PEMBENTUKAN
SISTEM FIQH ISLAM
Oleh: JUANDI
Abstrak
Terbentuknya Fiqh
dalam sistem Islam melalui proses panjang. Peletak dasar-dasar hukum oleh Nabi
Muhammad SAW merupakan bentuk asli dari hukum Islam. Kemudian ia mengalami
perkembangan di tangan imam-imam mazhab melalui teorisasi terhadap hukum Islam
(fiqh). teori hukum Islam yang dibentuk ulama ini menjadi alat bantu bagi
komunitas muslim dalam menjwab persoalan kontemporer. Bentuk perkembangan
lanjut hukum Islam adalah terformalisasi dalam mazhab negara yang terkadang
lebih fleksibel dari ketentuan asli hukum Islam.
Kata Kunci: Fiqh,
keaslian, perubahan, perkembangan
The formation of Fiqh in the Islamic system through
a long process . Laying the foundations of law by the Prophet Muhammad is the
original form of Islamic law . Then it has developed in the hands of priests
schools (Mazhab) through theorization of Islamic law ( fiqh ). Islamic legal
theory that these scholars formed an invaluable tool for the Muslim community
in addressing contemporary issues . Further development of the forms of Islamic
law is formalized in state schools are often more flexible than the original
provisions of Islamic law
Key word: Fiqh,
Original, change, development,
A. Pendahuluan
Sistem, berasal dari bahasa Latin
(systēma) dan bahasa Yunani (sustēma), adalah suatu
kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi,
materi
atau energi.
Istilah ini sering dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang
berinteraksi, di mana suatu model
matematika seringkali kali dibuat. Sistem juga merupakan kesatuan
bagian-bagian yang saling berhubungan yang berada dalam suatu wilayah serta
memiliki item-item penggerak.[1]
Dalam pengertian yang luas diartikan sebagai seperangkat hal yang secara
bersama-sama membentuk suatu fungsi atau keseluruhan dari bagian-bagian yang
membentuk suatu kesatuan. Sehingga antara sesuatu dengan sesuatu yang lain
memiliki hubunga erat dan sangat sulit untuk dipisahkan.
Keterkaitan sesuatu hal dengan sesuatu hal yang lain
dalam Islam memiliki signfikansi tersendiri dalam membentuk peradaban Islam.
Misalnya persoalan kekhalifaan yang merupakan persoalan politik sahabat awal,
pada perkembangannya sangat erat kaitannya dengan “Islamisasi” politik itu
sendiri. Alhasil pada periode berikutnya muncul keyakinan bahwa persoalan
kekhalifaan adalah persoalan agama itu
sendiri. Tidak sekedar persoalan agama, dampak dari politik awal Islam tersebut
berimbas pada lahirnya cikal bakal perdebatan keyakinan atau teologis pasca
kekalahan khalifah Ali bin Abi Thalib atas Mu’awiyyah. Ibarat sebuah percikan
api yang jatuh pada tumpukan sampah daun yang kering, persoalan pertikain
politik pun mengalami hal yang sama. Sentimen-sentimen politik, klaim kebenaran
individu atau golongan sangat cepat membakar emosi massa.
Perdebatan tentang kebenaran teologi dan saling
mengkafirkan ini mulai merambah wilayah hukum. Setiap golongan mulai membuat
hukum demi kepentingan golongan. Namun, dalam permasalahan hukum, jauh sebelum
terjadi pertikaian politik memang sudah berkembang yaitu bagaimana para sahabat
menggunakan sumber-sumber al-Qur’an, hadis dan berijtihad sendiri. Hanya saja
wilayah hukum menjadi sektarian ketika terjadi perebutan otoritas sumber hukum;
aqal atau naql. Namun pada akhirnya wilayah fiqh menjadi keyakinan formal.
Tidak dapat dibantahkan lagi bahwa ada hubungan yang
sangat pelik antara persoalan idiologi agama dengan kesejarahan manusia
pemegang idiologi itu sendiri. Antara apa yang menjadi idialisme ajaran tidak
mesti dapat dipraktekan apa adanya. Keterkaitan antara agama, politik, hukum,
ekonomi juga dan aspek kehidupan lainnya, pada akhirnya, membentuk peradaban
dan mengalami objektivasi. Begitulah seterusnya. Dengan
kata lain terdapat hubungan erat dan sulit untuk dipisahkan dalam system Islam.
Hubungan ini adalah antara fikih, kalam dan tasawuf yang ketiga-tiganya tidak
hanya komponen pendukung tetapi merupakan unsur penting dalam sejarah Islam,
yaitu hubungan pelik antara idiologi dan sejarah peradaban manusia. Dalam tulisan ini, penulis fokuskan pada terbentuknya
salah satu kompnen sistem Islam yang paling banyak dibicarakan, yaitu fiqh.
Bagaimanakah terbentuknya dan seperti apa posisinya dalam system Islam?. Maka
wajar bila pada akhirnya banyak sekali bermunculan para peneliti dari kalangan
Islam maupun diluarnya (the others) mencoba meneliti tentang agama Islam
itu sendiri. Signifikan tulisan ini adalah menganalisa kemunculan system dalam
Islam itu sendiri yang saling berkait kelindan satu dan yang lainnya melalui kemunculan praktek ritual, hubungan sosial,
penyelenggaran negara, tradisi berfikir hingga terbentuknya mazhab Fiqh dan
Ushul fiqh.
B. Praktek Ritual
Islam datang melalui kenabian Muhammad pada dasarnya
adalah mengajak kembali pada ajaran moneteisme yang sudah ada sejak periode
Nabi Ibrahim. Namun tujuan itu tidak hanya dalam lingkup spritual, lebih jauh
lagi ia datang mengatasi persoalan sosial yang berkembang pada masyarakat Arab
waktu itu. Peran Nabi berada dalam inti reformasinya yaitu aspirasi keruhanian
(sebagai penyeimbang aspirasi keduniaan semata) yang populis (cita-cita
keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) yang bersifat
universal (berlaku untuk semua orang dimanapun dan kapanpun).[2]
Pengetahuan kita tentang Nabi Muhammad dan ajarannya berdasarkan pada sumber
al-Qur’an dan hadis. Dari sumber-sumber tersebut kita megetahui bahwa al-Qur’an
diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari usia Nabi Muhammad, sejak tahun 610
sampai 632. Dalam dua periode tersebut, periode pertama yang dikenal dengan Makkiyyah, dimana
ayat-ayat al-Qur’an mengutarakan perdebatan Nabi Muhammad dengan orang-orang
Mekkah, dan periode Madinah yang dikenal dengan ayat-ayat Madaniyyah, dimana
ayat-ayat al-Qur’an berisikan penyelesaian Nabi Muhammad terhadap problem
politik dan sosial di Madinah dan memberikan petunjuk konkrit mengenai
permasalaha ritual, moral, legal dan juga urusan politik. Tidak ditemukan
adanya satu sistem keyakinan yang bersifat paket. Bahkan Nabi cenderung sebagai
hakim dari pada seorang legislator, sebagai penasehat dari pada seorang
teoritikus.[3]
Dengan perpindahan Nabi ke Madinah, maka dimulailah peletakan dasar-dasar
kehidupan hukum lebih semarak. Mulailah dilaksanakan azan (tahun 1 hijriah),
puasa (tahun 2 H), zakat (tahun 2 H), salat hari raya (tahun 2 H), haji, perang
(tahun 2 H), berbagai bentuk hubungan sosial, hukum keluarga, waris, sistem
sosial, ekonomi, politik, kenegaraan dan sebagainya.[4]
Praktek-praktek ibadah sebagai ritual Islam seperti
haji, puasa, shalat yang merupakan perhatian utama syari’at diatur secara
terperinci. Walaupun pada dasarnya ibadah-ibadah ini telah ada sebelum Islam.
Seperti halnya haji yang sudah berkembang sebelumnya, puasa pun jelas-jelas
diperintahkan Allah sebagaimana kewajiban puasa atas orang-orang terdahulu.[5]
Bentuk-bentuk ibadah ritual seperti shalat walaupun tidak dapat dipastikan
praktek sebelumnya, tetapi tata cara ritual penyembahan telah berkembang
sebelum Islam. Hanya saja ketika Islam datang bentuk-bentuk ritual ini
mengalami perubahan-perubahan dari segi teoritis dan praktek.
Kewajiban-kewajiban ritual perseorangan dijabarkan
dengan sangat terperinci dalam berbagai hadis. Adapun perselisihan dikalangan
ulama mazhab fiqih biasanya hanya mengambil bentuk lahiriah dari
perdebatan-perdebatan tentang perincian-perincian ritual yang didasarkan pada
hadis-hadis yang bertentangan. Seperti bagaimana seharusnya meletakan tangan
ketika shalat.[6]
Namun bagaimana pun pada periode Rasulullah tidak mungkin ditemukan adanya
perdebatan-perdebatan seputar ritual Islam, karena persoalan ibadah telah
ditatapkan Allah dan langsung disampaikan Nabi kepada para shahabat. Sekalipun
tidak ada kejelasan, maka shahabat langsung bertanya.
Praktek shalat yang ada sejak Nabi hingga sekarang
adalah menghadap kiblat ke Masji al-Haram di Mekkah, harus dalam keadaan suci
dengan melaksanakan wudu (ritual ablution), gerakan-gerakan yang telah
dipraktekan Nabi yaitu takbir, ruku’, sujud dan duduk tahiyyat.
Bacaan-bacaan yang harus dibaca dalam shalat seperti surat al-fatihah dan
do’a-do’a pada setiap gerakan-gerakan shalat. Kegiatan shalat bagi umat Islam
adalah kewajiban yang merupakan bukti keIslam seseorang.
Ritual lain yang menjadi kewajiban umat Islam adalah
puasa pada bulan Ramadhan.[7]
Puasa yang diajarkan dalam Islam dalam pengertian menahan diri dari lapar, haus
dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari mulai terbit fajar hingga
tenggelam matahari. Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam diterima
sebagai waktu suci dan dari dulu hingga sekarang tidak ada yang membantah hal
tersebut.
