Selasa, 10 November 2015

pembentukan sistem fiqh islam



PEMBENTUKAN SISTEM FIQH ISLAM
Oleh: JUANDI
Abstrak
Terbentuknya Fiqh dalam sistem Islam melalui proses panjang. Peletak dasar-dasar hukum oleh Nabi Muhammad SAW merupakan bentuk asli dari hukum Islam. Kemudian ia mengalami perkembangan di tangan imam-imam mazhab melalui teorisasi terhadap hukum Islam (fiqh). teori hukum Islam yang dibentuk ulama ini menjadi alat bantu bagi komunitas muslim dalam menjwab persoalan kontemporer. Bentuk perkembangan lanjut hukum Islam adalah terformalisasi dalam mazhab negara yang terkadang lebih fleksibel dari ketentuan asli hukum Islam.
Kata Kunci: Fiqh, keaslian, perubahan, perkembangan

The formation of Fiqh in the Islamic system through a long process . Laying the foundations of law by the Prophet Muhammad is the original form of Islamic law . Then it has developed in the hands of priests schools (Mazhab) through theorization of Islamic law ( fiqh ). Islamic legal theory that these scholars formed an invaluable tool for the Muslim community in addressing contemporary issues . Further development of the forms of Islamic law is formalized in state schools are often more flexible than the original provisions of Islamic law

Key word: Fiqh, Original, change, development,

A. Pendahuluan
Sistem, berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi. Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang berinteraksi, di mana suatu model matematika seringkali kali dibuat. Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak.[1] Dalam pengertian yang luas diartikan sebagai seperangkat hal yang secara bersama-sama membentuk suatu fungsi atau keseluruhan dari bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan. Sehingga antara sesuatu dengan sesuatu yang lain memiliki hubunga erat dan sangat sulit untuk dipisahkan.
Keterkaitan sesuatu hal dengan sesuatu hal yang lain dalam Islam memiliki signfikansi tersendiri dalam membentuk peradaban Islam. Misalnya persoalan kekhalifaan yang merupakan persoalan politik sahabat awal, pada perkembangannya sangat erat kaitannya dengan “Islamisasi” politik itu sendiri. Alhasil pada periode berikutnya muncul keyakinan bahwa persoalan kekhalifaan adalah persoalan agama itu sendiri. Tidak sekedar persoalan agama, dampak dari politik awal Islam tersebut berimbas pada lahirnya cikal bakal perdebatan keyakinan atau teologis pasca kekalahan khalifah Ali bin Abi Thalib atas Mu’awiyyah. Ibarat sebuah percikan api yang jatuh pada tumpukan sampah daun yang kering, persoalan pertikain politik pun mengalami hal yang sama. Sentimen-sentimen politik, klaim kebenaran individu atau golongan sangat cepat membakar emosi massa.
Perdebatan tentang kebenaran teologi dan saling mengkafirkan ini mulai merambah wilayah hukum. Setiap golongan mulai membuat hukum demi kepentingan golongan. Namun, dalam permasalahan hukum, jauh sebelum terjadi pertikaian politik memang sudah berkembang yaitu bagaimana para sahabat menggunakan sumber-sumber al-Qur’an, hadis dan berijtihad sendiri. Hanya saja wilayah hukum menjadi sektarian ketika terjadi perebutan otoritas sumber hukum; aqal atau naql. Namun pada akhirnya wilayah fiqh menjadi keyakinan formal.
Tidak dapat dibantahkan lagi bahwa ada hubungan yang sangat pelik antara persoalan idiologi agama dengan kesejarahan manusia pemegang idiologi itu sendiri. Antara apa yang menjadi idialisme ajaran tidak mesti dapat dipraktekan apa adanya. Keterkaitan antara agama, politik, hukum, ekonomi juga dan aspek kehidupan lainnya, pada akhirnya, membentuk peradaban dan mengalami objektivasi. Begitulah seterusnya. Dengan kata lain terdapat hubungan erat dan sulit untuk dipisahkan dalam system Islam. Hubungan ini adalah antara fikih, kalam dan tasawuf yang ketiga-tiganya tidak hanya komponen pendukung tetapi merupakan unsur penting dalam sejarah Islam, yaitu hubungan pelik antara idiologi dan sejarah peradaban manusia. Dalam tulisan ini, penulis fokuskan pada terbentuknya salah satu kompnen sistem Islam yang paling banyak dibicarakan, yaitu fiqh. Bagaimanakah terbentuknya dan seperti apa posisinya dalam system Islam?. Maka wajar bila pada akhirnya banyak sekali bermunculan para peneliti dari kalangan Islam maupun diluarnya (the others) mencoba meneliti tentang agama Islam itu sendiri. Signifikan tulisan ini adalah menganalisa kemunculan system dalam Islam itu sendiri yang saling berkait kelindan satu dan yang lainnya melalui kemunculan praktek ritual, hubungan sosial, penyelenggaran negara, tradisi berfikir hingga terbentuknya mazhab Fiqh dan Ushul fiqh.
B. Praktek Ritual
Islam datang melalui kenabian Muhammad pada dasarnya adalah mengajak kembali pada ajaran moneteisme yang sudah ada sejak periode Nabi Ibrahim. Namun tujuan itu tidak hanya dalam lingkup spritual, lebih jauh lagi ia datang mengatasi persoalan sosial yang berkembang pada masyarakat Arab waktu itu. Peran Nabi berada dalam inti reformasinya yaitu aspirasi keruhanian (sebagai penyeimbang aspirasi keduniaan semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang dimanapun dan kapanpun).[2] Pengetahuan kita tentang Nabi Muhammad dan ajarannya berdasarkan pada sumber al-Qur’an dan hadis. Dari sumber-sumber tersebut kita megetahui bahwa al-Qur’an diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari usia Nabi Muhammad, sejak tahun 610 sampai 632. Dalam dua periode tersebut, periode pertama  yang dikenal dengan Makkiyyah, dimana ayat-ayat al-Qur’an mengutarakan perdebatan Nabi Muhammad dengan orang-orang Mekkah, dan periode Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah, dimana ayat-ayat al-Qur’an berisikan penyelesaian Nabi Muhammad terhadap problem politik dan sosial di Madinah dan memberikan petunjuk konkrit mengenai permasalaha ritual, moral, legal dan juga urusan politik. Tidak ditemukan adanya satu sistem keyakinan yang bersifat paket. Bahkan Nabi cenderung sebagai hakim dari pada seorang legislator, sebagai penasehat dari pada seorang teoritikus.[3] Dengan perpindahan Nabi ke Madinah, maka dimulailah peletakan dasar-dasar kehidupan hukum lebih semarak. Mulailah dilaksanakan azan (tahun 1 hijriah), puasa (tahun 2 H), zakat (tahun 2 H), salat hari raya (tahun 2 H), haji, perang (tahun 2 H), berbagai bentuk hubungan sosial, hukum keluarga, waris, sistem sosial, ekonomi, politik, kenegaraan dan sebagainya.[4]
Praktek-praktek ibadah sebagai ritual Islam seperti haji, puasa, shalat yang merupakan perhatian utama syari’at diatur secara terperinci. Walaupun pada dasarnya ibadah-ibadah ini telah ada sebelum Islam. Seperti halnya haji yang sudah berkembang sebelumnya, puasa pun jelas-jelas diperintahkan Allah sebagaimana kewajiban puasa atas orang-orang terdahulu.[5] Bentuk-bentuk ibadah ritual seperti shalat walaupun tidak dapat dipastikan praktek sebelumnya, tetapi tata cara ritual penyembahan telah berkembang sebelum Islam. Hanya saja ketika Islam datang bentuk-bentuk ritual ini mengalami perubahan-perubahan dari segi teoritis dan praktek.
Kewajiban-kewajiban ritual perseorangan dijabarkan dengan sangat terperinci dalam berbagai hadis. Adapun perselisihan dikalangan ulama mazhab fiqih biasanya hanya mengambil bentuk lahiriah dari perdebatan-perdebatan tentang perincian-perincian ritual yang didasarkan pada hadis-hadis yang bertentangan. Seperti bagaimana seharusnya meletakan tangan ketika shalat.[6] Namun bagaimana pun pada periode Rasulullah tidak mungkin ditemukan adanya perdebatan-perdebatan seputar ritual Islam, karena persoalan ibadah telah ditatapkan Allah dan langsung disampaikan Nabi kepada para shahabat. Sekalipun tidak ada kejelasan, maka shahabat langsung bertanya.
Praktek shalat yang ada sejak Nabi hingga sekarang adalah menghadap kiblat ke Masji al-Haram di Mekkah, harus dalam keadaan suci dengan melaksanakan wudu (ritual ablution), gerakan-gerakan yang telah dipraktekan Nabi yaitu takbir, ruku’, sujud dan duduk tahiyyat. Bacaan-bacaan yang harus dibaca dalam shalat seperti surat al-fatihah dan do’a-do’a pada setiap gerakan-gerakan shalat. Kegiatan shalat bagi umat Islam adalah kewajiban yang merupakan bukti keIslam seseorang.
Ritual lain yang menjadi kewajiban umat Islam adalah puasa pada bulan Ramadhan.[7] Puasa yang diajarkan dalam Islam dalam pengertian menahan diri dari lapar, haus dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga tenggelam matahari. Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam diterima sebagai waktu suci dan dari dulu hingga sekarang tidak ada yang membantah hal tersebut.
