ASPEK SOSIO-POLITIK DALAM MEMBENTUK TEORI “SUNNAH” SEBAGAI SUMBER HUKUM
DALAM KONSTRUKSI HUKUM
IMAM MALIK BIN ANAS
Oleh: Juandi*
Abstrak
Teori hukum yang menjadi ciri khas dalam mazhab Maliki adalah penerimaan
ijma’ ahli Madinah sebagai sumber hukum. Penerimaan ini membuktikan bahwa
“sunnah” yang berkembang dimasyarakat Madinah tidak bisa diabaikan sama sekali
dalam praktek hukum. Selain alasan normative, alasan sosio-politik juga
mempengaruhi keputusan Imam Malik dalam mengukuhkan otoritas ijma’ ahli
Madinah. Tulisan ini memaparkan pentingnya ijma’ ahli Madinah sebagai sumber
hukum di kalangan mazhab Maliki.
Kata kunci: Sunnah, Ijma’ Ahli Madinah, Sumber Hukum Islam
Legal theory that
characterizes the Maliki school
is the acceptance of ijma’ Ahli Medina as
a source of legal. This admission proves that
the "sunnah" Medina
evolving society can
not be ignored at all in the practice of law. In addition to normative reasons, socio-political
reasons also affect
the decision of Imam Malik
in establishing the authority of ijma Ahli Medina.
This paper describes the importance of
ijma 'Ahli Medina as a source of law in the Maliki school.
Key word: Sunnah, Ijma Ahli Medina, Islamic Legal Sources
A. Latar Belakang
Setiap produk pemikiran apapun diyakini dipengaruh oleh
lingkungan yang mengitarinya. Tidak jarang lingkup yang mengitari suatu
pemikiran berupa imbas dari harmonisasi, ketegangan, ataupun hegemoni sistem
sosial yang sudah berlaku, tidak terkecuali produk hukum. Produk-produk ini
senantiasa mengalami perubahan beriringan
dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Karena, bagaimanapun, kebutuhan
masyarakat akan kepastian hukum dalam setiap masa mengalami pergeseran seiring
dengan meningkatnya kebutuhannya dan kemajuan-kemajuan teknologi. Dalam konteks
hukum Islam, tidak bisa dinafikan bahwa ia juga mengalami perubahan sebagaimana
adigium dalam hukum Islam “berubahnya hukum karena berubah masa dan tempat”
bahkan sekarang ditambah dengan adanya perubahan metodologi sebagai perangkat
pengetahuan. Wajar bila Abid al-Jabiri menyatakan bahwa terdapat relasi yang
signifikan pada titik tertentu antara suatu konstruk pemikiran dengan realitas
sosial, sebagai respon dan dialektika pemikiran terhdap fenomena-fenomena yang
sedang terjadi dan berkembang dimasyarakat.[1]
Dialektika pemikiran dengan fenomena sosial dalam kadar
tertentu tidak dinampakkan secara jelas, namun dalam batasan-batasan tertentu
sangat nampak. Bagi ulama-ulama klasik, mislanya, persoalan politik jarang
dinampakkan sebagai latar belakang menentukan suatu hukum, walaupun kepentingan
politik sangat nampak mengitarinya. Begitu juga dengan peristiwa-peeristiwa
sosial yang terkadang menjadi landasan perubahan suatu hukum, namun tidak
dinyatakan secara langsung. Karena keunikan hukum Islam adalah selalau
melandasi aturannya pada teks suci. Bahkan beberapa pengkaji hukum Islam
menyatakan bahwa “hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran hukum Islam,
manifestasi paling tipikal dari cara hidup muslim, dan merupakan sari pati Islam
itu sendiri.”[2]
Dari sini, kita dapat melihat begitu sulit menentukan bagian-bagian hukum yang benar-benar
berdiri sendiri sebagai konstruk sosial yang terjadi pada masanya. Namun,
setidak-tidaknya, munculnya wacana hukum Islam antara yang berubah dan yang
tetap adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak. Benarlah apa yang dikemukakan
Coulsen bahwa adanya perubahan dalam substansi hukum keluaraga, pada beberapa
dekade terakhir ini, mempunyai arti sosial yang sangat dalam.[3]
Sebagaimana produk hukum, sumber-sumber hukum dalam teori
hukum Islam juga tidak jarang mengalami perkembangan. Misalnya, sumber hukum
primer al-Qur’an dan hadis pada masa sahabat diterima apa adanya, sesuai dengan
makna literel,[4]
namun pada masa berikutnya kedua sumber hukum tersebut masih harus dikembangkan
dengan sumeber hukum semisal ijma, qiyas, istihsan, dan sebagainya.[5]
Setidaknya hal ini menujukan bahwa legitimasi sumber hukum pun tidak diterima
jadi (taken for granted) , melainkan mengalami proses penerimaan.
Kecenderungan penerimaan ahli hukum Islam (fuqaha)
terhadap sumber hukum tertentu tidaklah hanya kebetulan belaka. Ada sejumlah
landasan berfikir untuk menerima atau mengolah suatu sumber hukum. Begitu pula
ketika Imam Malik bin Anas menerima pendapat ahli Madinah sebagai sumber hukum Islam
yang sangat diperhitungkan, tentunya ia memiliki landasan yang medasar. Bukan
hanya sekedar landasan normatif, sebagaimana keterpengaruan seseorang terhadap
lingkungannya, alasan penerimaan ini dimungkinkan juga karena faktor sosial dan
politik yang berkembang. Dengan demikian, tulisan ini melihat alasan sosial dan
politik apa yang mendorong imam Malik menjadikan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai
sumber hukum yang urgen.