Ketika berhubungan dengan harta, ritual Islam yang
diyakini dan dijalankan adalah penunaian zakat sebagai representasi dari
penyucian harta. Terkecuali zakat fitra yang diwajibkan kepada setiap orang
sebagai bukti penyucian diri, maka zakat harta (zakat al-maal)
dibebankan kepada orang-orang yang memiliki banyak harta dengan kadar tertentu
dalam waktu tertentu. Tujuan pembayaran zakat ini dijelaskan dalam al-Qur’an
untuk didistribusikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk mereka yang
memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan.[8]
Nabi mempraktekan pelaksanaan penunaian zakat ini dan juga memberikan harta
zakat kepada mereka yang berhak sepanjang hidupnya. Tidak ada pertentangan
dalam pelaksanaan zakat dan objek distribusinya di kalangan shahabat hingga
pada masa Umar bin Khatab yang tidak mendistribusikan harta zakat kepada mereka
yang masuk golongan mu’allaf yang dibujuk hatinya.
Ritual yang juga penting dalam Islam adalah haji yang
mana pelaksanaanya di Baitullah yang ada di Mekkah dengan waktu yang telah
ditentukan (waktu suci) pada bulan Zulhijjah dalam kalender Islam. Ibadah haji
baru dapat dilaksanakan umat Islam pada masa Nabi adalah pada tahun kesepuluh
Hijrah. Rangkaian ibadah haji yang dimulai dengan ihram, tawaf, sa’i, keluar
menuju Arafah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, hingga melempar jumrah
adalah kegiatan-kegiatan haji yang dipraktekan langsung oleh Nabi dan diikuti
oleh umat Islam hingga sekarang.
Praktek-praktek ritual pada masa Nabi adalah dengan
menerapkan apa yang Allah perintahkan dalam al-Qur’an dan untuk hal-hal tekhnis
Nabi menjelaskannya berdasarkan petunjuk yang Allah berikan. Petunjuk itu
langsung dilaksanakan Nabi dengan perbuatan atau tatacara pelaksanaan ritual
disamping dengan ucapan. Inilah yang kemudian dikenal dengan hadis. Umat Islam
menerima hadis sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber
pelaksanaan ritual. Hingga periode Abu Bakar pelaksanaan ritual yang tergolong
rukun Islam dilaksanakan tanpa ada perdebatan-perdebatan dan perselisihan.
Hanya saja pada masa Umar bin Khatab penerapan secara tekstual pendistribusian
zakat tidak dilakukan dengan alasan-alasan rasional.[9]
Namun yang perlu dicatat bahwa sekalipun Umar menggunakan dalil rasionalnya ia
tetap mengacu pada teks al-Qur’an tentang distribusi zakat dengan melakukan
pemahaman mendalam dan melihat adanya pergeseran kondisi umat Islam sejak masa
Nabi dan masanya. Sedangkan pada ritual-ritual lain secara pokok tidak ada
perdebatan kecuali sebatas bagian-bagaian yang tidak substansial.
Bagian-bagaian inilah yang terus berkembang hingga pada periode imam mazhab
yaitu abad II dan III Hijriah. Setelah periode ini yang ada hanyalah
pengulangan-pengulangan.
Selain ritual-ritual yang diperintahkan Allah yang
tercakup dalam rukun Islam, masih ada beberapa ritual yang diperintahkan dalam
al-Qur’an dan sangat erat kaitannya dengan ritual-ritual di atas seperti
penyucian diri dengan wudhu, tayamum dan mandi wajib. Hal ini ingin menunjukan bahwa kesucian
diri secara fisik maupun non fisik sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan
ritual-ritual Islam.
B.
Penyelesaian
Perselisihan dalam Masyarakat dan Pengaturan Hubungan Sosial
Pada periode Nabi, terutama periode Madinah, apabila
terjadi perselisihan dikalangan shahabat terkait dengan kehidupan sehari-hari
selalu diselesaikan Nabi baik dengan petunjuk wahyu maupun berdasarkan
ijtihadnya sendiri, yang belakangan diakui sebagai hadis Nabi dan tertuang
dalam kitab-kitab hadis. Sekalipun Nabi menyelesaikan perkara-perkara yang ada
pada masyarakatnya, Nabi tetap berlaku adil baik dengan umat muslim maupun
non-muslim yang ada di Madinah seperti golongan Yahudi. Dalam kasus hukum qisas
yang sudah berkembang sebelumnya, Allah melegalkan dan Nabi pun menjalankan
hukum tersebut. Namun Islam tidak serta merta menjadi kaku dengan penerapan
hukum qisas karena ada pilihan untuk berdamai dengan membayar diyat kepada
pihak korban.[10]
Dalam kasus yang diselesaikan Nabi dengan ijtihadnya sendiri dan kemudian Allah
tidak menjelaskannya, maka ijtihad tersebut adalah hadis itu sendiri yang
kemudian diyakini oleh sebagaian ulama sebagai bagian wahyu yang tidak
tertulis. Logikanya adalah seandainya Nabi salah dalam melakukan ijtihad dalam
menyelesaikan perkara yang terjadi pada umat, serta merta Allah akan
memperingatkan atau menurunkan wahyu yang berhubungan dengan persoalan
tersebut. Contoh kasus yang sangat populer di kalangan muslim adalah
penyelesaian persoalan tawanan perang, diman Nabi meminta pendapat Abu Bakar
dan Umar yang kemudian Nabi lebih cenderung menggunkan pendapat Abu Bakar
karena nampak lebih manusiawi. Namun sebaliknya wahyu yang turun tentang
perlakuan terhadap tawanan perang lebih menyetujui pendapat Umar bin Khatab.
Kebiasaan yang ada dalam masyarakat pada periode Nabi
yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan misi Nabi, tidak mengalami
perubahan. Sesuatu yang merupakan bagian adat dan diterima dengan baik menjadi
kesepakatan yang tidak tertulis. Sehingga secara tidak langsung Nabi
membolehkan kesepakatan yang berlaku tersebut, dalam perkembangan selanjutnya
hal-hal yang diterima masyarakat muslim awal menjadi ijma’. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pada periode Nabi ijtihad yang Nabi lakukan adalah sunnah
dan kesepakatan yang berlaku dalam masyarakat yang tidak dirubah Nabi pun erat
kaitannya dengan sunnah juga. Pada periode shahabat, kesepakan shahabat adalah
sunnah sahabat dan ijma’ shahabat yang memiliki kaitan erat dengan sunnah Nabi.
Fazlur Rahman mejelaskan hubungan ketiga sumber hukum
ini yang kemudian digunakan pada peride-periode selanjutnya: [11]
(1) bahwa sunnah dari kaum muslimin di masa lampau secara konsepsional dan
kurang lebih secara garis besarnya berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan
pendapat yang menyatakan praktek-praktek muslim di masa lampau terpisah dari
konsep sunnah Nabi adalah salah sama sekali; (2) bahwa meskipun demikian
kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah kaum muslimin di masa lampau
tersebut sebagaian besar adalah produk dari kaum muslim itu sendiri; (3) bahwa
unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang mengalami
kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah Nabi yang
tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4) bahwa kandungan
sunnah atau sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara
bersamaan adalah identik dengan ijma’. Hal ini membuktikan bahwa keseluruhan
masyarakat muslim merasa amat perlu untuk menciptakan dan menghidupkan kembali
sunnah Nabi, dan bahwa ijma’ adalah jaminan untuk mencapai kebenaran, yaitu
untuk mencapai kesempurnaan yang bermanfaat dari kandungannya yang baru.
Dengan demikian dalam menghadapi berbagai pertikaian
atau persengketaan pada periode Nabi, ketiga sumber hukum Islam yaitu sunnah,
ijtihad dan ijma’ sulit dibedakan karena Nabi Muhammad memiliki peran ganda
yaitu sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu disatu sisi, namun di sisi lain
juga sebagai hakim yang menggunakan ijtihad dalam menyelesaikan perkara di luar
ketetapan wahyu al-Qur’an.
Pada periode shahabat pun, seperti telah disinggung,
masih menempatkan ketiga sumber pengetahuan dalam menyelesaikan pertikaian dan
persengketaan dalam posisi yang sama. Hanya saja posisi sunnah Nabi yang
berkembang menjadi sunnah sahabat dengan acuan sunnah Nabi. Inilah yang
kemudian dalam istilah Fazlur Rahman disebut fase semi-formal (change)
yang sebelumnya dalam periode Nabi disebut sebagai fase informal (origin),
dimana hadis-hadis umumnya hanya dipergunakan untuk kasus-kasus infomal sebagai
usaha untuk memberikan bimbingan dalam praktek aktual umat muslim. Pada fase
pembukuan hadis-hadis Nabi, kemudian ia berkembang menjadi sebuah disiplin
formal (development). [12]
dengan demkian hadis sudah berdiri secara independen tanpa terikat dengan
adanya ijtihad dan ijma’.
Sepanjang sejarah
kenabian Muhammad dapat dipastikan bahwa Rasulullah tidak pernah menggolongkan
perintah ke dalam wajib, mandub (anjuran), haram, makhruh,
dan mubah sebagaimana dikemukakan dalam teori hukum yang datang
kemudian.[13]
Misalnya Ibn Khaldun mengemukakan bahwa juresprudensi adalah pengetahuan
tentang klasifikasi hukum-hukum Allah ta’ala yang berhubungan dengan
tindakan-tindaka kaum muslim mukallaf, seperti wajib, haram, sunnah, makruh dan
mubah. Hukum-hukum ini berumber dari al-Qur’an dan sunnah dan dalil-dalil yang
telah ditegakan Nabi Muhammad. Hukum-hukum yang ditarik dari dalil-dalil ini
kemudian disebut ‘fiqih’, jurisprudensi.[14]
Sesungguhnya penggolongan dalam katagori seperti yang dikemukakan Ibn Khaldun
merupakan karya ahli hukum yang mempelajarinya dari ayat-ayat al-Qur’an, Hadis
dan praktek-praktek yang dilakukan oleh para shahabat dan ummat Islam awal.