Ketika berhubungan dengan harta, ritual Islam yang diyakini dan dijalankan adalah penunaian zakat sebagai representasi dari penyucian harta. Terkecuali zakat fitra yang diwajibkan kepada setiap orang sebagai bukti penyucian diri, maka zakat harta (zakat al-maal) dibebankan kepada orang-orang yang memiliki banyak harta dengan kadar tertentu dalam waktu tertentu. Tujuan pembayaran zakat ini dijelaskan dalam al-Qur’an untuk didistribusikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk mereka yang memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.[8] Nabi mempraktekan pelaksanaan penunaian zakat ini dan juga memberikan harta zakat kepada mereka yang berhak sepanjang hidupnya. Tidak ada pertentangan dalam pelaksanaan zakat dan objek distribusinya di kalangan shahabat hingga pada masa Umar bin Khatab yang tidak mendistribusikan harta zakat kepada mereka yang masuk golongan mu’allaf yang dibujuk hatinya.
Ritual yang juga penting dalam Islam adalah haji yang mana pelaksanaanya di Baitullah yang ada di Mekkah dengan waktu yang telah ditentukan (waktu suci) pada bulan Zulhijjah dalam kalender Islam. Ibadah haji baru dapat dilaksanakan umat Islam pada masa Nabi adalah pada tahun kesepuluh Hijrah. Rangkaian ibadah haji yang dimulai dengan ihram, tawaf, sa’i, keluar menuju Arafah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, hingga melempar jumrah adalah kegiatan-kegiatan haji yang dipraktekan langsung oleh Nabi dan diikuti oleh umat Islam hingga sekarang.
Praktek-praktek ritual pada masa Nabi adalah dengan menerapkan apa yang Allah perintahkan dalam al-Qur’an dan untuk hal-hal tekhnis Nabi menjelaskannya berdasarkan petunjuk yang Allah berikan. Petunjuk itu langsung dilaksanakan Nabi dengan perbuatan atau tatacara pelaksanaan ritual disamping dengan ucapan. Inilah yang kemudian dikenal dengan hadis. Umat Islam menerima hadis sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber pelaksanaan ritual. Hingga periode Abu Bakar pelaksanaan ritual yang tergolong rukun Islam dilaksanakan tanpa ada perdebatan-perdebatan dan perselisihan. Hanya saja pada masa Umar bin Khatab penerapan secara tekstual pendistribusian zakat tidak dilakukan dengan alasan-alasan rasional.[9] Namun yang perlu dicatat bahwa sekalipun Umar menggunakan dalil rasionalnya ia tetap mengacu pada teks al-Qur’an tentang distribusi zakat dengan melakukan pemahaman mendalam dan melihat adanya pergeseran kondisi umat Islam sejak masa Nabi dan masanya. Sedangkan pada ritual-ritual lain secara pokok tidak ada perdebatan kecuali sebatas bagian-bagaian yang tidak substansial. Bagian-bagaian inilah yang terus berkembang hingga pada periode imam mazhab yaitu abad II dan III Hijriah. Setelah periode ini yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan.
Selain ritual-ritual yang diperintahkan Allah yang tercakup dalam rukun Islam, masih ada beberapa ritual yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan sangat erat kaitannya dengan ritual-ritual di atas seperti penyucian diri dengan wudhu, tayamum dan mandi wajib. Hal ini ingin menunjukan bahwa kesucian diri secara fisik maupun non fisik sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual-ritual Islam.
B.     Penyelesaian Perselisihan dalam Masyarakat dan Pengaturan Hubungan Sosial
Pada periode Nabi, terutama periode Madinah, apabila terjadi perselisihan dikalangan shahabat terkait dengan kehidupan sehari-hari selalu diselesaikan Nabi baik dengan petunjuk wahyu maupun berdasarkan ijtihadnya sendiri, yang belakangan diakui sebagai hadis Nabi dan tertuang dalam kitab-kitab hadis. Sekalipun Nabi menyelesaikan perkara-perkara yang ada pada masyarakatnya, Nabi tetap berlaku adil baik dengan umat muslim maupun non-muslim yang ada di Madinah seperti golongan Yahudi. Dalam kasus hukum qisas yang sudah berkembang sebelumnya, Allah melegalkan dan Nabi pun menjalankan hukum tersebut. Namun Islam tidak serta merta menjadi kaku dengan penerapan hukum qisas karena ada pilihan untuk berdamai dengan membayar diyat kepada pihak korban.[10] Dalam kasus yang diselesaikan Nabi dengan ijtihadnya sendiri dan kemudian Allah tidak menjelaskannya, maka ijtihad tersebut adalah hadis itu sendiri yang kemudian diyakini oleh sebagaian ulama sebagai bagian wahyu yang tidak tertulis. Logikanya adalah seandainya Nabi salah dalam melakukan ijtihad dalam menyelesaikan perkara yang terjadi pada umat, serta merta Allah akan memperingatkan atau menurunkan wahyu yang berhubungan dengan persoalan tersebut. Contoh kasus yang sangat populer di kalangan muslim adalah penyelesaian persoalan tawanan perang, diman Nabi meminta pendapat Abu Bakar dan Umar yang kemudian Nabi lebih cenderung menggunkan pendapat Abu Bakar karena nampak lebih manusiawi. Namun sebaliknya wahyu yang turun tentang perlakuan terhadap tawanan perang lebih menyetujui pendapat Umar bin Khatab.
Kebiasaan yang ada dalam masyarakat pada periode Nabi yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan misi Nabi, tidak mengalami perubahan. Sesuatu yang merupakan bagian adat dan diterima dengan baik menjadi kesepakatan yang tidak tertulis. Sehingga secara tidak langsung Nabi membolehkan kesepakatan yang berlaku tersebut, dalam perkembangan selanjutnya hal-hal yang diterima masyarakat muslim awal menjadi ijma’. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada periode Nabi ijtihad yang Nabi lakukan adalah sunnah dan kesepakatan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak dirubah Nabi pun erat kaitannya dengan sunnah juga. Pada periode shahabat, kesepakan shahabat adalah sunnah sahabat dan ijma’ shahabat yang memiliki kaitan erat dengan sunnah Nabi.
Fazlur Rahman mejelaskan hubungan ketiga sumber hukum ini yang kemudian digunakan pada peride-periode selanjutnya: [11] (1) bahwa sunnah dari kaum muslimin di masa lampau secara konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang menyatakan praktek-praktek muslim di masa lampau terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sama sekali; (2) bahwa meskipun demikian kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslimin di masa lampau tersebut sebagaian besar adalah produk dari kaum muslim itu sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah Nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4) bahwa kandungan sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersamaan adalah identik dengan ijma’. Hal ini membuktikan bahwa keseluruhan masyarakat muslim merasa amat perlu untuk menciptakan dan menghidupkan kembali sunnah Nabi, dan bahwa ijma’ adalah jaminan untuk mencapai kebenaran, yaitu untuk mencapai kesempurnaan yang bermanfaat dari kandungannya yang baru.
Dengan demikian dalam menghadapi berbagai pertikaian atau persengketaan pada periode Nabi, ketiga sumber hukum Islam yaitu sunnah, ijtihad dan ijma’ sulit dibedakan karena Nabi Muhammad memiliki peran ganda yaitu sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu disatu sisi, namun di sisi lain juga sebagai hakim yang menggunakan ijtihad dalam menyelesaikan perkara di luar ketetapan wahyu al-Qur’an.
Pada periode shahabat pun, seperti telah disinggung, masih menempatkan ketiga sumber pengetahuan dalam menyelesaikan pertikaian dan persengketaan dalam posisi yang sama. Hanya saja posisi sunnah Nabi yang berkembang menjadi sunnah sahabat dengan acuan sunnah Nabi. Inilah yang kemudian dalam istilah Fazlur Rahman disebut fase semi-formal (change) yang sebelumnya dalam periode Nabi disebut sebagai fase informal (origin), dimana hadis-hadis umumnya hanya dipergunakan untuk kasus-kasus infomal sebagai usaha untuk memberikan bimbingan dalam praktek aktual umat muslim. Pada fase pembukuan hadis-hadis Nabi, kemudian ia berkembang menjadi sebuah disiplin formal (development). [12] dengan demkian hadis sudah berdiri secara independen tanpa terikat dengan adanya ijtihad dan ijma’.