B. Lingkup Sosial dan Politik pada
Masa Imam Anas bin Malik: Relasi Ketetapan Sumber Hukum versus Realitas
Sosial–Politik
Malik bin Anas bin Abu ‘Amir al-Asbahi kemungkinan besar
lahir tahun 93 H di Madinah.[6] Kakeknya adalah
seorang tabi’in dan eyangnya adalah sahabat Nabi. Keluarganya berasal dari
Yaman, dan pada masa hidup Nabi, mereka menetap di Madinah.[7] Malik dalam
mempelajari hadis tidak melakukan pengembaraan ke pelosok negara Islam. Hanya
saja keuntungannya adalah banyak belajar hadis dari para ulama dari penjuru
wilayah Islam yang berkunjung ke Madinah. Ia dikenal sangat ahli dalam bidang
hadis dan fikih. Tentang penguasaannya dalam hadis ia sendiri pernah
mengatakan: “aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadis”. Menurut
banyak kesaksian para ulama semasanya maupun setelahnya kepribadian dan keahliannnya
dalam bidang hadis sudah tidak dapat diragukan lagi.[8]
Menurut Azami, hubungan imam Malik secara politik dengan penguasa
sangat baik, sekalipun ia tidak menyokong mereka. Bagi imam Malik para penguasa
hanya membutuhkan nasihat.[9] Dalam beberapa
riwayat tentang kehidupannya, ia pernah menolak permintaan Abu Ja’far untuk
mengajar “putra Mahkota” dan ia meminta agar putra mahkota yang mendatangkan
ilmu. Dalam relasi dengan penguasa, pengalaman tragis yang dialaminya adalah
mengalami penyiksaan fisik atas permintaan gubernur Madinah, Ja’far bin
Sulayman, karena salah satu fatwa beliau menentang pemerintah.[10]
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa selama masa tiga kahlifah, Ja’far al-Mansur
(131-163 H), al-Mahdi (163-173), dan Harun ar-Rasyid (173-197 H), karya al-Muwatta’-nya
diminta untuk dijadikan kitab resmi negara, namun beliau tolak. Melihat beberapa
tragedi yang menimpa imam Malik dalam hubungannya dengan penguasa, kita dapat
menolak pernyataan Azami. Hubungan imam Malik dengan penguasa dalam tragedi
politik yang mengakibatkan dirinya mengalami penyiksaan fisik adalah
permasalahan politik. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa ketika ditanya
mengenai sumpah orang yang dipaksa, ia mengatakan: “sumpah itu tidak berarti”.
Lalu hal ini dilaporkan kepada Ja’far bin Sulaiman, penguasa Madinah, paman
Khalifah al-Mansur (136-148 H). Implikasi dari pendapat hukum imam Malik ini
adalah bahwa pembai’atan kepada Ja’far tidak sah.[11]
Dari data di atas kita dapat melacak bahwa imam Malik
hidup pada masa transisi dari kekhalifaan Umayyah ke kekhalifaan Abbasiyyah.
Pada periode Umayyah dan awal periode Abbasiyyah ini terdapat dua bentuk
keagamaan Islam dan perkembangan kultural: bentuk pertama adalah kalangan
istana, dan bentuk kedua adalah komunitas perkotaan yang heterogen. Yang
disebutkan pertama, Islam mengekspresikan identitas politik khalifah dan elit
politik. Pada sisi lain, Islam
berkembang sebagai ekspresi keagamaan, moral, dan nilai-nilai sosial
masyarakat Muslim perkotaan.[12] Melihat dua arus
bentuk keagamaan ini, dapat dimaklumi mengapa imam Malik harus bersikap “kaku”
terhadap sumber hukum yang menjadi rujukannya.
Di sisi lain, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa
sekalipun wilayah Madinah merupakan wilayah terpenting dalam sejarah Islam,
kekuasaan Islam tidak lagi di Madinah. Artinya secara perpolitikan Madinah sudah
tidak diperhitungkan lagi. Otoritas politik bergeser dari Madinah ke Kuffah
kemudian ke Damaskus dan kemudian belakangan berkembang ke Bagdad. Peran
Madinah dalam hal ini hanya berada pada bidang pengetahuan keislaman. Dengan
adanya pergeseran kekuasaan atau pusat pemerintahan ini, banyak atau sedikit,
tentunya, berpengaruh juga pada perubahan struktur dan perubahan masyarakat. Dan
perubahan stuktur dan perubahan masyarakat mempengaruhi keputusan-keputusan
hukum yang dibuat. Hal ini dapat dilihat, misalnya bagaimana tingkat urbanisasi
Kuffah dan Baqdad telah mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat hukum Islam
Hanafi yang rasionalis. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa Bagdad jauh
dari pusat Hadis.[13] Contoh lain adalah
bagaimana perbedaan lingkungan geografis Basrah dan Mesir telah mendorong qaul
qadim dan qaul jadid bagi imam asy-Syafi’i. Dalam kontek Indonesia
dapat dicontohkan bagaimana fatwa-fatwa keagamaan Majelis Ulama Indonesia tahun
1975-1988, yang merupakan lembaga bentukan pemerintah, telah melahirkan
fatwa-fatwa yang beragam. Dari 22 fatwa yang keluar dari tahun tersebut
sebanyak 8 fatwa yang menunjukan adanya pengaruh kuat dari pemerintah, 11 yang
bersifat netral, dan hanya 3 fatwa yang menentang kebijakan pemerintah.[14]
Walaupun disebutkan bahwa MUI berusaha untuk netral dalam membuat keputusan
hukum, secara grafik menunjukan bahwa fatwa yang mendukung kebijakan pemerintah
lebih banyak dibandingkan dengan fatwa yang melawan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, adanya kedekatan dengan kekuasaan atau pemerintahan dan adanya
perubahan struktur sosial sangat berpengaruh pada keputusan hukum.
Dengan mempertimbangkan kenyataan di atas dan melihat
kondisi perpolitikan Madinah pada saat itu, wajar bila imam Malik tetap
mempertahankan eksistensi ulama Madinah bahkan masyarakat Madinah sebagai salah
satu sumber hukum Islam. Pendapat imam Malik ini adalah menjadikan konsensus
ahli Madinah sebagai bagian dari teori penemuan hukum dan menjadikan wilayah
geografis tertentu memiliki kapasitas yang bersifat melekat untuk memberikan
validitas suatu hukum dan otoritas pada produk-produk ijtihad. Tentu saja prinsip
penemuan hukum seperti ini tidak dapat disetujui oleh ulama lainnya.[15]
Namun, bagaimanapun, kenyataan ini menunjukan bahwa imam Malik ingin
mempertahankan eksistensi wilayah Islam yang terpenting dalam sejarah peradaban
Islam di satu sisi dan sekaligus mempertahankan eksistensi ulama Madinah yang
cenderung “terpinggirkan” setelah beralihnya kekuasaan Islam ke wilayah Kufah
dan Bagdad di sisi lain. Hanya dengan cara inilah nampaknya, secara politik
hukum, eksistensi itu dapat dipertahankan dengan baik. Dalam satu kutipan
dikatakan bahwa Syu’aib bin Harb pernah bertanya kepada imam Malik mengapa ia
tidak meriwayatkan apapun dari orang-orang Iraq? Ia menjawab bahwa para orang
tuanya (ashlaf) tidak pernah meriwayatkan sesuatu apapun dari ulama
Irak, sehingga para pemuda Madinah juga tidak menerima apapun dari orang tua
mereka.[16]
Walaupun imam Malik tidak mempunyai persoalan dengan ulama Basrah, Bagdad dan
Kuffah, tetapi tetap saja rasa ashabiyyah terhadap ulama Madinah sangat
menonjol dan diutamakan.
Beralih pada karya besar imam Malik dapat dilacak juga sejauh
mana pengaruh sosio-politik dalam penyusunannya. Latar belakang penyusunan al-Muwatta’,
menurut beberapa versi, sebagaimana yang diungkapkan N.J.Coulsen adalah karena
faktor politik dan sosial keagamaan. Kondisi yang penuh konflik pada masa
transisi Daulah Umayyah-Abbasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar
(khawarij, Syi’ah, keluarga Istana) yang mengancam integrasi kaum muslim.