Menurut ahli hukum setiap tindakan harus masuk ke dalam katagori-katagori
tersebut. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan kehidupan shahabat ketika
Rasulullah masih hidup. Satu-satunya “ideal” bagi mereka adalah prilaku
Rasulullah. Para shahabat belajar cara-cara bersuci, shalat, praktek hajji
dengan cara mengamati perbuatan Rasulullah. Tetapi mereka tidak pernah membagi
bagian mana yang merupakan arkan dalam tindakan Rasulullah dan mana yang
mengandung adab (sunnah). Apabila timbul kasus-kasus, hal tersebut langsung
diajukan kepada Rasulullah untuk dimintai keputusannya. Dalam menghadapi
keputusan tersebut, orang-orang sekitar tidak bertanya mengenai hal-hal khusus
tentang hukum guna tujuan-tujuan teoritis semata. Mereka mengambil keputusan
tersebut sebagai model untuk mengambil keputusan serupa dalam kasus-kasus yang
serupa.[15]
Penyelesaian apabila terjadi pertikaian di kalangan
umat pada periode Khulafa ar-Rasyidun dilakukan oleh shahabat yang memang
memiliki pengetahuan tetang permasalahan yang mungkin dulu pernah diselesaikan
Nabi. Atau juga ijtihad shahabat seperti yang terkenal adalah ijtihad Umar bin
Khatab. Hingga periode-periode selanjutnya, perkara-perkara yang disengketakan
diselesaikan melalui qadi-qadi atau hakim yang tersebar dibeberapa wilayah
kekauasaan Islam (terutama pada periode Bani Umayyah). Wilayah kekuasaan qadi
hanya terbatas pada orang-orang Islam sedangkan non-muslim tetap menggunakan
institusi hukum tradisional mereka. Para qadi Islam terdahulu yang merupakan
pejabat administrasi pemerintahan Bani Umayyah, dengan keputusan-keputusannya
telah meletakan fondasi-fondasi dasar bagi apa yang kemudian menjadi hukum
Islam.[16]
Dasar-dasar penetapan hukum yang digunakan oleh para
qadi-qadi inilah kemudian menjadikan lahirnya dua mazhab hukum klasik yaitu ahl
hadis di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah dan ahl ra’y di Irak dengan
pusatnya di Bashrah dan Kufah. Ketika tradisionalis (ahl al-hadis) sangat
bergantung pada otoritas tekstual dan menolak untuk menggunakan pendapat
personal, cenderung rasional, karena ketiada jelasan teks, menggunakan
penalaran personal secara lebih liberal. Walaupun ahl ar-ra’y ditentang ahl
al-hadis, namun mereka menetapkan bahwa hukum Syari’ah, diluar persoalan
ibadah, memilki tujuan dan dapat ditemukan dalam sebab-sebab yang memberi ahli
hukum dan mujtahid petunjuk untuk penyelidikan dan riset lebih lanjut.[17]
Dengan demikian persoalan yang diselesaikan oleh hukum Islam awal adalah
persoalan-persolan yang diperselisihkan
Joshep Schacht
pernah menyatakan bahwa legeslasi Nabi merupakan sebuah inovasi dalam
konteks hukum Arab. Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti
hukum adat yang sudah ada. Tujuannya sebagai rasul bukanlah menciptakan sebuah
sistem hukum yang baru; tujuannya adalah mengajarkan kepada manusia bagimana
cara berbuat, apa yang harus dikerjakan dan apa yang harus dihindari agar lolos
dari perhitungan di hari akhirat dan agar masuk surga. Alasan ini menurut
Schacht sesuai dengan pemahaman tentang Islam pada umumnya dan hukum Islam khsusnya, yang merupakan
sebuah sistem kewajiban yang mencakup kewajiban ritual, hukum dan moral di atas
pijakan yang sama dan membawa mereka di bawah otoritas agama yang sama. [18]
Pernyataan ini tidak berlebihan karena sebagaian aturan-aturan hukum yang
terdapat dalam al-Qur’an adalah hukum-hukum yang berkembang pada masyarakat
Arab. Namun, nuansa moral dan modifikasi yang Islam berikan pada hukum-hukum
tersebut adalah sesuatu yang baru.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Islam sudah
berkembang luas, terutama ketika fase Bani Umayyah, situasi kekuasaan dan
politik telah mendorong orang-orang muslim untuk menjabarkan segala hal melalui
penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam sebagai upaya pengaturan masyarakat.
Salah satu karakteristik historis agama Islam adalah kesuksesan yang cepat luar
biasa dalam ekspansi militer dan politik hingga mencapai daerah Oikpumune
(istilah Yunani untuk menyebut “daerah beradab”) yang membentang dari laut
Atlantik di Barat samapai Gurun Ghobi di Timur.[19]
Semua pencapaian yang luar biasa tersebut dibangaun atas dasar agama dan
gagasan-gagasan baru yang dengan khas menggabungkan antara keimanan dengan
kekuasaan politik. Kemudian umat Islam mengatur sebuah masyarakat besar yang
telah mereka kuasai dengan sebuah rencana baru yang sebagiannya telah dibentuk
dan sebagian lain disusun kemudian hari sesuai dengan perkembangan zaman.[20]
Kemudian hukum Islam muncul dan berkembang dengan latar belakang politik dan
administrasi yang bervariasi.
Pemerintahan dinasti Umayyah (41-132 H/661-750 M) mulai
membangun kerangka kerja sebuah masyarakat muslim Arab yang dalam masyarakat
ini sebuah kekuasaan peradilan (yuresprudensi) baru hukum Islam
tercipta. Ketika kekuasaan bani Umayyah digantikan oleh kekuasaan Abbasiyyah,
upaya untuk menjadikan hukum Islam sebagai satu-satunya hukum negara telah dilakukan. Keberhasilan mereka
sampai pada tingkatan pembentukan ikatan kuat kepada para hakim (qadi) terhadap
“hukum suci”, namun di satu sisi kegagalannya adalah dalam pencapaian integrasi
yang permanen antara teori dan praktek, antara kekuasaan politik dan hukum
Islam. Di sinilah kemudian terjadi pemisahan antara kekuasaan politik dan hukum
Islam.[21]
Padahal pada periode Nabi dan khulafah ar-Rasidun tidak kita menemukan adanya
pengotakan antara wilayah kekuasaan politik dan wilayah hukum Islam.
Pada fase penyebaran Islam abad kedua yang dimulai dari
imperium Umayyah, diterapkanlah praktek-praktek administrasi dan hukum yang
berlaku di negara-negara yang baru di taklukan. Hukum-hukum Arab pra-Islam
tetap diberlakukan berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para
penguasa, tetapi hukum tersebut tidak memadai untuk memecahkan berbagai
persoalan pelik yang bermunculan di wilayah-wilayah provinsi baru. Persoalan
tersebut kemudian dipecahkan oleh para juris dengan menggunakan hukum yang
sudah berlaku pada wilayah tersebut sebelum Islam datang. Melalui
praktek-praktek hakim tersebutlah materi-materi administrasi dan hukum yang
berlaku masuk ke dalam sunnah Nabi.[22]
Walaupun para hakim menerapkan hukum sebelumnya, tetapi orientasi moralitas
tetap mengacu pada semangat Islam yaitu moral baru yang menyeluruh yang berasal
dari hubungan perseorangan dengan Tuhan tetapi dipertahankan oleh
pengharapan-pengharapan yang berlaku dalam kelompok secara keseluruhan dan
bentuk tertentu dalam kehidupan kolektif (corporate) mereka. Ini berbeda
dengan orientasi moral kehidupan pengembara Badui dan kaum pagan Badui yang
menekankan pada kebanggaan individu dan kelompok, kebanggaan atas keturunan,
kekayaan dan kegagahan seseorang.[23]
Dengan demikian, pada wilayah taklukan tersebut,
istilah sunnah tidak hanya bermakna sunnah Nabi, tetapi juga bermakna atsar
ataupun tardisi-tradisi yang berkembang di kalangan sahabat Nabi dan para
pengantinya (tabi’in) dan berlaku sebagaimana adat setempat.[24]
Sehingga kontrak-kontrak yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan
manusia lainnya dalam pembentukan hukum yang diterapkan di wilayah-wilayah
Islam tetap mengacu pada al-Qur’an atau Sunnah. Namun apabila di dalam kedua
sumber tersebut tidak ditemukan penyelesaiannya, maka ra’yu dapat digunakan.
C.
Penyelenggaraan
Negara
Walaupun sulit untuk mengatakan apakan Islam datang
untuk menciptakan negara dan pemerintahan sendiri atau apakah ajaran Islam
tentang pemerintahan itu sendiri, namun secara historis yang dapat diketahui
bahwa Nabi Muhammad semenjak hijrah ke Madinah telah menciptakan sebuah
pemerintahan lokal yang benar-benar baru, yang didirikan atas pandangan
kenabiannya.[25]
Namun pemerintahan lokal ini cepat sekali mencapai dimensi internasional pada
saat itu yang kemudian bersaing tidak hanya terhadap kaum Qurayis di Mekkah
yang memusuhi Nabi, tetapi juga terhadap kekaisaran Bizantium dan Sasania.
Al-Qur’an sekalipun tidak menegaskan adanya negara
Islam, tetapi secara teoritis telah memberikan aturan-aturan moral untuk
membentuk masyarakat Islam, yang kemudian pada perkembangan belakangan diakui
sebagai konsep kenegaraan yang paling ideal. Prinsip yang terdapat dalam Islam
tersebut tidak lepas dari nilai-nilai universal yang terdapat dalam ajaran
Islam. Pertama, prinsip as-syura (consultation) yang
terdapat dalam surat Ali Imran (3): 159 dan asy-syura (42): 38. kedua, al-Musawa
(equality) dan al-Ikha’ (brotherhood) yang mengandung arti
persamaan dan persaudaraan seperti terdapat dalam surat al-Hujarat (49): 13. Ketiga,
prinsip al-adalah (justice) yang mengandung arti honesty,
fairness dan integrity yaitu keadilan yang harus ditegakan tanpa
diskriminasi, ketulusan dan integritas seperti yang terdapat dalam surat
al-Maidah (5): 8 dan al-An’am (6): 152. Prinsip keempat adalah al-Hurriyyah
(freedom) yang berarti menganut kebebasan seperti terdapat dalam surat
al-Baqarah (2): 256. Kelima. Prinsip al-amanah (trust)
yang berhubungan dengan kekeuasaan, prinsip ini merupakan sebuah amanah yang
harus dipeliharaan dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, seperti
terdapat dalam surat an-Nisa’ (4): 58. Keenam, prinsip as-salam (peace)
atau perdamaian yang terdapat dalam surat al-anfal (8): 61. Ketujuh,
prinsip at-tasamuh (tolerant) yaitu prinsip saling menghormati
antar sesama warga masyarakat, seperti terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 256
dan al-Kafirun (109): 6.[26]
Dari ketujuh prinsip ini, Nabi pun di dalam membangun masyarakat Islam awal di
Madinah mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, terkecuali pada kasus-kasus
tertentu yan terkait dengan strategi politik lawan yang membahayakan
perkembangan umat Islam.