Sepanjang sejarah kenabian Muhammad dapat dipastikan bahwa Rasulullah tidak pernah menggolongkan perintah ke dalam wajib, mandub (anjuran), haram, makhruh, dan mubah sebagaimana dikemukakan dalam teori hukum yang datang kemudian.[13] Misalnya Ibn Khaldun mengemukakan bahwa juresprudensi adalah pengetahuan tentang klasifikasi hukum-hukum Allah ta’ala yang berhubungan dengan tindakan-tindaka kaum muslim mukallaf, seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Hukum-hukum ini berumber dari al-Qur’an dan sunnah dan dalil-dalil yang telah ditegakan Nabi Muhammad. Hukum-hukum yang ditarik dari dalil-dalil ini kemudian disebut ‘fiqih’, jurisprudensi.[14] Sesungguhnya penggolongan dalam katagori seperti yang dikemukakan Ibn Khaldun merupakan karya ahli hukum yang mempelajarinya dari ayat-ayat al-Qur’an, Hadis dan praktek-praktek yang dilakukan oleh para shahabat dan ummat Islam awal. Menurut ahli hukum setiap tindakan harus masuk ke dalam katagori-katagori tersebut. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan kehidupan shahabat ketika Rasulullah masih hidup. Satu-satunya “ideal” bagi mereka adalah prilaku Rasulullah. Para shahabat belajar cara-cara bersuci, shalat, praktek hajji dengan cara mengamati perbuatan Rasulullah. Tetapi mereka tidak pernah membagi bagian mana yang merupakan arkan dalam tindakan Rasulullah dan mana yang mengandung adab (sunnah). Apabila timbul kasus-kasus, hal tersebut langsung diajukan kepada Rasulullah untuk dimintai keputusannya. Dalam menghadapi keputusan tersebut, orang-orang sekitar tidak bertanya mengenai hal-hal khusus tentang hukum guna tujuan-tujuan teoritis semata. Mereka mengambil keputusan tersebut sebagai model untuk mengambil keputusan serupa dalam kasus-kasus yang serupa.[15]
Penyelesaian apabila terjadi pertikaian di kalangan umat pada periode Khulafa ar-Rasyidun dilakukan oleh shahabat yang memang memiliki pengetahuan tetang permasalahan yang mungkin dulu pernah diselesaikan Nabi. Atau juga ijtihad shahabat seperti yang terkenal adalah ijtihad Umar bin Khatab. Hingga periode-periode selanjutnya, perkara-perkara yang disengketakan diselesaikan melalui qadi-qadi atau hakim yang tersebar dibeberapa wilayah kekauasaan Islam (terutama pada periode Bani Umayyah). Wilayah kekuasaan qadi hanya terbatas pada orang-orang Islam sedangkan non-muslim tetap menggunakan institusi hukum tradisional mereka. Para qadi Islam terdahulu yang merupakan pejabat administrasi pemerintahan Bani Umayyah, dengan keputusan-keputusannya telah meletakan fondasi-fondasi dasar bagi apa yang kemudian menjadi hukum Islam.[16]
Dasar-dasar penetapan hukum yang digunakan oleh para qadi-qadi inilah kemudian menjadikan lahirnya dua mazhab hukum klasik yaitu ahl hadis di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah dan ahl ra’y di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah. Ketika tradisionalis (ahl al-hadis) sangat bergantung pada otoritas tekstual dan menolak untuk menggunakan pendapat personal, cenderung rasional, karena ketiada jelasan teks, menggunakan penalaran personal secara lebih liberal. Walaupun ahl ar-ra’y ditentang ahl al-hadis, namun mereka menetapkan bahwa hukum Syari’ah, diluar persoalan ibadah, memilki tujuan dan dapat ditemukan dalam sebab-sebab yang memberi ahli hukum dan mujtahid petunjuk untuk penyelidikan dan riset lebih lanjut.[17] Dengan demikian persoalan yang diselesaikan oleh hukum Islam awal adalah persoalan-persolan yang diperselisihkan
Joshep Schacht  pernah menyatakan bahwa legeslasi Nabi merupakan sebuah inovasi dalam konteks hukum Arab. Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Tujuannya sebagai rasul bukanlah menciptakan sebuah sistem hukum yang baru; tujuannya adalah mengajarkan kepada manusia bagimana cara berbuat, apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus dihindari agar lolos dari perhitungan di hari akhirat dan agar masuk surga. Alasan ini menurut Schacht sesuai dengan pemahaman tentang Islam pada umumnya  dan hukum Islam khsusnya, yang merupakan sebuah sistem kewajiban yang mencakup kewajiban ritual, hukum dan moral di atas pijakan yang sama dan membawa mereka di bawah otoritas agama yang sama. [18] Pernyataan ini tidak berlebihan karena sebagaian aturan-aturan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah hukum-hukum yang berkembang pada masyarakat Arab. Namun, nuansa moral dan modifikasi yang Islam berikan pada hukum-hukum tersebut adalah sesuatu yang baru.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Islam sudah berkembang luas, terutama ketika fase Bani Umayyah, situasi kekuasaan dan politik telah mendorong orang-orang muslim untuk menjabarkan segala hal melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam sebagai upaya pengaturan masyarakat. Salah satu karakteristik historis agama Islam adalah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik hingga mencapai daerah Oikpumune (istilah Yunani untuk menyebut “daerah beradab”) yang membentang dari laut Atlantik di Barat samapai Gurun Ghobi di Timur.[19] Semua pencapaian yang luar biasa tersebut dibangaun atas dasar agama dan gagasan-gagasan baru yang dengan khas menggabungkan antara keimanan dengan kekuasaan politik. Kemudian umat Islam mengatur sebuah masyarakat besar yang telah mereka kuasai dengan sebuah rencana baru yang sebagiannya telah dibentuk dan sebagian lain disusun kemudian hari sesuai dengan perkembangan zaman.[20] Kemudian hukum Islam muncul dan berkembang dengan latar belakang politik dan administrasi yang bervariasi.
Pemerintahan dinasti Umayyah (41-132 H/661-750 M) mulai membangun kerangka kerja sebuah masyarakat muslim Arab yang dalam masyarakat ini sebuah kekuasaan peradilan (yuresprudensi) baru hukum Islam tercipta. Ketika kekuasaan bani Umayyah digantikan oleh kekuasaan Abbasiyyah, upaya untuk menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya hukum negara telah dilakukan. Keberhasilan mereka sampai pada tingkatan pembentukan ikatan kuat kepada para hakim (qadi) terhadap “hukum suci”, namun di satu sisi kegagalannya adalah dalam pencapaian integrasi yang permanen antara teori dan praktek, antara kekuasaan politik dan hukum Islam. Di sinilah kemudian terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan hukum Islam.[21] Padahal pada periode Nabi dan khulafah ar-Rasidun tidak kita menemukan adanya pengotakan antara wilayah kekuasaan politik dan wilayah hukum Islam.
Pada fase penyebaran Islam abad kedua yang dimulai dari imperium Umayyah, diterapkanlah praktek-praktek administrasi dan hukum yang berlaku di negara-negara yang baru di taklukan. Hukum-hukum Arab pra-Islam tetap diberlakukan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para penguasa, tetapi hukum tersebut tidak memadai untuk memecahkan berbagai persoalan pelik yang bermunculan di wilayah-wilayah provinsi baru. Persoalan tersebut kemudian dipecahkan oleh para juris dengan menggunakan hukum yang sudah berlaku pada wilayah tersebut sebelum Islam datang. Melalui praktek-praktek hakim tersebutlah materi-materi administrasi dan hukum yang berlaku masuk ke dalam sunnah Nabi.[22] Walaupun para hakim menerapkan hukum sebelumnya, tetapi orientasi moralitas tetap mengacu pada semangat Islam yaitu moral baru yang menyeluruh yang berasal dari hubungan perseorangan dengan Tuhan tetapi dipertahankan oleh pengharapan-pengharapan yang berlaku dalam kelompok secara keseluruhan dan bentuk tertentu dalam kehidupan kolektif (corporate) mereka. Ini berbeda dengan orientasi moral kehidupan pengembara Badui dan kaum pagan Badui yang menekankan pada kebanggaan individu dan kelompok, kebanggaan atas keturunan, kekayaan dan kegagahan seseorang.[23]
Dengan demikian, pada wilayah taklukan tersebut, istilah sunnah tidak hanya bermakna sunnah Nabi, tetapi juga bermakna atsar ataupun tardisi-tradisi yang berkembang di kalangan sahabat Nabi dan para pengantinya (tabi’in) dan berlaku sebagaimana adat setempat.[24] Sehingga kontrak-kontrak yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam pembentukan hukum yang diterapkan di wilayah-wilayah Islam tetap mengacu pada al-Qur’an atau Sunnah. Namun apabila di dalam kedua sumber tersebut tidak ditemukan penyelesaiannya, maka ra’yu dapat digunakan.
C.     Penyelenggaraan Negara
Walaupun sulit untuk mengatakan apakan Islam datang untuk menciptakan negara dan pemerintahan sendiri atau apakah ajaran Islam tentang pemerintahan itu sendiri, namun secara historis yang dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad semenjak hijrah ke Madinah telah menciptakan sebuah pemerintahan lokal yang benar-benar baru, yang didirikan atas pandangan kenabiannya.[25] Namun pemerintahan lokal ini cepat sekali mencapai dimensi internasional pada saat itu yang kemudian bersaing tidak hanya terhadap kaum Qurayis di Mekkah yang memusuhi Nabi, tetapi juga terhadap kekaisaran Bizantium dan Sasania.