Terjadinya perbedaan pemikiran yang berkembang pesat yang kemudian melahirkan
peluralitas yang penuh konflik.[17] Versi lain
mengatakan bahwa penyusunan kitab ini didasari atas permintaan khalifah Ja’far
al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang prihatin dengan perbedaan
fatwa dan pertentangan yang berkembang pada saat itu. Namun, bentuk final kitab
al-Muwatta’ merupakan hasil dari pergumulan dan penyebaran imam Malik
terhadap pengetahuan tradisi Madinah selama masa hidupnya, dan kitab ini
merupakan hasil dari penyaringannya. Dalam kitab ini, imam Malik memenuhi
paragrapf-paragraf dengan ijtihadnya sendiri walaupun ia tidak henti-hentinya
menyeruhkan “praktek yang dilakukan kaum muslim di Madinah.”[18] Karya imam Malik ini
tentunya berorientasi pada pengukuhan tradisi, yaitu kumpulan dari
prinsip-prinsip, arahan-arahan dan preseden yang telah disepakati yang mapan
sebagai tradisi Madinah.[19]
Pengukuhan tradisi dalam ajaran usul fikih bukanlah hal
yang baru karena ditemukan prinsip al-‘adah muhakkamah sebagai
legitimasi kebolehan menerima tradisi setempat sepanjang tidak bertentangan
dengan sumber hukum al-Qur’an dan sunnah Nabi yang terpercaya. Berutungnya,
tradisi Madinah sebagaian besar, untuk tidak mengatakan keseluruhan, merupakan
kepanjangan dari tradisi yang hidup pada masa Nabi. Dengan kata lain, tradisi
masyarakat Madinah yang dipegang sebagai sumber hukum sangat berdekatan dengan
sunnah yang hidup pada masa Nabi. Penjelasan ini akan diuraikan pada bagain
selanjutnya.
Imam Malik dalam Muwatta’-nya sering mengutip
Hadis dan pendapat-pendapat hukum dari sumber-sumber, menunjukan penghargaannya
yang tinggi terhadap mereka sebagai representasi dan rujukan bagi tradisi
pengetahuan Madinah serta kepercayaannya yang tuinggi terhadap tradisi
tersebut. Beberapa informasi menujukan bahwa imam Malik bergantung pada
konsesnsus ahli Madinah yang
terefleksikan dalam isnad yang terdapat dalam kitab Muwatta’.[20]
Alasan yang logis mengapa imam Malik bersikukuh bersandar pada tradisi Madinah
adalah peran penting Madinah dalam sejarah pedaban Islam. Diantara peran
penting Madinah dapat dicatat: pertama, karena ia memiliki ulama, dan kedua,
karena ia memiliki keterkaitan-keterkaitan historis dengan Nabi dan para
sahabat, khususnya khalifah ar-rasyidun.[21] Namun, sebagaimana
yang sudah dijelaskan sebelumnya, pengaruh sosial dan politik tetap
dipertimbangkan sebagai pengaruh yang potensial membentuk keyakinan dalam
penetapan sumber hukum Islam berupa ‘Amal ahl al-Madīnah.
Menurut Ahmad Amin[22] keyakinan imam
Malik untuk memegang hadis dan berdalil dengan tindakan-tindakan ahl
al-Madīnah merupak keistimewaan bila dibandingkan dengan tradisi Abu
Hanifah. Untuk melihat keistimewaan ini harus ada perbandingan dalam bidang
hukum tentang keputusan imam Malik dan imam Abu Hanifah. Contohnya imam Abu
Hanifah memperbolehkan memulai shalat dengan bahasa Persi sebagai ganti Allahu
Akbar dengan bahasa Arab walaupun orang yang melakukan tersebut fasih dalam
berbahasa Arab, dan hal ini tidak disetujui imam Malik dan imam asy-Syafi’i.[23]
Dalam kasus lain tentang puasa enam hari di bulan syawal, imam Malik keberatan
untuk menetapkan hukum sunnah pada pelaksanaanya. Beliau cenderung memakruhkan
melaksanakan puasa ini. Az-Zarqāni menjelaskan bahwa salah satu keberatan Imam
Malik adalah karena Imam Malik tidak pernah melihat seorangpun dari ahli ilmu
dan fiqh di Madinah pada masanya yang melakukan puasa ini.[24]
Dari sini, kita sudah mendapat gambaran bahwa lingkungan sosial sangat
mempengaruhi keputusan hukum Islam, bahkan dalam persoalan ibadah yang
cenderung sensitif. Pengaruh lingkungan dalam menetapkan suatu hukum akan
terjadi jika suatu nash masih diperselisihkan, sedangkan bila suatu nash tidak
diperselisihkan maka keadaan sekelilingnya tidak boleh mempengaruhi pembentukan
hukum. Dalam hal ini Amin menunjukan contoh pendapat imam Abu Hanifah bahwa
nasab (famili) dalam perkawinan dianggap sekufu’, dan oleh karena itu menurut
Abu Hanifah semua suku Quraisy sekufu’ dan tidak semua bangsa Arab sekufu’
dengan suku Quraisy. Seorang Mawali (bukan Arab asli) tidak sekufu’ dengan
orang Arab, dan imam Malik mengatakan bahwa sekufu’ itu tidak ada kecuali dalam
keyakinan. Ia mengutip hadis Rasulullah bahwa manusia itu seperti gigi sisir;
tidak ada kelebihan seorang Arab atas orang asing, keutamaan itu hanya pada
ketakwaan.
C. Sunnah dan Praktek Ahl al-Madīnah sebagai Sumber Hukum
Walaupun al-Qur’an merupakan sumber hukum yang utama di
kalangan umat Islam, namun dalam berbagai hal, tidak jarang justru sunnahlah
yang megang peran yang tak kalah pentingnya. Sebagaian peneliti-peneliti
terdahulu, terutama dari kalangan orientalis, berkesimpulan bahwa hukum Islam
dibentuk melalaui sunnah atau hadis yang baru muncul pada abad ke dua Hijriah.
Sedangkan al-Qur’an hanya diambil dalam kesimpulan yang sekilas saja. Dengan
kata lain mereka mengatakan bahwa pada abad pertama Hijrah hukum Islam tersebut
belum ada.[25]
Namun, sekalipun pendapat ini janggal dan tidak didasari pada kenyataan bahwa
al-Qur’an dipegang oleh umat Muslim awal sebagai sumber ketetapan hukum,[26]
kenyataan yang ada menunjukan adanya peran penting, bahkan terpenting, sunnah
atau hadis sebagai sumber hukum dalam membentuk formulasi hukum Islam.
Kenyataan ini ditunjukan oleh peran-peran ulama abad ke dua Hijriah yang
mencoba merumuskan aturan-aturan hukum yang didasari pada ketetapan sunnah,
sekalipun dengan tidak mengabaikan al-Qur’an.
Dalam berbagai karya tulis, dapat diketahui bahwa ada dua
aliran yang berkembang pada masa awal pembentukan hukum Islam, dalam arti tersistematis,
pada abad ke dua. Kedua aliran tersebut adalah aliran rasionalis dan
tradisionalis. Aliran pertama dikatakan berkembang di wilayah Irak dan
sekitarnya yang salah satu tokoh utamanya adalah Abu Hanifah, sedangkan aliran
kedua berkembang di wilayah Madinah, Mekkah dan sekitarnya yang salah satu
tokoh pentingnya adalah Malik bin Anas. Kedua aliran ini sama-sama menjadikan
sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dengan porsi yang berbeda.
Kalangan rasionalis seakan-akan lebih selektif dalam menggunakan sunnah
sehingga ditemukan dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan kalangan tradisonalis lebih
banyak mengumpul sunnah sebagai penetapan hukum, bahkan sekalipun dikatakan
bahwa sunnah tersbut bersetatus lemah.
Sebelum perumusan konsep sunnah dilakukan oleh imam
asy-syafi’i,[27]
sunnah dipahami sebagai sebuah konsep prilaku –baik yang diterapkan kepada aksi
fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Atau juga sebuah hukum tingkah laku, baik
yang terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang-ulang kali.[28]
Sunnah di sini dibedakan dengan hadis. Karena hadis (secara harfiah berarti
ceritera, penuturan, dan laporan) dipahami sebagai sebuah narasi yang berisi
dan bertujuan memberikan informasi tentang apa yang dikatakan Nabi, dilakukan, disetujui,
dan juga informasi tentang shahabat terutama shahabat senior.[29]
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, kata sunnah yang artinya “tradisi atau
kebiasaan yang berlangsung secara lisan dan turun temurun”, telah ada pada masyarakat
Arab pra-Islam. Sunnah tersebut mengandung banyak hal antara lain berupa
kebiasaan praktis sehari-hari, prosedur atau transaksi tertentu, perbuatan dan
aturan-aturan tertentu yang mengikat seluruh anggota masyarakat.[30]
Hanya saja ketika telah terjadi sistemisasi sumber hukum Islam, sunnah dipahami
sebagai segala sesuatu dari Rasulullah dalam kapasitas sebagai pembentuk
syari’at selain al-Qur’an berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau
apapun yang layak menjadi dalil bagi hukum syar’i.[31]
Dengan demikian, sunnah dalam pengertian yang paling dasar berarti sesutu yang
telah diterima dan metradisi di kalangan masyarakat atau juga merupakan
pandangan hidup dan sesuatu yang telah dan sedang diikuti oleh masyarakat tertentu.[32]
Pemahaman terhadap sunnah di atas, dalam pengertian dasar,
akan menunjukan bahwa begitu besarnya pengaruh sosial dalam membentuk suatu
tradisi yang dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sumber hukum. Dengan
demikian, jika dikaitkan dengan teori sosiologi hukum bahwa perubahan sosial dapat
mempengaruhi hukum, maka ada kemungkinan besar untuk memahami bahwa ada
pergeseran dalam batas-batas tertentu antara ketentuan hukum Islam yang ada,
bahkan sumber hukum Islam. Pergeseran yang dimaksud bukan dalam pengertian peralihan
tetapi dimkanai perluasan. Sehingga dalam banyak hal kita dapat melihat, dalam
pembahasan ini, bagaimana imam Malik bin Anas mencoba untuk mempertahankan tradisi
ahli Madinah (‘Amal ahl al-Madīnah) sebagai sumber hukum, sekalipun
mendapat kritik yang tajam dari ulama-ulama lain semisal imam al-Lais bin Sa’ad
al-Misri.[33]
Fazlur Rahman mulai melihat pengertian sunnah dalam kitab
Muwatta’ imam Malik dengan menganalisa hadis yang dikutip imam Malik. Dalam
penjelasannya ia mengatakan:
Malik mengutip
sebuah hadis Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menjamin hak syuf’ah (hak
seseorang untuk membeli harta kekayaan bagian partnernya dari harta yang mereka
miliki bersama) kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya.
Kemudian Malik menyatakan: “Dan hal ini merupakan sunnah bagi kita”.
Setelah itu ia mengatakan bahwa mengenai syuf’ah kepada seorang ahli
hukum yang terkenal di Madinah, Sa’id bin al-Musayab pernah ditanyakan: “Adakah
sunnah mengenai syuf’ah?” dan ia menjawab: “Ya! Tetapi syuf’ah
hanya berlaku untuk rumah dan tanah.....”
Di sini kita harus memperhatikan perbedaan yang jelas di
antara kedua penggunaan istilah “sunnah” di dalam pernyataan-pernyataan “Dan
hal ini merupakan sunnah bagi kita” dan “Adakah sunnah mengenai syuf’ah?”
Di dalam pertanyaan yang pertama sunnah berarti “praktek” atau “peraktek yang
dilakukan kaum Muslimin di Madinah pada masa itu”. Tetapi pernyataan ini tidak
cocok dalam pernyataan yang kedua karena mengenai sesuatu praktek yang telah
kita sepakati secara bersama kita tidak akan bertanya: “Adakah sunnah mengenai
hal ini?” Jadi dalam pernyataan yang kedua di atas sunnah harus berarti
preseden yang “otoritatif” atau “normatif”. Tetapi preseden normatif dari
siapakah sunnah tersebut? Jelas sekali dalam hal ini yang disebut dengan sunnah
adalah sunnah nabi atau sunnah dari setiap otoritas berikutnya yang bersunber
dari sunnah Nabi, karena kami telah membuktikan bahwa praktek orang-orang Arab
sebelum kedatangan Islam tidak dapat dipandang sebagai normatif. Apabila sunnah
tersebut bersumber dari Nabi maka jelaslah mengapa Ibn al-Musayyab di dalam
jawabannya tersebut. Jadi jelaslah bahwa sunnah tersebut dapat bersumber dari
salah satu di antara para sahabat atau otoritas dari generasi sesudah mereka
walaupun sunnah tersebut tidak terpisah dari konsep sunnah nabi secara garis
besarnya. Selanjutnya, sehubungan dengan syuf’ah perkataan sunnah di dalam
kedua pernyataan di atas secara bersama-sama berarti (1) suatu preseden yang
patut dijadikan teladan dan yang pada masa Malik berubah menjadi (2) suatu
praktek yang telah disepakati bersama.[34]
Penjelasan Rahman di atas menunjukan bahwa sejak awal
imam Malik sudah membedakan antara sunnah dalam pengertian literal dan sunnah
dalam pengertian teladan dari Nabi. Sekalipun tidak ada penjelasan yang pasti
apakah benar imam Malik membedakan dua pengertian seperti yang digambarkan
Rahman, namun dari penjelasan tersebut tergambar bahwa memang ada pembedaan
secara substansi antara dua term sunnah. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa sunnah
yang hidup dan terbentuk oleh tradisi kaum muslim setelah Nabi juga menjadi
sunnah, namun secara konsepsional dan secara garis besar berhubungan erat
dengan sunnah Nabi. Bagi Rahman kandungan yang khusus dan aktual dari sunnah
kaum muslimin di masa lampau sebagian besar merupakan produk kaum muslim
sendiri dan unsur kreatif dari kandungan ini adalah ijtihad personal yang
mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
nabi.[35]
Dengan demikian sunnah, ijtijhad dan ijma’ memiliki kesatuan yang tidak
terpisahkan.
Kalau teori di atas dapat diterima, akan kita tinjau
untuk meihat posisi ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum dalam
teoresasi hukum Islam imam Malik. Seperti sudah dijelaskan pada bagain
sebelumnya bahwa imam Malik menjadikan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai
sumber hukum, maka ‘Amal ahl al-Madīnah lebih dekat dengan ijma’ ulama Madinah.
Namun, imam Malik menolaknya, sebab dalil ijma’ tidak mengkhususkan ‘Amal
ahl al-Madīnah, akan tetapi mencakup ummah (muslim seluruhnya), demikian
Ibn Khaldun. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Khaldun menyatakan bahwa ijma’
tidak lain adalah konsensus atas persoalan keagamaan melalui ijtihad. Dan imam
Malik tidak menganggap praktek ahl al-Madīnah termasuk ke dalam
pengertian ini. Dia hanya menganggap sebagai panutan suatu generasi terhadap
generasi sebelumnya melalui observasi langsung, sehingga sampai pada pembawa
syari’at, Nabi Muhammad saw. [36]
Apa yang didifinisikan Ibn Khaldun sebagai ijma’ merupakan
suatu teori hukum yang mustahil terlaksanakan. Untuk itu, mengutip dari Hallaq,
Shahsi Hanafiyyah (w.334/955) menetapkan empat model konsensus yang secara
epistemologi dan kronologi menunjukan tingkatan yang bertingkat-tingkat. Setidaknya
ada empat model: pertama adalah konsensus Sahabat, yang dalam
perjalanannya terdiri dari dua dua jenis sub: (1) konsesnsus keseluruhan mereka
dalam aturan yang ditetapkan secara jelas dalam sumber yang ada; dan (2) konsensus
sebagian mereka, diam sebagain mereka, dan absen dari keberatan sisanya.
(dua sub-tipe tersebut, harus dikatakan, nampak untuk membenarkan dan
merasionalisasikan bagian yang baik dari hukum Hanafiyyah yang secara original
didasarkan pada dasar praktek masyarakat Iraq dan sunnah yang diinspirasi
Sahabat.) Kedua adalah konsensus generasi berikutnya baik pada opini
yang disampaikan oleh Sahabat maupun pada seseorang yang disampaikan oleh
generasi itu sendiri. Tipe yang ketiga adalah konsensus generasi ulama ketiga,
yang menghasilkan pengetahuan equivalent yang menghasilakan persambungan
transmisi hadis yang disebut juga hadis terkenal (masyhur), jelasnya katagori
transmisi Hanafiyyah itu berdiri antara model hadis ahad dan hadis mutawatir.
Terakhir, tipe keempat konsensus tersebut adalah konsensus generasi
berikutnya tentang satu opini yang dihubungkan dengan ulama generasi yang lebih
awal (tetapi tetap bersubjek pada perselisihannya). Tipe ini mencakup tingkatan
kemungkinan pengetahuan, sama seperti yang dihasilkan oleh laporan hadis ahad.[37]
Jika mengikuti model pembagain Shahsi ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud
dengan praktek ahli Madinah dikatagorikan bagian dari ijma’ atau konsensus.
Bagi imam Malik, keterkaitan dengan praktek ahli Madinah
dan sunnah Nabi, penduduk Madinah ditempatkan sebagai golongan yang paling tahu
tentang sunnah Rasul, nasakh dan mansukhnya. Apabila masyarakat Madinah sepakat
dengan suatu prilaku, maka kesepakatan itu lebih tinggi nilainya dibandingkan
dengan qiyas dan khabar ahad (walaupun shahih). Kalaupun bukan kesepakatan,
prilaku mayoritas dapat diperhitungkan karena kesepakatan orang banyak dalam
bentuk prilaku nilainya sama dengan priwayatan mereka.[38]
Dari sini, sumber hukum berupa praktek yang disepakati oleh ahl al-Madīnah
yang sebelumnya diyakini memiliki hubungan secara garis besar ke sunnah Nabi
telah berevolusi menjadi sunnah yang hidup dalam masyarakat Madinah. Dengan
demikian, kemungkinan jika terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat
yang kemudian merubah kebiasaan hukum dalam ruang lingkup qur’an dan sunnah
Nabi, akan mempengaruhi sunnah yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tentunya
menjadi alasan pembenar bahwa imam Malik ketika memutuskan untuk menjadikan
praktek ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum secara tidak langsung menggunakan
sunnah dalam pengertian sunnah yang hidup dalam masyarakat (living tradition).
Dalam penjelasan lain Rahman sekali lagi menunjukan
beberapa kasus yang menunjukan latar belakang situasional yang menggambarkan
perkembangan “sunnah yang hidup”.
Pada masa Umar muncul problem sosiologis dan politis yang
besar di Madinah dan wilayah taklukan, disebabkan oleh penaklukan yang besar
dan tiba-tiba. Secara sosiologis, problem terbesar adalah semangkin
meningkatnya jumlah budak dan budak perempuan, atau tawanan laki-laki dan
perempuan. Sebagai contoh, seorang budak yang di bawah kontrak diperbolehkan
oleh tuannya untuk membeli kebebasannya dengan cara mengangsur yang disebut mukatāb
(budak yang melakukan kontrak demi kebebasannya). Orang ini diperkirakan tidak
dibawa tekanan hukum apapun untuk memperbolehkan budaknya membeli kebebasannya.
Namun, hal ini tidak diragukan didorong oleh kebijakan negara. Bagaimanapun,
persoalannya adalah sekali seorang budak melakukan kontrak demi kebebasannya,
apakah ia bisa membayar sekaligus semua angsurannya dan membebaskan dirinya
tanpa melakukan angusran,
Malik mengatakan: “farafisah ibn Umair al-Hanafi memiliki seorang mukatāb,
farafidah menolak tawaran tersebut. Si mukatāb datang kepada Marwan yang
saat itu adalah gubernur Madinah, dan mengajukan permohonan kepadanya. Marwan
memanggil farafisah dan memerintahnya untuk menerima tawaran tersebut namun ia
kembali menolak. Marwan menegaskan bahwa uang kontrak harus diambil dari budak
tersebut dan diberikan untuk keuangan publik, sementara kepada si budak ia
mengatakan: “pergilah! Engkau bebas.” Mengetahui hal itu farafisah mengambil
uang tersebut.
Mengomentari hal tersebut Malik mengatakan: oleh karenanya, praktek kita
yang telah mapan (al-‘amr: Malik menggunakan istilah al-‘amr, “as-sunnah” dan
“al-‘amr al-mujtama’ ‘alaih” sebagai istilah yang equivalen dengan praktek atau
sunnah Madinah) adalah apa yang ketika keadaan tertentu memungkinkan mukatāb
membayar semua hutangnya, bahkan sebelum dia berhutang, diperbolehkan untuk
melakukannya dan tuannya tidak boleh menolak...
Ada dua hal yang ditegaskan dalam kasus ini: pertama, menerangkan
langkah yang diambil oleh otoritas negara untuk memberikan hak kepada budak. Kedua,
ilustrasi nyata yang akan memperkuat kenyataan bahwa Sunnah, yaki praktek
komunitas yang hidup bukanlah karya Nabi sebagaimana klaim doktrin fikih pasca
asy-Syafi’i, namun merupakan hasil hasil dari pemikiran yang progresif –dan
aktifitas orang-orang Islam yang mengambil keputusan. Dalam hal ini, keputusan
Marwan ibn Hakam merupakan praktek atau sunnah.[39]
Contoh yang digunakan Rahman menunjukan bahwa sunnah
dalam pengertian yang sudah dikemukakan sebelumnya, secara tidak langusng,
telah memberikan penalaran hukum yang lebih kontekstual pada masanya dan
cenderung mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat. Imam Malik pun dapat
dikatakan menggunakan kearifan lokal Madinah, karena terkait langsung dengan
kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat yang dibangun Nabi, sebagai teori penemuan
hukum dalam kajian ushul fikih. Namun, sekalipun demikian, ijtihad-ijtihad yang
dikatakan Rahman sebagai hasil pemikiran yang progresif dan aktifitas
orang-orang Islam harus disepakati untuk diterima oleh masyarakat muslim
Madinah. Penerimaan ini adalah ijma’.
Ijma’ memainkan peran penting dalam proses integrasi
masyarakat muslim. Setidaknya sifat inheren dalam ijma’ telah membantu
memantapkan dogma dan doktrin, dan mengamankan struktur Islam.[40]
Ijma’ pada mulanya diperkenalkan sebagai sebuah doktrin untuk mendukung
struktur politik abad kedua Islam. Kemudian munculnya golongan ulama yang merupakan
perkembaangan yang alamiyyah dan selanjutnya, karena memberikan bimbingan pada
masyarakat, mendapatkan prestis tinggi. Para ulama diakui sebagai wakil masyarakat
dalam agama dan hukum, terutama dalam menghadapi otoritas negara. Ijma’, pada
abad ke dua dianggap sebagai kekuatan yang mengikat.[41]
Jika beranjak dari keyakinan awal bahwa, walaupun masih diperdebatkan, praktek ahl
al-Madīnah sebagai suatu konsensus ulama Madinah atau masyarakat Madinah,
maka dapat dianalisa lebih jauh mengapa imam Malik menjadikan ‘Amal ahl
al-Madīnah sebagai sumber hukum.
Beranjak dari perpindahan pusat pemerintah yang kemudian
melemahkan peran politik Madinah, praktek ahl al-Madīnah merupakan usaha
imam Malik tidak hanya untuk pelegitimasian hukum dengan alasan
ketersambungannya dengan sunnah Nabi tetapi juga cenderung merupakan reaksi
politis yang berperan penting agar ulama Madinah tetap memiliki eksistensi yang
patut diperhitungkan secara politik. Lebih dari itu, usaha untuk meligitimasi
tradisi ahl al-Madīnah sebagai sumber hukum merupakan upaya nyata seorang
ulama besar untuk mengintegrasikan masyarakat Muslim di satu sisi dan menjawab
persoalan hukum yang ada yang bersifat kontekstual pada masanya. Sehingga, analisa
Coulsen tentang penyusunan kitab al-Muwatta’ lebih disebabkan karena persoalan
sosial dapat diterima mengingat konsep ‘Amal ahl al-Madīnah yang kita
anggap konsensus berfungsi juga sebagai alat untuk meminimalisir terjadinya
disintegrasi umat Islam pada periode transisi dari daulah Umayyah ke daulah
Abbasiyyah.
Praktek ahl
al-Madīnah sebagai sumber hukum dapat dilukiskan sebagai berikut:
Dari gambar di atas menunjukan bahwa praktek ahl
al-Madīnah merupakan bagian salah satu dari empat model ijma’ yang memiliki
hubungan kuat dengan sunnah Nabi, sunnah otoritas setelah Nabi dari kalangan
Shahabat dan juga memiliki hubungan dengan al-Qur’an secara garis besar. Selain
itu praktek ahl al-Madīnah juga sangat erat kaitannya dengan ijtihad. Dalam
pandangan mazhab Maliki sendiri ‘Amal ahl al-Madīnah ini ada 2 macam,
yaitu ‘Amal ahl al-Madīnah yang asalnya dari an-Naql, yang
merupakan contohan dari Nabi SAW dan ‘Amal Ahl al-Madīnah yang
diijtihadkan oleh penduduk Madīnah.[42] Dalam wilayah
ijtihad inilah aspek sosial dan politik sangat mempengaruhi keputusan hukum
tertentu walaupun secara garis besar ijtihad harus memiliki keterkaitan dengan al-Qur’an
dan sunnah Nabi. Proses penerimaan ijtihad inilah kemudian membentuk ijma’ dan
dalam konteks Madinah membentuk tradisi ahl al-Madīnah. Aspek sosial dan
politik sangat menentukan peroduk ijtihad dengan proses berkesinambungan
membangun tradisi hukum yang kontekstual pada masanya. Dengan demikian, ada kemungkinan
perubahan sosial dalam masyarakat mempengaruhi perubahan hukum.
D. Kesimpulan
Teori hukum Imam Malik tentang penggunaan ‘Amal ahl
Madinah, sejauh ini, merupakan contoh yang memadai dimana terjadinya kesinambungan
hukum Islam dengan realitas sosial. Tidak adanya peraktek ahl al-Madīnah
menunjukan bahwa ada keraguan terhadap suatu produk hukum, dan adanya praktek ahl
al-Madīnah menujukan bahwa tidak ada keraguan terhadap produk hukum.
Praktek ahl al-Madīnah sendiri dibangun atas dasar ijma’ lokal yang
kemungkinan mengandung tradisi Nabi yang diwariskan di satu sisi dan mengandung
kearifan lokal di sisi lain, dan juga dibangun atas dasar ijtihad penduduk
Madinah. Pada wilayah ijtihad inilah pengaruh sosial dan politik masuk.
Salah satu alasan mengapa imam Malik bersih teguh
memegang sunnah Nabi dan Sunnah penduduk Madinah adalah karena alasan politis,
disamping alasan normatif, yaitu perpindahan kekuasaan Islam ke luar Madinah
yang cenderung melemahkan posisi penting Madinah secara politis dan memberi
perubahan secara sosial. Sebagai upayah mengukuhkan peran Madinah, imam Malik
menjadikan sunnah Nabi dan ‘Amal ahl al-Madīnah sebagai landasan
hukum yang otoritatif, walaupun bukan satu-satunya. Dengan demikian, aspek
sosio-politis menyatu dalam sumber hukum yang dibingkai dalam kerangka
normatif.
BIBLIOGRAFI
‘Ajamī, Abū Yazīd Abū Zaid al-, Al-Fuqahā' Buhūś al-'Aqīdah
al-Islāmiyah: al-Mauqif wa al-Manhaj, Mesir: Dār al-Hidāyah, t.t.
Amin,
Ahmad, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran di Kalangan Umat
Islam Sejak Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy, Jakarta: Bulan
Bintang, 1967
Anwar,
Samsul, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal Profetika,
Vol. 4, No.1, Januari 2002
Azami,
Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik Hadis, alih bahasa: A. Yamin,
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992
Bik,
Hudari, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum Islam),
alih Bahasa: Mohammad Zuhri,Indonesia: Daarul Ihya, tt.
Coulsen,
Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih bahasa: Hamid Ahmad,
Jakarta: P3M, 1987
Coulson,
Noel J, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih bahasa: Fuad Zein,
Yogyakarta: Navila, 2001
Do’I,
Abdur Rahman I., Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta: Rike Cipta,
1993
Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum
Islam: al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M. Mansur,
Yogyakarta: Islamika, 2003
Goiten, S.D., “The Bird-Hour of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1
(1960)
Hallaq, Wael B., The Origines and Evolution of Islamic Law,
Cambridge: Cambridge University Press, 2005
Hasan, Ahmad, Ijma’, alih bahasa: Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka,
1985
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Ibn
Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid, alih bahasa:
Imam Ghazali Sa’id dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1989
Jabiri, Muhammad Abed al-, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu’aṣir, Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1989
Judith
Romney Wegner, “Islamic and Talmudic jurisprudence: the Four Roots of Islamic
Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal of Legal
History, vol. XXVI (1982)
Khatibi,
Muhammad 'Ajaj al-, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, tt.
Lapidus,
Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa:
Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Maraghi, Abdullah Mustofa al-, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah,
alih bahasa Husein Muhammad, Yogyakarta: LKPSM, 2001
Minhaji, Akh., “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru
tentang Posisi Minorotas Non-Muslim,” dalam Amin Abdullah,
dkk. (ed.), Antologi studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000, hlm. 337
Mudzhar,
Muhammad Atho’, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical
Approach, Jakarta: Relegious Research and Development, and Training, 2003
____________,
Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998
____________,
Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Setudi tentang Pemikiran Hukum
di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi bahasa, Jakarta: INIS, 1993
___________,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998
Power,
David S., Studies in Qur’an and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of
inhetitance, Barkeley: University of California Press, 1986
Rahman, Fazlur, “Perubahan Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad
Baidowi, dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana Hadis Kontemporer, Yogyakarta:
Tirai Wacana, 2002
____________,
Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2, Bandung: Pustaka, 1994
____________,
Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas Muhyidin, bandung: Pustaka,
1995
Şan‘ānī, Muhammad bin Ismā‘īl al-Kahlānī aş-, Subul as-Salām , Beirūt:
Dār al-Fikr, t.t.
Schachat, Joshep, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford:
The Clarendon Press,1950
Schacht,
Joseph, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko Supomo, Yogyakarta:
Islamika, 2003
Shiddieqy,
TM. Hasbi Ash-, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997
Sirāj,
Muhammad Ahmad, Al-Fiqh Al-Islamī bain An-Nazar wa At-Taţbīq,(Iskandarīyah:
Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah, 1997
Suwaid,
Al-Qādi Muhammad, Al-Mażāhib Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa Al-Mażhab
Al-Muwahhad, Beirut: Dār at-Taqrīb Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995
Syurbasi,
Ahmad, Biografi Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet.
2, Solo: Media Insani Press, 2006
Zahrah,
Muhammad Abu, Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah, Mesir: Dār al-Fikr
al-'Arabī, t.t.
________,
Mālik Hayātuhu wa ‘Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh, Mesir: Dār al-Fikr
al-'Arabī, t.t.
Zarqāni, Muhammad az-, Syarh az-Zarqāni ‘Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik,
Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1411 H/1990 M
Zuhri, Muh., Hukum Islam dalam Lintas Sejara,h(Jakarta: Raja
Grafindo, 1997
* Penulis adalah Dosen
STIH Pertiba Pangkalpinang, alamat: Jl.Kampung Melayu Rt.05/Rw.02 Tuatunu Indah
Kota Pangkalpinang, e-mail: juan_diey100384@yahoo.com
[1] Muhammad Abed al-Jabiri, Isykaliyah al-Fikr al-Arabi al-Mu’aṣir
(Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyyah, 1989), hlm. 13
[2] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa Joko
Supomo (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 1; Samsul Anwar, “Pengembangan Metode
Penelitian Hukum Islam,” dalam Jurnal Profetika, Vol. 4, No.1, Januari
2002, hlm. 123.
[3] Noel J Coulson, Konflik dalam Yurisprudensi Islam, alih
bahasa: Fuad Zein (Yogyakarta: Navila, 2001), hlm.. 120
[4] Pengecualian mislanya apa
yang telah dilakukan Umar bin Khatab dalam menyelesaikan beberapa kasus yang
cenderung keluar dari mainstrim wahyu.
[5] Analogy perjelasan munculnya sumber-sumber hokum setelah al-Qur’an
dikemukakan Fazlur Rahman dengan menggunakan logika Aristoteles. Lihat: Fazlur
Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Mohammad, cet ke-2 (Bandung: Pustaka,
1994), hlm. 90
[6] Dikatakan mungkin karena terdapat perbedaan riwayat tahun kelahiran
Imam Mālik ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa Imam Mālik lahir pada tahun 90
H, dan ada yang mengatakan tahun 93 H, 94 H, 95 H, 96 H atau 97 H. tetapi
menurut Abu Zahrah pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 93 H
merupakan riwayat yang paling kuat (arjah). Muhammad Abu Zahrah,
Tārīkh al-Mażāhib al-Islamīyah (Mesir: Dār al-Fikr al-'Arabī, t.t.), II:
176; idem, Mālik Hayātuhu wa ‘Asruhu, Ārāuhu wa Fiqhuh (Mesir: Dār
al-Fikr al-'Arabī, t.t.), hlm. 22. Bandingkan dengan Ahmad Syurbasi, Biografi
Empat Imam Mazhab, alih bahasa Abdul Majid Alimin, cet. II (Solo: Media
Insani Press, 2006), hlm. 125-126; dan Abū Yazīd Abū Zaid al-‘Ajamī, Al-Fuqahā'
Buhūś al-'Aqīdah al-Islāmiyah: al-Mauqif wa al-Manhaj (Mesir: Dār al-Hidāyah,
t.t.), hlm. 128-129
[7] Hudari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami (sejarah Pembinaan Hukum
Islam), alih Bahasa: Mohammad Zuhri (Indonesia: Daarul Ihya, tt.), hlm. 419
[8] Abdullah Mustofa
al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, alih bahasa Husein
Muhammad (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hlm 79-80
[9] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, alih
bahasa: A.Yamin (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 132
[10] Ibid., hlm. 133
[12] Ira. M. Lapidus, Sejarah
Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, alih bahasa: Ghufron A. Mas’adi
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 124
[13] Muhammad Atho’ Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A
Socio-Historical Approach (Jakarta: Relegious Research and Development, and
Training, 2003), hlm. 95; idem, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi
dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 107
[14] Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia:
Sebuah Setudi tentang Pemikiran Hukum di Indonesia, 1975-1988, edisi dwi
bahasa (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 142-143; idem, Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 253
[15] Wael B. Hallaq, The
Origines and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University
Press, 2005), hlm. 140
[16] Abdur Rahman I.Do’I, Shari’ah Kodifikasi Hukum Islam
(Jakarta: Rike Cipta, 1993), hlm. 154
[17] Noel J.Coulsen, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, alih
bahasa: Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 59
[18] Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa: Anas
Muhyidin (bandung: Pustaka, 1995), 21-2
[19] Yasin Dutton, Asal
Mula Hukum Islam: al-Qur’an, Muwatta’ dan Praktek Madinah, alih Bahasa: M. Mansur,
(Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 45.
[21] Ibid., hlm. 22-23
[22] Ahmad Amin, Fadjar Islam: MengupasPerkembangan Pemikiran
di Kalangan Umat Islam Sejak Masa Nabi S.A.W. Sampai Akhir Masa Umawy
(Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 321-322
[23] Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa melafalkan takbir boleh dilakukan dengan lafaz yang semakna dengan Allahu
Akbar. Penjelasan lebih rinci dapat
dilihat dalam: Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fikih Para Mujtahid,
alih bahasa: Imam Ghazali Sa’id dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani,
1989), I: 270
[24] Muhammad az-Zarqāni, Syarh az-Zarqāni ‘Alā Muwaţţa' al-Imām Mālik (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1411 H/1990 M), II: 270-271; Muhammad bin
Ismā‘īl al-Kahlānī aş-Şan‘ānī, Subul as-Salām (Beirūt: Dār al-Fikr,
t.t.), II:167
[25] Pendapat ini disimpulkan
dari Joshep schachat dalam The Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Clarendon Press,1950);
idem, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa: Joko Supomo (Yogyakarta:
Islamika, 2003), bagian pertama terutama hlm. 11-27. Lihat juga kesimpulan
David S.Power dan kritiknya terhadap pendapat ini dalam Studies in Qur’an
and Hadiś: the Formation of the Islamic Law of inhetitance (Barkeley:
University of California Press, 1986), hlm. 1-8 dalam primary research-nya,
power mencatat beberapa kaangan yang mendukung pendapat ini antara lain: S.
Vesey-Fitzgerald, N.J.Coulsen, G.H.A.Juynboll, dan lain-lain.
[26] Kritik seperti ini
dilontarkan oleh: Power, Studies in Qur’an and Hadiś…,
hlm. 6-7; S.D.Goiten, “The Bird-Hour
of Muslim Law”, dalam Muslim World, 50,1 (1960), hlm. 23-29
[27] Perumusan konsep sunnah oleh imam asy-Syafi’I merupakan salah bentuk
sintesa antara dua aliran besar yang berkembang pada masanya. “The great
synthesis” ini telah melahirkan dua persoalan penting dalam perkembangan
teori hukum Islam, yaitu munculnya teori-teori hukum dan artikulasi teori hukum yang fundamental, dan munculnya formasi doktrin Mazhab. Hallaq, The
Origines and Evolution..., hlm. 122
[29]Rahman, Islam..., , hlm. 68
[30] Akh. Minhaji, “Hak-Hak
Asasi Manusia dalam Hukum Islam: Ijtihad Baru tentang Posisi Minorotas Non-Muslim,”
dalam Amin Abdullah, dkk. (ed.), Antologi studi
Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000, hlm.
337; Judith Romney Wegner, “Islamic and Talmudic jurisprudence: the Four Roots
of Islamic Law ang Their Talmudic Counterparts”, dalam The American Journal
of Legal History, vol. XXVI (1982), hlm. 34
[31] Muhammad 'Ajaj al-Khatibi, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa
Mustalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 19
[33] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqh...,hlm.
82
[36] Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa: Ahmadie Thoha
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 568-569
[39] Fazlur Rahman, “Perubahan
Sosial dan Sunnah Awal,” alih bahasa Ahmad Baidowi, dalam Fazlur Rahman dkk, Wacana
Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Tirai Wacana, 2002), hlm. 131-132
[42] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab,(Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 212-214; Muhammad Ahmad Sirāj, Al-Fiqh Al-Islamī
bain An-Nazar wa At-Taţbīq (Iskandarīyah: Dār al-Maţba'ah al-Jāmi'ah,
1997), hlm. 137. Menurut riwayat kebanyakan ulama, Imam Mālik selama hidupnya
tidak pernah keluar bepergian dari kota Madinah kecuali hanya untuk berhaji ke
Mekkah, sehingga dimungkinkan, hal inilah yang membuat Imam Mālik sangat
bergantung sekali kepada ‘amal ahl
al-Madīnah ini, sebab beliau sangat kenal dan akrab sekali dengan situasi
dan mobilitas sosial penduduk Madīnah. Al-Qādi Muhammad Suwaid, Al-Mażāhib
Al-Islāmiyah Al-Khamsah wa Al-Mażhab Al-Muwahhad (Beirut: Dār at-Taqrīb
Bain al-Mażāhib al-Islāmiyah, 1995), hlm. 24; Muhammad Khudari Bek, Tārikh
at-Tasyrī…, hlm. 422-423
Lucky Club Casino Site Review
BalasHapusWe've got our top 6 online casinos where you can gamble with cash. Lucky luckyclub Club offers one of the most fun and secure online casino Live Casino: 300+ Games Rating: 3.8 · Review by LuckyClub.live