Setelah wafatnya Rasulullah, perselisihan yang terjadi
di kalangan shahabat bukan terkait dengan persoalan ibadah ritual, tetapi pada
persoalan administrasi politik seputar kekuasaan dan harta rampasan perang atau
kedua-duanya secara bersama-sama. Diantaranya adalah siapa yang berhak
menggantikan kepemimpinan Nabi. Inilah suksesi kepemimpinan pertama yang
dilakukan oleh shahabat dimana Abu Bakar berhasil terpilih menjadi khalifah
dengan melakukan penerapan terhadap syura dalam kerangka tribalistik.
Adapun batas kualifikasi kekhalifaan tidak pernah dibicarakan mungkin juga
tidak terbetik dalam hati mereka yang berunding di tsaqifah bani sa’idah
yang dimotori Umar bin Khatab. Mereka menganggap bahwa hukum syara’ dan syura-lah
yang menjadi pembatas kualifikasi seorang hakim. Hal ini berarti bahwa syura
adalah pengganti dewan legeslatif.[27]
Selanjutnya model Syura ini digunakan untuk pemilihan khalifah Usman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib (walauapun dengan corak yang berbeda). Sedangkan
khalifah Umar bin Khatab dipilih melalui wasiat khalifah pertama.
Babak baru penyelenggaraan negara dalam Islam adalah
ketika khalifah Muawiyyah berhasil memenangkan pertikaiannya dengan khalifah
Ali bin Abi Thalib. Suksesi kepemimpinan dalam negara kerajaan Islam (dalam
bentuk empire) selanjutnya mengikuti pola-pola imperium-imperium lainnya yaitu
patrimonalisme,[28]
dengan dinamika politik dan sistem tata negara beralih ke sistem monarki yang
benar-benar asing bagi masyarakat Arab sebelumnya. Dan sistem pemerintahan ini
dipertahankan hingga runtuhnya ottoman empire yang menyeret
negara-nagara bagiannya menjadi wilayah-wilayah taklukan negara-negara Eropa.
Namun pada periode Muawiyyah, Marwan dan putranya, ‘Abd al-Malik serta
masa-masa awal bani Abbasiyyah hingga pemerintahan ar-Rasyid dan sebagain putranya,
sistem kekerajaan tetap menampilkan ciri kekhalifaan seperti preferensi
terhadap agama dan mazhab-mazhabnya dan taat menjalankan jalan kebenaran. Tidak
terlihat adanya perubahan kecuali dalam pengaruh kendali, yang semula dipegang
otoritas agama, kemudian berubah menjadi ashabiyyah (group feeling)
dan pedang. Setelah periode tersebut khalifah tinggal nama dan murni menjadi
kerajaan.[29]
Bermacam-macam pola dan sistem politik yang dipraktekan
pasca Nabi pada dasarnya disebabkan karena Nabi tidak pernah meninggalkan
petunjuk yang jelas tentang tata cara suksesi kepemimpinan dan sistem
pemerintahan yang harus dilakukan. Agenda-agenda politik yang Nabi lakukan
hanya dengan meberikan eksplanasi yang beragam dan dengan melakukan musyawarah
dengan para sahabat. Dengan demikian, persoalan negara dan sistem politik dalam
Islam adalah masalah ijtihadiyah.[30]
Seandainya ini persoalan risalah, pastinya Nabi akan menyampaikannya karena ia
tidak diutus untuk melalaikan penyampaian risalah.
Terlepas dari bentuk suksesi kepemimpinan di atas,
penyelenggaraan kenegaraan dalam sejarah Islam dapat ditemukan adaanya pemimpin
(bentuk kekhalifaan atau raja), imam shalat, jabatan mufti, jabatan hakim,
sistem pengadilan, sistem kepolisian,
jabatan pengawasan pasar (hisbah), sistem keuangan dan
perpajakan, adanya departemen surat-menyurat resmi dan tulis menulis,
departeman angkatan laut, atribut kenegaraan, dan sebagainya. Berbagai sistem
yang terdapat dalam pemerintahan Islam tersebut sangat erat hubungannya dengan
hukum agama.[31]
D.
Imam-Imam
dan Mazhab-Mazhab dalam Fiqh
Terbentuknya fikih dalam
Islam merupakan upaya para ulama untuk membuat aturan hukum yang dapat
digunakan sebagai pedoman hidup muslim. Hal ini didasarkan pada kenyataan
banyaknya terdapat ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an di satu sisi dan keinginan
untuk menjalankan aturan tersebut di sisi lain,[32]
yaitu keaslian hukum dan kepraktisannya. Pada prinsipnya, al-Qur’an diturunkan
hanyalah untuk memperbaiki hal ikhwl manusia. Oleh karena itu, turunlah
aturan-aturan yang berisi perintah dan larangan (al-A’raf [7]: 157). Dasar
penurunan aturan ini yang kemudian dikembangkan menjadi fikih ada 3, yaitu
tidak menyulitkan (al-A’raf: 156, al-Baqarah: 286, 185, al-Hajj: 78, an-Nisa’:
28, al-Maidah: 6), menyedikitkan beban (al-Maidah: 101,102), berangsur-angsur
dalam membina hukum (al-Baqarah: 219, an-Nisa’: 43 dan al-Maidah: 90).[33]
Penetapan dan pembinaan
hukum pada dasarnya dilandasi dua pokok, yaitu al-Qur’an (ayat-ayat hukum) dan
as-Sunnah (sunnah yang mengandung hukum). Agaknya, dua hal inilah yang
memotivasi pada fuqaha untuk membuat aturan hukum dalam Islam. Fakta yang
ditemukan bahwa fikih awal sepenuhnya persoalan formulasi al-Qur’an itu
sendiri. Perbedaan-perbedaan pendapat
dikalangan fuqaha’ mengenai persoalan yang mendasar disebabkan karena petunjuk
al-Qur’an memiliki relevansi hukum dengan isu-isu yang diperdebatkan.[34]
Pada
awalnya, fikih adalah metode untuk
menjelaskan syari’ah (nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan
dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia). Ia
diterapkan secara universal dalam segala macam ilmu pengetahuan. Akan tetapi
lambat laun, ketika studi Islam semangkin meluas, fikih kemudian dibatsi pada
masalah-masalah keagamaan saja, [35] terutama berkenaan dengan formalisasi ibadah sebagai
ukuran keimanan seseorang. Disamping praktek ritual,
persoalan fikih lainnya adalah pengaturan hubungan sosial, penyelesaian
persoalan masyarakat dan sebagain kecil persoalan politik.[36]
Persoalan-persoalan
dalam fikih yang dibahas oleh fuqaha’ tidak hanya didasarkan pada al-Qur’an dan
Sunnah, tetapi juga dari ra’y atau penalaran dan ijma’ sebagai alat legitimasi
pemikiran. Misalnya, imam Malik dalam Muwatta’-nya memenuhi
paragraph-paragraf dengan ijtihadnya sendiri walaupun ia tidak henti-hentinya
menyeruhkan “praktek yang dilakukan kaum muslim di Madinah.”[37] Karya imam Malik ini
tentunya berorientasi pada pengukuhan tradisi, yaitu kumpulan dari
prinsip-prinsip, arahan-arahan dan preseden yang telah disepakati yang mapan
sebagai tradisi Madinah.[38]
Sungguhpun demikian, umat Islam tetap menerima metodologi ini sebagai bagian
dari teori legislasi hukum.
Pemikiran tentang
legislasi hukum tidak hanya berkembang di Madinah, tetapi juga berkembang di
Syiria, Hijaz, Irak dan Mesir. Tokoh semisal Abu Hanifah menjadi figur yang
mewakili golongan ahl ra’y, sebagaimana imam Malik dikenal sebagai figur
yang mewakili Ahl Hadis.[39]
Kedua tokoh ini telah memberikan ide-ide pengembangan hukun yang berbeda secara
metodologis hingga “dijembatani” oleh imam asy-Syafi’i. asy-Syafi’i yang
menekankan pentingnya menyandarkan permasalahan hukum pada nas dan membatasi
penggunaan ra’y sebatas qiyas dalam pengertian sylogisme. [40]
Qiyas setelah asy-Syafi’i memuat empat unsur yang menjadi bagunannya,
yaitu far’, al-ashl, al-’illat (ratio legis) yaitu
alasan serupa antara asl dan far’ yang berupa sifat umum yang
terdapat pada keduanya,[41]
dan al-hukm yaitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas
hukum dari asal ke far’ atau norma hukum yang dinisbatkan kepada
kasus baru yang ditransfer dari kasus lama ke kasus baru karena kesamaan antara
kedua kasus. Disamping itu, cara penemuan hukum diluar qiyas dapat
menggunakan maslahah mursalah, istishab, istihsan, dll.
Terbentuknya mazhab dalam
hukum Islam pertama kali adalah persoalan politik. Setelah terjadinya perang
Ali dan Muawiyyah, kemudian terjadilah pemisahan Syi’ah dari badan utama
Muslim, Sunni. Syi’ah menetapkan bahwa Ali, kemenakan dan menantu Nabi, adalah
khalifah dan pemimpin yang berhak, sedangkan para pendahulunya, Abu Bakar, Umar
dan Utsman, menolak Ali memiliki hak tersebut. Mazhab Syi’ah menyebarkan
doktrin yang secara signifikan berbeda dengan mazhab Sunni. Perjalanan mazhab
Sunni kemudian pada akhir abad ke II melahirkan pemikir-pemikir fikih yang
berpengaruh hingga sekarang. Berawal dari tardisi mendapatkan sumber hukum yang
berbeda yang mengkristal menjadi dua aliran hukum kelasik yaitu tekstualis dan
rasionalis. Kedua aliran ini kemudian melahirkan banyak pemikir-pemikir dalam
hukum. Di antar aliran hukum kelasik ini yang kita ketahui adalah aliran-aliran
yang berkembang dari Kufa dan Basrah di Irak dan aliran yang berkembang di
Madinah dan Mekkah di Hijaz dan Syiria.