Al-Qur’an sekalipun tidak menegaskan adanya negara Islam, tetapi secara teoritis telah memberikan aturan-aturan moral untuk membentuk masyarakat Islam, yang kemudian pada perkembangan belakangan diakui sebagai konsep kenegaraan yang paling ideal. Prinsip yang terdapat dalam Islam tersebut tidak lepas dari nilai-nilai universal yang terdapat dalam ajaran Islam. Pertama, prinsip as-syura (consultation) yang terdapat dalam surat Ali Imran (3): 159 dan asy-syura (42): 38. kedua, al-Musawa (equality) dan al-Ikha’ (brotherhood) yang mengandung arti persamaan dan persaudaraan seperti terdapat dalam surat al-Hujarat (49): 13. Ketiga, prinsip al-adalah (justice) yang mengandung arti honesty, fairness dan integrity yaitu keadilan yang harus ditegakan tanpa diskriminasi, ketulusan dan integritas seperti yang terdapat dalam surat al-Maidah (5): 8 dan al-An’am (6): 152. Prinsip keempat adalah al-Hurriyyah (freedom) yang berarti menganut kebebasan seperti terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 256. Kelima. Prinsip al-amanah (trust) yang berhubungan dengan kekeuasaan, prinsip ini merupakan sebuah amanah yang harus dipeliharaan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, seperti terdapat dalam surat an-Nisa’ (4): 58. Keenam, prinsip as-salam (peace) atau perdamaian yang terdapat dalam surat al-anfal (8): 61. Ketujuh, prinsip at-tasamuh (tolerant) yaitu prinsip saling menghormati antar sesama warga masyarakat, seperti terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 256 dan al-Kafirun (109): 6.[26] Dari ketujuh prinsip ini, Nabi pun di dalam membangun masyarakat Islam awal di Madinah mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, terkecuali pada kasus-kasus tertentu yan terkait dengan strategi politik lawan yang membahayakan perkembangan umat Islam.
Setelah wafatnya Rasulullah, perselisihan yang terjadi di kalangan shahabat bukan terkait dengan persoalan ibadah ritual, tetapi pada persoalan administrasi politik seputar kekuasaan dan harta rampasan perang atau kedua-duanya secara bersama-sama. Diantaranya adalah siapa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi. Inilah suksesi kepemimpinan pertama yang dilakukan oleh shahabat dimana Abu Bakar berhasil terpilih menjadi khalifah dengan melakukan penerapan terhadap syura dalam kerangka tribalistik. Adapun batas kualifikasi kekhalifaan tidak pernah dibicarakan mungkin juga tidak terbetik dalam hati mereka yang berunding di tsaqifah bani sa’idah yang dimotori Umar bin Khatab. Mereka menganggap bahwa hukum syara’ dan syura-lah yang menjadi pembatas kualifikasi seorang hakim. Hal ini berarti bahwa syura adalah pengganti dewan legeslatif.[27] Selanjutnya model Syura ini digunakan untuk pemilihan khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (walauapun dengan corak yang berbeda). Sedangkan khalifah Umar bin Khatab dipilih melalui wasiat khalifah pertama.
Babak baru penyelenggaraan negara dalam Islam adalah ketika khalifah Muawiyyah berhasil memenangkan pertikaiannya dengan khalifah Ali bin Abi Thalib. Suksesi kepemimpinan dalam negara kerajaan Islam (dalam bentuk empire) selanjutnya mengikuti pola-pola imperium-imperium lainnya yaitu patrimonalisme,[28] dengan dinamika politik dan sistem tata negara beralih ke sistem monarki yang benar-benar asing bagi masyarakat Arab sebelumnya. Dan sistem pemerintahan ini dipertahankan hingga runtuhnya ottoman empire yang menyeret negara-nagara bagiannya menjadi wilayah-wilayah taklukan negara-negara Eropa. Namun pada periode Muawiyyah, Marwan dan putranya, ‘Abd al-Malik serta masa-masa awal bani Abbasiyyah hingga pemerintahan ar-Rasyid dan sebagain putranya, sistem kekerajaan tetap menampilkan ciri kekhalifaan seperti preferensi terhadap agama dan mazhab-mazhabnya dan taat menjalankan jalan kebenaran. Tidak terlihat adanya perubahan kecuali dalam pengaruh kendali, yang semula dipegang otoritas agama, kemudian berubah menjadi ashabiyyah (group feeling) dan pedang. Setelah periode tersebut khalifah tinggal nama dan murni menjadi kerajaan.[29]
Bermacam-macam pola dan sistem politik yang dipraktekan pasca Nabi pada dasarnya disebabkan karena Nabi tidak pernah meninggalkan petunjuk yang jelas tentang tata cara suksesi kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang harus dilakukan. Agenda-agenda politik yang Nabi lakukan hanya dengan meberikan eksplanasi yang beragam dan dengan melakukan musyawarah dengan para sahabat. Dengan demikian, persoalan negara dan sistem politik dalam Islam adalah masalah ijtihadiyah.[30] Seandainya ini persoalan risalah, pastinya Nabi akan menyampaikannya karena ia tidak diutus untuk melalaikan penyampaian risalah.
Terlepas dari bentuk suksesi kepemimpinan di atas, penyelenggaraan kenegaraan dalam sejarah Islam dapat ditemukan adaanya pemimpin (bentuk kekhalifaan atau raja), imam shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, sistem pengadilan, sistem kepolisian,  jabatan pengawasan pasar (hisbah), sistem keuangan dan perpajakan, adanya departemen surat-menyurat resmi dan tulis menulis, departeman angkatan laut, atribut kenegaraan, dan sebagainya. Berbagai sistem yang terdapat dalam pemerintahan Islam tersebut sangat erat hubungannya dengan hukum agama.[31]
D.   Imam-Imam dan Mazhab-Mazhab dalam Fiqh
Terbentuknya fikih dalam Islam merupakan upaya para ulama untuk membuat aturan hukum yang dapat digunakan sebagai pedoman hidup muslim. Hal ini didasarkan pada kenyataan banyaknya terdapat ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an di satu sisi dan keinginan untuk menjalankan aturan tersebut di sisi lain,[32] yaitu keaslian hukum dan kepraktisannya. Pada prinsipnya, al-Qur’an diturunkan hanyalah untuk memperbaiki hal ikhwl manusia. Oleh karena itu, turunlah aturan-aturan yang berisi perintah dan larangan (al-A’raf [7]: 157). Dasar penurunan aturan ini yang kemudian dikembangkan menjadi fikih ada 3, yaitu tidak menyulitkan (al-A’raf: 156, al-Baqarah: 286, 185, al-Hajj: 78, an-Nisa’: 28, al-Maidah: 6), menyedikitkan beban (al-Maidah: 101,102), berangsur-angsur dalam membina hukum (al-Baqarah: 219, an-Nisa’: 43 dan al-Maidah: 90).[33]
Penetapan dan pembinaan hukum pada dasarnya dilandasi dua pokok, yaitu al-Qur’an (ayat-ayat hukum) dan as-Sunnah (sunnah yang mengandung hukum). Agaknya, dua hal inilah yang memotivasi pada fuqaha untuk membuat aturan hukum dalam Islam. Fakta yang ditemukan bahwa fikih awal sepenuhnya persoalan formulasi al-Qur’an itu sendiri.  Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’ mengenai persoalan yang mendasar disebabkan karena petunjuk al-Qur’an memiliki relevansi hukum dengan isu-isu yang diperdebatkan.[34]
Pada awalnya, fikih adalah metode  untuk menjelaskan syari’ah (nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia). Ia diterapkan secara universal dalam segala macam ilmu pengetahuan. Akan tetapi lambat laun, ketika studi Islam semangkin meluas, fikih kemudian dibatsi pada masalah-masalah keagamaan saja, [35] terutama berkenaan dengan formalisasi ibadah sebagai ukuran keimanan seseorang. Disamping praktek ritual, persoalan fikih lainnya adalah pengaturan hubungan sosial, penyelesaian persoalan masyarakat dan sebagain kecil persoalan politik.[36]
Persoalan-persoalan dalam fikih yang dibahas oleh fuqaha’ tidak hanya didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga dari ra’y atau penalaran dan ijma’ sebagai alat legitimasi pemikiran. Misalnya, imam Malik dalam Muwatta’-nya memenuhi paragraph-paragraf dengan ijtihadnya sendiri walaupun ia tidak henti-hentinya menyeruhkan “praktek yang dilakukan kaum muslim di Madinah.”[37] Karya imam Malik ini tentunya berorientasi pada pengukuhan tradisi, yaitu kumpulan dari prinsip-prinsip, arahan-arahan dan preseden yang telah disepakati yang mapan sebagai tradisi Madinah.[38] Sungguhpun demikian, umat Islam tetap menerima metodologi ini sebagai bagian dari teori legislasi hukum.
Pemikiran tentang legislasi hukum tidak hanya berkembang di Madinah, tetapi juga berkembang di Syiria, Hijaz, Irak dan Mesir. Tokoh semisal Abu Hanifah menjadi figur yang mewakili golongan ahl ra’y, sebagaimana imam Malik dikenal sebagai figur yang mewakili Ahl Hadis.[39] Kedua tokoh ini telah memberikan ide-ide pengembangan hukun yang berbeda secara metodologis hingga “dijembatani” oleh imam asy-Syafi’i. asy-Syafi’i yang menekankan pentingnya menyandarkan permasalahan hukum pada nas dan membatasi penggunaan ra’y sebatas qiyas dalam pengertian sylogisme. [40] Qiyas setelah asy-Syafi’i memuat empat unsur yang menjadi bagunannya, yaitu far’, al-ashl, al-’illat (ratio legis) yaitu alasan serupa antara asl dan far’ yang berupa sifat umum yang terdapat pada keduanya,[41] dan al-hukm yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asal ke far’ atau norma hukum yang dinisbatkan kepada kasus baru yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru karena kesamaan antara kedua kasus. Disamping itu, cara penemuan hukum diluar qiyas dapat menggunakan maslahah mursalah, istishab, istihsan, dll.
Terbentuknya mazhab dalam hukum Islam pertama kali adalah persoalan politik. Setelah terjadinya perang Ali dan Muawiyyah, kemudian terjadilah pemisahan Syi’ah dari badan utama Muslim, Sunni. Syi’ah menetapkan bahwa Ali, kemenakan dan menantu Nabi, adalah khalifah dan pemimpin yang berhak, sedangkan para pendahulunya, Abu Bakar, Umar dan Utsman, menolak Ali memiliki hak tersebut. Mazhab Syi’ah menyebarkan doktrin yang secara signifikan berbeda dengan mazhab Sunni. Perjalanan mazhab Sunni kemudian pada akhir abad ke II melahirkan pemikir-pemikir fikih yang berpengaruh hingga sekarang. Berawal dari tardisi mendapatkan sumber hukum yang berbeda yang mengkristal menjadi dua aliran hukum kelasik yaitu tekstualis dan rasionalis. Kedua aliran ini kemudian melahirkan banyak pemikir-pemikir dalam hukum. Di antar aliran hukum kelasik ini yang kita ketahui adalah aliran-aliran yang berkembang dari Kufa dan Basrah di Irak dan aliran yang berkembang di Madinah dan Mekkah di Hijaz dan Syiria.
Pada periode perkembangan fikih selanjutnya berkisar antara tahun 80-241 yang dikenal dengan fase empat imam mazhab. Fase ini menyaksikan perkembangan-perkembangan utama yang kemudian termanefestasikan dengan munculnya mazhab-mazhab hukum yang bertahan hingga sekarang: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (80-150/699-767 M) yang pada awal abad ke-16 memiliki penganut terbesar diantara semua mazhab karena diadopsi secara resmi oleh Turki Usmani. Kemudian masih bertahan di Turki, Pakistan, Jordan, Lebanon dan Afganistan.[42] Abu Hanifah membangun mazhabnya atas dasar-dasar al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Ia pernah berkata “ saya mengambil kitabullah (al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam al-Qur’an akan saya ambil dari sunnah Rasulullah dan informasi yang sahih dan populer dikalangan orang-orang yang terpercaya. Jika saya tidak mendapatkannya dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya sesuka saya dan membiarkan fatwa yang lain. Setelah itu saya tidak akan keluar dari fatwa selain mereka. Jika telah samapai pada Ibrahim, al-Syabi, Ibn Sirin, Ibn Musayab dan lainnya, saya akan berijtihad seperti mereka”. Cara-cara Abu Hanifah menjawab persoalan fikih menunjukan bahwa ia memang ahli dalam metodologi fikih (usul fikih), walaupun ia tidak pernah menulis metodologinya seperti apa yang telah dilakukan imam asy-Syafi’i.[43] Tawaran penalaran hukum Abu Hanifah adalah dengan analogi (qiyas) yang diterima umum sepanjang sejarah, namun sumber liberalnya pada opini personal dan preferensi juristik (istihsan) dikeritik oleh tradisionalis.[44] Sekalipun demikian ia memang suka dengan kebebasan berfikir dan sering kali memberikan kesempatan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap pemikirannya. Terbukti terdapat sejumlah masalah fikih yang tidak disetujui oleh Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Zufar, murid-murid dan sahabatnya.[45]
Mazhab Maliki dinisbatkan kepada imam Malik bin Anas al-Ashabi (93-197/712-795 M). Ia memimpin gerakan tradisionalis di Mekkah dan Madinah dan menyebarkan konsensus (ijma’) masyarakat Madina dan dianggap merupakan satu-satunya konsensus yang valid. Sekalipun demikian, sepanjang waktu mazhab ini memilki sejumlah doktrin penting yang inheren serba guna dan dalam banyak hal hasil hukumnya lebih terbuka dari mazhab lain. Sebagai contoh, mazhab inilah satu-satunya yang menerima hampir semua sumber dan dalil tambahan syari’ah.[46] (ijma’, qiyas, tradisi masyarakat Madinah, maslaha mursalah). Paling dominan berkembang di Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir bagian Utara, Sudan, Bahrain, dan Kuwait.
Mazhab Syafi’i dinisbatkan kepada imam Muhammad bin Idris bin ‘Abbas bin Usman bin  Syafi’ (150-204/767-820 M). Ia tumbuh dalam periode ketika sebuah kelompok tradisionalis yang sangat berkuasa telah melampaui tesis bahwa tidak ada perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh komunitas muslim yang bebas dari dukungan al-Qur’an dan cerita kenabian. Pada saat yang bersamaan kelompok ini sangat militan menentang sebuah kecenderungan yang telah mengakar dalam Islam sejak abad pertama, yaitu kecenderungan meninggalkan cerita-cerita kenabian dan menegaskan akal sebagai hakim terakhir dalam hal-hal yang tidak ditetapkan al-Qur’an.[47] Dari sinilah kemudian ia merumuskan teori hukum Islam (usul fiqh) secara lebih sistematis. Dalam argumen legal yang terperinci, ia banyak memperbaiki pemikiran pemikiran Abu Hanifah yang masih bersifat rintisan. Pada waktu bersamaan ia telah berusaha menciptakan keseluruhan hukum yang mandiri (self-contained) yang harus mengambil setiap rincian hukum dari prinsip-prinsip Islam yang tidak diperselisihkan lagi.[48] Dalam kitab ar-Risalahnya ia menulis persoalan-persoalan amar, nahi, status hadis Nabi, qiyas dan dasar fikih lainnya. Terakhir, mazhab ini banyak berkembang di Mesir bagian selatan, semenanjung Arab, Afrika Timur, Indonesia, Malaysia, palestina, Jordan dan Siria.
Sekalipun formulasi metoldologi hukum Islam yang dibangun as-Syafi terkesan mapan dan besarnya tekannya pada tradisi serta anjuran kuat pada sunnah, namun hal tersebut tidak memuaskan golongan tradisionalis yang tidak mengenal kompromi dalam perumusan hukum. Mereka memilih untuk mendasarkan pada doktrin sebanyak mungkin pada apa yang telah terbangun dalam al-Qur’an dan Hadis tanpa bergantung pada akal manusia.[49] Golongan ini adalah mazhab Hambali yang dibangun oleh imam Ahmad bin Hanbal (164-241/780-855 M). Dalam memutuskan suatu hukum dasar-dasar yang digunkannya adalah al-Qur’an dan Hadis marfu’ didahulukan, fatwa para sahabat, apabila terjadi perbedaan di kalangan sahabat Nabi yang dipilih adalah pendapat yang paling dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Hadis, hadis Mursal dan hadis do’if, qiyas digunakan setelah tidak ditemukan pendapat sahabat, terakhir apabila antara dalil-dalil tadi saling bertentangan maka ia memilih tawaqquf (dead lock).[50] Tentunya tidak hanya mazhab Hambali yang mengambil sikap tekstualis ini, karena kemudian ditemukan mazhab zahiri yang dikelolah oleh Daud az-Zahiri yang dalam puncaknya dikembangkan oleh Ibn Hazm.
Imam-imam yang memiliki pengetahuan fikih dan sekaligus usul fikih dari abad kedua hingga seterusnya tidak hanya dari golongan sunni tetapi juga dari golongan syi’ah mengembangkan keilmuan Islam tersebut. Diantara sekian banyak ulama yang pakar dalam bidang fikih dan ushul pada abad II dan III Hijriah ditemukan nama-nama sebagai berikut; abad II Hijriah: ‘Umar bin Abd al-Aziz, Ibn Syihab bin al-Auhri, Ibn Abi Laili, Abu Hanifah, Zufar bin Huzail, Qadi al-Qudad Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Abdurrahman bin Qaim. Abad III Hijriah: al-Jurjani al-Hanafi, as-Syafi’i, Bisyr al-Marisi, Ibn Sodaqah al-Hanafi, al-Nazzam, Asbaqh al-Maliki al-Misri, al-Buwaiti, Ahmad bin Hanbal, al-Muzani, Daud az-zahiri dan ‘Isma’il bin Ishaq.[51]
E.     Ushul Fiqih dan Tradisi Berfikir
Ushul fiqih dalam berbagai pengertian yang umum terdengar adalah ilmu yang berhubungan dengan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan penggalian hukum-hukum syari’ah yang amaliyah (fiqh) dari dalil-dalil yang terperinci.[52] Sehingga fokus dalam ilmu ini adalah terkait dengan metodologi penetapan hukum.
Tokoh yang tidak akan pernah dilupakan ketika membahas usul fiqh adalah imam as-Syafi’i. as-Syafi’ilah yang telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan kajian usul fiqh dalam kitab ar-Risalah-nya yang dianggap tidak hanya sebagai karya pertama yang membahas materi itu tetapi juga menjadi model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoritis berikutnya untuk mengikutinya. Namun sebelum sampai pada as-Syafi’i perlu dilacak bagaimana keberadaan ushul fiqh sebelumnya.
Sepanjang abad pertama Hijriah hampir dikatakan bahwa tidak ada kebutuhan yang mendesak terhadap usul fiqh. Hingga terjadinya perselisihan dan perbedaan pemikiran pada wilayah yang mana terjadi kebingungan dan kekeliruan dalam memahami sumber-sumber tekstual semangkin terbuka dan di situlah kemudian sangat dibutuhkan satu panduan atau pedoman yang jelasa untuk menjawab semuanya. Namun ushul fiqh itu sendiri sebelum asy-Syafi’i dikatakan sudah berkembang seperti di masa awal Islam para sahabat mendeduksi hukum fiqh dari sumber-sumbernya. Kemudian imam Abu Hanifah telah menggunakan analogi dan istihsan, sedangkan imam Malik terkenal dengan doktrin ijma, penduduk Madinah.[53] Hanya saja di tangan as-Syafi’ilah kemudian telah terjadi pensitematisan terutama terkait dengan sumber hukum Islam, disampaing metodoe qiyas yang dikemukakannya sebagai upaya menjawab kontroversi yang berkembang antara ahli ra’yu dan ahli hadis.
Sumber hukum di dalam Islam menurut teori-teori yang sudah dibuat ulama-ulama muslim sejak zaman pertengahan, ada empat yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus) dan Qiyas (penalaran analogis), yang kemudian dikatakan bahwa inilah struktur hukum Islam.[54] Untuk melihat hubungan keempatnya, sebagai perbandingan, apa yang diemukakan Aristotles mungkin dapat membantu menguraikannya. Menurut analogi ini, al-Qur’an dan Sunnah adalah prinsip materil (sumber), kegiatan penalaran analogis (qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan ijma’ adalah prinsip formalnya atau kekuatan fungsional. Dengan demikian tujuan stuktur ini untuk memungkinkan manusia dapat hidup di bawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya.[55]
Kemudian yang akan dikemukakan selanjutnya adalah konsep qiyas as-Syafi’i yang sangat erat kaitannya dengan pola-pola berfikir Aristoteles. Namun sebelumnya akan dilihat bagaimana masuknya pemikiran filsafat ke dunia Islam. Masuknya tradis berfikir Yunani ke dalam dunia Islam tidak lepas dari adanya aliran Alexanderia yang merupakan benang merah yang menghubungkan Timur dan Barat, menghubungkan peraban Yunani dengan pemikiran Timur. Hubungan ini semangkin kuat pada waktu Justanius menutup sekolah Athena pada tahun 529 M. kemudian dari sini banyak guru Athena yang melarikan diri ke berbagai madrasa Timur di Ruhha, Nasibin, Hiran dan Jundisrahpur. Madrasah-madrasah ini bersifat religius dan filosofis yang serius menggeluti ilmu-ilmu pengetahuan Yunani dan memadukan antara filsafat dan agama. Aliran ini berhasil melestarikan antologi pemikiran Yunani dan dimasukan ke dalam dunia Islam melalui jalur dari mulut ke mulut atau melalui jalur sebagaian tulisan singkat berbahasa Suryani. Kenyataan inilah yang memberikan informasi bagaimana kaum muslim pada tahun-tahun pertama abad kedua Hijriah mengenal sebagian pemikiran Yunani sebelum melakukan gerakan besar dalam penerjemahan.[56]
Masuknya gelombang Hellenisme merupakan hasil wajar dari kegiatan penerjemahan karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Puncaknya adalah ketika pada masa khalifah al-Ma’mun di Bagdad dengan mendirikan Bait al-Hikmah sebagai pusat kegiatan ilmiah yang telah menciptakan suasana subur di kalangan kaum muslim tertentu untuk berkembangnya pemikiran spekulatif. Diantara para filosof Yunani yang paling menarik bagi orang-orang muslim adalah Aristoteles. Dari dia mereka mengambil terutama metode berfikir sistematis dan rasional, yaitu al-mantiq (logika formal), di samping biologi, ilmu bumi matematis dan sebagainya. Mereka memandangnya sebagai “al-mu’allim al-awwal” (guru pertama). Dengan demikian maka Aristotelianisme menjadi bagian integral dari khazana pemikiran dalam Islam.[57]
Memang agaknya pemikiran Aristoteles ini sangat mempengaruhi logika berfikir dalam hukum Islam.[58] Dalam kajian filsafat hukum Islam, pertama yang kita temukan adalah logika berfikir fikih. Kajian usul fiqh, misalnya mengenal cara mendapatkan hukum dengan qiyas yaitu mengqiyaskan satu persoalan yang tidak ada nasnya dengan persoaln lain yang ada nasnya dengan melihat adanya persamaan illat kedua kasus tersebut.
Sekarang analogi Aristoteles tidak didasarkan, sebgaimana analogi fikih awal, pada persamaan dua benda saja, dengan bentuk amstal bukan dalam pengertian “silogisme”. Seperti yang didifinisakan dalam karyanya Nicomachean Ethics, bahwa ”analogi adalah persamaan alasan (sebab)” yang secara jelas diilustrasikan melalui proporsi ‘A=B;sama dengan C=D”, dan dalam kesempatan lain ia menjelaskan dengan statemen bahwa ketika kata “baik” disandangkan kepada “orang pandai” dan kepada “penglihatan”, ini dilakukan dengan cara “analogi” sehingga “kepandaian adalah jiwa sebagaimana penglihatan adalah tubuh”.[59]
Kembali kepada konsep qiyas sebelum fomulasi yang ditawarkan asy-Syafi’i, ternyata pengertian qiyas masih dalam bentuk yang bebas sebagai suatu penalaram yang liberal-spekulatif dan dinamis dalam menyelesaikan maslah. Qiyas dalam penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim disebut juga denga penalaran (ra’y) yang mana pada masa Rasulullah sebagai embrionya dan kemudian semakin matang pada masa Abu Hanifah.[60] Sebagai contoh Rasulullah pernah menerangkan tentang keutamaan shalat dalam sabdanya: "bagaimana pendapat kalian seandainya ada sebentang sungai di depan pintu salah seorang diantara kalian, ia mandi dari sungai itu setiap hari lima kali, apakah masi tersisa kotor?" para sahabat menjawab: "tidak" Rasulullah bersabda: "maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapus semua kesalahan (dosa kecil yang berhubungan dengan Allah ta'ala)". Dalam riwayat tersebut ada kesamaan antara seseorang yang membersikan diri dengan air (mandi) dengan seseorang yang membersihkan diri (dari dosa kecil) dengan menjalankan shalat lima waktu. Ini adalah salah satu contoh model penalaran yang terdapat dalam hadis.
Pada masa Umar bin Khatab telah tejadi penalaran awal tentang pendistribusian zakat yang tidak sesuai dengan teks al-Qur’an, di samping itu juga qiyas digunakan ahl Madinah dalam arti luas seperti imam Malik masih menggunakan kata-kata amstal, ka dan bi manzilah dalam al-Muwatta’. Dari penggunaan qiyas sebagaimana konsep awal qiyas, telah menimbulkan hukum Islam yang cukup dinamis, liberal dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini disebabkan hukum Islam tidak dibayang-bayangi teks zahir.[61] Namun di sisi lain justru terjadinya kekacauan dan keresahan bagi kepastian hukum, karena terkadang dalam satu kasus dapat berbeda ketetapan hukum di satu tempat dan di tempat lainnya, artinya tidak ada kesepakan hukum. Berlatarbelakang inilah kemudian as-Syafi’i melakukan pembatasan terhadap penggunaan penalaran dalam hukum dengan tawaran qiyasnya.[62]
Qiyas kemudian dipahami sebagi perluasan terhadap perintah-perintah al-Qur’an dan Sunnah dimana alasan atau kausalitas efektif (‘illat) dari qiyas kadang secara jelas ditunjukan dalam sumber-sumber tersebut atau kadang ditentukan dengan jalan inferensi (istinbath).[63] Namun, yang terpenting dari qiyas asy-Syafi’i adalah penalaran dengan silogisme yaitu satu bentuk penarikan konklusi secara deduktif yang tidak langsung yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan serentak.[64] Dengan demikian metode asy-Syafi’i ini bersifat sangat faktualistik yang hampir tidaak memberikan peluang sedikitpun bagi fantasi pribadi.[65] Sehingga dapat dikatakan bahwa ushul fiqh mengalami kemapanan. Selanjutnya, para ahli hukum yang menggunakan qiyas menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan syari’ah mengikuti tujuan-tujuan tertentu (maqashid) yang sejalan dengan akal. Diantara tokoh awal yang menegaskan pentingnya maqashid asy-syari’ah adalah imam al-Juwaini yang ia kaitkan dengan pembahasan ‘illat pada masalah qiyas.[66] Kemudian pemikiran ini diteruskan oleh al-Ghazali dalam kitab Shifa’ al-Ghalil-nya dan belakangan yang paling tenar mempopulerkan maqashid asy-syariah adalah imam asy-Syatibi.
Perkembangan fiqh selanjutnya adalah terbangunlah mazhab fiqh yang mana kemudian menjadi theologi dan menjadi fomal yang didukung negara atau dilarang negara. Tidak jarang pula terjadi “pertengkaran” antara para pengikut mazhab yang satu dengan mazhab hukum lainnya. “Golongan kami” atau “bukan golongan kami” adalah fenomena yang sampai sekarang masih terasa. Ada beberapa pristiwa ketegangan mazhab fiqh yang di bawah kepentingan penguasa telah mencoreng dunia keilmuan Islam diantaranya adalah pembakaran karya-karya Ibn Hazm[67] oleh penguasa Savilla (al-Mu’tadid Ibad). Selain karena faktor politik, faktor utama yang mendorong peristiwa tersebut adalah kebencian para ulama Malikiyah yang mendominasi masyarakat pada waktu itu kepada Ibn Hazm. Para ulama Malikiyah yang fanatik kepada mazhab Maliki menggerakan penguasa untuk bertindak keras terhadap Ibn Hazm. Mereka mengatakan bahwa Ibn Hazm menyerang mazhab Maliki dan mazhab imam-imam yang empat serta membawa masyarakat kepada mazhab baru.[68] Masih banyak lagi peristiwa lain hasil dari ketegangan antar mazhab yang di dukung penguasa. Selain itu larangan kepada masyarakat untuk melakukan talfiq adalah wujud nyata dari formalisasi fiqh yang sekteraian.[69]
Praktek ritual awal, penyelesaian perkara dalam masyarakat muslim awal, penyelenggaraan negara hingga muncul ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang hukum telah membentuk satu perangkat keilmuan islam yaitu fiqh. Kalau dijelaskan perkembangan evolusi fiqh; pertama, fiqh awal berasal dari komponen-komponen hukum baik yang bersifat ritual maupun sosial. Konsepnya sangat sederhana dengan mengacu pada apa yang dipraktekan nabi. Kedua, terjadinya ‘perebutan’ otoritas sumber hukum setelah  islam tersebar, kemudian masuklah filsafat di dalam kegiatan-kegiatan penemuan hukum dan di sinilah konsep-konsep usul fiqh lahir. Ketiga, fiqh dan usul fiqh menjadi disiplin keilmuan tersendiri. Namun fiqh menjadi terformalisasikan dalam bentuk mazhab dan ‘teologi negara’ sektarian. Pada perkembangan terakhir fiqh sudah mengambil tempat sebagai mazhab negara dan mulai lepas dari mazhab fiqh tertentu, seperti perumusan perudang-undangan negara yang mengakomoir pendapat ulama-ulama fiqh mazhab yang berkembang di satu negara.
Hukum Islam atau fikih memiliki kedudukan penting dalam Islam karena ia merupakan bagaian dari al-Qur’an dan bagian dari tradisi yang dibangun Nabi. Setidaknya ada dua alasan mengapa hukum memiliki posisi penting, yaitu pertama, merupakan bagian integral dari Islam itu sendiri, karena itu tidak ada aspek prilaku yang tidak diinginkan supaya dicakupi oleh aturan hukum dan hukum ini mengikat semua muslim; tidak ada otoritas untuk merubahnya. Kedua, Allah bermaksud agar semua kehidupan, keputusan, ketetapan dan perintah Nabi-Nya harus memiliki kekuatan hukum. Otoritas Nabi tidak disandarkan pada penerimaan mayarakat atau pada pembuat hukum dan sarjan, tetapi pada kehendak Allah sendiri.[70]
F.      Kesimpulan
Terbentuknya sistem dalam Islam saling berkaitan satu sama lainnya, terlebih lagi setelah masuknya unsur filsafat dalam dunia Islam. Di sinilah berbagai tradisi Islam yang diawali dengan peraktek hukum mengalami kemapan dalam penarikan-penarikan hukum ketika asy-Syafi’i telah menemukan titik temu antara pertentangan ahl hadis dan ahl ra’y. namun asy-syafi’i hanyalah salah satu komponen yang membentuk sistem fiqh Islam karena ada banyak unsur yang tergabung di dalamnya. Argumen yang ditawarkan asy-syafi’i tentang qiyas yang disinyalir terpengaruh oleh pemikran Aristoteles ternyata berkembang juga dalam wacana Mutakallimun, kemudian mempengaruhi sistem lainnya.
Dalam dataran epistemology, fikih menggunakan epistemology bayani dan sepanjang sejarah pemikiran islam sangat mendominasi. Wajar kemudian Muhammad Abed al-Jabiri menyebutkan bahwa peradaban Islam lebih tepat dikatakan sebagai peradaban fikih (hadharah al-fiqh). [] Allahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Abd Salam, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara, dalam Agus Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati, Jakarta: Serambi, 2006
Coulsen, N.J., a History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964
Denny, Frederick M., Islamic Ritual Perspectives and Theories, dalam Richad C. Martin (ed.), Approdches to Islami in Religious Studies, U.S.A: the University of Arizona Press, 1985
Depertemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: C.V. Gema Risala Press, 1993
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV. Anda utama, 1993
Eaton, Gai, Islam dan Takdir Manusia, alih bahasa: M. Khoirul Anam, Yogyakarta: Suluh Press, 2006
Ess, Josef Van, The Logical Structure of Islamic Theology, dalam Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970
Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E. Kusdaningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet.ke-2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa: Agah Garnadi, cet. Ke-3, Bandung: Pustaka, 2001
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo, 1996
Himayah, Mahmud Ali, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-Agama, alih bahasa Halid Alkaf,  Jakarta: Lentera, 2001
Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, alih bahasa: Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem. akses tanggal 6 Pebruari 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/tasawuf. akses tanggal 15 Pebruari 2007
http://media.isnet.org/Islam/Qardhawi/Fatwa/TasawufManusia.html, akses tanggal 15 Pebruari 2007.
Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadie Toha, Jakarta: Puastaka Firdaus, 2000
Jabiri, Muhammad Abid al-, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, alih bahasa: Aksin Wijaya, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Kamali, Mohammad Hasan, Sejarah Hukum Islam, dalam John L.Eposito (ed), Islam Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, alih bahasa: M.Khoiul Anam, Jakarta: Inisiasi Press
______________, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
Khadduri, Majid, War and Peace in the Law of Islam, alih bahsa: Kuswanto, Yogyakarta: Tarawang Press, 2002
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kairo: Maktabah ad-Da’wa al-Islamiyyah Stabaab al-Azhar, 1956
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Umat Islam, alih bahasa: Gufran A. Mas’adi, cet. Ke.1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Madjid, Nurcholis, Warisan Intelektuan Islam, dalam Nurcholis Madjid (ed), Khazana Intlektual Islam, cet ke-3, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
______________, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Maraghi, Abdullah Mustofa al-, Pakar-Pakar Fikih Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad,  Yogyakarta: LKPSM, 2001
Mudzhar, Muhammad Atho, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
Rahman, Fazlur, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka, 1994
_____________, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Mahyiddin, cet.ke-3, Bandung: Pustaka, 1995
Raziq, ‘Ali Abd ar-, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, alih bahasa: M. Zaid Su’di, Yogyakarta: Jendela, 2002
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Sarārah, Abd al-Latif, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-'Alamiy: Dirasat Andalusiyah, Beirut: al-Maktab al-Tijariy at-Taba'atu wa al-Nasyiru wa al-Tauzi'u, t.t
Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Jogjakarta: Islamika, 2003
Shiddieqy, T.M. Hasbi ash-, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1972
­­­______________,  Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001
Shidiq, Nourouzzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Syahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahsa: Sahiron Samsuddin dan Burhanudin, Yogyakarta: Elsaq Press, 2004
_______________, Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: Lkis, 2003
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/sistem. akses tanggal 6 Pebruari 2015
[2] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 236.
[3] Ira. M.Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, alih bahasa: Gufran A. Mas’adi, cet. Ke.1 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 31.
[4] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm. 29
[5] Al-Baqarah (2): 183.
[6] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, alih bahasa: Mulyadi Kartanegara, buku kedua (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm.136
[7] Arah kiblat adalah katagori tempat suci bagi umat islam dan begitu juga bulan Ramadhan adalah katagori waktu suci. Dalam Islam ada banyak hal-hal ritual baik yang bersifat resmi, rukun Islam, maupun yang bersifat ritual lokal yang berhubungan dengan waktu dan tempat suci. Shalat dan hajji difokuskan pada Ka’bah di Mekkah. Begitujuga shalat, puasa dan hajji memiliki rujukan waktu yang kuat. Frederick M. Denny, Islamic Ritual Perspectives and Theories, dalam Richad C. Martin (ed.), Approdches to Islamic in Religious Studies (U.S.A: the University of Arizona Press, 1985), hlm. 69
[8] At-Taubah (9): 60
[9] Ijtihad Umar bin Khatab dikupas lebih jauh oleh Atho Mudzhar dalam Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 33-67
[10] Al-Baqarah (2): 178
[11] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Mahyuddin, cet.ke-3 (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 26-27
[12] Ibid.., hlm. 45-46                                                                                            
[13] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa: Agah Garnadi, cet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 2001), hlm. 11
[14] Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadie Toha (Jakarta: Puastaka Firdaus, 2000), hlm. 564
[15] Ahmad Hasan, Pintu…, hlm. 11
[16] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo (Jogjakarta: Islamika, 2003), hlm. 41-42.
[17]Mohammad Hasan Kamali, Sejarah Hukum Islam, dalam John L.Eposito (ed), Islam Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, alih bahasa: M.Khoiul Anam (Jakarta: Inisiasi Press), hlm. 166
[18]Joseph Schacht, Pengantar…, hlm. 21
[19]Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin…, hlm. 235.
[20]Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 35.
[21] Joseph Schacht, Pengantar…, hlm. 4
[22]Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E.Kusdaningrat danAbdul Haris bin Wahid, cet.ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 19.
[23]Marshall G.S. Hodgson, The Venture…, buku pertama, hlm. 250
[24]Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, alih bahsa: Kuswanto (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), hlm. 24
[25]Marshall G.S. Hodgson, The Venture…, buku pertama, hlm. 271
[26]Abd Salam Arif, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara, dalam Agus Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 11-18
[27]Muhammad Syahrur, Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis, 2003), hlm. 172
[28]Patrimonialisme yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang memberikan hak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa diwariskan kepada keluarganya (keturunan-keturunan), sementara rakyat dipandang sebagai bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya, sehingga kekuasaan tersebut bersifat mutlak. Baca : Antony Black, Pemikiran Politik…, hlm. 50
[29]‘Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, alih bahasa: M. Zaid Su’di (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. 7-8
[30]Abd Salam Arif, Politik Islam Antara…, hlm. 39
[31]Penjelasan lebih jauh tentang masing-masing sistem penyelenggaraan kenegaraan dan kapan mulai diperkenalkan dalam islam dapat dilihat dalam Muqadimah Ibn Khaldun pada bab ketiga tentang dinasti, kerajaan, khilafah, pangkat pemerintahan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Terutama halaman 264-336
[32] Sepanjang sejaran kenabian Muhammad dapat dipastikan bahwa Rasulullah tidak pernah menggolongkan perintah ke dalam wajib, mandub (anjuran), haram, makhruh, dan mubah sebagaimana dikemukakan dalam teori hukum yang datang kemudian. Klasifikasi ini dilakukan oleh fuqaha yag mengkaji pesan-pesan al-Qur’an yang berbeda-beda, hadis nabi yang variatif, praktek shahabat dan umat islam awal. Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publisher and Distributor, 1994), 12
[33] Hudari Bik, Tarjamah Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, alih bahasa: M.Zuhri (Indonesia: Darul Ihya, 1980), 31. A. Hanafi menuliskan dua dasar lainnya, yaitu sejalan dengan kebaikan orang banyak dan adanya dasar persamaan dan keadilan. A.Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakata: Bulan Bintang, 1977)
[34] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M.Mansur, (Yogyakarta: Islamika, 2003), 332
[35] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2 (Bandung: Pustaka, 1994), 140-2
[36] Persoalan fikih ini jika dirincikan, sebagaimana yang ditulis Hasbih ash-shidiqy, terutama dikalanan sunni, akan terbagi menjadi 6 persoalan : pertama, persoalan ubudiyyah mencakup thaharah, Shalat, Jenazah, zakat, wakaf, puasa, haji, hadaya-udlhiyah-aqiqah, nazar dan sumpah, makanan, minuman, obat dan pakaian, sembelihan dan buruan. Kedua, persoalan mu’amah ‘aliyah mencakup nikah, nafkah dan hadanah, thalaq, ruju’ dan ‘iddah, wasiyat dan waris, serta perbudakan. Ketiga, persoalan maliyah mencakup jual beli, salam-shauf dan qaradh, gadai, taflis dan hajr, perdamaian, pemindahan hutang, persekutuan dan perwakilan, pengakuan, penitipan barang dan peminjaman, perampasan, suf’ah dan qismah, mudharabah, muzara’ah dan musaqah, sewa-menyewa, membuka tanah dan ji’alah, barang temuan, hibah dan hadiyah. Keempat, persoalan jinayah mencakup jinayah, hudud, shiyal dan dhaman. Kelima, persoalan qadlaiyah-imarah dan khalifah mencakup pemerintahan dan peradilan, gugatan dan persaksian. Keenam, persoalan pertahan Negara dan perperangan mencakup perang mempertahankan Negara dan agama, perpajakan. T.M.Hasbi asy-Syidiqy, Hukum-Hukum Fikih Islam: yang Berkembang dalam Kalangan Ahlus Sunnah (Jakarta: bulan bintang, 1978).
[37] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin (bandung: Pustaka, 1995), 21-2
[38] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam…, 45.                                                                        
[39] Selain dua tokoh tersebut, ada banyak ahli fikih dan ushul fikih baik dari kalangan sunni maupun syi’ah yang dikenal dalam dunia Islam terutama abad II dan III Hijriah, yaitu pada abad II ditemukan ‘Umar bin Abd al-Aziz, Ibn Syihab bin al-Auhri, Ibn Abi Laili, Zufar bin Huzail, Qadi al-Qudad Abu Yusuf, dan Abdurrahman bin Qaim, sedangkan pada abad III Hijriah: al-Jurjani al-Hanafi, Bisyr al-Marisi, Ibn Sodaqah al-Hanafi, al-Nazzam, Asbaqh al-Maliki al-Misri, al-Buwaiti, Ahmad bin Hanbal, al-Muzani, Daud az-zahiri dan ‘Isma’il bin Ishaq. Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad,  Yogyakarta: LKPSM, 2001, x
[40] Hirarki seperti ini (struktur hukum islam) diakui pertama-tama dikemukakan imam Syafi’i  dengan urutan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus), 16, N.J.Coulsen, a History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), 56-57, Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), 4-5. Untuk melihat hubungan keempatnya, sebagai perbandingan, apa yang diemukakan Aristotles mungkin dapat membantu menguraikannya. Menurut analogi ini, al-Qur’an dan Sunnah adalah prinsip materil (sumber), kegiatan penalaran analogis (qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan ijma’ adalah prinsip formalnya atau kekuatan fungsional. Dengan demikian tujuan stuktur ini untuk memungkinkan manusia dapat hidup di bawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya. Rahman, Islam…, 90
[41] Penemuan ‘illat hukum dapat dilakukan dengan dua metode yaitu sah (valid), dan dugaan (probable) (zhanniyyah atau mutawahhamah Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’ (consensus) dan nass (the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass yang eksplisit (sharih) dan implisit (ima wa tanbih). Sementara itu, metode yang kedua yang bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah (kesesuaian), syabah (keserupan), thard atau tharadi (kebersamaan atau kebetulan), dawran (perputaran), juga disebut thard wa’aks (kebersamaan dan kespesifikan) dan sabr wa taqsim (penyelidikan dan klasifikasi). Lihat: Ahmad Hasan Ahmad Hasan Analogical Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas (Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), 232, Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), 81-7
[42]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167                                             
[43]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 74
[44]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167
[45]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 75
[46]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167
[47]Hallaq, Sejarah Teori…, hlm.30
[48]Hodgson, The Venture…., buku kedua, hlm. 124
[49]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 169
[50]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 108
[51]Ibid, hlm. x
[52]Liahat misalnya: Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah ad-Da’wa al-Islamiyyah Syabaab al-Azhar, 1956), hlm.12. lihat pula: Ibn Khaldun, Muqaddimah…, hlm. 579
[53]Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm. 4-5
[54]Menurut beberapa rujukan dikatakan bahwa imam asy-Syafi’ilah yang mula-mula menyusun tingkatan hukum (struktur hukum islam) dengan urutan-urutannya yaitu al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kemdian dikemukakan maksud keempat sumber hukum tersebut, dan struktur ini disepakati oleh jumhur ulama. Lihat: Ibid., hlm.6. bandingkan dengan N.J.Coulsen, a History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm. 56-57 dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 16
[55]Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2 (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 90
[56]Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, alih bahasa: Yudian Wahyudi Asmin , cet. Ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2002(, hlm. 29
[57]Nurcholis Madjid, Warisan Intelektuan Islam, dalam Nurcholis Madjid (ed), Khazana Intlektual Islam, cet ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 23-24.
[58] Penelitian tentang masuknya logka Aristotekes ke dalam khazana pemikiran Islam telah dilakukan Josef van Ess. Menurutnya ada keterkaitan antara logika Aristoteles dengan logikan hukum islam melalui logika kalam. Namun, dalam penelitiannya disebutkan bahwa struktur logikan dalam khzana Islam tidak hanya mengakses logika Aristoteles tetapi lebih jauh lagi logika Stoik. Lihat: Josef van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J Boullata (ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill University, 1970), hlm. 32.
[59]Wolfson, The Philosophy…, hlm. 22
[60]Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), hlm. 6
[61]Ibid, hlm. 40
[62] Perumusan konsep sunnah oleh imam asy-Syafi’I merupakan salah bentuk sintesa antara dua aliran besar yang berkembang pada masanya. “The great synthesis” ini telah melahirkan dua persoalan penting dalam perkembangan teori hukum Islam, yaitu munculnya teori-teori hukum dan artikulasi  teori hukum yang fundamental, dan  munculnya formasi doktrin Mazhab. Wael B. Hallaq, The Origines and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 122
[63]Kamali, Prinsip…,hlm. 13
[64]Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 133
[65]Hodgson, The Venture…., buku kedua, hlm. 128
[66]Lihat: Muhammad Hasbi as-Sidiqy,  Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 198
[67] Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Sa'id Ibn Hazm ibn Galib ibn Şaleh ibn Sufyan ibn Yazid. Ia seorang tokoh besar intelektual muslim Spanyol yang dilahirkan di Manta Laisyam (Cordoba). Ia lahir pada hari terakhir di bulan Ramadan bertepatan pada tahun 384 H/994 M, di waktu setelah shalat subuh dan sebelum matahari terbit. Lihat: Abd al-Latif Sarārah. Lihat: Abd al-Latif Sarārah, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-'Alamiy: Dirasat Andalusiyah (Beirut: al-Maktab al-Tijariy at-Taba'atu wa al-Nasyiru wa al-Tauzi'u, t.t), hlm. 35. lihat pula: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), hlm. 391.
[68]Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-Agama, alih bahasa Halid Alkaf  (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 82. lihat pula: T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1972) I: 295
[69]Pendapat ulama yang memperbolehkan dan melarang talfiq dapat dilihat: M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 90.
[70] M. Mustafa al-Azami, On Scacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies and the Islamic Texts Society, 1996), 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar