yang berlaku. Sebagaimana al-Qur’an tidak
menetapkan bagian bapak secara jelas ketika tidak ada anak.
Berdasaarkan aspek historis di atas, hukum waris Islam
pada dasarnya membawa misi keadilan dan emasipatoris untuk membebaskan
masyarakat Islam dari ketidakadilan dalam mendistribusikan harta kepada anak,
orang tua dan kerabat. Terlebih lagi dalam aturan kalālah, hukum waris Islam
secara lahiriah memberikan bagian yang seimbang antara saudara laki-laki dan perempuan.
Tentunya, aturan ini memberikan argumentasi bahwa aturan hukum waris Islam
tidak hanya mengatur bagian yang tidak berimbang, tetapi juga dalam beberapa
kasus memberikan bagian yang berimbang. Hal ini menunjukan bahwa aturan
berimbang atau tidak berimbang dalam hukum waris Islam tetap mengacu pada
konsep keadilan yang kemudian disesuaikan antara hak dan kewajiaban. Keadilan
dalam wilayah tertentu dan pada masa tertentu akan mengalami
pergeseran-pergeseran sesuai dengan tuntutan. Adapun keadilan itu dapat dilihat
dengan tiga perspektif, yaitu keadilan distributif, prosedural dan komperatif. Dan
keadilan yang dibentuk sesuai dengan konteksnya, pada perkembangannya, dapat
dipandang sebagai sesuatu yang tidak kontekstual.
Terlepas dari itu, pertanyaan yang muncul secara normatif
adalah apa perinsip umum yang ingin dikemukakan al-Qur’an dalam aturan
kewarisan Islam. Pertanyaan ini muncul dari aturan pembagian yang ada
dalam hukum waris sangat praktis. Dalam aturan praktis selalu membawa aturan
yang lebih umum yang dapat dijadikan landasan-landasan bergeraknya hukum secara
fleksibel. Sedangkan aspek historis di atas menunjukan misi pembebasan hukum
waris. Namun, setelah kita menemukan misi-misi tersebut dan melihat
kemungkinan-kemungkinan dampak negatif dari interaksi budaya Arab dengan norma
yang terdapat dalam al-Qur’an, kita tidak mungkin berhenti sampai di sini. Dengan
demikian, kita perlu melampaui pembacaan historis dengan melihat aspek normatif
secara lebih mendalam.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan pembacaan ayat kalālah baik yang
terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 12 maupun ayat 176, maka kalālah dimaknai
sebagai saudara laki-laki, baik ia berkedudukan sebagai pewaris maupun
sebagai ahli waris. Hal ini didasari pada petunjuk
Rasulullah untuk merujuk pada ayat 176 dalam memahami kalālah. Dalam
ayat tersebut hal yang dapat diperhatikan adalah bahwa ia berbicara tentang
kewarisan saudara secara timbal balik. Apabila saudara laki-laki meninggal maka
saudara perempuan yang akan mewarisi, begitu juga sebaliknya jika saudara
meninggal maka saudara laki-laki mewarisinya. Hanya satu kemungkinan arti kalālah
dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki. Untuk memahami kedua ayat kalālah
tersebut maka kita harus meletakan ayat tersebut sesuai konteksnya yang
diindikasi dengan bagian-bagian warisan yang berbeda. Selain itu kita dapat
menerapkan cara-cara munasabah antar ayat dalam satu surat. Ayat 12
dibicarakan dalam konteks yang sangat luas dimana ahli waris di sana bukan
hanya saudara tetapi orang tua dan pasangan, sedangkan ayat 176 tidak
mengindikasikan adanya ahli waris dari golongan orang tua. Dalam pemahamannya penulis
berpendapat bahwa kedudukan saudara dalam ayat kalālah pertama adalah
sebagai ahli waris sekunder dengan bagian yang sama, sedangkan ayat kalālah
kedua menempatkan posisi saudara sebagai ahli waris primer dimana bagian-bagian
waris mereka variatif. Dalam pembacaan ini tidak ada pembedaan antara saudara
seibu, sebapak atau sekandung karena semua saudara adalah sama. Nampaknya, pembacaan
semcam inilah yang belum diterima oleh masyarakat muslim awal meningat konteks
budaya yang belum mendukung. Wallahu
a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Tafsir al-Qur’ān al-Hakim aṣ-Ṣahir bi Tafsir al-Manar, cet. ke-2 (Bairut: Dār
al-Ma’rifa, t.t)
Al-Fayyumi, al-Misbāh al-Munir (Beirut: Dār Fikr al-‘Arabi, t.t)
Ali,
Abu Yusuf, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary (Dār,
al-Arabia, 1968)
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak,
1996)
Ali, Sayed Ameer, Muhammadan
Law, vol 2 (New Delhi: Kitab Bhavana, 1986)
al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema
risalah Press, tt.)
Amin, Ahmad, Fadjar Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
Arabi, Abī Bakr Muhammad bin Abdullah Ibn, Ahkām
al-Qur’ān, tahqiq: Ali Muhammad al-Bajawī (ttp.: tnp., 1967)
As-Suyuṭi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp.: Dār al-Fikr,
t.t)
Aṭi, Ḥamuddah ‘Abd al-, The Family Stucture in Islam (Indiana:
Islamic Book Service, 1977)
Azmeh,
Aziz (ed.), Islamic Law: social and Historical Contexts (London dan New
York: Routledge, 1988)
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Baihaqi, Abu Bakar Muhammad al-, Kitāb as-Sunnan
as-Saghir (ttp.: Maktab al-Mukarram, t.t)
Baihaqī, Imām al-, Ma’arif Sunnan wa al-Aṡār ‘an al-Imam
asy-Syāfi’i, cet. Ke-1 (Beirut: Dār al-‘ilmiyyah, 1991)
Behbudi,
Muhmmad Baqir and Colin Turner, The Qur’an New Interpretation (Inggris:
Curzon Press, 1997)
Coulsen
N.J., Konflik dalam Yuresprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta:
Navila, 2001)
Coulsen
N.J., Succession in the Family Law, (Cambrige: The Cambrige University
Press, 1971)
Coulson, JND
Succession in the Family Law, (Cambrige:
The University Press, 1971)
Coulson,
Noel J., A History of Islamic Law (Edimburgh: The University Press, 964)
Dahlan,
Abdul Aziz, et.all., EnsiklopediHukum Islam, cet. Ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 2001)
Dārimi, Abu Muhammad ad-, Sunan ad-Dārimi (Bairut:
Dār al-Fikr, t.t)
Eliade,
Mircea, The Ensiclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mc Millan
Publising Company, t.t.)
Eposito, John L. (ed.), Identitas
Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa A.Rahman Zainuddin
(Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
Espositpo,
John L. and Natana J. Delong-Bas, Women in Muslim Family Law, second
edition (Syracuse: Syracus University Press, 2001)
Fakhrurrazi, Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad Husain al-,
At-Tafsīr al-Kabir li al-Imam al-Fakhrurrazi (ttp.: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t)
Fryzee,
A.A.A., “The Fatimid Law of Inheritance, dalam dalam Studia Islamica No.
1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982)
Fyzee,
A.A.A., Outlines of Muhammadan Law, cet. ke4 (London: Oxford University
Press, 1974)
Ghandur, Abdul ‘Azim Ma’ani
dan Ahmad, Ahkām min al-Qur’ān wa ala Sunnah: Lughat, Ijtima’, Tasyri’
(ttp.: Dār al-Ma’rifat, 1967)
Hallaq,
Wael B., A History of Islamic legal theories: am Introduction to Sunnī Uṣūl (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997)
Ḥarrāsi, Al-Kiya al-, Ahkām al-Qur’ān
(Beirut: Dār al-kitāb al-‘ilmiyyah, 1983)
Hasan,
Ahmad, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the
Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution,
1994)
Hazairin,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
Tintamas, 1982)
Hussein,
Freza (ed.), Muslim Women (London: Croom Helm, 1983)
Ibn Hazm, al-Muhalla (ttp.:Dār al-Fikr, t.t)
Ibn Manzur, Lisan al-Arab al-Munkit (ttp.: tnp., 1389)
Irving,
Washington, Life of Mohamet (London: J. M. Dent & Son Ltd., 1949)
Jaṣṣaṣ, Abu Bakar al-, Ahkām al-Qur’an (Beirut: Dār
al-Kitab al-‘Arabi, t.t)
Jawad,
Haifa A., The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach (London:
Macmillan Press Ltd., 1998)
Karim,
Khalil Abdul, Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan Khulafaurrasyidin,
Alih Bahasa: Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Khalid
Zaheer, “Kalalah in the Qur’anic Law of Inheritance”, dalam http://www.khalidzaheer.com/qa/61,
akses 3 Maret 2008.
Khan, Mustafa Muhammad Ali,
Islamic Law of Inheritance: A New Approach (New Delhi: Kitab Bhavana,
1989)
Lapidus,
Ira M., A History of Islamic Societies (Canbridge: Canbridge University
Press, 1988)
Ma’luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut:
Dār al-Masyriq, 1998)
Mahaly, Jalaludin Muhammad bin Ahmad al-dan Jalaluddin
Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuṭi, Tafsir al-Qur’ān Karim (ttp.: Dār al-Qalam,
t.t)
Marāghī, Ahmad Musṭafa al-, Tafsir al-Marāghī (ttp.: Matba’ah Musṭafa al-Babīy al-Halabi, 1974)
Mudzar,
M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)
_________,
Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach
(Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003)
Mukhtar, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-, Aḍwā’ al-Bayān fī Īḍāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān (ttp.: Maṭba’ al-Madanī, 1967), I: 275;
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta:
PPS.Krapiyak, tt.)
Nasafi,
Abdullah bin Ahmad Abi al-Barkat an-, Tafsir an-Nasafi (ttp.: Dār Haya’
al-Kutub al-‘Arabi, tt)
Nisaburi, Abi al-Hasan Ali ibn
Ahmad al-Wahidi an-, Asbāb an-Nuzul (Beirut: Dār al-Fikr, 1991)
Power,
David S., “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q.
4:12B”, dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P
Maisonneuve-Larose, 1982)
_________,
Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of inheritance
(Barkeley: University of California Press, 1986)
Qal’ahji, Muhammad Rawwas, Ensiklopedi Fiqih Umar bin
Khatab, alih bahasa: M. Abdul Mujieb, dkk., (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Jakarta)
Qāsimī,
Jamāl ad-Dīn al-, Mahāsin at-Ta’wil, cet.II (Beirut: Dār al-Fikr, 1978)
Qurṭubi, Muhammad bin Ahmad Abi Abdullah al-Anṣori al-, Al-Jami’
li ahkām al-Qur’ān, cet. ke-1(ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1967)
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, cet. 2 (Bandung:
al-Ma’arif, 1981)
Rahman, Fazlur, Membuka Pintu Ijtihad, alih
bahasa: Anas Muhyidin (Bandung: Pustaka, 1995
Riḍa, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm
al-Masyhūr bi Tafsīr al-Manār (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1999)
Sa’dī Abū Jayib, Al-Qāmūs al-Fiqhiyyah: Lughatan wa Iṣtilahan (Sūriyah: Dār al-Fikr, 1998)
Sa’id Ḥawā, Al-Asās fī at-Tafsir, cet. ke-2 (ttp.: Dār as-Salām, 1989)
Saadawi,
Nawal El, Wajah Telanjang Perempuan, alih bahasa: Azhariyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003),
Ṣadiq Hasan Khān, Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān (ttp.: tnp., t.t)
Sajastānī, Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Aṣ’aṭ as-, Sunan Abī Dāwūd, cet.I (Mesor: Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1952)
Ṣaliḥ, Bajat Abdul Waḥid, Al-‘Irab al-Mufaṣṣal li Kitabillah al-Murattal (‘Amman: Dār al-Fikr
li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1998)
Scacht,
Joseph, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon
Press,1950)
Shaban,
M.A., Islamic History A.D.600-750: A New Interpretation (I), cet.IX
(Canbridg: Canbridg University Press, 1971)
Shabuniy, Muhammad Ali ash-, Hukum Waris Islam,
alih bahasa: Sarmin Sakur (Surabaya: al-Ikhlas, 1995)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol.2 (Jakarta: Lentera Hari, 2002)
Smith,
W. Robertson, Kinship and Marriage in Early Arabia (Netherlands:
Anthropological publication, 1966)
Suyuṭi,
Abdurrahman Jalaluddin as-, Ad-Durr al-Manṡur fi at-Tafsir al-Ma’ṡur (ttp.: Dār
al-Fikr, 1983)
Syaḥrūr, Muhammad, Tirani Islam:
Geneologi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan
Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis, 2003)
Syaukānī, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad asy-, Fatḥ al-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanniy ar-Riwayah wa ad-Dirasah min ‘Ilm Tafsir, cet. ke-3 (ttp.: Dār al-Fikr, 1973)
Ṭabari,
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-, Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay al-Qur’ān
(Bairut: Dār al-Fikr, t.t)
Ṭabātāī, Al-‘Alāmah as-sayid Muhammad Husain aṭ-, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Bairut: Mu’assasah al-A’lamī li
al-Maṭbū’āt, 1978)
Tirmiżī, Abū ‘Īsā muḥammad at-, al-Jāmi’ al-Ṣaḥiḥ, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988)
Umar, Nasaruddin, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta:
Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002)
__________, Argumen Kesetaraab Jender Perspektif
al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999)
Wadud,
Amina, Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective
(Oxford: Oxford University Press, 1999)
Waḥidī, Abu Ḥasan ‘Alī al-, Asbāb an-Nuzūl (ttp.: Dār al-Fikr, t.t)
Watt,
W. Montgomery, Islamic Political Thaought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1990)
Wegner,
Judith Romney, “ Islamic and Talmudic Jurisprudence: the Four Roots of Islamic
Law and Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal
History, vol. XXVI (1982)
Wehr,
Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. J Milton cowan, Spoken Language Service, 1976
Zuhayli, Wahbah
az-, at-Tafsir al-Munir: fī al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj
(Bairut: Dār al-Fikr, 1991)
[1] David S.
Power, Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of
inheritance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 40;
idem, “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q. 4:12B”,
dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P
Maisonneuve-Larose, 1982), XXVIII: 83
[2] Aṭ-Ṭabari menulis begitu banyak riwayat yang
berbeda pendapat tentang kalālah yang sebagaian diantaranya berpendapat ma
khala al-walid wa walad. Lihat: Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Ṭabari, Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay
al-Qur’ān (Bairut: Dār al-Fikr, t.t), IV: 376 baris ke-15
[3] Muhammad
bin Ahmad Abi Abdullah al-Anṣori
al-Qurṭubi, Al-Jami’ li
ahkām al-Qur’ān, cet. ke-1(ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabi, 1967) II: 1646
[4] Misalnya Jalaludin Muhammad bin Ahmad al-Mahaly dan Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakr as-Suyuṭi, Tafsir al-Qur’ān Karim (ttp.: Dār al-Qalam, t.t), hlm. 83 baris
2-3 kemudian diulang lagi pada halaman 107 baris 16. Bandingkan dengan
Abdurrahman Jalaluddin as-Suyuṭi,
Ad-Durr al-Manṡur fi
at-Tafsir al-Ma’ṡur (ttp.:
Dār al-Fikr, 1983), II: 448
[5] Ahmad
Mustafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghi (ttp.: Mathba’ah Mustafa al-Babiy
al-Halabi, 1974), VI: 39 baris 1-2.
[6] Pendapat
di luar pemaknaan kalālah sebagai orang yang meninggal tidak mempunyai
ayah dan anak (kalālah sebagai pewaris) atau ahli waris selain bapak dan
anak, adalah pendapat yang memaknai kalālah dengan pengertian harta. Misalnya, apa yang dikemukakan oleh ‘Aṭā’. Lihat: Sa’dī Abū Jayib, Al-Qāmūs al-Fiqhiyyah: Lughatan wa Iṣtilahan (Sūriyah: Dār al-Fikr, 1998), hlm. 324
[7] Dalam
beberapa tafsir cenderung menggunakan pembedaan tersebut. Misalnya dalam tafsir
Jalalain mendasarkan pada bacaan Ibn Mas’ud dengan memaknai saudara
dalam ayat 12 surat an-Nisa’ saudara laki-laki dan perempuan seibu. Lihat:
al-Mahaly dan as-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an…, hlm. 83 baris 3. Kemudian kalalah
kedua dengan makna saudara perempuan sekandung atau sebapak. Ibid., hlm.
107, baris 16. Lihat juga: Abdullah bin Ahmad Abi al-Barkat an-Nasafi, Tafsir
an-Nasafi (ttp.: Dār Haya’ al-Kutub al-‘Arabi, tt) I: 267 baris 17 dan
halaman 212 baris 16.
[8] Hukum
Purwa Islam ini mengemukakan dua model mekanisme perpindahan harta dalam Islam,
yaitu kewarisan testamentair dan kewarisan ab intestato.
Hukum purwa Islam memberikan kekuasaan testamentair penuh (kepada calon
almarhum); dengan cara wasiat, seseorang dapat menunjukan ahli waris testamentair
baik dari kalangan putra putrinya dan kerabat dekat, ia dapat juga menunjuk
dari kalangan kerabat perkawinan, yaitu istri dan menantu. Dalam kasus
terakhir, kerabat sedarah harus diberikan fardh warisan sebagai
kopensasi pembatalan hak waris karena mereka semestinya mewarisi dalam keadaan ab
intestato. Kemudian, hukum purwa Islam tidak memberlakukan ketentuan
pembagian warisan dalam kapasitas hukum wajib, tetapi hanya berlaku apabila
tidak ada pesan terakhir dan testatemen yang sah. Lihat: Power, Studies in
Qur’an and Hadis…, hlm. 211.
[9]
Diriwayatkan dari Abu Kuraib dari ‘Ustam dari al-A’masy. Al-‘Amasy menyebutkan
bahwa ia mendengar dan ia memperkirakan bahwa Ibrahim ada diantara mereka.
Lihat: at-Ṭabari, Jami’
al-Bayan…, VI: 58
[10]
Diriwayatkan dari Ya’kub bin Ibrahim dari ‘Ulayyah dari Abu Hayyan dari
as-Sa’bi dari Ibn Umar. Ibn ‘Umar berkata bahwa ia telah mendengar Umar bin
Khatab berkhutbah di mimbar Madinah dengan redaksi tersebut. Ibid, 58-9
[11]
Diriwayatkan dari Ya’kub dari Ibn ‘Ulayyah dari Sa’id bin abi ‘Aruabah dari
Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah dari Umar bin
Khatab. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula Ibrahim bin Sa’id
al-Jauhiri dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim
bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan dari Umar. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan
pula dari Muhammad bin Basysyar dari Ibn ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari
Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah. Riwayat ini bahwa ia
mengetahui Umar bin Khatab berkhutbah pada hari jum’at yang menceritakan
perihal dirinya tersebut. Ibid, hlm. 59
[12] Misalnya
dalam kamus lisan al-Arab menyebutkan secara jelas bahwa kalālah adalah
ar-rijal allażi la walad lahu wa la walid. Lihat: Ibn Manzur, Lisan
al-Arab al-Munkit (ttp.: tnp., 1389), II: 288
[13] Uraian yang menarik dalam melihat keterkaitan antara ijtihad, ijma’ dan
Sunnah telah dikemukakan Fazlur Rahman ketika mejelaskan kemunculan hadis.
Lihat: Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (Bandung:
Pustaka, 1995). Terutama bab I: Konsep-konsep Sunnah, Ijtihad dan Ijma’
pada awal Sejarah Islam, hlm. 1-33
[15] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Bairut: Dār
al-Masyriq, 1998), hlm. 692
[16] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia
(Yogyakarta: PPS.Krapiyak, tt.), hlm. 1317
[17] Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Krapiyak, 1996), hlm. 1513
[18] Dalam versi Inggis disebutkan to be or become tired (menjadi lelah),
fatigued (lelah), weary (capek), exhauted (lelah), weak (lemah);
to be dim, dull, languid, expressionless (glance, eyes); to become blunt
(sword). Hans
Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, edisi. J Milton cowan, Spoken Language Service, 1976, hlm. 834
[19] Abdul
Aziz Dahlan, et.all., EnsiklopediHukum Islam, cet. Ke-5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove, 2001), hlm. 869
[20] Al-Fayyumi, al-Misbāh al-Munir (Beirut: Dār Fikr al-‘Arabi, t.t),
hlm. 538
[21] Ibn Hazm, al-Muhalla
(ttp.:Dār al-Fikr, t.t), VI: 268; Sa’dī Abū Jayib, Al-Qāmūs
al-Fiqhiyyah...., hlm. 324
[22] Ṣadiq Hasan Khān, Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān (ttp.: tnp., t.t), II: 221. Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad asy-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr al-Jāmi’ Bayna Fanniy
ar-Riwayah wa ad-Dirasah min ‘Ilm Tafsir, cet. ke-3 (ttp.: Dār
al-Fikr, 1973), I: 434; Abū Jayib, al-Qāmūs
al-Fiqhiyyah..., hlm. 324
[23] al-Qurṭubi, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān..., hlm. 1647, Khān, Fatḥ al-Bayān..., II: 221, asy-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr..., I: 434
[26] Beragam riwayat yang menyandarkan pendapat ini kepda Abu Bakar
selengkapnya dapat dilihat dalam at-Tabari, Jami’ al-Bayan ..., hlm. 192; Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar, Aḍwā’ al-Bayān fī Īḍāh al-Qur’ān bi al-Qur’ān (ttp.: Maṭba’ al-Madanī, 1967), I: 275;
[27] Abī Bakr Muhammad bin Abdullah Ibn Arabi, Ahkām
al-Qur’ān, tahqiq: Ali Muhammad al-Bajawī (ttp.: tnp., 1967), I: 347
[28] Al-‘Alāmah as-sayid Muhammad Husain aṭ-Ṭabātāī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Bairut: Mu’assasah al-A’lamī li
al-Maṭbū’āt, 1978), IV: 218
[29] Fakhrurrazi ketika membahas makna kalālah
menyebutkan bahwa pendapat Abu Bakar tentang kalālah adalah pendapat yang paling benar. Fakhruddin
Abu Abdillah Muhammad Husain al-Fakhrurrazi, At-Tafsīr al-Kabir li al-Imam
al-Fakhrurrazi (ttp.: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), V: 221
[30] Hadis riwayat Baihaqi. Baihaqi mendapatkan berita tersebut dari Abū
Abdillah al-Ḥāfiẓ, ia juga
mendapatkan cerita tersebut dari Abū Abbās Muhammad bin Ya’kūb, Ibrāhīm bin Marzūq, Wahab bin Jarīr, dan Syu’bah dari Muhammad bin al-Munkadar. Muhammad bin al-Munkadar berkata bahwa
ia telah mendengar Jābir bin Abdullah berkata: Rasulullah datang kepadaku dan
aku dalam keadaan sakit maka kemudian Rasulullah berwudu’ dan memercikan air
wudu’nya kepadaku. Kemudia Jābir berkata: ....... kemudian turun ayat tentang
waris. Lihat: Abu Bakar Muhammad al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir
(ttp.: Maktab al-Mukarram, t.t), I: 564, Bāb fī al-Kalālah. Lihat pula: Abu
Bakar al-Jaṣṣaṣ, Ahkām al-Qur’an (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Arabi, t.t), II: 126.
Dengan redaksi yang berbeda, hadis ini juga diriwayatkan oleh imam Ahmad, asy-Syaikhāni (Bukhari dan Muslim), aṣhāb as-sunan dan lainnya
dari Jābir bin Abdullah. Lihat: Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’ān al-Hakim aṣ-Ṣahir bi Tafsir al-Manar, cet. ke-2 (Bairut: Dār
al-Ma’rifa, t.t),VI: 103. Riwayat Bukhari lihat: Sa’id Ḥawā, Al-Asās fī
at-Tafsir, cet. ke-2 (ttp.: Dār as-Salām, 1989), II: 1262.
[32] Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab, alih
bahasa: M. Abdul Mujieb, dkk., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta), hlm.
330. Dalam banyak riwayat dikatakan bahwa Umar mengalami kegelisahan ketika
memakanai kata kalālah. Beliau menanyakan hal ini kepada Rasulullah,
namun tidak mendapatkan jawaban yang tegas. Menurut Rasulullah, redaksi dalam
ayat 176 itu telah memadai. Lihat: al-Jaṣṣaṣ, Ahkām al-Qur’an..., II:127-8
[33] Muhammad Rasyid Riḍa, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm al-Masyhūr bi Tafsīr
al-Manār (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), IV: 345; dalam redaksi
yang berbeda hadis ini terdapat dalam Abu Muhammad ad-Dārimi, Sunan
ad-Dārimi (Bairut: Dār al-Fikr, t.t) II: 365-6
[34] Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar..., hlm. 330-1
[39] Abū Jayib, al-Qāmūs al-Fiqhiyyah..., hlm. 324
[40] David S.
Power, Studies in Qur’an and Hadis: The Formation of the Islamic Law of
Inhetitance (Barkeley: University of California Press, 1986), hlm. 39-40;
idem, “The Islamic Law of Inheritance Reconsidered: a New Reading of Q. 4:12B”,
dalam Studia Islamica No. 1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P
Maisonneuve-Larose, 1982), XXVIII: 82
[41] Dalam hal ini, penulis sepakat dengan argumentasi Ahmad Hasan yang menolak
pendapat Joshep Schacht bahwa tradisi qiyas diadopsi dari tradisi
Yahudi, hiqqish, dengan menggunakan analogi berdasarkan adanya
sifat-sifat penting yang sama-sama terdapat dalam kasus patokan maupun kasus
istilahnya yang disejajarkan. Lihat: Joseph Scacht, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950), hlm. 99. Model pemahaman orientalis seperti ini cenderung sering digunakan untuk
menunjukan adanya kesinambungan antara tradisi Islam dan tradisi agama
sebelumnya. Ada dua alasan penolakan yang diajukan oleh Hasan: pertama, metode filologi memiliki keterbatasan dan kekurangan
dalam menyingkapi asal-usul dan sumber pranata fiqh. Kedua, secara
sosiologis masyarakat menciptakan prinsip-prinsip dan pranata-pranata sendiri
menurut kebutuhan dan tidak selalu harus meminjam dari peradaban asing. Lihat:
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the
Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution,
1994), 96-7. Tidak hanya fikih, tentunya, al-Qur’an juga menciptakan
pranata tersendiri dalam membangun pradaban Islam. Motode filologi ini banyak
digunakan orientalis untuk melihat keseluruha pranata Islam. Misalnya Wegner
melacak empat sumber dalam Islam yang semuanya dipengaruhi oleh Talmud. Term
al-Qur’an memiliki persamaan dengan miqrā dalam tradisi Yahudi dan qeryānā
dalam tradisi Kristen baik dari segi linguistik maupun konseptual; term sunnah
dekat dengan makan miṡnāh (an early codification of the rules of the Jewish
oral law); ijma’ memilik kedekatan dengan makan the Hā-Kol Consensus of
the Gemara; dan qiyas memiliki persamaan dengan Heqqẽṡ. Lihat:
Judith Romney Wegner, “ Islamic and Talmudic Jurisprudence: the Four Roots of
Islamic Law and Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of
Legal History, vol. XXVI (1982), hlm. 30-49.
[42] Dengan
pengartian yang berbeda, cara penerjemahan yang dilakukan oleh Power ini juga
penulis temukan dalam komentar Khalid Zaheer. Ia tidak sepakat dengan pengertian kalālah yang dikemukakan ulama selama ini. Dengan mengikuti cara terjemahan Javed
Aham Ghamidi, ia cenderung menerjemahkan dengan ahli waris selain orang tua,
anak, dan pasangan. Jadi, kalālah itu boleh jadi saudara, paman, bibi
atau yang lain “yang ditunjuk” oleh pewaris sebagai ahli warisnya. Komentar ini
terdapat pada: “Kalalah in the Qur’anic Law of Inheritance”, dalam http://www.khalidzaheer.com/qa/61,
akses 3 Maret 2008.
[43] Dalam
catatan kaki, Power menunjukan satu riwayat panjang yang menjelaskan bahwa ada
kemungkinan penggunaan kalālah dengan makna menantu
perempuan. Kitab al-Mughānī meneceritakan kisah cinta seorang penyair Qais bin Ẓarih dengan
Lubna binti al-Hubab al-Ka’biyah. Cinta keduanya ditentang oleh kedua orang tuanya walaupun pada
akhirnya mereka menikah. Dalam cerita tersebut dijelaskan bahwa Qais jatuh
sakit padahal ia tidak memiliki anak. Dengan alasan kemandulan inilah ibu Qais
berusaha mendepak Lubna dari keluarganya dan ia berkata pada suaminya “saya
khwatir bahwa Qais akan meninggal tanpa keturnan, karena wanita ini mandul.
Engkau adalah orang yang kaya sehingga (jika Qais mati) kekayaanmu akan berlih
kepada kalālah....” menurut power seharusnya kalālah di sini
merujuk pada Lubab karena tidak mungkin ia merujuk pada orang mati yang tidak
meninggalkan bapak dan anak. Power, Studies in Qur’an and Hadis…, hlm.
41. Namun, argumentasi Power ini masih bias dibantah dengan kenyataan bahwa
bisa saja yang dikhwatirkan adalah harta kekayaan orang tua Qais diwariskan
oleh saudara laki-laki orang tuanya. Kemudian dalam
cerita tersebut dijelaskan adanya peran al-Husein, cucu Rasulullah. Artinya
terjadinya peristiwa itu jauh setelah terbentuknya makna kalālah yang dipahami oleh masyarakat Islam sehingga kemungkinan
makna yang diinginkan oleh ibu Qais adalah kekhawatiran harta suaminya jatuh
ketangan saudara-saudara suaminya sedangkan Qais tidak mempunyai anak sebagai
pewaris pengganti.
[44] Riwayat yang dimaksud adalah riwayat Umar bin Khattab
yang mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu yang aku tanyakan kepada
Rasulullah sesering al-kalālah, sampai-sampai beliau menyodok dada(ku)
dan berkata: ayat musim panas yang ada di akhir suat an-Nisa’ sudah cukup
bagimu”. Hadis ini diriwayatkan dari
Ya’kub dari Ibn ‘Ulayyah dari Sa’id bin abi ‘Aruabah dari Qatadah dari Salim
bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan bin Abi Talhah dari Umar bin Khatab. Dalam redaksi
yang berbeda diriwayatkan pula Ibrahim bin Sa’id al-Jauhiri dari Abdullah bin
Bakr as-Sahmi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari Mu’dan
dari Umar. Dalam redaksi yang berbeda diriwayatkan pula dari Muhammad bin
Basysyar dari Ibn ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari Salim bin Abi al-Ja’d dari
Mu’dan bin Abi Talhah. Riwayat ini bahwa ia mengetahui Umar bin Khatab
berkhutbah pada hari jum’at yang menceritakan perihal dirinya tersebut. Lihat: aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan..., IV: 59
[45] Sebagian ulama memahami ayat 12 surat an-Nisa’ secara terpisah. Bagian
ayat yang berbicara tentang kalālah tidak dikaitkan dengan ayat
sebelumnya yang berbicara tentang bagian pasangan. Hal ini juga dilakukan Power
yang kemudian ia membagi ayat tersebut dengan dua katogori, yaitu 12a dan 12b. Power, Studies
in Qur’an and Hadis:…, hlm. 22; idem, “The Islamic Law of Inheritance…,
hlm. 61
[46] Imam asy-syafi’i, misalnya, menerjemahkan lafaz walad dalam ayat ini
adalah anak laki-laki, bukan anak perempuan. lihat: Imām al-Baihaqī, Ma’arif
Sunnan wa al-Aṡār ‘an al-Imam asy-Syāfi’i, cet. Ke-1 (Beirut: Dār
al-‘ilmiyyah, 1991), hlm. 58
[47] Munasabah secara bahasa berarti
nusyakal dan muqaran. Artinya saling menyerupai atau mendekati,
sedangkan secara istilahan berarti merujuk pada makana yang berkaitan antara
baik ayat-ayat umum atau khusus, rasional, sensible, imajinatif dan dari
macam-macam hubungan lainnya atau keterkaitan internal seperti sebab akibat, ‘illat
dan ma’lil, dua hal yang sama, dua hal yang bertentangan dan sebagainya.
As-Suyuṭi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (ttp.: Dār al-Fikr, t.t) II: 108.
Dalam beberapa pembagian munasabah, ditemukan bentuk munasabah
yang sesuai untuk pembacaan ayat kalālah pertama, yaitu munasabah
antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat, atau juga munasabah antar
ayat dengan ayat dalam satu surat. Lebih lanjut tentang munasabah ini secara
panjang diuraikan Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 192-8
[48] Pembacaan ini didasari pada qira’at Sa’ad. Aṭ-Ṭabari mencatat setidak-tidaknya ada enam riwayat yang dijadikan pijakan.
Empat riwayat bersumber dari al-Qāsim bin Rabi’ah, Satu dari
Qatādah, dan satu lagi dari as-Sadyu. aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan…, III: 194
[50] Ulama’ bersepakat bahwa ayat kalālah kedua berbicara tentang
saudara sekandung atau sebapak. Sedangkan saudara seibu telah dijelaskan dalam
ayat sebelumnya pada kalālah pertama. Keterangan ini diperkuat oleh
pendapat Abu Bakar dalam khutbahnya. Ia menegaskan bahwa sesungguhnya ayat yang
diturunkan Allah dalam surat an-Nisa’ tentang faraiḍ, pertama adalah ketentuan bagi anak dan orang tua, kedua ketentuan bagi
suami atau istri dan saudara seibu. Dan ayat yang mengakhiri ketentuan waris
dalam surat an-nisa’ diturunkan ketentuan bagian saudara dan saudari sekandung,
atau sebapak. Dan ayat yang terakhir surat al-Anfal menetapkan ketentuan ulil
arham. Wahbah az-Zuhayli, at-Tafsir al-Munir: fī al-Aqidah wa
asy-Syari’ah wa al-Manhaj (Bairut: Dār al-Fikr, 1991), III: 56
[51] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Vol.2 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), hlm. 655
[53] Dengan rentetan terakhir dari pembicaraan al-Qur’an tentang ahli waris
maka kita dapat melihat bentuk keluarga apa yang dinginkan al-Qur’an.
Sebagaimana yang dikemukakan Isma’il Faruqi dan Lamya bahwa bentuk keluarga
yang dikehendaki dalam Islam adalah extended family. Lihat: Ismail L.
Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang, alih bahasa: Ilyas Hasan, cet. Ke-3 (Bandung: Mizan,
2001), hlm. 184. Namun, pendapat ini perlu dikaji ulang. Ada tiga bentuk
keluarga sepanjang sejarah keluarga, yaitu keluarga bati (nucleur family)
yang merupakan suatu satuan kekerabatan yang terdiri atas suami dan istri dan
keturunan langsung, keluarga luas (extended family) yang merupakan suatu
kelompok kekerabatan yang terdiri atas sejumlah kelompok keluarga bati yang
membentuk satu keluarga yang merupakan satu kesatuan sosial, dan persekutuan
kelompok keturunan (corporate descent group) yang merupakan ikatan
kekerabatan yang diperluas menjadi persekutuan kelompok keturunan yang lebih
besar. Nasruddin Umar, Argumen Kesetaraab Jender Perspektif al-Qur’an (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 124. Berdasarkan ketiga bentuk keluarga ini, maka dalam
Islam yang memiliki hak untuk mewarisi secara langsung disebutkan al-Qur’an
adalah anak, orang tua dan saudara jika tidak ada anak, merpakan bentuk
keluarga inti yang diperluas atau lebih tepatnya bentuk keluarga inti terbuka,
dimana ketika ada anak sebagai ahli waris semisal saudara tidak berhak mewarisi
termasuk juga kakek dari pewaris. Sedangkan jika anak tidak ada maka sistem
kekeluargaan menjadi terbuka karena saudara bisa mewarisi, bahkan dalam kondisi
tidak ada bapak, kakek juga bisa mewarisi.
[54] Istilah ahli waris primer dan sekunder ini dipinjam dari N.J.Coulson dan
ini akan dijadikan teori klasifikasi ahli waris. Lihat: Coulson, Succession
in the Family Law, (Cambrige: The University Press, 1971), hlm. 38-9;
Power, “The Islamic Law of Inheritance…, hlm. 98-101
[56] Lihat
misalnya dalam versi Inodesia al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema
risalah Press, tt.) atau dalam versi Inggris Abu Yusuf Ali, The Holy Qur’an:
Text, Translation and Commentary (Dār, al-Arabia, 1968); Muhmmad Baqir
Behbudi and Colin Turner, The Qur’an New Interpretation (Inggris: Curzon
Press, 1997)
[57] al-Mukhtar, Aḍwā’ al-Bayān..., I: 275-6; Tentang
kedudukan lafaz kalālah ini juga ddapat dilihat dalam: Abī al-Baqā’ Abdullah
bin al-Ḥusain al-‘Ukbarī, tahqiq: Muḥammad al-Bajāwī (ttp.: ‘Īsā al-bābī al-ḥalbī wa Syarakāt, t.t), hlm. 336; bandingkan dengan Bajat Abdul Waḥid Ṣaliḥ, Al-‘Irab
al-Mufaṣṣal li Kitabillah al-Murattal (‘Amman: Dār al-Fikr
li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1998), II: 244
[58] aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan…, III: 193;
Power, “The Islamic Law of Inheritance…, hlm. 63-4; idem, Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 23-4
[60] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan (Jakarta:
Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002), hlm. 44
[62] Ahmad Amin, Fadjar Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 295
[63] Q.S. an-Nisa’ (4): 2
[64] al-Baihaqi, Kitāb as-Sunnan as-Saghir..., I: 564; al-Jaṣṣaṣ, Ahkām al-Qur’ān..., II:
126. Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an..., VI: 103; Sa’id Ḥawā, Al-Asās fī
at-Tafsir...,, II: 1262.
[65] Abi al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-Nisaburi, Asbāb an-Nuzul
(Beirut: Dār al-Fikr, 1991), hlm. 95-96; aṭ-Ṭabari, Jami’ al-Bayan…,III: 185; Abdul ‘Azim
Ma’ani dan Ahmad Ghandur, Ahkām min al-Qur’ān wa ala Sunnah: Lughat,
Ijtima’, Tasyri’ (ttp.: Dār al-Ma’rifat, 1967), hlm. 132; Abū ‘Īsā muḥammad at-Tirmiżī, al-Jāmi’ al-Ṣaḥiḥ, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), IV: 361; Abū Dāwūd Sulaymān ibn al-Aṣ’aṭ as-Sajastānī, Sunan Abī Dāwūd, cet.I (Mesor: Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1952), II: 109
[66] Amina
Wadud, Qur’an and Women: Reading the Sacred Text from a Woman’s Perspective
(Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 30
[68] Ahmad
Amin, Fadjar Islam…, hlm. 296
[70] Mircea
Eliade, The Ensiclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mc Millan
Publising Company, t.t.), hlm. 450
[71] Jamāl
ad-Dīn al-Qāsimī, Mahāsin at-Ta’wil, cet.II (Beirut: Dār al-Fikr, 1978),
V: 42
[72] Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies (Canbridge: Canbridge University
Press, 1988), hlm. 13-4
[73] W.
Montgomery Watt, Islamic Political Thaought (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1990), hlm. 7-8
[74] Martha
Mundy, “The Family, Inheritance and Islam: A Re-examination of the Sociology of
Fara’id Law,” dalam Aziz Azmeh (ed.), Islamic Law: social and Historical
Contexts (London dan New York: Routledge, 1988), hlm. 2. Karakter lain
dikemukakan Ḥamuddah ‘Abd al-Aṭi, The Family Stucture in Islam
(Indiana: Islamic Book Service, 1977), hlm. 8-9
[75] John L.
Espositpo and Natana J. Delong-Bas, Women in Muslim Family Law, second
edition (Syracuse: Syracus University Press, 2001), hlm. 37
[76] Power, Studies
in Qur’an and Hadiś…, hlm. 15-6
[77] W.
Robertson Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia (Netherlands:
Anthropological publication, 1966) hlm. 120
[78] Barbara
F.Stowasser, “The Status of Women in Early Islam”, dalam Freza Hussein (ed.), Muslim
Women (London: Croom Helm, 1983), hlm. 14-5
[79] Nawal El
Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, alih bahasa: Azhariyah (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm.54-5. Tentang munculnya system patriarkhal yang
beranjak dari sistem material secara positif dan beberapa faktor penyebabnya
dibahas secara menarik dalam evolusi keluarga oleh Muhammad Syaḥrūr dalam Tirani Islam: Geneologi
Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus
Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis, 2003), hlm. 21-44
[80] Saadawi,
Wajah Telanjang…, hlm. 56
[81] Q.S.
an-Nahl (16): 58-59
[82]
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis (Jakarta:
Tintamas, 1982), hlm. 11; Barakat, “The Arab Family…, hlm. 31. keluarga model
inilah yang menjadi unsure utama munculnya identitas negara dan kepemimpinan
nasional. Syaḥrūr, Tirani Islam:…, hlm. 26
[83] M.A.
Shaban, Islamic History A.D.600-750: A New Interpretation (I), cet.IX
(Canbridg: Canbridg University Press, 1971), hlm. 8
[84]
Washington Irving, Life of Mohamet (London: J. M. Dent & Son Ltd.,
1949), hlm. 13-4
[85] Mustafa Muhammad Ali Khan, Islamic Law of Inheritance: A New Approach
(New Delhi: Kitab Bhavana, 1989), hlm. 8; Sayed Ameer Ali, Muhammadan Law,
vol 2 (New Delhi: Kitab Bhavana, 1986), hlm. 42
[86] Tiga cara ini pada dasarnya diklasifikasikan menjadi dua saja, yaitu nasab
dan sabab, sebagaimana keteranga Abu Bakr ketika menjelaskan kewarisan
pada masa Jahiliyyah. Lihat: al-Jaṣṣaṣ, Ahkām al-Qur’ān..., hlm. 109
[87] Ahmad Musṭafa al-Marāghī, Tafsir al-Marāghī (ttp.: Matba’ah Musṭafa al-Babīy al-Halabi, 1974), V:
39-40; Ali Khan, Islamic Law..., hlm. 8
[88] ‘Abd
al-Aṭi, The Family
Stucture…, hlm. 250-1; Noel J.Coulson, A History of Islamic Law
(Edimburgh: The University Press, 964), hlm. 15-6
[89] Ahmad
Amin, Fadjar Islam…, hlm. 296;
dalam riwayat lain, misalnya dialami
oleh Kubaysha bint Ma’n al-Anṣārī, Fākhita
bint al-Aswad dan Malīka bint
Khārija. Lihat: Abu Ḥasan ‘Alī al-Waḥidī, Asbāb an-Nuzūl (ttp.: Dār al-Fikr, t.t), hlm.
97-8
[90]
Sekalipun perempuan dianggap godaan seksual tetapi laki-laki Arab begitu
menikmati peran seks kelas dua perempuan. Perlakuan laki-laki pra-Arab terhadap
wanita dalam masalah seksual secara baik digambarkan oleh Khalil Abd al-Karim.
Ia melacak dari sejumlah kata-kata yang digunakan masyarakat Arab untuk
menunjukan peran laki-laki yang superior dalam hubungan seks, seperti rafas
(senggama), lams (sentuhan), ityān (mendatangi), imtita’
(menunggangi), dan wat’i (menginjak). Karena bahasa merupakan wahana
yang ideal untuk mengekspresikan keadaan sosial yang bergejolak dan yang muncul
dari kehidupan masyarakat tersebut, maka bahasa tersebut merupakan refrensi dan
penjelasan yang ampuh dan jelas daripada pakaian, bangunan, tempat tinggal dan
lain sebagainnya. Khalil Abdul Karim, Relasi Gender Pada Masa Muhammad dan
Khulafaurrasyidin, Alih Bahasa: Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 15
[91] Haifa A.
Jawad, The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach (London:
Macmillan Press Ltd., 1998), hlm. 1-2
[92] Ibid.,
hlm. 1
[93] Eliade, The
Ensiclopedia…, hlm. 450
[94] John Thomas Cumming, dkk., “Islam dan Perubahan Ekonomi Moderen,” dalam
John L.Eposito (ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik,
alih bahasa A.Rahman Zainuddin (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 67
[95] Ahmad
Amin, Fadjar Islam…, hlm. 300
[96] A.A.A.
Fryzee, “The Fatimid Law of Inheritance, dalam dalam Studia Islamica No.
1-70 thn. 1953-1989 (Paris: G.P Maisonneuve-Larose, 1982), V: 65
[97] Masalah
ijtihad umar yang banyak keluar dari penuturan teks dan cenderung melihat
kondisi social dibahas secara baik oleh M. Atho Mudzar. Setidaknya ia mencatat
ada lima kasus yang cukup terkenal dan kontroversial, yaitu masalah “al-muallafah
qulūbuhum”, masalah tanah rampasan perang,
masalah dera bagi peminum keras, masalah potong tangan bagi pencuri, dan
masalah talak tiga. Lihat: Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan
Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 39-60
[98] Dahlan, et.all., Ensiklopedi…, hlm. 869
[99] Kasus lain yang diputuskan oleh sahabat dengan “mengabaikan pembagian
waris” yang Allah tetapkan seperti bakhilah, kharqa’, akdariyah
dan lain sebagainya. Penjelasan kasus-kasus ini dapat dilihat dalam Fatchur
Rahman, Ilmu Waris, cet. 2 (Bandung: al-Ma’arif, 1981), hlm.526-60
[100] Muhammad Ali ash-Shabuniy, Hukum Waris Islam, alih bahasa: Sarmin
Sakur (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), hlm. 30-1
[101] Lapidus,
A History of Islamic…, hlm. 3
[102] Teori ini kemudian dikenal dengan teori pelapisan (The Superimposition
Theory). Teori ini digagas oleh W.R.Smith dan dikembangkan W. Marḉis. Power,
Studies in Qur’an and Hadiś…, hlm. 14-17; Keyakinan seperti ini juga
ditunjukan dalam Muhammad Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia:
A Socio-Historical Approach (Jakarta: Relegious Research and Development,
and Training, 2003), hlm. 170. teori ini sudah ditolak Power dengan teori hukum
waris proto-Islam.
[103] A.A.A.
Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, cet. ke4 (London: Oxford University
Press, 1974), hlm. 381; N.J.Coulsen, Succession in the Family Law, (Cambrige:
The Cambrige University Press, 1971), hlm. 30; idem, Konflik dalam
Yuresprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila,
2001), hlm. 14; pendapat seperti inilah setidak-tidaknya sering disimpulkan
oleh para peneliti hukum Islam. Mislanya Wael B. Hallaq menyebutkan bahwa
selama beberapa dekakde sepeninggalan Nabi, ketika penguasaan kota-kota lain
sedang dilakukan, dan ketika ibu kota masih di Madinah, ada dua perangkat
prinsip dan hukum utama, yang oleh para pemimpin komunitas Muslim yang baru
muncul diberlakukan dalam kehidupan mereka, yaitu, hukum adat Arab pra-Islam
dan al-Qur’an. Lihat: A History of Islamic legal theories: am Introduction
to Sunnī Uṣūl
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 7
Slot Review - Dr.MCD
BalasHapusRead our review of a new slot from 파주 출장샵 Playtech, along with more details about the 김천 출장샵 game and 경상남도 출장샵 features, bonuses, software and 원주 출장샵 RTP. Rating: 영천 출장안마 3 · Review by Dr.MCD