Pada periode perkembangan fikih selanjutnya berkisar
antara tahun 80-241 yang dikenal dengan fase empat imam mazhab. Fase ini
menyaksikan perkembangan-perkembangan utama yang kemudian termanefestasikan
dengan munculnya mazhab-mazhab hukum yang bertahan hingga sekarang: Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali. Mazhab Hanafi dinisbatkan kepada Abu Hanifah
an-Nu’man ibn Tsabit (80-150/699-767 M) yang pada awal abad ke-16 memiliki
penganut terbesar diantara semua mazhab karena diadopsi secara resmi oleh Turki
Usmani. Kemudian masih
bertahan di Turki, Pakistan, Jordan, Lebanon dan Afganistan.[42] Abu Hanifah membangun mazhabnya atas dasar-dasar
al-Qur’an, Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Ia pernah berkata “ saya mengambil kitabullah
(al-Qur’an) jika saya mendapatkannya. Hal yang tidak saya jumpai dalam al-Qur’an
akan saya ambil dari sunnah Rasulullah dan informasi yang sahih dan populer
dikalangan orang-orang yang terpercaya. Jika saya tidak mendapatkannya dari
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, saya akan mengambil fatwa para sahabatnya
sesuka saya dan membiarkan fatwa yang lain. Setelah
itu saya tidak akan keluar dari fatwa selain mereka. Jika telah samapai pada
Ibrahim, al-Syabi, Ibn Sirin, Ibn Musayab dan lainnya, saya akan berijtihad
seperti mereka”. Cara-cara Abu Hanifah menjawab persoalan fikih menunjukan bahwa
ia memang ahli dalam metodologi fikih (usul fikih), walaupun ia tidak pernah
menulis metodologinya seperti apa yang telah dilakukan imam asy-Syafi’i.[43]
Tawaran penalaran hukum Abu Hanifah adalah dengan analogi (qiyas) yang diterima
umum sepanjang sejarah, namun sumber liberalnya pada opini personal dan
preferensi juristik (istihsan) dikeritik oleh tradisionalis.[44]
Sekalipun demikian ia memang suka dengan kebebasan berfikir dan sering kali
memberikan kesempatan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengajukan
keberatan-keberatan terhadap pemikirannya. Terbukti terdapat sejumlah masalah
fikih yang tidak disetujui oleh Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan Zufar,
murid-murid dan sahabatnya.[45]
Mazhab Maliki dinisbatkan kepada imam Malik bin Anas
al-Ashabi (93-197/712-795 M). Ia memimpin gerakan tradisionalis di Mekkah dan
Madinah dan menyebarkan konsensus (ijma’) masyarakat Madina dan dianggap
merupakan satu-satunya konsensus yang valid. Sekalipun demikian, sepanjang
waktu mazhab ini memilki sejumlah doktrin penting yang inheren serba guna dan
dalam banyak hal hasil hukumnya lebih terbuka dari mazhab lain. Sebagai contoh,
mazhab inilah satu-satunya yang menerima hampir semua sumber dan dalil tambahan
syari’ah.[46]
(ijma’, qiyas, tradisi masyarakat Madinah, maslaha mursalah). Paling
dominan berkembang di Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir bagian Utara, Sudan,
Bahrain, dan Kuwait.
Mazhab Syafi’i dinisbatkan kepada imam Muhammad bin
Idris bin ‘Abbas bin Usman bin Syafi’
(150-204/767-820 M). Ia tumbuh dalam periode ketika sebuah kelompok
tradisionalis yang sangat berkuasa telah melampaui tesis bahwa tidak ada
perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh komunitas muslim yang bebas dari
dukungan al-Qur’an dan cerita kenabian. Pada saat yang bersamaan kelompok ini
sangat militan menentang sebuah kecenderungan yang telah mengakar dalam Islam
sejak abad pertama, yaitu kecenderungan meninggalkan cerita-cerita kenabian dan
menegaskan akal sebagai hakim terakhir dalam hal-hal yang tidak ditetapkan
al-Qur’an.[47]
Dari sinilah kemudian ia merumuskan teori hukum Islam (usul fiqh) secara lebih
sistematis. Dalam argumen legal yang terperinci, ia banyak memperbaiki
pemikiran pemikiran Abu Hanifah yang masih bersifat rintisan. Pada waktu
bersamaan ia telah berusaha menciptakan keseluruhan hukum yang mandiri (self-contained)
yang harus mengambil setiap rincian hukum dari prinsip-prinsip Islam yang tidak
diperselisihkan lagi.[48]
Dalam kitab ar-Risalahnya ia menulis persoalan-persoalan amar, nahi, status
hadis Nabi, qiyas dan dasar fikih lainnya. Terakhir, mazhab ini banyak
berkembang di Mesir bagian selatan, semenanjung Arab, Afrika Timur, Indonesia,
Malaysia, palestina, Jordan dan Siria.
Sekalipun formulasi metoldologi hukum Islam yang
dibangun as-Syafi terkesan mapan dan besarnya tekannya pada tradisi serta
anjuran kuat pada sunnah, namun hal tersebut tidak memuaskan golongan
tradisionalis yang tidak mengenal kompromi dalam perumusan hukum. Mereka
memilih untuk mendasarkan pada doktrin sebanyak mungkin pada apa yang telah
terbangun dalam al-Qur’an dan Hadis tanpa bergantung pada akal manusia.[49]
Golongan ini adalah mazhab Hambali yang dibangun oleh imam Ahmad bin Hanbal
(164-241/780-855 M). Dalam memutuskan suatu hukum dasar-dasar yang digunkannya
adalah al-Qur’an dan Hadis marfu’ didahulukan, fatwa para sahabat, apabila
terjadi perbedaan di kalangan sahabat Nabi yang dipilih adalah pendapat yang paling
dekat dengan bunyi teks al-Qur’an dan Hadis, hadis Mursal dan hadis do’if,
qiyas digunakan setelah tidak ditemukan pendapat sahabat, terakhir apabila
antara dalil-dalil tadi saling bertentangan maka ia memilih tawaqquf (dead
lock).[50]
Tentunya tidak hanya mazhab Hambali yang mengambil sikap tekstualis ini, karena
kemudian ditemukan mazhab zahiri yang dikelolah oleh Daud az-Zahiri yang dalam
puncaknya dikembangkan oleh Ibn Hazm.
Imam-imam yang memiliki pengetahuan fikih dan sekaligus
usul fikih dari abad kedua hingga seterusnya tidak hanya dari golongan sunni
tetapi juga dari golongan syi’ah mengembangkan keilmuan Islam tersebut.
Diantara sekian banyak ulama yang pakar dalam bidang fikih dan ushul pada abad
II dan III Hijriah ditemukan nama-nama sebagai berikut; abad II Hijriah: ‘Umar
bin Abd al-Aziz, Ibn Syihab bin al-Auhri, Ibn Abi Laili, Abu Hanifah, Zufar bin
Huzail, Qadi al-Qudad Abu Yusuf, Malik bin Anas dan Abdurrahman bin Qaim. Abad
III Hijriah: al-Jurjani al-Hanafi, as-Syafi’i, Bisyr al-Marisi, Ibn Sodaqah
al-Hanafi, al-Nazzam, Asbaqh al-Maliki al-Misri, al-Buwaiti, Ahmad bin Hanbal,
al-Muzani, Daud az-zahiri dan ‘Isma’il bin Ishaq.[51]
E.
Ushul
Fiqih dan Tradisi Berfikir
Ushul fiqih dalam berbagai pengertian yang umum
terdengar adalah ilmu yang berhubungan dengan kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan penggalian hukum-hukum syari’ah
yang amaliyah (fiqh) dari dalil-dalil yang terperinci.[52]
Sehingga fokus dalam ilmu ini adalah terkait dengan metodologi penetapan hukum.
Tokoh yang tidak akan pernah dilupakan ketika membahas
usul fiqh adalah imam as-Syafi’i. as-Syafi’ilah yang telah memberikan
kontribusi besar dalam pengembangan kajian usul fiqh dalam kitab ar-Risalah-nya
yang dianggap tidak hanya sebagai karya pertama yang membahas materi itu tetapi
juga menjadi model bagi ahli-ahli fiqh dan para teoritis berikutnya untuk
mengikutinya. Namun sebelum sampai pada as-Syafi’i perlu dilacak bagaimana
keberadaan ushul fiqh sebelumnya.
Sepanjang abad pertama Hijriah hampir dikatakan bahwa tidak ada
kebutuhan yang mendesak terhadap usul fiqh. Hingga terjadinya perselisihan dan
perbedaan pemikiran pada wilayah yang mana terjadi kebingungan dan kekeliruan
dalam memahami sumber-sumber tekstual semangkin terbuka dan di situlah kemudian
sangat dibutuhkan satu panduan atau pedoman yang jelasa untuk menjawab
semuanya. Namun ushul fiqh itu sendiri sebelum asy-Syafi’i dikatakan sudah
berkembang seperti di masa awal Islam para sahabat mendeduksi hukum fiqh dari
sumber-sumbernya. Kemudian imam Abu Hanifah telah menggunakan analogi dan
istihsan, sedangkan imam Malik terkenal dengan doktrin ijma, penduduk Madinah.[53]
Hanya saja di tangan as-Syafi’ilah kemudian telah terjadi pensitematisan terutama terkait dengan
sumber hukum Islam, disampaing metodoe qiyas yang dikemukakannya sebagai upaya
menjawab kontroversi yang berkembang antara ahli ra’yu dan ahli hadis.
Sumber hukum di dalam Islam menurut teori-teori yang
sudah dibuat ulama-ulama muslim sejak zaman pertengahan, ada empat yaitu
al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (konsensus) dan Qiyas (penalaran analogis), yang
kemudian dikatakan bahwa inilah struktur hukum Islam.[54]
Untuk melihat hubungan keempatnya, sebagai perbandingan, apa yang diemukakan
Aristotles mungkin dapat membantu menguraikannya. Menurut analogi ini,
al-Qur’an dan Sunnah adalah prinsip materil (sumber), kegiatan penalaran
analogis (qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan
ijma’ adalah prinsip formalnya atau kekuatan fungsional. Dengan demikian tujuan
stuktur ini untuk memungkinkan manusia dapat hidup di bawah kedaulatan Tuhan
dan sesuai dengan kehendaknya.[55]
Kemudian yang akan dikemukakan selanjutnya adalah
konsep qiyas as-Syafi’i yang sangat erat kaitannya dengan pola-pola berfikir
Aristoteles. Namun sebelumnya akan dilihat bagaimana masuknya pemikiran filsafat ke dunia
Islam. Masuknya tradis berfikir Yunani ke dalam dunia Islam tidak lepas dari
adanya aliran Alexanderia yang merupakan benang merah yang menghubungkan Timur
dan Barat, menghubungkan peraban Yunani dengan pemikiran Timur. Hubungan ini
semangkin kuat pada waktu Justanius menutup sekolah Athena pada tahun 529 M.
kemudian dari sini banyak guru Athena yang melarikan diri ke berbagai madrasa
Timur di Ruhha, Nasibin, Hiran dan Jundisrahpur. Madrasah-madrasah ini bersifat
religius dan filosofis yang serius menggeluti ilmu-ilmu pengetahuan Yunani dan
memadukan antara filsafat dan agama. Aliran ini berhasil melestarikan antologi
pemikiran Yunani dan dimasukan ke dalam dunia Islam melalui jalur dari mulut ke
mulut atau melalui jalur sebagaian tulisan singkat berbahasa Suryani. Kenyataan
inilah yang memberikan informasi bagaimana kaum muslim pada tahun-tahun pertama
abad kedua Hijriah mengenal sebagian pemikiran Yunani sebelum melakukan gerakan
besar dalam penerjemahan.[56]
Masuknya gelombang Hellenisme merupakan hasil wajar
dari kegiatan penerjemahan karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Puncaknya
adalah ketika pada masa khalifah al-Ma’mun di Bagdad dengan mendirikan Bait
al-Hikmah sebagai pusat kegiatan ilmiah yang telah menciptakan suasana
subur di kalangan kaum muslim tertentu untuk berkembangnya pemikiran
spekulatif. Diantara para filosof Yunani yang paling menarik bagi orang-orang
muslim adalah Aristoteles. Dari dia mereka mengambil terutama metode berfikir
sistematis dan rasional, yaitu al-mantiq (logika formal), di samping
biologi, ilmu bumi matematis dan sebagainya. Mereka memandangnya sebagai “al-mu’allim
al-awwal” (guru pertama). Dengan demikian maka Aristotelianisme menjadi
bagian integral dari khazana pemikiran dalam Islam.[57]
Memang agaknya pemikiran Aristoteles ini sangat
mempengaruhi logika berfikir dalam hukum Islam.[58]
Dalam kajian filsafat hukum Islam, pertama yang kita temukan adalah logika
berfikir fikih. Kajian usul fiqh, misalnya mengenal cara mendapatkan hukum
dengan qiyas yaitu mengqiyaskan satu persoalan yang tidak ada nasnya dengan
persoaln lain yang ada nasnya dengan melihat adanya persamaan illat kedua kasus
tersebut.
Sekarang analogi Aristoteles tidak didasarkan,
sebgaimana analogi fikih awal, pada persamaan dua benda saja, dengan bentuk amstal
bukan dalam pengertian “silogisme”. Seperti yang didifinisakan dalam karyanya Nicomachean
Ethics, bahwa ”analogi adalah persamaan alasan (sebab)” yang secara jelas
diilustrasikan melalui proporsi ‘A=B;sama dengan C=D”, dan dalam kesempatan
lain ia menjelaskan dengan statemen bahwa ketika kata “baik” disandangkan
kepada “orang pandai” dan kepada “penglihatan”, ini dilakukan dengan cara
“analogi” sehingga “kepandaian adalah jiwa sebagaimana penglihatan adalah
tubuh”.[59]
Kembali kepada konsep
qiyas sebelum fomulasi yang ditawarkan asy-Syafi’i, ternyata pengertian qiyas
masih dalam bentuk yang bebas sebagai suatu penalaram yang liberal-spekulatif
dan dinamis dalam menyelesaikan maslah. Qiyas dalam penalaran hukum (legal
reasoning) ini lazim disebut juga denga penalaran (ra’y) yang mana pada
masa Rasulullah sebagai embrionya dan kemudian semakin matang pada masa Abu
Hanifah.[60]
Sebagai contoh Rasulullah pernah menerangkan tentang keutamaan shalat dalam
sabdanya: "bagaimana pendapat kalian seandainya ada sebentang sungai di
depan pintu salah seorang diantara kalian, ia mandi dari sungai itu setiap hari
lima kali, apakah masi tersisa kotor?" para sahabat menjawab:
"tidak" Rasulullah bersabda: "maka demikianlah perumpamaan
shalat lima waktu. Dengannya Allah menghapus semua kesalahan (dosa kecil yang
berhubungan dengan Allah ta'ala)". Dalam riwayat tersebut ada kesamaan
antara seseorang yang membersikan diri dengan air (mandi) dengan seseorang yang
membersihkan diri (dari dosa kecil) dengan menjalankan shalat lima waktu. Ini
adalah salah satu contoh model penalaran yang terdapat dalam hadis.
Pada masa Umar bin Khatab
telah tejadi penalaran awal tentang pendistribusian zakat yang tidak sesuai
dengan teks al-Qur’an, di samping itu juga qiyas digunakan ahl Madinah dalam
arti luas seperti imam Malik masih menggunakan kata-kata amstal, ka
dan bi manzilah dalam al-Muwatta’. Dari penggunaan qiyas sebagaimana
konsep awal qiyas, telah menimbulkan hukum Islam yang cukup dinamis, liberal
dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini disebabkan hukum Islam tidak
dibayang-bayangi teks zahir.[61]
Namun di sisi lain justru terjadinya kekacauan dan keresahan bagi kepastian
hukum, karena terkadang dalam satu kasus dapat berbeda ketetapan hukum di satu
tempat dan di tempat lainnya, artinya tidak ada kesepakan hukum.
Berlatarbelakang inilah kemudian as-Syafi’i melakukan pembatasan terhadap
penggunaan penalaran dalam hukum dengan tawaran qiyasnya.[62]
Qiyas kemudian dipahami
sebagi perluasan terhadap perintah-perintah al-Qur’an dan Sunnah dimana alasan
atau kausalitas efektif (‘illat) dari qiyas kadang secara jelas ditunjukan
dalam sumber-sumber tersebut atau kadang ditentukan dengan jalan inferensi (istinbath).[63]
Namun, yang terpenting dari qiyas asy-Syafi’i adalah penalaran dengan silogisme
yaitu satu bentuk penarikan konklusi secara deduktif yang tidak langsung yang
konklusinya ditarik dari premis yang disediakan serentak.[64]
Dengan demikian metode asy-Syafi’i ini bersifat sangat faktualistik yang hampir
tidaak memberikan peluang sedikitpun bagi fantasi pribadi.[65]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ushul fiqh mengalami kemapanan. Selanjutnya,
para ahli hukum yang menggunakan qiyas menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan
syari’ah mengikuti tujuan-tujuan tertentu (maqashid) yang sejalan dengan
akal. Diantara tokoh awal yang menegaskan pentingnya maqashid asy-syari’ah
adalah imam al-Juwaini yang ia kaitkan dengan pembahasan ‘illat pada masalah
qiyas.[66]
Kemudian pemikiran ini diteruskan oleh al-Ghazali dalam kitab Shifa’
al-Ghalil-nya dan belakangan yang paling tenar mempopulerkan maqashid
asy-syariah adalah imam asy-Syatibi.
Perkembangan fiqh
selanjutnya adalah terbangunlah mazhab fiqh yang mana kemudian menjadi theologi
dan menjadi fomal yang didukung negara atau dilarang negara. Tidak jarang pula
terjadi “pertengkaran” antara para pengikut mazhab yang satu dengan mazhab
hukum lainnya. “Golongan kami” atau “bukan golongan kami” adalah fenomena yang
sampai sekarang masih terasa. Ada beberapa pristiwa ketegangan mazhab fiqh yang
di bawah kepentingan penguasa telah mencoreng dunia keilmuan Islam diantaranya
adalah pembakaran karya-karya Ibn Hazm[67]
oleh penguasa Savilla (al-Mu’tadid Ibad). Selain karena faktor politik, faktor
utama yang mendorong peristiwa tersebut adalah kebencian para ulama Malikiyah
yang mendominasi masyarakat pada waktu itu kepada Ibn Hazm. Para ulama
Malikiyah yang fanatik kepada mazhab Maliki menggerakan penguasa untuk bertindak
keras terhadap Ibn Hazm. Mereka mengatakan bahwa Ibn Hazm menyerang mazhab
Maliki dan mazhab imam-imam yang empat serta membawa masyarakat kepada mazhab
baru.[68]
Masih banyak lagi peristiwa lain hasil dari ketegangan antar mazhab yang di
dukung penguasa. Selain itu larangan kepada masyarakat untuk melakukan talfiq
adalah wujud nyata dari formalisasi fiqh yang sekteraian.[69]
Praktek ritual awal,
penyelesaian perkara dalam masyarakat muslim awal, penyelenggaraan negara
hingga muncul ulama-ulama yang memiliki otoritas dalam bidang hukum telah
membentuk satu perangkat keilmuan islam yaitu fiqh. Kalau dijelaskan
perkembangan evolusi fiqh; pertama, fiqh awal berasal dari
komponen-komponen hukum baik yang bersifat ritual maupun sosial. Konsepnya
sangat sederhana dengan mengacu pada apa yang dipraktekan nabi. Kedua,
terjadinya ‘perebutan’ otoritas sumber hukum setelah islam tersebar, kemudian masuklah filsafat di
dalam kegiatan-kegiatan penemuan hukum dan di sinilah konsep-konsep usul fiqh
lahir. Ketiga, fiqh dan usul fiqh menjadi disiplin keilmuan tersendiri.
Namun fiqh menjadi terformalisasikan dalam bentuk mazhab dan ‘teologi negara’
sektarian. Pada perkembangan terakhir fiqh sudah mengambil tempat sebagai
mazhab negara dan mulai lepas dari mazhab fiqh tertentu, seperti perumusan
perudang-undangan negara yang mengakomoir pendapat ulama-ulama fiqh mazhab yang
berkembang di satu negara.
Hukum Islam atau fikih memiliki kedudukan penting dalam
Islam karena ia merupakan bagaian dari al-Qur’an dan bagian dari tradisi yang
dibangun Nabi. Setidaknya ada dua alasan mengapa hukum memiliki posisi penting,
yaitu pertama, merupakan bagian integral dari Islam itu sendiri, karena
itu tidak ada aspek prilaku yang tidak diinginkan supaya dicakupi oleh aturan
hukum dan hukum ini mengikat semua muslim; tidak ada otoritas untuk merubahnya.
Kedua, Allah bermaksud agar semua kehidupan, keputusan, ketetapan dan
perintah Nabi-Nya harus memiliki kekuatan hukum. Otoritas Nabi tidak
disandarkan pada penerimaan mayarakat atau pada pembuat hukum dan sarjan,
tetapi pada kehendak Allah sendiri.[70]
F.
Kesimpulan
Terbentuknya sistem dalam Islam saling berkaitan satu
sama lainnya, terlebih lagi setelah masuknya unsur filsafat dalam dunia Islam.
Di sinilah berbagai tradisi Islam yang diawali dengan peraktek hukum mengalami
kemapan dalam penarikan-penarikan hukum ketika asy-Syafi’i telah menemukan
titik temu antara pertentangan ahl hadis dan ahl ra’y. namun asy-syafi’i
hanyalah salah satu komponen yang membentuk sistem fiqh Islam karena ada banyak
unsur yang tergabung di dalamnya. Argumen yang ditawarkan asy-syafi’i tentang qiyas
yang disinyalir terpengaruh oleh pemikran
Aristoteles ternyata berkembang juga dalam wacana Mutakallimun, kemudian mempengaruhi sistem lainnya.
Dalam dataran epistemology, fikih menggunakan
epistemology bayani dan sepanjang sejarah pemikiran islam sangat
mendominasi. Wajar kemudian Muhammad Abed al-Jabiri
menyebutkan bahwa peradaban Islam
lebih tepat dikatakan sebagai peradaban fikih (hadharah al-fiqh). []
Allahu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
Abd Salam, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara, dalam Agus Maftuh
Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 2004
Black,
Antony, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih
bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati, Jakarta: Serambi, 2006
Coulsen,
N.J., a History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press,
1964
Denny,
Frederick M., Islamic Ritual Perspectives and Theories, dalam Richad C. Martin
(ed.), Approdches to Islami in Religious Studies, U.S.A: the University
of Arizona Press, 1985
Depertemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: C.V. Gema Risala Press,
1993
Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta:
CV. Anda utama, 1993
Eaton,
Gai, Islam dan Takdir Manusia, alih bahasa: M. Khoirul Anam, Yogyakarta:
Suluh Press, 2006
Ess,
Josef Van, The Logical Structure of Islamic Theology, dalam Issa J Boullata
(ed.) An Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic
Studies McGill University, 1970
Hallaq,
Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Usul Fiqh Mazhab Sunni,
alih bahasa: E. Kusdaningrat dan Abdul Haris bin Wahid, cet.ke-2, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001
Hasan,
Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa: Agah Garnadi, cet.
Ke-3, Bandung: Pustaka, 2001
Hasan,
M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo, 1996
Himayah,
Mahmud Ali, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya Tentang Agama-Agama,
alih bahasa Halid Alkaf, Jakarta:
Lentera, 2001
Hodgson,
Marshall G.S., The Venture of Islam Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,
alih bahasa: Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem.
akses tanggal 6 Pebruari 2007
http://id.wikipedia.org/wiki/tasawuf.
akses tanggal 15 Pebruari 2007
http://media.isnet.org/Islam/Qardhawi/Fatwa/TasawufManusia.html,
akses tanggal 15 Pebruari 2007.
Ibn
Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadie Toha, Jakarta: Puastaka
Firdaus, 2000
Jabiri,
Muhammad Abid al-, Nalar Filsafat dan Teologi Islam, alih bahasa: Aksin
Wijaya, Yogyakarta: Ircisod, 2003
Kamali,
Mohammad Hasan, Sejarah Hukum Islam, dalam John L.Eposito (ed), Islam
Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, alih bahasa:
M.Khoiul Anam, Jakarta: Inisiasi Press
______________,
Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Fiqh), alih bahasa: Noorhadi,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
Khadduri,
Majid, War and Peace in the Law of Islam, alih bahsa: Kuswanto,
Yogyakarta: Tarawang Press, 2002
Khalaf,
Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kairo: Maktabah ad-Da’wa al-Islamiyyah
Stabaab al-Azhar, 1956
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Umat Islam, alih
bahasa: Gufran A. Mas’adi, cet. Ke.1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Madjid, Nurcholis, Warisan Intelektuan Islam, dalam
Nurcholis Madjid (ed), Khazana Intlektual Islam, cet ke-3, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
______________, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah
Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan,
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Maraghi, Abdullah Mustofa al-, Pakar-Pakar Fikih
Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001
Mudzhar,
Muhammad Atho, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
Rahman,
Fazlur, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka,
1994
_____________,
Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Mahyiddin, cet.ke-3, Bandung:
Pustaka, 1995
Raziq,
‘Ali Abd ar-, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, alih bahasa: M. Zaid
Su’di, Yogyakarta: Jendela, 2002
Roy,
Muhammad, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam
Qiyas Usul fiqh, Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004
Sarārah,
Abd al-Latif, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-'Alamiy: Dirasat Andalusiyah,
Beirut: al-Maktab al-Tijariy at-Taba'atu wa al-Nasyiru wa al-Tauzi'u, t.t
Schacht,
Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo, Jogjakarta:
Islamika, 2003
Shiddieqy,
T.M. Hasbi ash-, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam Membina Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1972
______________, Falsafah Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001
Shidiq,
Nourouzzaman, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996
Syahrur,
Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahsa: Sahiron
Samsuddin dan Burhanudin, Yogyakarta: Elsaq Press, 2004
_______________,
Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara, alih bahasa: Saifuddin
Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Yogyakarta: Lkis, 2003
Zahrah,
Muhammad Abu, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk, Jakarta:
Pustaka Firdaus
[2] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 236.
[3] Ira. M.Lapidus, Sejarah Sosial Umat
Islam, alih bahasa: Gufran A. Mas’adi, cet. Ke.1 (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 31.
[4] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar
Fikih Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad (Yogyakarta: LKPSM,
2001), hlm. 29
[5] Al-Baqarah (2): 183.
[6] Marshall G.S. Hodgson, The Venture of
Islam Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, alih bahasa: Mulyadi
Kartanegara, buku kedua (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm.136
[7] Arah kiblat adalah katagori tempat suci
bagi umat islam dan begitu juga bulan Ramadhan adalah katagori waktu suci. Dalam Islam ada banyak hal-hal ritual baik yang bersifat resmi,
rukun Islam, maupun yang bersifat ritual lokal yang berhubungan dengan waktu
dan tempat suci. Shalat dan hajji difokuskan pada Ka’bah di Mekkah. Begitujuga
shalat, puasa dan hajji memiliki rujukan waktu yang kuat. Frederick M. Denny,
Islamic Ritual Perspectives and Theories, dalam Richad C. Martin (ed.), Approdches
to Islamic in Religious Studies (U.S.A: the University of Arizona Press,
1985), hlm. 69
[8] At-Taubah (9): 60
[9] Ijtihad Umar bin Khatab dikupas lebih jauh oleh Atho Mudzhar dalam Membaca
Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1998), hlm. 33-67
[10] Al-Baqarah (2): 178
[11] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas
Mahyuddin, cet.ke-3 (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 26-27
[12] Ibid.., hlm. 45-46
[13] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, alih bahasa:
Agah Garnadi, cet. Ke-3 (Bandung: Pustaka, 2001), hlm. 11
[14] Ibn Khaldun, Muqaddimah, alih bahasa: Ahmadie Toha (Jakarta:
Puastaka Firdaus, 2000), hlm. 564
[15] Ahmad Hasan, Pintu…, hlm. 11
[16] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko
Supomo (Jogjakarta: Islamika, 2003), hlm. 41-42.
[17]Mohammad Hasan Kamali, Sejarah Hukum Islam, dalam John L.Eposito
(ed), Islam Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, alih
bahasa: M.Khoiul Anam (Jakarta: Inisiasi Press), hlm. 166
[18]Joseph Schacht, Pengantar…, hlm. 21
[19]Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin…, hlm. 235.
[20]Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa
Kini, alih bahasa: Abdullah Ali dan Mariana Arisetyawati (Jakarta: Serambi,
2006), hlm. 35.
[21] Joseph Schacht, Pengantar…, hlm. 4
[22]Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Usul
Fiqh Mazhab Sunni, alih bahasa: E.Kusdaningrat danAbdul Haris bin Wahid,
cet.ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 19.
[23]Marshall G.S. Hodgson, The Venture…, buku pertama, hlm. 250
[24]Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam, alih bahsa:
Kuswanto (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), hlm. 24
[25]Marshall G.S. Hodgson, The Venture…, buku pertama, hlm. 271
[26]Abd Salam Arif, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara,
dalam Agus Maftuh Abegebriel, dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2004), hlm. 11-18
[27]Muhammad Syahrur, Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara,
alih bahasa: Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata (Yogyakarta: Lkis,
2003), hlm. 172
[28]Patrimonialisme yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang memberikan
hak kepada pemimpin untuk menganggap negara sebagai miliknya dan bisa
diwariskan kepada keluarganya (keturunan-keturunan), sementara rakyat dipandang
sebagai bawahan yang berada di bawah perlindungan dan dukungannya, sehingga
kekuasaan tersebut bersifat mutlak. Baca : Antony Black, Pemikiran Politik…,
hlm. 50
[29]‘Ali Abd ar-Raziq, Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan, alih
bahasa: M. Zaid Su’di (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. 7-8
[30]Abd Salam Arif, Politik Islam Antara…, hlm. 39
[31]Penjelasan lebih jauh tentang masing-masing sistem penyelenggaraan
kenegaraan dan kapan mulai diperkenalkan dalam islam dapat dilihat dalam Muqadimah
Ibn Khaldun pada bab ketiga tentang dinasti, kerajaan, khilafah, pangkat
pemerintahan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Terutama halaman
264-336
[32] Sepanjang sejaran kenabian Muhammad dapat dipastikan bahwa
Rasulullah tidak pernah menggolongkan perintah ke dalam wajib, mandub
(anjuran), haram, makhruh, dan mubah sebagaimana
dikemukakan dalam teori hukum yang datang kemudian. Klasifikasi ini dilakukan
oleh fuqaha yag mengkaji pesan-pesan al-Qur’an yang berbeda-beda, hadis nabi
yang variatif, praktek shahabat dan umat islam awal. Ahmad Hasan, The Early
Development of Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publisher and
Distributor, 1994), 12
[33] Hudari Bik, Tarjamah Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum
Islam, alih bahasa: M.Zuhri (Indonesia: Darul Ihya, 1980), 31. A. Hanafi
menuliskan dua dasar lainnya, yaitu sejalan dengan kebaikan orang banyak dan
adanya dasar persamaan dan keadilan. A.Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakata: Bulan Bintang,
1977)
[34] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam:
al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M.Mansur,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), 332
[35] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2
(Bandung: Pustaka, 1994), 140-2
[36] Persoalan fikih ini jika dirincikan, sebagaimana yang ditulis
Hasbih ash-shidiqy, terutama dikalanan sunni, akan terbagi menjadi 6
persoalan : pertama, persoalan ubudiyyah mencakup thaharah,
Shalat, Jenazah, zakat, wakaf, puasa, haji, hadaya-udlhiyah-aqiqah, nazar
dan sumpah, makanan, minuman, obat dan pakaian, sembelihan dan buruan. Kedua,
persoalan mu’amah ‘aliyah mencakup nikah, nafkah dan hadanah, thalaq,
ruju’ dan ‘iddah, wasiyat dan waris, serta perbudakan. Ketiga,
persoalan maliyah mencakup jual beli, salam-shauf dan qaradh,
gadai, taflis dan hajr, perdamaian, pemindahan hutang,
persekutuan dan perwakilan, pengakuan, penitipan barang dan peminjaman,
perampasan, suf’ah dan qismah, mudharabah, muzara’ah
dan musaqah, sewa-menyewa, membuka tanah dan ji’alah, barang
temuan, hibah dan hadiyah. Keempat, persoalan jinayah mencakup jinayah,
hudud, shiyal dan dhaman. Kelima, persoalan qadlaiyah-imarah
dan khalifah mencakup pemerintahan dan peradilan, gugatan dan persaksian. Keenam,
persoalan pertahan Negara dan perperangan mencakup perang mempertahankan Negara
dan agama, perpajakan. T.M.Hasbi asy-Syidiqy, Hukum-Hukum Fikih Islam: yang
Berkembang dalam Kalangan Ahlus Sunnah (Jakarta: bulan bintang, 1978).
[37] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas
Muhyidin (bandung: Pustaka, 1995), 21-2
[38] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam…, 45.
[39] Selain dua tokoh tersebut, ada banyak ahli
fikih dan ushul fikih baik dari kalangan sunni maupun syi’ah yang dikenal dalam
dunia Islam terutama abad II dan III Hijriah, yaitu pada abad II ditemukan
‘Umar bin Abd al-Aziz, Ibn Syihab bin al-Auhri, Ibn Abi Laili, Zufar bin
Huzail, Qadi al-Qudad Abu Yusuf, dan Abdurrahman bin Qaim, sedangkan pada abad
III Hijriah: al-Jurjani al-Hanafi, Bisyr al-Marisi, Ibn Sodaqah al-Hanafi,
al-Nazzam, Asbaqh al-Maliki al-Misri, al-Buwaiti, Ahmad bin Hanbal, al-Muzani,
Daud az-zahiri dan ‘Isma’il bin Ishaq. Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar
Fikih Sepanjang Sejarah, alih bahasa: Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001, x
[40] Hirarki seperti ini (struktur hukum islam) diakui pertama-tama
dikemukakan imam Syafi’i dengan urutan
al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
alih bahasa: Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus), 16, N.J.Coulsen,
a History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964),
56-57, Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul
Fiqh), alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), 4-5.
Untuk melihat hubungan keempatnya, sebagai perbandingan, apa yang diemukakan
Aristotles mungkin dapat membantu menguraikannya. Menurut analogi ini,
al-Qur’an dan Sunnah adalah prinsip materil (sumber), kegiatan penalaran
analogis (qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama, dan
ijma’ adalah prinsip formalnya atau kekuatan fungsional. Dengan demikian tujuan
stuktur ini untuk memungkinkan manusia dapat hidup di bawah kedaulatan Tuhan
dan sesuai dengan kehendaknya. Rahman, Islam…, 90
[41] Penemuan ‘illat hukum dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu sah (valid), dan dugaan (probable) (zhanniyyah atau mutawahhamah
Metode yang pertama terbagi menjadi dua yaitu ijma’ (consensus)
dan nass (the text). Nass terbagi menjadi dua lagi yaitu nass
yang eksplisit (sharih) dan implisit (ima wa tanbih). Sementara
itu, metode yang kedua yang bersifat dugaan ada lima, yaitu: munasabah
(kesesuaian), syabah (keserupan), thard atau tharadi
(kebersamaan atau kebetulan), dawran (perputaran), juga disebut thard
wa’aks (kebersamaan dan kespesifikan) dan sabr wa taqsim
(penyelidikan dan klasifikasi). Lihat: Ahmad Hasan Ahmad Hasan Analogical
Reasoning InIslamic Jurisprudence: A Studi of the Juridical Principle of Qiyas
(Delhi: Adam Publishers and Distribution, 1994), 232, Muhammad Roy, Ushul
Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh
(Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004), 81-7
[42]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167
[43]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 74
[44]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167
[45]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 75
[46]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 167
[47]Hallaq, Sejarah Teori…, hlm.30
[48]Hodgson, The Venture…., buku kedua, hlm. 124
[49]Kamali, Sejarah Hukum…, hlm. 169
[50]al-Maraghi, Pakar-Pakar Fikih…, hlm. 108
[52]Liahat misalnya: Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh
(Kairo: Maktabah ad-Da’wa al-Islamiyyah Syabaab al-Azhar, 1956), hlm.12. lihat
pula: Ibn Khaldun, Muqaddimah…, hlm. 579
[53]Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul
Fiqh), alih bahasa: Noorhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm. 4-5
[54]Menurut beberapa rujukan dikatakan bahwa imam asy-Syafi’ilah yang
mula-mula menyusun tingkatan hukum (struktur hukum islam) dengan
urutan-urutannya yaitu al-Qur’an, as-sunnah, ijma’ dan Qiyas yang kemdian
dikemukakan maksud keempat sumber hukum tersebut, dan struktur ini disepakati
oleh jumhur ulama. Lihat: Ibid., hlm.6. bandingkan dengan N.J.Coulsen, a
History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1964), hlm.
56-57 dan Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, alih bahasa: Saefullah
Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm. 16
[55]Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2
(Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 90
[56]Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, alih
bahasa: Yudian Wahyudi Asmin , cet. Ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2002(, hlm. 29
[57]Nurcholis Madjid, Warisan Intelektuan Islam, dalam Nurcholis Madjid
(ed), Khazana Intlektual Islam, cet ke-3 (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hlm. 23-24.
[58] Penelitian tentang masuknya
logka Aristotekes ke dalam khazana pemikiran Islam telah dilakukan Josef van
Ess. Menurutnya ada keterkaitan antara logika Aristoteles dengan logikan hukum
islam melalui logika kalam. Namun, dalam penelitiannya disebutkan bahwa
struktur logikan dalam khzana Islam tidak hanya mengakses logika Aristoteles
tetapi lebih jauh lagi logika Stoik. Lihat: Josef van
Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J Boullata (ed.) An
Antology of Islamic Studies (McGill: Institute of Islamic Studies McGill
University, 1970), hlm. 32.
[59]Wolfson, The Philosophy…, hlm. 22
[60]Muhammad Roy, Ushul Fiqh Mazhab Aristoteles: Pelacakan Logika
Aristoteles dalam Qiyas Usul fiqh (Yogyakarta: Safira Insni Press, 2004),
hlm. 6
[62] Perumusan konsep sunnah oleh imam asy-Syafi’I merupakan salah
bentuk sintesa antara dua aliran besar yang berkembang pada masanya. “The
great synthesis” ini telah melahirkan dua persoalan penting dalam
perkembangan teori hukum Islam, yaitu munculnya teori-teori hukum dan
artikulasi teori hukum yang fundamental, dan munculnya formasi doktrin Mazhab. Wael B.
Hallaq, The Origines and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), hlm. 122
[63]Kamali, Prinsip…,hlm. 13
[64]Roy, Ushul Fiqh…, hlm. 133
[65]Hodgson, The Venture…., buku kedua, hlm. 128
[66]Lihat: Muhammad Hasbi as-Sidiqy,
Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm.
198
[67] Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Sa'id Ibn Hazm ibn Galib
ibn Şaleh ibn Sufyan ibn Yazid. Ia seorang tokoh besar intelektual muslim
Spanyol yang dilahirkan di Manta Laisyam (Cordoba). Ia lahir pada hari terakhir
di bulan Ramadan bertepatan pada tahun 384 H/994 M, di waktu setelah shalat
subuh dan sebelum matahari terbit. Lihat: Abd al-Latif Sarārah. Lihat: Abd
al-Latif Sarārah, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-'Alamiy: Dirasat Andalusiyah
(Beirut: al-Maktab al-Tijariy at-Taba'atu wa al-Nasyiru wa al-Tauzi'u, t.t),
hlm. 35. lihat pula: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ensiklopedi
Islam (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), hlm. 391.
[68]Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm: Biografi, Karya, dan Kajiannya
Tentang Agama-Agama, alih bahasa Halid Alkaf (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 82. lihat
pula: T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam-imam Mazhab dalam
Membina Hukum Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972) I: 295
[69]Pendapat ulama yang memperbolehkan dan melarang talfiq dapat
dilihat: M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo,
1996), hlm. 90.
[70] M. Mustafa al-Azami, On Scacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: Oxford Centre for Islamic Studies and the Islamic
Texts Society, 1996), 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar